Selasa, 13 Januari 2015

Perjuangan RRI Yogyakarta di Masa Revolusi Fisik

Perjuangan RRI Yogyakarta di Masa Revolusi Fisik
Oleh Livy Laurens

Sejarah mencatat bagaimana semangat kebangsaan Indonesia digelorakan dari RRI Yogya. Setelah menyatakan bergabung dengan RI, mendapatkan Piagam Kedudukan, dan menegaskan posisi Yogya sebagai daerah istimewa di dalam NKRI dengan Amanat 5 September 1945, Yogya bangkit menjadi penggerak api nasionalisme. Siaran-siaran yang dipancarkan dari RRI Yogya semakin populer. Terutama program-program acara yang bertujuan membangkitkan semangat juang di bawah asuhan Bung Tomo dan Bung Tarjo. Pihak musuh, Tentara Sekutu segera mencap RRI Yogya sebagai ekstremis yang harus dihancurkan. RRI Yogyakarta waktu itu berada di Balai Mataram.
RRI Yogya pun menjadi sasaran pengeboman. Pada Minggu 25 Oktober 1945 jam delapan pagi, dua pesawat pembom Sekutu terbang di atas Yogya untuk menyebar selebaran-selebaran berisi ancaman pengeboman atas gedung RRI. Seperempat jam kemudian, mereka benar-benar mengebom gedung RRI Yogya. Untungnya pemancar-pemancar selamat dan para pegawai bisa lolos. Setelah itu, RRI Yogya tetap berjuang dan dibom lagi. Malam sesudah serangan itu, para penyiar tetap mengudara untuk membakar semangat juang. Akibatnya, pada 27 Oktober 1945 pesawat-pesawat Sekutu membom lagi. Kali ini terjadi banyak kerusakan parah.

Pengeboman balai Mataram, 27 November 1945 Balai Mataram hancur oleh Bom pesawat sekutu, dengan tujuan melumpuhkan perjuangan RI.
 Di lapangan udara Kemayoran Jakarta nampak Flight Lieutenant A Jacomb-Hood DFC dari 47 Squadron dengan latar belakang pesawat Mosquito Mk. VI yang dia gunakan, bercerita kepada awak darat tentang seranganan udara terhadap stasiun radio di Yogyakarta dan Solo milik Indonesia 

Para pegawai dan penyiar RRI Yogya terus berjuang. Alat-alat yang selamat diamankan dan disembunyikan di beberapa tempat seperti di Puro Pakualaman, di asrama CPM Gondolayu, di rumah-rumah di Terban Taman, Patangpuluhan, dan Ngadinegaran. Salah satu alat vital berkekuatan 3,5 KW berhasil selamat sehingga bisa memancarkan siaran sampai ke luar negeri.
Begitu suasana reda, para angkasawan RRI Yogya mengudara kembali. Menggelorakan terus semangat kebangsaan melalui corong radio dari stasiun radio darurat di kawasan Terban Taman. Kemudian, RRI Yogya memakai rumah-rumah nomor 6, 8, dan 10 di Secodiningratan. Rumah nomor 8 dipakai sebagai studio siaran dan ruang kontrol. Rumah nomor 6 untuk kantor. Dan rumah nomor 10 untuk mess pegawai RRI dan untuk siaran ke luar negeri.
Komitmen DIY pada RI dan gelora nasionalisme yang terpancar dari Yogya dengan begitu kuatnya mendorong Soekarno-Hatta memindahkan ibukota RI ke Yogya setelah Jakarta tidak lagi kondusif. Sejak 4 Januari 1946, Yogya menjadi ibukota RI. Karena itu, pusat penyiaran RRI nasional yang semula berada si Solo kemudian dipindahkan ke Yogya. Dengan sendirinya RRI Yogya mempunyai status istimewa karena melayani kepentingan Pemerintah RI yang harus diikuti oleh daerah-daerah lain di seluruh nusantara. Dalam buku ”Republik Indonesia, Daerah Istimewa Yogyakarta” yang diterbitkan Kementerian Penerangan (1953) dilaporkan bahwa meskipun waktu itu kekuatan pemancar-pemancar Yogya hanya kurang lebih seperempat KW untuk siaran dalam negeri dan 3,5 KW untuk siaran luar negeri, suaranya kedengaran jelas dari berbagai tempat di Indonesia dan di luar negeri.
Giatnya RRI Yogya waktu itu mendorong kreatifitas untuk berkomunikasi. Atas inisiatif Sri Paku Alam VIII, RRI Yogya, dan Jawatan Penerangan, diadakan kegiatan penyiaran berita via telepon sejak Oktober 1947. Setiap hari selama sejam (dari 17.00 – 18.00 WIB) disebarkan berita-berita dengan perantaraan telepon dari Yogya (ibukota RI) ke berbagai daerah di Indonesia. Tim teknis dari RRI Yogya melakukan modifikasi sehingga kalau telepon diangkat maka suaranya dapat didengarkan oleh tiga atau empat orang. Inilah yang kemudian dikenal sebagai ”siaran radio zonder gelombang”.
Perjuangan para angkasawan RRI Yogya diuji manakala Belanda menyerbu Yogya pada 19 Desember 1948. RRI Yogya berhasil dikuasai Belanda. Untungnya sudah ada pemancar rahasia di Playen Gunung Kidul. Sayangnya Belanda berhasil merangsek dan merusak alat-alat di Playen itu sehingga para petugas pun menyelamatkan diri dan terus bergerilya. Namun, RRI tidak pernah menemui ajalnya. Pada 30 Mei 1949, sebulan sebelum ”Yogya Kembali”, atas perintah Kementerian Penerangan dibentuk panitia radio yang kemudian bertugas menerima penyerahan kantor radio dari Belanda. Demikianlah sejarah RRI dalam perjuangan Indonesia di DIY. Sekali di udara tetap di udara!

*) Livy Laurens, SS, MA, praktisi seni, mahasiswa pascasarjana program studi seni pertunjukan UGM Yogyakarta

3 komentar:

  1. Terima kasih buat informasinya. Sungguh luar biasa kisah perjuangan RRI dalam mempertahankan dedikasinya terhadap RRI. Kebetulan rumah kakek saya di Terban Taman menjadi salah satu kantor darurat RRI. Tepatnya di jalan Teuku Tjik Ditiro 37. Saya sedang mencari fotonya.

    BalasHapus
  2. Terima kasih buat informasinya. Sungguh luar biasa kisah perjuangan RRI dalam mempertahankan dedikasinya terhadap RRI. Kebetulan rumah kakek saya di Terban Taman menjadi salah satu kantor darurat RRI. Tepatnya di jalan Teuku Tjik Ditiro 37. Saya sedang mencari fotonya.

    BalasHapus
  3. Maturnuwun sanged atas info kesejarahannya,tanpa info sejarah ini,kami tahu nya hanya RRI yg ada di Kotabaru itu .

    BalasHapus