Kisah Soeharto Menyusun Kekuatan di Yogyakarta (The story of Soeharto Develop Strength in Yogyakarta)
Rentang waktu tahun
1945-1950 menjadi periode sangat menentukan dalam perjalanan sejarah bangsa
Indonesia mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamasikan Soekarno dan
Moh Hatta. Periode ini pula menjadi konsolidasi para tokoh kemerdekaan hingga
TNI yang mulai menyusun kekuatan.
Tak kalah menariknya
apa yang dilakukan Soeharto muda yang saat itu memimpin pasukan di Yogyakarta.
Bagaimana Soeharto menyusun kekuatan pada periode ini dari Yogyakarta, berikut
nukilan kisahnya seperti ditulis dalam buku Soeharto, Pikiran, Ucapan dan
Tindakan Saya:
Pada tanggal 17 Agustus 1945, hari Jumat Legi, bulan puasa, pukul 10.00, Bung Karno dan Bung Hatta, atas nama rakyat, memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Begitulah berita yang diterima beberapa waktu kemudian. Memang kabar gembira itu diterima terlambat di Yogya seperti juga halnya di kota-kota lainnya di Jawa. Lebih-lebih lagi di pulau-pulau lainnya, karena larangan penguasa Jepang, untuk menyiarkan peristiwa penting tersebut.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, hari Jumat Legi, bulan puasa, pukul 10.00, Bung Karno dan Bung Hatta, atas nama rakyat, memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Begitulah berita yang diterima beberapa waktu kemudian. Memang kabar gembira itu diterima terlambat di Yogya seperti juga halnya di kota-kota lainnya di Jawa. Lebih-lebih lagi di pulau-pulau lainnya, karena larangan penguasa Jepang, untuk menyiarkan peristiwa penting tersebut.
Sebelum itu, di bulan
Februari terjadi pemberontakan terhadap Jepang di bawah pimpinan Supriyadi di
Blitar. Shodancho dan
Bundancho yang
terlibat ditangkap dan diajukan ke pengadilan militer, sehingga batalyon itu
tidak mempunyai komandan regu lagi. Seluruh batalyon itu kemudian dipindahkan
ke Brebeg, di daerah Nganjuk, dan diasramakan di sana.
Di Madiun Soeharto tidak tinggal di asrama, melainkan di luar, karena dapat rumah sendiri. Soeharto tinggal di rumah dinas itu tidak lama, karena segera ditugasi melatih prajurit-prajurit dari Batalyon Blitar untuk menjadi komandan regu (Bundancho). Latihannya di Brebeg, di tengah-tengah hutan jati.
Di Madiun Soeharto tidak tinggal di asrama, melainkan di luar, karena dapat rumah sendiri. Soeharto tinggal di rumah dinas itu tidak lama, karena segera ditugasi melatih prajurit-prajurit dari Batalyon Blitar untuk menjadi komandan regu (Bundancho). Latihannya di Brebeg, di tengah-tengah hutan jati.
Pada waktu Bung Karno
mengumandangkan kemerdekaan kita itu, Soeharto masih di Brebeg, sedang melatih
para prajurit. Pada tanggal 18 Agustus, begitu Soeharto selesai melatih
prajurit-prajurit PETA tersebut, semua diperintahkan bubar. Semua prajurit PETA
disuruh menyerahkan kembali senjata-senjata kami. Mobil pun dirampas oleh
Jepang.
Tanpa mengetahui apa
yang telah terjadi di Jakarta, Soeharto pergi dari Brebeg ke Madiun, lalu ke
Yogyakarta. Mula-mula Soeharto tidak tahu apa-apa tentang kemerdekaan itu.
Setelah tiba di Yogya, barulah Soeharto tahu samar-samar, dan kemudian menjadi
lebih jelas lagi. Soeharto paham akan hal itu dari teman-teman, dari orang-orang
di jalan dan di rumah.
Mendengar berita seperti itu Soeharto pikir, "Wah, ini artinya panggilan." Perasaan dan perhitungan Soeharto sewaktu berada di asrama-asrama PETA itu terbukti benar. Soeharto sudah merasakan, bahwa bangsa Indonesia sungguh-sungguh menginginkan kemerdekaan. Dan sekarang kemerdekaan itu sudah diproklamasikan. Itu berarti panggilan bagi kita semua untuk membelanya.
