Keterlibatan Ulama di DIY pada Masa Perang
Kemerdekaan Periode 1945-1949
Oleh :
Tashadi, Darto Harnoko, Nurdiyanto
Tashadi, Darto Harnoko, Nurdiyanto
Kondisi Tanggal
17 Agustus 1945 Pada Awal Proklamasi di Yogyakarta
Pada tanggal
17 agustus 1945 pukul 12.00 waktu Tokyo atau pukul 10.30 waktu Jawa atas nama
bangsa Indonesia teks proklamasi dibacakan oleh Ir. Soekarno dengan didampingi
oleh Drs. Moh Hatta. Dengan pembacaan teks proklamasi itu tercapailah Indonesia
merdeka. Hal ini tidak ada sangkut pautnya dengan janji janji Jepang yang akan
memberikan hadiah kemerdekaan.
Peristiwa
itu menyebabkan pemerintah Jepang segera membendung berita tersebut, agar tidak
sampai meluas. Usaha dilakukan secepat-cepatnya dengan cara menjaga kantor
pusat Radio di Merdeka Barat nomor 4 dan 5 Jakarta. Dengan maksud agar tidak
direbut oleh pemuda Indonesia. Namun tidak berapa lama muncul sekelompok pemuda
dan mahasiswa dari Asrama Prapatan 10 yang dipelopori oleh Chairul Saleh
dengan maksud untuk merebut gedung siaran radio tersebut, dengan tanpa
persetujuan pemerintah Jepang. Hal ini dengan maksud agar berita proklamasi tersebut segera dapat disiarkan
ke penjuru tanah air.
Bersamaan
dengan itu, para petugas kantor berita DOMEI pusat Jakarta juga berusaha agar
berita proklamasi itu dapat disiarkan melalui “Morsecast Domei”. Berkat
kerjasama yang baik antara pemuda dengan para petugas yang ada di Kantor
Berita, sehingga berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia tersebar
keseluruh penjuru negeri bahkan luar negeri.
Bagi
masyarakat Yogyakarta pada umumnya, berita tidak dapat secara langsung diterima
secara bersamaan. Tidak hanya melalui kantor berita Domei saja cara penyebaran
berita tersebut melainkan melalui mulut ke mulut. Kebetulan peristiwa tersebut
pada hari Jum’at sehingga berita proklamasi berhasil disampaikan kepada umat Islam
yang baru selesai menjalankan shalat jumat di Masjid Besar Kauman maupun Masjid
Pakualam.
Demikian
dengan masyarakat yang berada di daerah Bantul dan Wates Kulon Progo. Mereka
mendengar berita proklamasi kemerdekaan tersebut melalui siaran radio tanggal
17 agustus 1045 malam. Sedangkan di Wonosari Gunungkidul berita itu baru dapat
didengar pada keesokan harinya.
Setelah
tersiar kabar proklamsi tersebut maka militer Jepang memerintahkan atas Komando
Tentara Serikat untuk menutup pemancar Hoso Kyoku Yogyakarta. Tindakan Jepang
itu didasarkan atas angapan bahwa dirinya masih bertangungjawab terhadap Sekutu
untuk merintangi bangsa Indonesia dalam menyempurnakan kemerdekaannya. Akibat
dari dihentikannya siaran radio dari Hoso Kyoku itu masyarakat menjadi buta
berita dan yang cukup menggelisahkan bangsa Indonesia adalah tidak diketahui
apa yang harus dilakukan setelah Indonesia diproklamasikan sebagai Negara
merdeka sejak tanggal 17 agustus 1945.
Namun
demikian berita proklamasi itu menjadi hangat dan meluas setelah bersama-sama
Undang-Undang Dasar yang ditetapkan pada tanggal 18 agustus 1945 dimuat dalam
surat kabar harian “Sinar Matahari” yang terbit pada tanggal 19 agustus 1945.
Dengan dimuatnya berita tersebut, maka bagi masyarakat luas menjadi jelas bahwa
Kemerdekaan Indonesia benar-benar diproklamasikan. Oleh sebab itu rakyat di
Yogyakarta tidak merasa ragu untuk berjuang, membela dan mempertahankan
kemerdekaan Indonesia.
Menurut Sri
Sultan Hamengku Buwono IX bahwa proklamasi kemerdekaan itu merupakan peristiwa
yang membuka jalan untuk melepaskan diri dari penderitaan batin sekaligus
menempuh jalan bebas guna menentukan jalan nasib sendiri dikemudian hari.
Begitu mendengar berita Sri Sultan segera memanggil Sri Paduka Alam VIII dan
KRT Honggowonso, seorang staf senior di kepatiahan.
Kedua
penguasa Yogyakarta mendukung dan memberi selamat atas kemerdekaan dan terpilih
menjadi presiden dan wakil presiden kepada Ir. Soekarno dan Moh. Hatta di
Jakarta melalui telegram.
Selanjutnya
Sultan mengundang seluruh pimpinan kelompok pemuda di bangsal kepatihan guna
menyambut jaman baru yakni Indonesia merdeka. Mereka hadir mewakili golongan
agama, golongan nasionalis, kelompok kepaduan dan golongan keturunan cina yang
keseluruhannya mencapai 100 orang. Dalam pertemuan tersebut Sultan berpidato
dan memberi petunjuk mengenai arti sebuah kemerdekkan bagi suatu bangsa. Yang
isinya Sultan meminta para pemuda untuk menjaga keamanan rakyat dan jangan
sampai terjadi kerusuhan.
