Rabu, 21 Januari 2015

Pedesaan Kalibawang Sekitar Revolusi pada tahun 1945 - 1949



 Pedesaan Kalibawang Sekitar Revolusi pada tahun 1945 - 1949

Wilayah Kecamatan Kalibawang yang terletak di Kabupaten Kulonprogo Propinsi DIY pada masa revolusi mempunyai peran besar dalam keikutsertaan penduduknya membantu perjuangan tentara Indonesia melawan determinasi tentara Belanda. Keadaan geografis yang dipenuhi dengan perbukitan dan jauh dari pusat kota sangat mendukung tentara Indonesia yang sedang mengusahakan perjuangan lewat strategi perang gerilya. Pedesaan- pedesaan di Kalibawang sendiri menjadi pusat pos- pos militer atau yang lebih dikenal sebagai MBKD (Markas Besar Komando Jawa) saat pusat pemerintah Indonesia yang pada waktu itu berada di Kota Yogya jatuh akibat agresi militer Belanda II pada tahun 1948.
Sistem administrasi lokal yang sudah teratur dan lancar juga berpengaruh besar dalam hal terpenuhinya dan terkoordinasinya kebutuhan para tentara. Hal ini tidak lepas dari peran Sultan Hamengkubuwono IX yang mengintruksikan adanya pembentukan sistem birokrasi dari pedesaan di Yogyakarta sampai terbentuknya Propinsi Yogyakarta. Ini disebabkan masih lemahnya kekuatan administratif pusat untuk mengontrol daerah saat Negara Indonesia pada waktu masih muda. Sehingga ada inisiatif untuk penguatan daerah terlebih dahulu, sebelum nantinya pusat juga akan diperbaiki dan diperkuat otoritas administrasinya. Panasnya iklim politik pasca kemerdekaan yang ditandai dengan banyak munculnya organisasi massa, politik, dan kelaskaran dengan kepentingan- kepentingan mereka sendiri juga melatar belakangi dikoordinasikanya organisasi- organisasi tersebut. Selain itu Pemerintah Provinsi Yogya pada April 2008 1946 mengumumkan bahwa terjadi pemilihan- pemilihan baru untuk jabatan lurah, pamong praja, dan dewan legislatif. Upaya ini guna mencegah terjadinya aksi sepihak dari masyarakat yang dendam dan ingin menghakimi sendiri bangsawan- bangsawan desa yang dianggap “kontra-revolusi”. Hal inilah yang menyebabkan wilayah Yogyakarta terhindar dari “revolusi sosial” yang marak terjadi di berbagai daerah seperti peristiwa tiga daerah, Banten, dan Aceh. Kekuatan birokrasi di wilayah Yogyakarta sendiri terbukti cukup kuat, ini ditandai dengan masih berjalanya kegiatan mereka walaupun pada waktu itu wilayah Yogya sempat dikuasai oleh Belanda. Tentu saja kegiatannya berada di bawah tanah agar tidak diketahui oleh pihak Belanda.
Pada tanggal 27- 28 Oktober 1945 BTI yang merupakan kaderisasi formal para petani mengadakan konferensi. Para pendidik kader tersebut adalah orang- orang Taman Siswa. Konferensi tersebut memutuskan untuk mendesak Pemerintah Propinsi DIY agar membentuk DPR di setiap kelurahan sampai tingkat propinsi guna peningkatan taraf hidup para petani. Menindak lanjuti tuntutan tersebut Sultan berdasar maklumat NO. 7/ 1945 mengintruksikan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Kelurahan yang efektif berjalan pada tanggal 6 Desember 1945. Pemilihan anggota dipilih warga desa yang sudah berumur 18 tahun dan sudah tinggal di desa tersebut selama lebih dari enam bulan. Kemudian dibentuk pula Majelis Permusyawaratan Desa yang anggotanya terdiri atas kepala rumah seluruh desa. Untuk mengatur masalah kepartaian di pedesan muncul maklumat NO. 14/1946 dan Maklumat NO. 15 1946 yang menetapkan bahwa dewan kelurahan yang dipilih dari kepala keluarga. Selain itu untuk penguatan administrasi pedesaan demi tercukupinya kebutuhan otonomi desa muncul Maklumat NO. 5/1948 pada tahun 19 April 1948, yang mengintruksikan adanya penggabungan desa- desa menjadi satu desa atau kelurahan yang kuat. Dalam hal ini wilayah Kulonprogo jumlah desanya berkurang dari 118 menjadi 47. Akibat berbagai penguatan lokal pedesaan di atas maka muncul maklumat No. 18/1946, mengenai pembentukan Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Kabupaten yang akan diselenggarakan di semua Kabupaten di wilayah propinsi DIY.
Peranan wilayah pedesaan Kalibawang dalam hal militer ditandai dengan datangnya Kolonel T.B. Simatupang memimpin pasukanya ke daerah Dekso yang berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Kalibawang untuk membentuk basis pertahanan karena kota Yogyakarta jatuh akibat agresi militer Belanda II. Selain itu dibangun Markas Komando Operasi Panglima Tentara dan Teritorium Jawa Tengah di desa Boro di rumah Bapak Nitirejo. Dalam hal ini yang menjadi komando adalah kolonel A.H. Nasution. Dalam keberadaanya di desa ini pengamanan yang dilakukan terhadap beliau sangatlah ketat. Ini terlihat dari penyamaran yang ia gunakan saat pertama datang dengan mengaku sebagai guru dari Sumatra yang tidak bisa pulang juga jarangnya beliau keluar kamar atau rumah bapak Nitirejo. Beliau selalu sibuk dengan merancang strategi militer gerilya yang akan dijalankan dalam upaya merebut kota Yogyakarta. Selain itu bagi siapapun yang ingin bertemu beliau harus melewati prosedur yang rumit dan berbelit- belit. Di markasnya ini beliau sering melakukan kontak dengan markas RRI yang telah dipindah ke Gunung Kidul khususnya menjelang Serangan Umum Satu Maret. Sampai sekarang meja dan kursi yang ia gunakan masih tersimpan di Museum Sudirman yang terletak di Kota Yogyakarta. Menurut pengakuan dalam bukunya ia sering mendengar keluhan dari rakyat mengenai kinerja tentara yang kurang maksimal, dan memplesetkan kepanjangan MBKD menjadi Markas Belanda Keliling Jawa. Tetapi dengan kenyataan mengenai besarnya peranan rakyat yang besar pada waktu itu, tentulah patut dipertanyakan mengenai “keindahan” bersatunya rakyat- tentara. Atau faktor keberhasilan propaganda yang dilakukan pihak pers lewat berbagai media seperti Ketoprak Pedesaan yang banyak mengangkat tema perjuangan, surat- surat kabar yang masih sarat dengan idealisme dan tidak bertujuan mencari profit, dan pamflet serta selebaran yang menjadikan penduduk pada waktu itu begitu “ikhlas” membantu berbagai kebutuhan tentara. Tentunya harus diingat pula bahwa pada waktu itu Belanda juga menyebarkan berbagai propaganda anti- RI lewat pembagian obat, makanan dll dan meminta penduduk agar tidak membantu para gerilyawan.
Terlepas dari permasalahan di atas, nampaknya kenyataan mengenai “indahnya” persatuan tentara- rakyat di wilayah Kalibawang perlu dibahas lebih lanjut. Desa Banjar Harjo, Kalibawang, Kulonprogo adalah salah satu desa pertahanan tentara yang melakukan gerilya. Markas MBKD sendiri menjadi menetap di wilayah Kalibawang dimana sebelumnya markas tersebut berpindah- pindah. Desa Banjar Harjo sendiri menjadi markas kesekretariatan yang terletak di rumah bapak Suparjan. Sedangkan markas operasionalnya terletak di Kelurahan Banjar Sari, tepatnya di rumah bapak Nitirejo dimana Kolonel Nasution berada di wilayah itu. 


Rumah keluarga Karyoutomo yang berada di kawasan perbukitan Menoreh Kulonprogo ini pernah menjadi markas para pejuang pada masa perang kemerdekaan. Tokoh pejuang yang pernah tinggal di rumah tersebut adalah Kol. T.B. Simatupang saat menjabat Wakil Kepala Staf Angkatan Perang. Bangunan tampak masih baru karena selesai direnovasi.

Untuk menjaga keamanan wilayah ini maka tentara bersama rakyat memutuskan segala rute yang merupakan akses untuk masuk ke wilayah Kalibawang. Diantaranya adalah pengrusakan jembatan di Padukuhan Duwet, dengan cara memotong talinya karena hanya jembatan gantung. Selain itu segala jalan darat yang menuju ke wilayah Kalibawang diberi berbagai halangan seperti batang- batang pohon dan ranting- ranting bambu. Dalam hal ini yang berperan adalah pemuda desa yang tergabung dalam PAGER Desa (Pasukan Gerilyawan Desa). Adapun peranan penduduk desa Banjar Harjo dalam membantu tentara diantaranya:
1. Membantu pengawasan. Adapun tugas pengawasan ini dikoordinir oleh golongan pemuda yang dipimpin oleh Kasdu dan Kabul. Mereka berhasil menangkap mata- mata dan ditahan di rumah Atemo Mihardjo, Padukuhan Duwet. Kedua mata- mata tersebut bernama Arjo Bodong dan Nyamat. Tetapi kemudian jumlah tawanan tersebut bertambah menjadi lima karena ada tambahan dari wilayah Sleman. Mereka adalah Damhuri, Ali dan seorang lurah dari daerah Salam. Purwo Utomo yang dipasrahi untuk menjaga dan merawat kelima tawanan tersebut memperlakukan mereka secara baik. Purwo Utomo sendiri adalah adik dari Atemo Mihardjo. Selanjutnya karena dianggap terlalu berbahaya maka ada perintah dari pihak militer kepada Ronodimedjo untuk membunuh Aryo Bodong. Selain itu Nyamat juga berhasil memberikan informasi letak gerilyawan kepada pihak Belanda dengan cara member sinyal lewat pantulan cahaya cermin saat kapal- kapal perang Belanda lewat. Karena informasi tersebut maka terjadi penyerangan terhadap kelurahan Banjar Harjo dengan menggunakan senjata berat seperti meriam yang ditembakkan dari markasnya di Cebongan. Pedukuhan yang menjadi korban adalah Ngrajun, Ngemplak, Srandu, Salak Malang, Mbago dan Duwet. Adapun korban jiwa ada empat orang, dua penduduk Ngrajun dan dua pengungsi, selain itu kerugian berupa seekor lembu dan sebuah rumah.
2. Menyelenggarakan dapur umum. Adapun bahan makanan diperoleh dari sumbangan warga desa yang dikoordinir bapak dukuh, sumbangan tersebut berupa sayuran, beras, ketela pohon, dll.
3. Mau menjadi kurir. Minimnya sumber daya manusia yang dimiliki militer di bidang kesekretariatan menjadikan mereka sering mengutus penduduk desa untuk mengantarkan surat ke berbagai daerah.

Selain itu ada petugas tentara bidang teknik persenjataan dan bertempat di rumah Astikin yang menyulap rumahnya menjadi bengkel senjata. Ini tidak mengherankan karena ia merupakan lulusan teknik mesin. Yang ia tangani adalah senjata- senjata ringan seperti pistol atau senapan, selain itu ia hanya mampu memperbaiki senjata dengan kerusakan ringan. Ini dikarenakan minimnya perlatan yang ia miliki. Apabila ada senjata yang mengalami kerusakan berat maka ia mengirimnya ke kelurahan Banjar Sari yang lebih lengkap peralatanya selain itu di wilayah tersebut juga ada mesin bubut. Terdapat juga pos P3K di rumah Atmo Wijono di Padukuhan Demangan yang dihuni 12 orang, sehingga sangat minim peralatanya karena hanya perban yang disediakan. Akibatnya apabila ada korban dengan luka berat maka akan dikirim ke kelurahan Banjar Sari karena disana sudah ada rumah sakit St Jusuf.
Seperti dijelaskan di atas bahwa yang mendirikan MBKD Pos X-2 di Borogunung, Banjar Sari adalah Kolonel Nasution. Pada umumnya keadaan desa tersebut sudah cukup teratur dan lengkap fasilitas kesehatan, pendidikan dan administrasinya. Hal ini adalah pengaruh missionaris Katolik yang datang ke wilayah ini sejak awal abad ke- 20. Maka tidak heran apabila wilayah ini merupakan pusat konsentrasi pengungsi dari kota Yogya di wilayah Kalibawang. Dengan struktur desa yang baik mereka mampu mengurusi pengungsi, pertahanan sipil, perbekalan dan penerangan. Lurahnya yang bernama Sastrowihardjo menyerahkan pemerintah gerilya kepada cariknya karena ia sudah tua. Di wilayah ini juga terdapat pabrik senjata seperti granat gombyok, peluru, detonator, mortir dll. Perbaikan dan pembuatan dilakukan di rumah penduduk Panjang Redjo, Manguntulimin, Setjopawiro, Kromowidjojo, Kromowinangun, Djojopawiro dan Djojoukoro. Pabrik- pabrik senjata ini dikoordinir oleh Siam yang kantornya di wilayah perbukitan Ngampel dan Gebiri. Kedua wilayah ini letaknya pada waktu itu sangat dirahasiakan. Di wilayah ini juga terdapat sebuah rumah sakit yang sudah mencukupi fasilitasnya bagi orang sakit pada waktu itu. Nama rumah sakit itu adalah St Jusuf yang didirikan oleh para misionaris Kristen. Adapun yang menjadi koordinator untuk merawat korban dari berbagai daerah adalah Suster Koleta dan Pastur Zervatius dan didukung oleh sembilan dokter dan beberapa perawat, yang diantaranya adalah dokter Hutagalung dan Dokter Kusen. Pernah terjadi saat rumah sakit tersebut kehabisan obat- obatan, maka para pegawai rumah sakit tersebut pergi ke Kota Yogyakarta untuk mengambil persedian obat di rumah sakit kota. Walaupun tindakan tersebut tidak mendapat persetujuan dari berbagai pihak, khususnya pihak militer karena dianggap terlalu berbahaya.
Di Desa Banjar Sari juga dijadikan tempat persembunyian para pejabat Negara. Diantaranya adalah Jaksa Agung Tirtawinata dan Komisaris Besar Polisi Sosrodanukusumo. Di tempat tersebut mereka tetap membangun pos- pos pemerintahan agar kegiatan pemerintahan tidak lumpuh. Mereka tinggal di depan di depan rumah keluarga Pawirosuwarno. Banyaknya pejabat penting di wilayah desa Banjar Sari membuat penjagaan keamanan di wilayah ini sangat ketat. Selain itu mereka juga harus bertingkah laku seperti penduduk biasa agar tidak dicurigai oleh mata-mata Belanda yang disebar ke berbagai daerah.
Selain kedua desa diatas ada sebuah lagi desa yang mempunyai peran cukup penting pada masa revolusi, desa tersebut bernama Desa Banjaroyo. Ini ditandai pada tanggal 16 Desember 1948 mulai diadakan persiapan- persiapan pelaksanaan menghadapi Agresi Belanda II dibawah pimpinan letnan Wusdo. Kadet- kadet MA yang bertugas di wilayah ini mempunyai kewajiban untuk membina masyarakat dalam menjalankan perang gerilya. Wilayah ini juga didatangi oleh sekitar 5000 pengungsi dari berbagai daerah khususnya dari wilayah Kota Yogyakarta.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa wilayah pedesaan di Kecamatan Kalibawang, khususnya desa Banjar Harjo, Desa Banjar Asri, dan Desa Banjaroyo mempunyai peran besar dalam menjaga kestabilan republik Indonesia dalam usaha mempertahankan dan memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia. Seharusnya ada bentuk apresiasi nyata dari pemerintah pusat atau paling tidak pemerintah daerah DIY untuk kemajuan wilayah Kecamatan Kalibawang. Seiring dengan diperolehnya kemerdekaan penuh pada tahun 1950 maka wilayah pedesaan- pedesaan di Kecamatan seakan dilupakan jasa- jasanya oleh berbagai pihak yang pada waktu itu dibantu oleh warga. Ini dilihat bagaimana sekarang ini Kota Jakarta atau bahkan Kota Yogyakarta yang dipenuhi oleh berbagai jalan beraspal juga berbagai macam monumen perjuangan dan nasionalnya yang diiringi oleh derunya suara kendaraan bermotor. Selain itu dengan segala bintang penghargaan yang diberikan kepada pihak militer karena jasa perjuangan mereka mempertahankan kemerdekaan tidak diimbangi dengan pemberian penghargaan bagi penduduk sipil ataupun pihak yang berjasa pada masa itu. Sebaliknya wilayah Kalibawang sekarang ini masih terlihat lengang seperti tidak pernah terjadi apa- apa disana, atau tidak mempunyai peran apa- apa dalam pembentukan Republik Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
A. H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 10: Perang Gerilya Semesta II, Bandung: Angkasa, 1976.
Dharmono Hardjowidjono, dkk, Replika Sejarah Perjuangan Rakyat Yogyakarta: Buku Kedua, Yogyakarta: Proyek Pemeliharaan Tempat Bersejarah Perjuangan Bangsa di DIY, 1984.
P.J. Suwarno, Hamengkubuwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942- 1974: Sebuah Tinjauan Historis, Yogyakarta: Kanisius, 1994.
---------, “Pemerintah Daerah 1945-1950: Khususnya DIY” dalam Sejarah Lokal, Jakarta: DepDikBud, 1995.
Reid, Anthony, Revolusi Nasional Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.
R. G. Soedarsono, dkk. Peranan Pelajar Dalam Perang Kemerdekaan, Pusat Sejarah dan Tradisi Angkatan Bersenjata RI: Jakarta, 1985.
Suhartinah, “ Kehidupan Persuratkabaran di Yogyakarta Masa Revolusi Fisik: Sebuah Studi Awal” dalam Sejarah Lokal, Jakarta: DepDikBud, 1995.
Suratmini, “ Peranan Pers Pada Masa Revolusi Fisik di Yogyakarta Tahun 1945-1949” dalam Sejarah Lokal, Jakarta: DepDikBud, 1995.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar