Rabu, 06 Januari 2016

Pelaksanaan Djokja Kembali 29 Juni 1949

Pelaksanaan Djokja Kembali 29 Juni 1949

Kontak antara pimpinan RI yang sedang melaksanakan perang Gerilya ditambah dengan kontak dengan Pimpinan RI yang ditawan Belanda di Pangkalpinang. Dan menghasilkan pengesahan mandat yang telah diberikan Presiden Soekarno kepada Sri Sultan Hamengkoe Buwono IX, kemudian membentuk Staf Persiapan Pemerintahan Ibu Kota dan sebagai Kepala Staf ditetapkan Kolonel Djatikoesoemo. Demi mempelancar pengembalian Pemerintahan RI di Yogyakarta maka Komandan Wehrkreise III diperbantukan Letnan Marsoedi dan Letnan Moch. Dimjati ( sesuai dengan surat kepada J.M. Menteri Negara Sultan Hamengkoe Buwono IX No.III/U/WK.III/49 tanggal 12 Mei 1949). Sejalan dengan perintah harian Panglima Tentara dan Teritorium Jawa No124/X/12.MOB/PH/49 tanggal 21 Mei untuk mengambil bagian seperlunya dan semestinya dalam memperlancar tugas yang diemban Staf Persiapan Pemerintahan Ibukota.
Dalam upaya kembalinya Pemerintahan RI di Yogyakarta sempat menimbulkan kesalahpahaman antara Sri Sultan Hamengkoe Boewono IX dengan Komandan WK III menolak untuk menandatangani berita acara serah terima kota Yogyakarta dari tentara Belanda kepada TNI. Untuk menjelaskan alasan tersebut maka Komandan WK III menghadap Sri Sultan Hamengkoe Buwono IX supaya masalah tersebut tidak menjadi rumit dan Komandan WK III tidak dituduh sebagai penghalang terwujudnya pengembalian Pemerintahan RI ke kota Yogyakarta.
Maka pada tanggal 17 Mei 1949 Komandan WK III menghadap dan diterima Sri Sultan Hamengku Buwono IX di Kraton, dalam pembicaraan tersebut Komandan WK III menjelaskan permasalahan dan posisi WK III dalam menghadapi perundingan dengan Belanda.
Berdasarkan wewenang yang dimilikinya, Komandan Wehrkreise III mengajukan syarat-syarat pelaksanaan ceasefire dan pengembalian Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai berikut:
1. Dalam waktu yang bersamaan Tentara Kerajaan Belanda dan Tentara Nasional Indonesia mengadakan Perintah ”Local Cease fire.
2. Ini berarti Tentara Kerajaan Belanda dan Tentara Nasional Indonesia juga menghentikan operasi militer maupun operasi gerilya, termasuk menghilangkan ”Hinder Lagen”
3. Pasukan-pasukan Tentara Kerajaan Belanda dikonsinyasi untuk yang ada diluar kota dibolehkan patroli dengan jari-jari(straal) 1 (satu) kilometer untuk menjaganya. Dan untuk menjaga dalam kota soal keamanan dijalankan oleh Algemence Polisi Belanda dan Militer Belanda, pasukan Tentara Nasional tidak di bolehkan mendekati Concentraties Tentara Kerajaan Belanda sampai jarak 2(dua) kilometer.
4. Pemindahan pasukan Tentara Kerajaan Belanda dilakukan selama 2 X 24 jam setelah pengumuman berlakunya ceasefire diumumkan dengan menjalankan pemindahan yang ada diluar kota terlebih dahulu, kemudian yang ada di dalam kota. Jalan-jalan yang digunakan tidak akan mendapat gangguan dari Tentara Nasional Indonesia.
5. Selesainya waktu pemindahan Tentara Kerajaan Belanda dari daerah Yogyakarta ke daerah Kedu – Surakarta maka Tentara Nasional Indonesia yang mempunyai tugas kepolisian akan menggantikan keamanan dalam kota Yogyakarta dari kepolisian Belanda.
6. Setelah penyerahan keamanan kota Yogyakarta dilakukan, maka segera” Kepolisian Belanda dengan lain Staf Militer maupun Sipil” berangkat ke Luar daerah Yogyakarta dengan diantar oleh UNCI.
7. Jalan-jalan yang digunakan pemindahan pasukan Belanda ialah:
Bantar - Yogyakarta
Padokan - Yogyakarta
Bantul - Yogyakarta
Plered - Pasargede - Yogyakarta
Wonosari - Piyungan – Patuk – Prambanan – Maguwo - Yogyakarta
Kaliurang – Kledokan – Yogyakarta
Cebongan – Medari – Tempel – Magelang
Yogyakarta – Sleman – Magelang
8. Setelah Selesai meninggalkan daerah Yogyakarta, maka Tentara Kerajaan Belanda tidak diperbolehkan melalui perbatasan daerah Yogyakarta.
Adanya akibat yang didapat dari kedua belah pihak dan yang paling banyak menelan korban adalah pihak Belanda sendiri baik dari segi material dan jiwa serta mengalami kerugian yang cukup besar, sehingga dari pihak Belanda dan TNI mengadakan pelaksanaan ceasefire dimana kedua belah pihak harus menghentikan gencatan senjata dan adanya penarikan pasukan Belanda dari willayah Yogyakarta dan sekitarnya, serta pasukan TNI tidak diperbolehkan melakukan penyerangan terhadap pasukan Belanda yang sedang melakukan pemindahan pasukan selama 2X24 jam. Dengan demikian keamanan wilayah Yogyakarta dikendalikan oleh Pasukan TNI yang berada di wiilayah Yogyakarta, dan bersih dari pasukan Belanda.

 Sri Sultan hamengku Buwono ke IX selaku Menteri Negara dan Koordinator Keamanan

Pelaksanaan Djokja Kembali pada tanggal 29 Juni 1949 pelaksanaannya di bawah koordinasi Sri Sultan hamengku Buwono ke IX selaku Menteri Negara dan Koordinator Keamanan.
Pelaksanaan masukna TNI ke kota Yogyakarta dilaksanakan dalam 4 babak yaitu :
Pada babak pertama TNI bergerak kurang lebih pada jam 09.00 setelah team peninjau memberi tanda kepada TNI untuk bergerak masuk kota, gerakan pasukan memasuki kota berjalan dengan teratur.
Pada babak kedua TNI maju dengan teratur. Komandan dipindahkan ke Kepatihan.
Pada babak ketiga masuk pula kesatuan TNI di bawah pimpinan Kapten Widodo. Gerak dilakukan dengan teratur menempati posisi sebelah utara rel kereta api dan sebelah barat kali Code.
Dalam babak ke empat di bawah Mayor Sardjono bergerak ke utara sampai batas kota selanjutnya bermarkas di gedung HBS di daerah Jetis. Sedangkan kesatuan dari Mobiele Brigade Polisi masuk dari sebelah barat dan terus menuju asrama Pathuk dan Gayam.
Jumlah pasukan yang memasuki kota Yogyakarta sebanyak 2900 orang dengan perincian 1800 orang dari TNI dan 1100 orang dari Mobiele Brigade Polisi.
Dan sebagian besar dari pasukan-pasukan kita masih tetap diperintahkan untuk melakukan perjuangan di desa-desa dan di gunung-gunung untuk menjaga segala kemungkinanyang tidak diharapkan.
Sumber :
1977, Sejarah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta, hal 353.