Mendengar berita seperti itu Soeharto pikir, "Wah, ini artinya panggilan." Perasaan dan perhitungan Soeharto sewaktu berada di asrama-asrama PETA itu terbukti benar. Soeharto sudah merasakan, bahwa bangsa Indonesia sungguh-sungguh menginginkan kemerdekaan. Dan sekarang kemerdekaan itu sudah diproklamasikan. Itu berarti panggilan bagi kita semua untuk membelanya.
Soeharto pun membaca
surat kabar 'Matahari" yang terbit di Yogya tanggal 19 Agustus, yang
memberitakan kabar besar mengenai proklamasi dan Undang-Undang Dasar serta
terpilihnya Bung Karno dan Bung Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden
negara yang baru lahir. Rupanya hari itu pula Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan
Paku Alam VIII mengirimkan kawat ucapan selamat kepada Presiden dan Wakil
Presiden RI serta menyatakan ikut bergembira atas terbentuknya Negara Republik
Indonesia.
Kata sambutan Sultan
Hamengku Buwono IX dimuat pula dalam harian "Matahari" yang
menyebutkan bahwa semua, tidak ada yang terkecuali, harus bersedia dan sanggup
mengorbankan kepentingan masing-masing untuk kepentingan kita bersama, ialah
menjaga, memelihara dan membela kemerdekaan nusa dan bangsa. Anjuran yang sudah
ada dalam pikiran Soeharto.
Jepang masih ada di Yogya
dan kelihatan masih tetap ingin berkuasa, sementara pemuda-pemuda menunjukkan
hasratnya yang meluap-luap untuk mendapatkan senjata guna mempertahankan
kemerdekaan. Dalam pada itu, tentara Jepang rupanya mulai menyadari bahwa
rakyat Yogya sudah tahu akan kekalahan mereka dalam peperangan. Tetapi mereka
bertahan di asramanya masing-masing.
Kemudian timbul
inisiatif Soeharto untuk mengumpulkan teman-teman bekas PETA. Secara kebetulan
semua teman itu tinggalnya tidak berjauhan. Soeharto menemui Oni Sastroatmodjo.
Komandan Kompi Polisi Istimewa, dan bersama dengannya Soeharto mengumpulkan
bekas-bekas Chudancho dan
Shodancho.
Soeharto dan
teman-temannya para bekas anggoa PETA dan sejumlah pemuda lainnya berkumpul dan
berhasil membentuk satu kelompok yang kemudian jadi anggota Badan Keamanan
Rakyat (BKR) yang pembentukannya sudah diumumkan oleh Pemerintah RI. Presiden
Soekarno menyerukan, agar bekas PETA, bekas Heiho,
bekas Kaigun, bekas
KNIL dan para pemuda lainnya segera berduyun-duyun bergabung dan mendirikan
BKR-BKR di tempatnya masing-masing. Seruan Bung Karno itu bukan sesuatu yang
baru buat Soeharto dan teman-temannya karena mereka sudah bergerak sejalan
dengan seruan itu.
Di dalam kelompok Soeharto
dan teman-temannya ada unsur polisi yang buat Soeharto tidak asing, karena Soeharto
pun pernah jadi polisi. Umar Slamet, teman dekat saya Soeharto, terpilih jadi
ketua BKR. Dan Soeharto terpilih jadi wakilnya. Kelompok kecil ini yang adanya
di Sentul, di Jalan Kusuma Negara sekarang, adalah tangga pertama dalam zaman
baru yang menaikkan Soeharto ke tangga-tangga berikutnya. Anggota-anggotanya
terdiri atas bekas-bekas PETA, Heiho
dan pemuda- pemuda lainnya. Soeharto memimpin kelompok ini dalam
melucuti Jepang yang di luar asrama. Beberapa kendaraan militer juga mereka
rebut untuk keperluan pasukan mereka. Kompi Soeharto ini segera menjadi kuat
dan banyak yang menyegani, sementara sejumlah pasukan Jepang masih tinggal di
tangsinya, antara lain di Kotabaru, dengan utuh dan lengkap persenjataannya.
Resminya Soeharto
tercatat sebagai Tentara Republik Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1945, yakni
pada lahirnya "Tentara Keamanan Rakyat" (TKR). Tetapi Soeharto sudah
bergerak sebelum itu.
Soeharto pun kemudian
menghadiri pertemuan bekas PETA dan Heiho
dan pemuda-pemuda serta beberapa wanita yang berkumpul di sebuah
gedung yang dipakai oleh Badan Penolong Korban-korban Perang (BPKKP), badan
tempat BKR bernaung. Hadir waktu itu antara lain Kepala Polisi Istimewa
Sudarsono, Mohamad Saleh, Ibu Ruswo, dan lain-Iainnya. Soeharto termasuk
pendiam dalam rapat itu. Maka pertemuan itu menghasilkan kesepakatan membentuk
BKR di Yogya dan memilih Sudarsono dan Umar Jo'i sebagai pemimpin dan wakil
pemimpin BKR Yogya.
Tugas BKR ialah
meyelenggarakan keamanan dan ketertiban dalam negeri. Tetapi yang jadi soal
pertama dan utama bagi BKR ini dalam untuk mengemban tugas itu ialah bagaimana
mendapatkan senjata itu. Hal yang sudah sejak semula Soeharto pikirkan.
Kemudian Soeharto
dengar dan sempat bertemu dengan pemuda-pemuda dan pejuang-pejuang yang
bersemangat, seperti Sundjoyo Sudarto, Sudomo, Syaifudin, Maya Retno, Sudirjo,
Marsudi.
Mereka ini sibuk.
Hilir-mudik, berunding, hilir-mudik lagi, bergerak menyampaikan buah pikiran
dan merundingkannya dengan orang-orang lain. Maka rencana pun mereka rundingkan
lagi dengan tokoh-tokoh muda waktu itu, seperti Umar Slamet, Sundjojo, Umar
Jo'i, Muhamad Saleh dan lain-lainnya.
Kalau di Banyumas perebutan senjata dari tangan Jepang dapat berlangsung cuma dengan perundingan, lain halnya dengan yang terjadi di Yogyakarta. Di daerah Yogyakarta, senjata baru didapatkan setelah melalui pertempuran yang cukup sengit.
Kalau di Banyumas perebutan senjata dari tangan Jepang dapat berlangsung cuma dengan perundingan, lain halnya dengan yang terjadi di Yogyakarta. Di daerah Yogyakarta, senjata baru didapatkan setelah melalui pertempuran yang cukup sengit.
Soeharto mengetahui,
bahwa ada sejumlah senjata yang dikirimkan dari Banyumas ke Yogya dan
dibagi-bagikan kepada anggota-anggota BKR yang sedang menyusun kekuatan. Tetapi
jumlahnya jauh dari mencukupi.
Terasa waktu itu Yogya
mulai panas. Bara revolusi mulai membakar. Api perlawanan mulai menyala. Maka
kemudian ketegangan pun terjadi antara pejuang-pejuang kita yang memerlukan
senjata di satu pihak dan tentara Jepang yang bersenjata lengkap dan ingin
mempertahankan kekuasaannya di lain pihak.
Ternyata Jepang
bergerak lebih dahulu. Mereka melucuti polisi di Gayam. Kejadian ini
menyebabkan rakyat marah, mengamuk. Akhirnya rakyat menyerang markas Jepang dan
tentara Jepang angkat tangan, menyerah. Dengan ini sejumlah senjata sudah
menambah yang ada pada pasukan kita. Berarti, persiapan untuk menyerang markas
Jepang yang lain bertambah. Tetapi sesungguhnyalah, senjata yang ada pada pihak
kita belum cukup dibandingkan dengan yang dipegang oleh pibak Jepang. Namun,
sementara Slamet harus pergi dari Yogya menuju Madiun, Soeharto mengambil oper
tanggungjawabnya dan memimpin pasukan dan rakyat menyerbu markas Jepang. Soeharto
yakin pada kekuatan semangat yang ada pada pihak kita.
Waktu itu umur Soeharto
24 tahun. Soeharto bergerak di barisan paling depan, waktu serbuan itu
dilakukan. Ternyata pihak Republik unggul. Tanggal 7 Oktober pukul 10.30 resmi
tentara Jepang yang ada di Kotabaru itu menyerah. Mereka mengibarkan bendera
putih. Senjata-senjata dan kendaraan mereka pindah ke tangan kita. Ratusan
karaben dan sejumlah senapan mesin kami rampas. Senjata rampasan tersebut terus
diangkut ke Markas Pemuda di Benteng, depan Gedung Agung, dulu namanya Benteng
Kompeni Vredeburg. Tidak sedikit pemuda kita menjadi korban akibat tembakan
peluru tentara Jepang, yang gugur 21 orang.
Para korban waktu pertempuran pertama melucuti Balatentara Jepang di Kotabaru pada tanggal 7 Oktober 1945, para pahlawan kusuma bangsa itu disembahyangkan di Rumah Sakit Pusat Jogya dengan disaksikan oleh para wartawan dan jururawat.
Waktu itulab Soeharto bertemu dengan bekas Shodancho Widodo dalam pertempuran yang tetap terkenang sampai sekarang.
Kira-kira pukul satu
siang Soeharto kembali ke Markas Pemuda di Benteng untuk memeriksa
senjata-senjata hasil rampasan dari Jepang tadi pagi. Sewaktu Soeharto turun
dari kendaraan, seorang staf Soeharto datang dengan berlari menyambut Soeharto,
memberikan laporan bahwa senjata hasil rampasan di Kotabaru habis diambil oleh
pemuda-pemuda yang datang secara ramai-ramai dari berbagai penjuru kota. Mereka
umumnya pemuda-pemuda yang tak tahu cara menggunakan senjata. Yang tertinggal hanya
senjata berat.
Memang benar apa yang dilaporkan kepada Soeharto. Gudang senjata kosong, semua senjata ringan dan pistol habis dibagi ramai-ramai. Soeharto mencoba menahan diri. Bukan main kesalnya hati Soeharto.
Memang benar apa yang dilaporkan kepada Soeharto. Gudang senjata kosong, semua senjata ringan dan pistol habis dibagi ramai-ramai. Soeharto mencoba menahan diri. Bukan main kesalnya hati Soeharto.
Di Semarang terjadi
pertempuran sengit yang kemudian terkenal dengan sebutan "Pertempuran Lima
Hari". Tentara Jepang mengamuk karena merasa diganggu oleh pejuang-pejuang
kita yang mencoba merebut senjata mereka. Dalam kejadian itu Soeharto diminta
mengirimkan bantuan pasukan ke Semarang. "Ini dia, datang kesempatan
baik," pikir Soeharto. Saya umumkan kepada semua pemuda yang memiliki
senjata supaya segera berkumpul untuk berangkat ke Semarang membantu
pemuda-pemuda kita melawan tentara Jepang. Pagi harinya setelah semua
berkumpul, Soeharto a susun pasukan dengan ketentuan tiap pemuda yang
bersenjata didampingi oleh seorang bekas
PETA atau Heiho.
Letnan Wuston dengan pasukannya bergabung dengan pasukan bersenjata
berat di bawah pimpinan Letnan Mardjuki. Mereka oleh Soeharto diberangkatkan dengan kereta api sampai di
Mranggen dan mereka bertempur di front Pandeanlamper.
Taktik Soeharto
berbasil. Pemuda-pemuda yang membawa senjata mulai tidak kerasan, ingat pada
orang tua dan pada ingin pulang kembali ke rumah. Semakin hari rasa panik
mereka semakin menjadi. Pada saat itu datang peringatan dari tentara yang
menjadi pendamping: "Siapa yang mau pulang, boleh, asal senjatanya tetap
tinggal di garis depan". Pemuda-pemuda yang belum pemah mendapat latihan
kemiliteran dan disiplin itu akhirnya lebih senang memilih kembali ke rumah
orang tua dan menyerahkan senjatanya kepada pendamping bekas PETA dan Heiho yang Soeharto
siapkan sebagai pendamping. Maka plonglah hati Soeharto ini. Lega bukan main.
Coba bayangkan, kalau seandainya senjata-senjata itu diminta dengan cara paksa,
apa jadinya? Tentu terjadi pertumpahan darah. Syukur hal itu tidak sampai
terjadi. Dalam pertempuran lima hari ini, banyak penduduk jadi korban kekejaman
tentara Jepang.
Bersamaan dengan
kejadian ini Soeharto mengambil inisiatif menduduki lapangan terbang Maguwo
yang waktu itu masih diduduki oleh tentara Jepang yang bersenjata lengkap. Pada
waktu mendekati garis awal, pasukan Soeharto berangkat dengan kendaraan truk,
sedangkan Soeharto naik sepeda motor, bersejatakan pistol Vickers. Soeharto
memberikan komando menyerang penjaga lapangan udara itu dan Jepang menyerah
tanpa mengadakan perlawanan. Serdadu-serdadu Jepang itu kami tahan di sebuah
gedung sekolah di Kepatihan Danurejan. Dengan ini kami dapatkan beberapa buah
pesawat terbang yang jadi salah satu modal pembentukan Angkatan Udara Republik
Indonesia. Semua pesawat terbang 0leh Soeharto lalu diserahkan pada
Adisutjipto, seorang penerbang didikan Belanda. Pada hari itu juga, Adisutjipto
mencoba menerbangkan pesawat cureng, basil rampasan. Umar Slamet dengan saya
menyaksikan dengan rasa bangga, putra Indonesia bisa terbang sendiri.
Lalu di Yogya dibentuk
Divisi IX di bawah Sudarsono yang berpangkat Jenderal Mayor. Pasukan Soeharto
diresmikan menjadi Batalyon X dengan beberapa satuan pemuda. Sementara itu Soeharto
menguasai pula markas pemuda pelajar, antara lain yang berada di jalan
Batanawarsa, dan yang di Jalan Mahameru. Juga ada bengkel kendaraan di
Purwodiningrat dan di Gowongan Kidul. Maka lengkaplah susunan Batalyon X dengan
kompi kendaraannya dan Soeharto berpangkat mayor.
Sementara itu di tiap
kampung dan desa di wilayah Yogyakarta dibentuk "Laskar Rakyat"
sebagai pembantu Tentara Keamanan Rakyat. Semua penduduk bangsa Indonesia,
laki-Iaki yang masih kuat badannya dan belum menjadi anggota TKR diharuskan
masuk menjadi anggota Laskar Rakyat oleh Sultan Hamengku Buwono IX.
Selama ini jangankan
seragam yang baik, pakaian pun masih compang-camping, tidak karuan. Tanda
pangkat pun belum ada yang Soeharto pakai. Cukup dengan wajah kita dan nama
kita. Itulah jaminannya.
Suatu kali Soeharto
ditanya oleh teman sesama perwira berkelakar tentang disiplin pemakaian
tanda-tanda pangkat militer. Soeharto jawab, "Belum memikirkan untuk
memakainya. Kita sekarang masih dalam revolusi. Mungkin nanti sehabis revolusi Soeharto
bersedia memakai lencana yang lebih besar.
Tentara Sekutu datang
di Semarang tanggal 19 Oktober dan Belanda/NICA "menggonceng' di dalamnya.
Kabar-kabar tentang maksud tentara sekutu yang sebenarnya sudah tersebar luas
di daerah. Bahwa Belanda ingin kembali berkuasa di atas bumi Indonesia ini pun
sudah bukan rahasia lagi. Tindakan-tindakan mereka sesuai dengan perhitungan
kita. Tetapi tokoh-tokoh politik kita menempuh jalan diplomasi. Dan kita pun
percaya dan patuh pada kemampuan tokoh-tokoh politik kita, sementara para
pejuang kita tetap waspada.
Di Semarang Pak Wongsonegoro selaku Gubernur Jawa Tengah dari pihak Republik mengadakan perundingan dengan Jenderal Bethel sebagai Panglima Sekutu di Jawa Tengah. Tetapi pihak Sekutu bukan memperhatikan aspirasi rakyat kita, melainkan malahan bergerak ke kota Magelang melalui Ambarawa. Dengan demonstratif mereka kemudian membebaskan interniran-interniran tawanan yang ada di kedua kota itu dan kekacauan pun timbul karena ulah pihak yang sombong itu.
Di Semarang Pak Wongsonegoro selaku Gubernur Jawa Tengah dari pihak Republik mengadakan perundingan dengan Jenderal Bethel sebagai Panglima Sekutu di Jawa Tengah. Tetapi pihak Sekutu bukan memperhatikan aspirasi rakyat kita, melainkan malahan bergerak ke kota Magelang melalui Ambarawa. Dengan demonstratif mereka kemudian membebaskan interniran-interniran tawanan yang ada di kedua kota itu dan kekacauan pun timbul karena ulah pihak yang sombong itu.
Dalam mengimbangi
kegiatan Sekutu di Semarang, Magelang dan Ambarawa, segenap potensi kita kerahkan.
Lasykar Rakyat yang dibentuk di tiap desa kemudian bersatu dengan pasukan TKR
menghadapi Sekutu.
Dua kali Sekutu
menyerang kota Yogya dengan mengirimkan pesawat jenis pembom dengan merusak
studio RRI Yogya dan Sono Hudoyo serta menyebarkan pamflet yang mengacaukan,
dan hal itu malah menimbulkan kemarahan rakyat kita kepada mereka.
Bentrokan tak dapat
dihindarkan sehingga pada tanggal 31 Oktober, meletus pertempuran di Semarang,
berkobar perlawanan pejuang-pejuang kita terhadap Sekutu, dan kemudian,
keesokan harinya, rakyat Magelang mengangkat senjata melawan Sekutu dan NICA
yang ada di dalamnya.
Pertempuran berjalan
terus. Kami tidak menginginkan Yogya berada di bawah telapak sepatu
Sekutu/NICA. Kami bertahan, malahan berusaha keras mendesak supaya musuh
mundur.
Badan-badan perjuangan yang dibentuk di luar TKR mengadakan Kongres Pemuda Indonesia di Yogya yang melahirkan Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia. Tetapi justru pada waktu itu, tanggal 10 November puncak pertarungan terjadi di Surabaya dengan terbunuhnya Jenderal Mallaby. Hanyak sekali pejuang kita menjadi korban dalam peristiwa mengharukan itu yang kita kenang sampai sekarang sebagai "Hari Pahlawan".
Badan-badan perjuangan yang dibentuk di luar TKR mengadakan Kongres Pemuda Indonesia di Yogya yang melahirkan Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia. Tetapi justru pada waktu itu, tanggal 10 November puncak pertarungan terjadi di Surabaya dengan terbunuhnya Jenderal Mallaby. Hanyak sekali pejuang kita menjadi korban dalam peristiwa mengharukan itu yang kita kenang sampai sekarang sebagai "Hari Pahlawan".
Letnan Jenderal Urip
mengorganisasikan rapat pimpinan TKR yang pertama, bertempat di Markas
Tertinggi TKR di Yogya. Rapat dihadiri oleh para perwira senior,
panglima-panglima divisi dan komandan-komandan resimen dari Pulau Jawa.
Tentunya mereka yang dari Surabaya tidak bisa hadir, karena hari-hari itu di
sana sedang sibuk-sibuknya.
Dalam rapat besar ini
Panglima Divisi V/Banyumas Kolonel Soedirman terpilih sebagai pemimpin
tertinggi TKR, sedangkan Pak Urip yang oleh pemerintah sudah diangkat sebagai
Kepala Staf Umum, terpilih sebagai Kepala Staf TKR. Satu kombinasi yang
terpadu: Pak Urip meletakkan landasan-Iandasan teknis militer, sedangkan Pak
Dirman meletakkan landasan-landasan kejiwaannya.
Perlawanan kita
terhadap Sekutu yang terus mencoba mendesak kita berjalan tak henti-hentinya. Soeharto
memimpin Batalyon X ikut menyerbu
Magelang dan Sekutu pun meninggalkan kota ini, mundur menuju Ambarawa.
Lalu tentara Sekutu
membuat pertahanan yang kuat di Ambarawa. Letkol Isdiman gugur dan pertempuran
untuk menghalau Sekutu dari pertahanannya di Ambarawa bertambah hebat. Kolonel
Soedirman, menjelang pelantikan sebagai Panglima Besar TKR, maju memimpin
pertempuran. Batalyon Suryosumpeno, Batalyon A. Yani dan Batalyon Kusen, di
bawah pimpinan Letkol. M. Sarbini berhasil membebaskan penduduk Pingit yang
diteror dengan kejam oleh Sekutu.
Soeharto dari Yogya dengan
membawa kekuatan empat kompi, yakni Kompi Sardjono, Kompi Mulyono, Kompi Sukoco
dan Kompi Widodo maju juga. Begitu juga Letkol. Gatot Subroto dari Divisi
V/Purwokerto, dan pasukan Batalyon 8 Divisi III di bawah pimpinan Mayor
Sardjono.
Empat hari empat malam
Ambarawa kami gempur dengan siasat "supit udang". Batalyon X yang Soeharto
pimpin ditugasi untuk menyerang Banyubiru lebih dahulu, kemudian mendudukinya,
bertugas sebagai pengaman lambung dari pasukan induk yang bergerak ke Ambarawa.
Banyubiru Soeharto serang setelah Magrib, dan Sekutu mundur ke Ambarawa. Batalyon yang Soeharto pimpin terus mengejarnya dan mengambil atau menyusun pertahanan jauh di depan Banyubiru.
Banyubiru Soeharto serang setelah Magrib, dan Sekutu mundur ke Ambarawa. Batalyon yang Soeharto pimpin terus mengejarnya dan mengambil atau menyusun pertahanan jauh di depan Banyubiru.
Semalam suntuk
Banyubiru dihujani peluru meriam dari Ambarawa. Mendengar banyaknya tembakan
meriam ke Banyubiru, Pak Gatot mengira batalyon X pimpinan Soeharto sudah
hancur. Kenyataannya tidak demikian, karena semuanya sudah Soeharto
perhitungkan. Mulai peristiwa itu Pak Gatot mengenal Soeharto. Hebat
pertempuran itu. Soeharto pegang teguh disiplin. Soeharto marahi prajurit-prajurit
yang mundur dengan meninggalkan senjata mereka.
Di kesatrian Ambarawa, tempat Soeharto menyusun kembali pasukan-pasukan batalyon X, Soeharto bicara keras di depan prajurit-prajurit yang telah meninggalkan medan pertempuran dalam keadaan panik.
Di kesatrian Ambarawa, tempat Soeharto menyusun kembali pasukan-pasukan batalyon X, Soeharto bicara keras di depan prajurit-prajurit yang telah meninggalkan medan pertempuran dalam keadaan panik.
Soeharto marah sekali, Soeharto
berterus terang.
“Kita masih belum mampu
untuk membikin senjata modern apa pun, dan kita masih belum mampu membelinya.
Kita semua mempunyai saham dan tanggungjawab yang sama dalam revolusi ini. Kita
sangat memerlukan senjata itu. Akan dihukum siapa saja yang tidak dapat
memelihara senjatanya dengan baik." Tetapi akhirnya Sekutu mundur ke
Semarang. Itulah "Palagan Ambarawa" yang terkenal.
Tanggal 18 Desember
1945 Kolonel Soedirman dilantik menjadi Panglima Besar TKR dengan pangkat
jenderal dan Urip Sumohardjo sebagai Kepala Staf dengan tetap berpangkat letnan
jenderal.
Rupanya daya upaya Soeharto
dalam "Palagan Ambarawa" mendapat perhatian Jenderal Soedirman. Dan
sewaktu Pak Dirman berusaha mengadakan reorganisasi dan penyempurnaan tubuh
TKR, Soeharto diangkat menjadi Komandan Resimen III dengan pangkat letnan
kolonel, menguasai daerah Yogyakarta, dengan wakil Komandan
Mayor Rekso. Soeharto membawahi empat batalyon:
Mayor Rekso. Soeharto membawahi empat batalyon:
Batalyon 8 di bawah
Mayor Sardjono,
Batalyon 10 di bawah
Mayor J. Sudjono,
Batalyon 19 di bawah
Mayor Sumiarsono, dan
Batalyon 25 di bawah
Mayor Mohammad Basyuni.