Ditempat
lain, Yogyakarta Kooti Hookookai mengadakan siding istimewa untuk menyambut
kemerdekaan Indonesia. Sidang yang bertempat di gedung Sana Budaya itu
mengambil beberapa keputusan, yaitu:
- Melahirkan rasa gembira damn syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas lahirnya Negara Republik Indonesia
- Menyatakan dengan keyakinan seteguh-teguhnnya kepada Indonesia akan mengikuti dan tunduk tiap-tiap langkah dan perintahnya
- Mohon kepada Illahi agar Negara Indonesia berdiri kokoh teguh dan abadi
Sri Sultan
Hamengku Buwono IX mengeluarka amanat 5 September 1945. Secara tegas dinyatakan
bahwa daerah Kesultanan Yogyakarta adalah bagian dari Republik Indonesia dengan
kedudukan Daerah Istimewa. Adapun isi amanat itu secara keseluruhan memuat tiga
peryataan, yaitu :
AMANAT
Sri Paduka
Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan
Kami
Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat menyatakan :
- Bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Negara Repblik Indonesia
- Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat melalui surat ini berada di tangan kami dan kekuasaan kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya
- Bahwa perhubungan antara Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Reublik Indonesia, bersifat langsung dan kami bertanggung jawab atas negeri kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia
Ngayogyakarta
Hadiningrat
28 Puasa Ehe
1876
Atau
5-9-1945
Hamengku
Buwono IX
Pada saat
hampir bersamaan, yaitu hari dan tanggal yang sama Sri Paku Alam VIII juga
mengeluarkan amanat serupa, isi dan kata-katanya persis sama untuk Praja
Pakualam.
Kemudian
Presiden mengutus menteri Negara untuk datang ke Yogyakarta menyampaikan piagam
“Piagam Kedudukan Sri Sultan” dari Presiden Republik Indonesia. Adapun isinya
sebagai berikut :
Kami,
Presiden Republik Indonesia, menetapkan :
Ingkang
Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalogo, Abdurachman
sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang Kaping IX ing Ngayogyakarta Hadiningrat
pada kedudukannya, dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kanjeng Sultan
akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa, dan raga untuk keselamatan
Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai bagian dari pada Republik Indonesia.
Jakarta, 19
Agustus 1945
Presiden
Republik Indonesia
Ttd
Ir. Soekarno
Begitu pula
Presiden Republik Indonesia juga menetapkan “ Piagam Kedudukan untuk Sri Paduka
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VII”.
Piagam
tersebut berisi pengakuan pemerintahan kepada Kasultanan Yogyakarta dan Pura
Pakualam sebagai bagian dari Republik Indonesia. Sekaligus memperkuat kedudukan
Sultan dan Paku alam dalam memimpin Yogyakarta.
Perjuangan Para
Rohaniawan di Yogyakarta
Pada awal
tahun 1945 suasana kota Jogjakarta diliputi oleh nyalanya api revolusi rakyat
yang bertekad untuk menurunkan bendera jepang Hinomaru di gedung pemerintahan Jepang
diganti dengan bendera Merah Putih. Dari jaman dahulu para kaum ulama di Jogjakarta
sudah gigih berjuang melawan penjajah terlebih sebelum proklamasi kemerdekaan
RI. Dari kisah pertempuran Kota Baru 7 otober 1945, keterlibatan para ulama Islam
yang tergabung dalam BKR, BPU, dan Polisi Istimewa, tidak bisa dipungkiri dalam
sejarah. Mereka banyak tercatat sebagai syuhada yang gugur dalam medan perang.
Maklumat
kedua Sri Paduka (sultan Hamengku Buwana IX dan Paku Alam VIII) yang
memerintahkan kepada para pejuang yang telah bergabung dalam menghadapi setiap
usaha pendudukan kembali wilayah Yogyakarta. Seruan dari kedua penguasa
Yogyakarta tersebut ternyata mendapat sambutan positif dari kalangan pejuang
umat Islam. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai wadah perjuangan yang
lahir di tiap tiap kampung dan masjid, yang terdiri dari mereka yang dulunya
aktif dalam badan badan pendidikan militer Jepang (Keibodan, Seinendan, Heiho,
PETA, Hisbullah), misalnya barisan pemuda Kauman, Prawirotaman, Suronatan,
Pakualaman dan sebagainya. Wadah perjuangan ini dipelopori oleh para mantan
Daidaco, PETA yang telah dibubarkan dan dilucuti persenjataannya oleh Jepang.
Dalam usaha
mendukung keberhasilan perebutan senjata di Kota Baru, penting untuk
dipersiapkan adalah masalah pengerahan masa. Mengingat lawan yang akan dihadapi
merupakan tentara inti Jepang. Kekuatan massa rakyat merupakan modal yang besar
artinya bagi mengusir penjajah Jepang serta memaksa mereka untuk menyerahkan
kekuasaannya.
Dalam rangka
membantu tugas mengerahkan massa, Faridan Noto dibantu oleh Oemar Slamet
(tentara PETA). Hanya saja Oemar Slamet diberi tugas untuk menghubungi pihak
pemerintah desa yang ada di sekitar Kota Baru untuk membantu memberikan menjelasan
kepada rakyatnya. Serta membantu persiapan sarana dan prasarana yang
dibutuhkan. Mangkoediningrat sebagai pamong praja Danuredjan, mengisahkan bahwa
dia diberi tugas oleh Oemar Slamet untuk mengerahkan rakyat Danuredjan dengan
membawa persenjataan apa adanya. Dia juga diminta meminjam truk yang ada di
pabrik paku Klitren untuk mengangkut masa pemuda yang ada di Kotagede dan
Umbulharjo.
Islam
memerintahkan kepada umatnya untuk berjuang di jalan Allah (jihat fi
sabilillah) tidak hanya mengorbankan jiwa, tetapi juga tidak kalah pentingnya
adalah berjuang dengan harta. Karena umat Islam disamping dituntut untuk
mengabdi kepada Allah dengan beribadah kepadaNya juga dituntut untuk memenuhi
kebutuhannya sebagai manusia yang hidup didunia dengan jalan berusaha agar
kebuthannya tercukupi.
Peristiwa
pertempuran Kotabaru yang terjadi pada tanggal 7 oktober 1945 tidak hanya
menggerakan kaum laki-laki untuk berjuang melawan tentara Jepang di Kotabaru,
tetapi juga tidak ketinggalan dengan dari peran para wanita. Para wanita yang
juga istri dari pejuang dengan dibantu oleh para pemudinya tersebut bertugas
berjaga dibelakang guna menyediakan dan menyiapkan bahan makanan yang diberikan
kepada para pejuang. Para wanita yang bertugas dalam dapur uu tersebut, banyak
diambil dari wanita-wanita dan para pemudi yang aktif di kelompok-kelompok
pengajian serta aktif dalam organisasi Persatuan Wanita Indonesia.
Demikian
perang di Kotabaru dilatarbelakangi oleh sebuah keinginan rakyat Yogyakarta
untuk segera mengusir pemerintah pendudukan Jepang di Yogyakarta. Para pejuang
Islam banyak berperan di dalamnya dengan ikhlas mengorbankan jiwa dan raganya
demi semangat jihad fi sabilillah dan didorang jiwa patriotisme yang tinggi
terhadap tanah air tercintanya.
Melalui
BPKNIP direncanakan bahwa penyerangan akan dimulai tepat pada pukul 03.00
dinihari, dan sebagai tanda dimulinya penyerbuan adalah apabila sudah ada bunyi
granat dan pemadaman listrik di lingkunagn markas Kido Butai Kotabaru. Begitu
pula melalui BKR telah diatur penempatan pasukan masing-masing arah sekitar
markas Jepang serta beberapa orang yang bertugas sebagai memadamkan listrik.
Pertempuran fisik antara para pejuang Yogyakarta dengan pihak Jepang akhirnya
tidak bisa dikendalikan lagi.
Keberhasilan
para pejuang Yogyakarta merebut merebut senjata Jepang dalam pertempuran
Kotabaru, disamping menambah kekuatan persenjataan bagi para pejuang dalam
mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dari usaha penjajahan kembali
bangsa asing, keberhasilan pertempuran ini juga menambah semangat berjuang bagi
pejuang untuk terus melakukan aksi-aksi pelucutan senjata pemerintah militer
Jepang yang ada di Yogyakarta maupun yang ada di sekitar Yogyakarta.
Usulan pihak
BPKNI Yogyakarta akhirnya diterima pihak BPKNIP dengan memilih Yogyakarta
sebagai wilayah yang di anggap memiliki kekuatan dalam menghadapi kemungkinan
serangan pihak Belanda. Mengingat para pejuang Yogyakarta telah menunjukan
keberhasilannya dalam perjuangan kenerdekaan RI. Pemindahan pusat pmerintahan
Republik Indonesia ke Jogyakarta ini dilakukan pada tanggal 4 Januari 1946.
Perlawanan
oleh hampir seluruh lapisan rakyat Yogyakarta periode 1945-1949 yang berhasil
secara gemilang menghadapi tentara Belanda dapat dikatakan sebagai suatu
gerakan revolusi. Dalam peristiwa ini, rakyat yogyakarta dan sekitarnya (DIY)
secara bersama-sama melawan tentara Belanda dan kenyataanya melibatkan seluruh
lapisan masyarakat. Fenomena yang muncul pada saat itu menjadi bagian dari api
semangat yang berkobar-kobar dalam perjuangan Kemerdekaan Republik indonesia.
Banyak kisah
yang belum terungkap tentang revolusi di tingkat lokal khususnya tentang
keterlibatan ulama di DIY pada periode 1945-1949. Konon kabarnya kaum ulama di
DIY, memiliki peran penting dalam revolusi rakyat itu siapa mereka, kaum ulama
itu. Dalam kajian ini pengertian ulama dimaksudkan tidak terkait pada agama
tertentu tapi berbagai tokoh agama yang mamiliki otoritas karismatik dan
mempunyai pengaruh yang kuat di lingkungan masyarakat. Mereka mampu menggerakan
masyarakat untuk kepentingan tertentu merupakan didalamnya gerakan-gerakan
politik melawan penjajah. Para ulama itu bahkan ada kalanya memimpin secara
langsung di medan perang. Namun kadang-kadang juga dimintai nasihat-nasihat
yang dapat menambah keyakinan para pejuang dalam bertempur. Sebagai contoh KH.
Turmudhi dari pesantren Beguron Demak meminpin langsung 20 orang santri di
medan pertempuran di Semarang timur melawan tentara jepang sambil memberi
komando maju dengan teriakan Takbir “Allahu Akbar” dengan semangat kepahlawanan
itu akhirnya KH. Turmudhi gugur di medan perang.
Periode
1945-1949, dikenal sebagai masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Kondisi
dan aktivitas ulama di Yogyakarta dan sekitarnya pada periode 1945-1949 yang
aktif dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan antara lain ulama Islam,
Katholik, Kristen yang ditampakkan dalam wadah-wadah tempat ibadah baik itu
pondok pesantren bagi ulama Islam maupun di gereja bagi pendeta
Kristen-Katolik. Kondisi dan aktivitas para pemimpin ulama baik Islam maupun
Kristen-Katolik yaitu memberi siraman rohani bagi pemeluk agamanya serta
memberikan pegangan hidup bagi pemeluknya berkaitan dengan perjuangan
mempertahankan kemerdekaan serta membentuk kader-kader pejuang yang dengan
tulus hati sanggup mengusir dan menyirnakan berbagai macam kedzaliman kaum
kolonial.
Seruan kedua
penguasa Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu Sri Sultan Hemengku Buwono IX dan Sri
Paku Alam VIII untuk mempertahankan kemerdekaan mendapat sambutan positif dari
kalangan ulama Islam, rokhaniawan Katholik dan Kristen, serta masyarakat.
Kedudukan
nilai-nilai ajaran Islam dalam diri kyai sudah menjadi bagian dari hidupnya
untuk beramal semaksimal mungkin guna kemaslahatan umat, serta bernahi munkar
melawan kedzaliman dan penjajahan. Perasaan nasionalisme para kyai diperkuat
oleh ajaran Islam itu sendiri sehingga mereka berjuang dan berkorban
semata-mata melaksanakan perintah Allah SWT. Dengan demikian Islam juga telah
memainkan peranan penting dalam pembentukan jiwa dan semangat nasionalisme kyai
dengan mengembangkan ajarannya itu.
Islam
sebagai ideologi, nilai, atau ajaran yang selalu ditanamkan oleh para kyai
kepada masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya umumnya yaitu sebagai berikut:
1. Adanya ideologi perang sabilillah
seperti yang tertera dalam Al Qur’an. Hal tersebut mengajarkan tentang
perlawanan terhadap kedzaliman yang berupaya menghancurkan Islam dan pejuang
yang meninggal dalam perlawanan tersebut berarti mati syahid.
2. Adanya doktrin Amar Ma’ruf Nahi
Munkar. Ajaran ini mengajak kepada kebaikan dan melarang berbuat kemunkaran,
hal tersebut membangkitkan kesadaran rakyat yang telah lama terjajah bergegas
melawannya.
3. Kebolehan berperang melawan penjajah
sebagaimana firman Allah SWT yang memperbolehkan umat Islam memerangi penjajah.
4. Adanya ajaran Islam “Cinta Tanah Air
adalah sebagian dari iman”, hal tersebut besar artinya dalam membangkitkan rasa
patriotisme bagi seluruh rakyat Indonesia dan rela berkorban dan berjuang jiwa
raga demi
Selain
itu semua, adanya lafadz Takmir Perjuangan dalam Islam seperti lafadz Takbir
“Allahu Akbar” yang juga mampu membakar semangat rakyat dalam perjuangannya
mengusir penjajah. Didorong oleh ajaran-ajaran tersebut, rakyat mepunyai bekal dari
seorang Kyai untuk maju dalam medan perang tidak takut mati karena kematiannya
dalam perang melawan penjajah diyakini mati syahid.
Seperti
diketahui bahwa sasaran-sasaran utama kolonial Belanda waktu itu adalah umat Islam,
maka dalam menghadapi pendudukan Belanda di Yogyakarta para tokoh
keagamaan memusatkannya di sekitar pesantren-pesantren. Hal ini disebabkan
karena kekuatan umat Islam yang demikian besar dikoordinir oleh kyai akan lebih
mudah dilakukan dalam mengumpulkan massa maupun untuk menggerakkannya. Faktor
tersebut merupakan keistimewaan yang terdapat pada diri masing-masing kyai,
betapa kuat kepribadiannya sebagai seorang pemimpin yang sangat berpengaruh di
pesantren maupun dalam urusan-urusan sosial kemasyarakatan lainnya. Seperti
terbukti ketika ikut terlibat dalam menggerakkan rakyat pada perang kemerdekaan
di Yogyakarta.
Andil kyai
dalam perjuangan revolusi di Yogyakarta dan sekitarnya adakalanya memimpin
secara langsung dalam pertempuran maupun juga hanya diminta do’a-do’a dan
nasehatnya sebelum memasuki pertempuran.
Di daerah
Gunungkidul pada awal proklamasi Sri Sultan Hengku Buwono IX mengirimkan utusan
ke Gunungkidul. Utusan tersebut membawa titah agar dilakukan pendaftaran
terhadap para kyai. Isi titah tersebut antara lain untuk kyai agar
berjuang dengan kebatinan dan menjadi tameng para pejuang RI. Titah tersebut
disambut positif oleh para kyai. Hal ini terlihat ketika para kyai yang
berkumpul di kantor kabupaten dan secara spontan mendukung penuh titah Sri
Sultan.
Bagi ulama
Kristiani, pada awal proklamasi umumnya kehidupan gereja mendukung kemerdekaan
dengan ditandai berkibarnya bendera Merah Putih dalam khotbah-khotbah di Gereja
Kotabaru. Para pastor memberikan khotbah yang intinya menunjukkan bahwa
kecintaan mereka kepada bangsa dan tanah air. Bahkan gedung Seminari yang
semula dipakai sebagai kantir pemerintah Jepang, pada awal kemerdekaan
diserahkan kepada pemerintah RI dan ketika pusat pemerintahan RI dipindah ke
Yogyakarta tahun 1946 komplek gedung itu menjadi kantor Departemen Penerangan
dan Pertahanan. Pada periode 1945-1949, gereja-gereja Katholik di Yogyakarta
banyak membantu para pejuang bukan hanya dengan do’a-do’a namun juga bahan
makanan seperti ikan kering, gula, dan pakaian.
Begitu juga
bagi Gereja Pugeran yang merupakan gereja tua dari tahun 1934, pada masa
revolusi phisik mempunyai andil membantu para pejuang melalui usaha-usaha
sosial dan menyelamatkan masyarakat yang rumahnya terkena bumi hangus Kompeni.
Gereja ini juga pernah dipakai sebagai tempat penghubung rahasia antar para
gerilyawan Perang Kemerdekaan RI yang bergerak di dalam dan luar Yogyakarta.
Selanjutnya
kehidupan dan aktivitas gereja Kristen beserta umatnya periode 1945-1949 juga
memberikan andil yang cukup berarti bagi perjuangan bangsa. Gereja-gereja
Kristen beserta umatnya pada periode tersebut mulai bangkit kembali untuk
membenahi dirinya termasuk juga Jemaat Kristen Jawa Sawo Kembar Gondosuman.
Usaha-usaha untuk mengembangkan pemberitaan injil mulai digiatkan kembali.
Bahkan ditengah-tengah gejolak revolusi gereja Kristen Jawa Sawo Kembar ini
tetap melaksanakan tugas kewajibannya dalam bidang pembinaan kehidupan rohani.
Pendeta
gereja Kristen di Sawo Kembar pada awal proklamasi yaitu Darmoatmodjo dan
Wiyoto Harjotaruno. Dalam khotbahnya kedua pendeta tersebut mensosialisasikan
pentingnya kemerdekaan bangsa Indonesia. Isi khotbah yang dikaitkan dengan
proklamasi selalu dikaitkan pula pada injil yaitu “hormatilah segala kekuasaan
pemberin Tuhan”. Orang beriman harus percaya bahwa kekuasaan yang ada sekarang
adalah pemberian Tuhan. Pada kegiatan sosialisasinya,Pendeta Wiyoto Harjotaruno
mensosialisasikannya dengan penuh semangat terjun ke kampung-kampung.
Untu periode
erikutnya nampak keterlibatan ulama semakin besar peranannya dalam usaha
mempetahankan kemerdekaan. Hal ini terlihat dari terbentuknya Asykar Perang
Sabil dan Badan Perjuangan Markas Ulama Asyar Perang Sabil (MUAPS) yang
pembentukannya pada tanggal 23 juli 1947.
Pada masa
agresi militer Belanda II, di mana seluruh kota Yogyakarta sudah dikuasai,
perjuangan TNI bersama rakyat yang tergabung dalam APS saling bekerja sama.
Sejak adanya pengumumuman pemerintah tentang situasi Yogyakarta dan tindak
lanjut yang harus diakukan oleh seluruh pasukan, maka imam MUAPS mulai
memerintahkan kepada pengikutnya untuk bergabung dengan pasukan TNI.
Konflik TNI
dengan bangsa belanda maupun antara TNI dengan PKI menyadarkan ulama Islam yang
tergabung dalam badan perjuangan MUAPS untuk menyusun kekuatan guna membantu
TNI dalam menghadapi musuh tersebut.
Saat Agresi
Belanda I
Situasi
menjelang pertengahan tahun 1947 ternyata semakin menjurus kepada sikap dan
tuntutan ultimatum dari pihak Belanda kepada pemerintahan RI tertanggal 27 Mei
1947. Ultimatum itu berisi tentang pemerintahan bersama, uang bersama,
impor-ekspor bersama, devisa bersama. Pada prinsipnya semua partai politik
menolak ultimatum tersebut, namun perdana Menteri Syahrir dengan terpaksa
menyanggupi ultimatum tersebut.
Pada tanggal
21 July 1947 Belanda melancarkan agresi kolonialnya di Indonesia, spontan
mendapat sambutan dari pemerintah RI melalui jalur militer untuk berjuang
melawan tindakan Belanda. Mendengar pesan tersebut para anggota APS merasa
terpanggil untuk turut serta berjuang melawan Belanda.
Dalam jangka
waktu singkat, MUAPS segera mengirimkan pasukan bersenjata Laskar Perang Sabil
ke front pertempuran. Markas APS yang pada waktu itu berada di Tegal Layang
juga mengirimkan satu pasukannya, yang berhasil bergabung dengan kekuatan
lainnya melawan Belanda. Pada tanggal 31 July 1947 diputuskan bahwa pasukan
bersenjata APS ditempatkan di daerah Grabag sebelah timur kecamatan Pingit. Tentara
resmi dan pasukan bersenjata APS bekerja sama mengadakan pertahanan di
pegunungan Ngrancak Ambarawa ke timur sampai desa Tirto.
Setelah
badan perjuangan MUAPS dan pasukan bersenjata APS berdiri secara resmi, maka
ulama yang berperan sebagai imam dalam struktur organisasi MUAPS mulai menyusun
kekuatan dengan melatih anggotanya di halaman Masjid besar dan di Alun-alun
Utara Yogyakarta. Setelah satu minggu baik latihan militer maupun latihan
mental berlangsung, MUAPS mulai mengirimkan pasukan bersenjata APS ke front
pertempuran. MUAPS mengirimkan satu kompi pasukan bersenjata APS ke daerah
Mranggen dengan komandan kompi KH. Juraimi dengan didampingi KH. Hadjid sebagai
imam. Adapun satu kompi pasukan bersenjata APS cabang sleman dibawah komandan
kompi Badri didampingi KH. Abdurrahman sebagai imam ikut berpartisipasi melawan
Belanda. Setelah sampai di Mranggen pasukan bersenjata APS mengadakan pembagian
tugas: pasukan bersenjata APS yang ada dibawah komandan KH. Juraimi mengadakan
pertahanan di daerah Mranggen sebelah timur, sedangkan pasukan bersenjata APS
yang ada dibawah komandan Badri mendapat tugas untuk mengadakan pertahanan di
daerah Mranggen sebelah selatan.
Daerah
pertahanan yang telah dibentuk oleh pasukan bersenjata APS ternyata diketahui
Belanda. Oleh karena itu, Belanda melancarkan serangan ke daerah pertahanan
pasukan bersenjata APS. Serangan ini berlangsung selama beberapa hari karena
pasukan APS sangat kuat dalam menghadapi serangan Belanda. Bahkan pada
hari-hari ketika pertempuran semakin memuncak, MUAPS menambah kekuatan dengan
mengirimkan satu kompi pasukan bersenjata APS dibawah komandan M.Bachron Edrees
yang didampingi K.Abdurrahman dan K.Amin untuk membantu pasukan bersenjata APS
dalam menghadapi serangan Belanda. Pertahanan pasukan bersenjata APS di daerah Mrangen
ini berakhir hingga awal Bulan Desember 1948.
Saat
Menghadapi PKI Madiun tahun 1948
Situasi
politik setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia diwarnai dengan
pertentangan antara perjuangan bersenjata dan diplomasi. Hal ini disebabkan
strategi yang digariskan para pemimpinnya selalu memperhitungkan faktor
internal yaitu interaksi golongan-golongan pada satu pihak, dan faktor
eksternal yaitu konstelasi internasional yang tersusun oleh hubungan antar
nasion-nasion.
Perjanjian
Renville yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 oleh Amir Syarifuddin
mengakibatkan krisis kabinet-kabinet dengan ditariknya wakil-wakil Masyumi dari
kabinet Amir Syarifuddin dan diikuti oleh PNI yang menuntut dibubarkannya
kabinet Amir Syarifuddin. Perpecahan antar golongan kanan dan golongan kiri
semakin memuncak setelah dibubarkannya kabinet Amir Syarifuddin dan dibentuknya
kabinet Hatta yang tidak mengikutkan golongan kiri. Oleh karena itu, Amir
Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada tanggal 26 Februari
1948 di Surakarta yang anggotanya terdiri atas partai-partai seperti PKI,
Partai Sosialis, Partai Buruh Indonesia dengan tujuan untuk menyusun kekuatan
menentang Kabinet Hatta.
Pertentangan
antara FDR dengan golongan kanan semakin memuncak dan diwujudkan dalam
pertentangan fisik di Surakarta dan mencapai puncak dalam pertentangan fisik di
Madiun. Tindakan ini dilakukan untuk mencapai cita-cita FDR untuk menggulingkan
kekuasaan pemerintah Republik Indonesia, walaupun dengan segala cara. Puncak
dari kekerasan yang dilakukan FDR baik terhadap pemerintah sipil maupun
terhadap pemerintah militer Indonesia mendapat perlawanan yang keras pula dari
TNI dan masyarakat pada umumnya serta pasukan bersenjata APS pada umumnya.
Pada bulan
september 1948 pasukan bersenjata APS yang dikirim ke front menghadapi gerakan
PKI berjumlah satu batalyon dibawah pimpinan Bachron Edrees. Dalam menghadapi
gerakan PKI di daerah Grobogan, Pati, dan Kudus pasukan bersenjata APS
bergabung dengan batalyon Kemal Idris dan batalyon Kusno Utomo dari TNI.
Adapun 32 pasukan bersenjata APS yang ada dibawah pimpinan M. Djihaur Suhaimi
dan diikuti imam APS K.Dihar dan K.Dimyati diberangkatkan dari Kulonprogo menuju
Ponorogo. Pada waktu mempertahankan pondok pesantren Ponorogo, seluruh pasukan
APS berhasil menyelamatkan diri dan selanjutnya melanjutkan perjalanannya
hingga di daerah Gorang Gareng. Di Gorang Gareng pasukan ini menggabungkan diri
dengan pasukan bersenjata APS dibawah pimpinan Ir. Sofyan yang telah dikirimkan
MUAPS untuk menambah kekuatan. Selanjutnya pasukan bersenjata APS didalam
melawan serangan PKI menggabungkan diri dengan TNI Batalyon Darsono.
Pada bulan
November pasukan bersenjata APS kembali ke Yogyakarta. Pembasmian pemberontakan
PKI Madiun belum tuntas, namun diperkirakan dalam waktu dekat akan dapat
terselesaikan, paling tidak PKI saat itu sudah terdesak hebat dan tidak dapat
melakukan perebutan kekuasaan. Peranan yang cukup menentukan dilakukan oleh
pasukan bersenjata APS turut andil dalam penumpasan PKI Madiun, itu
direalisasikan dengan pengiriman beberapa anggota pasukan ke dalam berbagai
kegiatan penumpasan PKI Madiun.
Kabupaten
Bantul yang merupakan daerah pelarian orang-orang PKI Madiun tidak terhindar
pula dari pertempuran dengan pasukan APS. Menurut rencana yang disusun PKI,
Bantul adalah sasaran yang akan diserbu pada tanggal 26 September 1948. Namun
rencana tersebut dapat terbongkar dan para tokoh-tokoh penting PKI segera
ditangkap oleh pemerintah.
Tindakan
yang diambil oleh pasukan APS mendapat sambutan positif dari masyarakat, yang
mayoritasnya beragama Islam. Doktrin-doktrin komunis yang pada dasarnya anti
agama, sangat bertentangan dengan apa yang selama ini mereka anut dan
laksanakan. Berkat dukungan masyarakat terhadap pasukan APS maka antek-antek
PKI berikut ajarannya dapat ditumpas.
Saat Agresi
Belanda ke II
Setelah
pemberontakan PKI Madiun berhasil ditumpas, Belanda melancarkan serangannya
yang kedua dalaam usahanya untuk mengambil alih kembali kekuasaannya di
Indonesia. Hal ini disebabkan persetujuan Linggarjati dan persetujuan Renville
yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dan pihak Belanda tidak dapat
berjalan baik, bahkan mengakibatkan konflik berkepanjangan bagi kedua belah
pihak. Pihak Belanda selalu mengingkari hasil konsensus dari persetujuan itu
dan puncak dari sikap Belanda terjadi pada tanggal 18 Desember 1948
ketika pihak Belanda melalu Dr.Beel menyatakan kepada delegasi Republik
Indonesia dan Komisi Tiga Negara (KTN) bahwa Belanda tidak lagi mengakui dan
terikat pada persetujuan Renville yang telah ditandatanganinya.
Pada tanggal
19 Desember 1948 Belanda melancarkan aksinya yang ditujukan ke Ibukota
Yogyakarta melalui pasukan lintas udara. Dengan serangan ini Belanda
berhasil menduduki lapangan udara Maguwo dan selanjutnya bergerak dari tempat
itu menuju kota Yogyakarta. Pada akhirnya, Belanda berhasil menguasai kota
Yogyakarta dan berhasil menawan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta,
serta pemimpin Indonesia lainnya.
Melihat
keadaan seperti itu Ulama Yogyakarta termasuk Ulama Kristen, Katolik dan Islam
tergabung dalam MUAPS segera menyusun kekuatannya kembali untuk mengadakan
perang gerilya. Semangat untuk melawan serangan yang dilancarkan pasukan
Belanda itu didasarkan pada keyakinan bersama untuk mempertahankan kemerdekaan
Indonesia. Adanya keyakinan bersama untuk tetap mempertahankan kemerdekaan
bangsa Indonesia yang dilandasi dengan semangat keagamaan itu menyebabkan Ulama
di Daerah Istimewa Yogyakarta mampu menyusun kekuatan kembali.
Timbulnya
gerakan umat islam Yogyakarta yang tergabung dalam badan perjuangan MUAPS pada
masa Agresi Belanda II dimulai dengan adanya peristiwa serangan yang
dilancarkan bangsa Belanda di lapangan udara Maguwo. Pada tanggal 19 Desember
1948 pagi hari, pasukan Belanda secara mendadak menyerang lapangan Udara Maguwo
dengan mengirimkan pasukan lintas udara yang menggunakan pesawat terbangnya.
Ketika pasukan
Belanda telah menduduki lapangan udara Maguwo, para Ulama Yogyakarta yang
tergabung dalam MUAPS berunding di markasnya yaitu di depan Masjid Besar
Yogyakarta dan di Jalan Ngabean. Para Ulama yang merundingkan situasi dan
kondisi saat itu dan rencana yang akan dilanjutkan selanjutnya jika para Ulama
berjuang mempertahankan Indonesia adalah: KH. Mahfudz, KH. Badawi, KH. R.
Hadjid, M. Sarbini, dll. Perundingan ini menghasilkan suatu konsensus untuk
menyusun kekuatan kembali setelah kekuatan menjadi lemah karena digunakan untuk
menghadapi pemberontakan PKI dan sementara menunggu pengumuman dari pemerintah.
Pengumuman
pemerintah yang ditunggu-tunggu akhirya dikeluarkan Panglima Besar Jenderal
Sudirman sebagai pucuk pimpinan TNI. Ia mengeluarkan perintah kilat No.
1/PB/48, yang isinya memerintahkan kepada semua jajaran Angkatan Perang
Republik Indonesia agar menjalankan perang gerilya sesuai dengan rencana yang
telah dipersiapkan.
Pada tanggal
20 Desember 1948 pasukan Belanda melanjutkan aksinya sebagaimana yang terjadi
pada hari sebelumnya. Jumlah mereka yang melancarkan serangan di kota
Yogyakarta semakin banyak. Mereka melancarkan serangannya dengan menembaki dan
menghancurkan beberapa tempat yang menjadi sasarannya. Tindakan ini memancing
kemarahan rakyat dan pasukan bersenjata APS yang dalam keadaan perang berusaha
melarikan diri menghindari serangan yang dilancarkan pasukan Belanda. Dalam
waktu yang singkat pasukan bersenjata APS dapat menyusun kekuatan kembali untuk
mengadakan serangan balasan pada malam hari dengan mengadakan pertahanan di
sekitar kampung Karangkajen. Pertempuran yang dilakukan pada setiap malam hari
dalam minggu pertama setelah Belanda menduduki kota Yogyakarta ini
mengakibatkan gugurnya lima pasukan bersenjata APS.
Selain itu,
pondok pesantren Krapyak juga mempunyai peranan yang cukup besar dalam
perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pondok pesantren yang waktu
itu berada di bawah asuhan KH.Abdullah Affandi dan KH. Abd.Qodir itu
menghentikan aktifitas pesantrennya dan mengungsi untuk menggabungkan diri
dengan kesatuan Komaruddin. Para Kyai dan seluruh santri pesantren berjuang
untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Selanjutnya
bagaimana peranan Ulama kristen dan katolik dalam mempertahankan kemerdekaan
Indonesia? Hal ini nampak ketika Belanda menduduki Yogyakarta pada tanggal 19
Desember 1948. Keterlibatan rohaniawan katolik dan pendeta kristen yang banyak
membantu gerilyaawan TNI. Hal ini dapat dilihat pada Gereja katolik di Kidul
Loji dan Bintaran. Secara tak langsung, kedua gereja ini telah membantu
penduduk untuk pengungsian dan memberikan pertolongan kepada para pejuang yang
terkena tembakan dan juga menyediakan bahan makanan.
Selanjutnya,
keterlibatan umat kristen beserta Gereja Kristen Jawa pada waktu itu juga
nampak, terutama Gereja Kristen Jawa Sawo Kembar Gondokusuman. Gereja ini
mempunyai sebuah organisasi yang bernama PEL KRIMA (Pelajar Kristen Mataram),
yang berperan besar sekali dengan aktif ikut dalam pertempuran. Tak hanya itu,
pendetanya pun sangat berperan dengan memberikan siraman rohani di Gereja, dan
mengobarkan semangat dalam setiap khotbahnya.
Zaman
penjajahan Belanda, kabupaten Kulonprogo terbagi dalam dua kabupaten, yaitu
Kabupaten Adikarto dengan ibukota di Wates (termasuk wilayah Pakualaman) dan
Kabupaten Kulonprogo dengan ibukota di Sentolo (termasuk wilayah Kasultanan
Yogyakarta). Setelah lahirnya UU No. 18 tahun 1951 yang mengatur tentang
perubahan UU No.15 tahun 1950 maka kedua kebupaten tersebut di gabung menjadi
Kabupaten Kulonprogo dengan ibukota di Wates. Kabupaten Kulonprogo terletak di
35 km sebelah barat Yogyakarta. Nama Kulonprogo berarti sebelah barat sungai
Progo. Kulonprogo sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Hindia, sebelah
barat berbatasan dengan Kabupaten Purworejo, senelah utara berbatasan dengan
Kabupaten Magelang dan sebelah timur berbatasan dengan sungai Progo.
Letak
geografis kulonprogo terdiri dari dataran rendah dan berbukit-bukit. Mata
pencaharian masyarakatnya sebagai petani, di musim kemarau pertanian masih
tercukupi air dengan adanya system irigasi sehingga mampu mengairi tanah
persawahan. Berdasar letak geografis ini Kulonprogo berperan sebagai tempat
pertahanan dan daerah gerilya dengan didukung oleh masyarakatnya yang ramah dan
mempunyai rasa solidaritas yang tinggi dan gotong royong yang masih kuat.
Mereka memegang erat tradisi budaya jawa. Sikap, tingkah laku dan tata karma
pun masih asli belum tercemar oleh budaya luar. Hubungan horizontal di wujudkan
sikap dan semangat jiwa gotong royong yang mengakar dalam masyarakat. Perilaku
ramah tamah, sopan, suka menolong merupakan cirri khusus yang masih melekat
pada masyarakat Kulonprogo yang merupakan modal paling besar dalam revolusi.
Selain itu dalam
masyarakat masih lestari hubungan vertical sehingga rakyat sangat mudah di
gerakkan melalui pimpinan formalnya. Sikap hormat, loyal, dan ketaatan serta
kepatuhan rakyat terhadap pimpinan merupakan modal utama juga selain yang di
sebutkan di atas tadi. Karena dengang begitu sangat memudahkan bagi pemimpin
untuk mengkoordinasi bawahan ataupun rakyat.
Belanda
melancarkan serangan secara mendadak di Yogyakarta dan sekitarnya pada 19
Desember 1948, maka sejak itu seluruh wilayah Provinsi DIY menjadi ajang pertempuran
dan perjuangan. Tetapi Belanda selalu mengirimkan patrolinya untuk mencari
markas pasukan gerilyawan TNI. Untuk itu, ulama cabang Kulonprogo menyusun
kekuatan untuk menghadapi serangan mendadak Belanda.
MUAPS
bekerja sama dengan Komando Distrik Militer IV (KDM IV) yang wilayahnya di
seluruh Kabupaten Adikarta dan KDM V yang wilayahnya dareah kebupaten Sentolo.
MUAPS membantu mengusahakan penyediaan logistic, menjaga keamanan wilayah,
membuat rintangan dan menahan gerak maju Belanda. Salah satu taktik MUAPS
adalah dengan politik bumi hangus yang tujuannya agar bangunan-bangunan penting
tidak dapat dipergunakan untuk pos-pos pasukan Belanda.
Di daerah
Kulonprogo terdapat perusuh yang menggarong dan menggedor rumah-rumah penduduk
yang di tinggal mengungsi. Sehingga para perampok dapat mempergunakan
kesempatan mengambil barang penduduk. MUAPS berusaha menghancurkan gerombolan
perampok tersebut melalui pasukan bersenjata dari Yogyakarta, yaitu APS.
Ditengah usaha MUAPS untuk menghancurkan perampok, pasukan APS juga berusaha
menghancurkan pasukan Belanda yang masuk Kulonprogo pada 27 Desember 1948.
Perjuangan MUAPS dalam mengusir pasukan Belanda tidak berhenti sebelum Belanda
mengakui kemerdekaan negara Republik Indonesia.
Gerakan
pasukan Belanda memasuki Kulonprogo dapat di bedakan menjadi dua macam, yaitu :
- Gerakan Belanda di bagian utara melewati Jembatan Kalisudu.
- Gerakan Belanda di bagian selatan melewati Jembatan Bantar. Pada waktu Belanda mendirikan pos di Jembatan Bantar, MUAPS berusaha menghancurkan pos pertahanan tersebut.
Di
Kulonprogo selain ulama Islam, keterlibatan umat Katholik dan Kristen juga ikut
membantu gerilyawan TNI baik sebagai Palang Merah Indonesia maupun sebagai
penyedia lauk pauk. Pada masa Agresi Militer Belanda II, keadaan Yogyakarta
sampai Muntilan sangat genting. Berbagai pertempuran di sekitar daerah tersebut
banyak menelan korban jiwa, disinilah peran umat Krsitiani terlihat.
Sumber :
Tashadi,
Darto Harnoko, Nurdiyanto, 2000, “Keterlibatan Ulama di DIY pada Masa Perang
Kemerdekaan Periode 1945-1949”, Penyunting: Mohammad Iskandar, Diterbitkan oleh
: Proyek Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional, CV.
Putra Prima, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar