Rabu, 07 Januari 2015

Kisah Pengungsian Keluarga Abdullah Angudi Selama Agresi Belanda ke II


Kisah Pengungsian Keluarga Abdullah Angudi Selama Agresi Belanda ke II
Oleh : Sardjono Angudi

Di Yogya keluarga besar Abdullah Angudi tinggal di sebuah rumah petak di Jl. Bugisan no. 5 di mana  beberapa keluarga sudah tinggal sebelumnya, yaitu  keluarga-keluarga pelukis grafis Abdulsalam dan pelukis Soerono.
Ditengah rumah terdapat ruangan yang agak luas dan bersih   yang digunakan sebagai  tempat kerja para pelukis yang tiap pagi datang dan pulang siang hari. Mereka yang sering saya lihat adalah adalah pelukis-pelukis  Soedibjo yang rambutnya klimis, Ramli, Oesman Effendi dan Tino Sidin selain Soerono dan Abdulsalam. Kadang-kadang datang pelukis tamu yaitu Soekamto dan pernah Pak Djon panggilan pelukis S. Soedjojono ke Jalan Bugisan. 
Di ruang tengah itulah terdapat lukisan-lukisan bernuansa perjuangan pesanan Kementerian Pemuda dan Pembangunan di antara lukisan-lukisan lainnya, tube cat minyak dan kwas.
Di masa perjuangan, anak-anak di rumah di Jl. Bugisan 5 itu pernah juga dikumpulkan oleh para pelukis dan diberi bahan-bahan untuk menggambar di halaman kantor. Lukisan anak-anak dikumpulkan dan dipajang.  Beberapa tamu datang dan melihat lukisan-lukisan itu. Anak-anak merasa gembira dan bangga bahwa lukisan mereka dilihat para tamu. Pak Soerono menjelaskan lukisan itu dari segi pemikiran anak-anak kepada para tamu yang datang.
Dalam tahun-tahun yang penuh ketegangan itu para seniman lukis dan karikaturis berjuang dengan caranya sendiri yang khas. Di depan Gedung Negara di Yogya tertera grafiti bagus menurut kaidah lettering yang dibuat dengan kwas dan tatabahasa  Inggris yang benar We Don’t Want to be Ruled by Any Other Nations. Tentulah seorang seniman yang tak mau dikenal yang membuatnya dan seorang politikus pejuang yang merahasiakan dirinya yang mendiktekan kalimatnya. 

 Di depan Gedung Negara di Yogya tertera grafiti bagus menurut kaidah lettering yang dibuat dengan kwas dan tatabahasa  Inggris yang benar  
"We Don’t Want to be Ruled by Any Other Nations."

Di Taman Siswa, di Jl. Bintaran ada percetakan yang dikerjakan dengan tangan. Mereka para seniman membuat koran dari kertas merang yang tipis dan mudah robek, isinya  menyemangati perjuangan. Apa boleh buat kertas apa saja dipakai untuk menggugah semangat perjuangan bangsa. Selain itu sering karikatur-karikatur Pak Salam diberikan begitu saja untuk Harian Kedaulatan Rakjat, Nasional dan Patriot yang terbit di Yogya.
Pada suatu malam Minggu seperti biasanya 10 remaja belasan tahun yang mnamakan dirinya Anak-anak  dari Patangpuluhan  menggelar Orkes Bambu dengan seruling bambu, bas tiup bambu, ukulele, gitar dan ketipung dengan penyanyi tercantik Isti Karniah. Anak-anak kampung lainnya menjadi penonton dengan gembira. Mereka tidak pernah menyangka bahwa besok paginya akan ada peristiwa yang sangat genting bagi negaranya.
Esok harinya pada hari Minggu tanggal  19 Desember 1948 jam 7 pagi tentara Belanda menyerbu dan menduduki Yogyakarta. Inilah yang dinamakan Agresi Militer Belanda ke-II atau Operatie Kraai.
Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, Sutan Sjahrir dan Haji Agus Salim dan pemimpin-pemimpin Indonesia lainnya ditangkap Belanda dan diasingkan. Pada serangan ini dikerahkan 432 orang dari Korps Speciale Troepen, 2600 orang dari Grup Tempur M dan 1900 orang dari Grup Tempur T dibawah pimpinan Kapt. Eckhout menyerang lapangan terbang Meguwo.
Sebanyak 128 orang pasukan Siliwangi dari 150 orang yang bertugas menjaga lapangan terbang Meguwo, kalah dalam jumlah dan kalah dalam teknologi persenjataan, gugur. Duapuluh dua lainnya tidak diketahui nasibnya.
Kalau pada Agresi  Militer Belanda ke-I Belanda melanggar Persetujuan Linggarjati, maka pada Agresi Militer ke-II ini Belanda melanggar Persetujuan Renville yang diadakan pada bulan Januari 1948 di kapal Amerika USS Renville.
Pada masa itu Sardjono Angudi melihat kartupos Republik dengan pesan dari Jenderal Sudirman: “Pertahankan kampung  dan halaman!”
Pada hari itu juga Panglima Besar Sudirman memerintahkan Pasukan Siliwangi yang beberapa bulan sebelumnya telah hijrah dari Jawa Barat ke Yogya, untuk kembali ke daerahnya, sedangkan Jenderal Soedirman yang sedang sakit paru-paru memimpin gerilya di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Hari Senen tanggal 20 Desember 1948 yaitu sehari sesudah Belanda menyerang Yogya, keluarga Pak Salam, keluarga Soerono, Oesman Effendi, Soedibjo dan keluarga besar kami mengungsi ke  Desa Cebongan masih masuk daerah Yogya di rumah pegawai bagian administrasi, Pak Kambali yang menawarkan rumahnya untuk pengungsian.
Keluarga besar Abdullah Angudi yang terdiri Bapak, ibu, Sardjono Angudi kecil dan dua adik Sardjono Angudi kecil yang bernama Isti dan Yanto, dua pembantu yang tidak sempat pulang ke desanya sehingga ikut mengungsi bersama keluarga besar Abdullah Angudi, yaitu Kasijem dan Jatin. Kakek Wirjo, Bu Suwarti dan Bu Supiah juga ikut mengungsi.
Keluarga besar Pak Salam adalah Pak dan Bu Salam, Wibowo, Nani dan seorang pembantu mbok Mbok Hardjo.
Perjalanan ke Cebongan  itu menyiksa Sardjono Angudi kecil yang sebagai anak yang baru berumur delapan tahun karena panas, haus, lapar dan perjalanan yang jauh.
Perjalanan tidak langsung menuju Cebongan yaitu kearah utara, tetapi melingkar untuk menghindar dari jalan-jalan besar yang diduga telah diduduki Belanda.
Di sebelah barat Pingit kami melihat korban serangan Belanda satu hari sebelumnya yaitu dua orang yang tergeletak di jalan dengan mobil sedan hitam yang pintunya terbuka. Di sudut jalan seorang ibu membawa nangka tergelatak mati. Kami belum pernah melihat hal yang mengerikan seperti itu. Kami cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
Siang harinya sekitar jam dua rombongan baru sampai di rumah Pak Kambali di Cebongan.
Tanpa diduga-duga esok harinya empat  tentara Belanda bersenjata mitralyur, sten, karaben dan pistol datang menggerebeg. Pak Salam, Usman Effendi, Soedibjo, dan Bapak Abdullah Angudi, ditangkap Tentara Belanda. Anak-anak disuruh masuk rumah oleh Tentara Belanda itu. 
Pak Soerono, kakek Wirjo dan beberapa orang lainnya tidak tertangkap karena sedang mandi di sungai dekat rumah yang jembatannya sudah dihancurkan oleh TNI.
Ketika keluar rumah, Tentara Belanda dan tawanan mereka sudah pergi.  Kami tidak tahu dibawa kemana para tawanan itu. Karena para suami dan laki-laki-dewasa dibawa tentara Belanda, ibu-ibu dan anak-anaknya dan para pengungsi lainnya, dengan perasaan gundah, dipimpin oleh Pak Soerono satu-satunya lelaki muda, besok paginya meninggalkan Cebongan.
Kami melanjutkan perjalanan ke kampung berikutnya yaitu kampung Kontengan. Pokoknya meninggalkan Cebongan saja. Kami tidak tahu arah tujuannya dan apa yang akan  menimpa.
Ibu Abdullah Angudi tidak mempunyai apa-apa kecuali perhiasan emas yang disimpan dijahit di ikat pinggang wanita (stagen, Jw) sebagai bekal. Di Kontengan kami mendapati beberapa rumah reyot dengan dinding bambu lapuk yang berlubang sebagai tempat kami berteduh. Rumah reyot itu adalah gudang tempat penyimpanan gula pasir milik tengkulak. Angin malam bertiup menembus dinding. Udara sangat dingin.
Sementara itu Pak Salam dan Bapak Abdullah Angudi dibawa dengan truk  dari Pabrik Gula Cebongan yang menjadi markas Belanda ke Rumah Tahanan Ngupasan di belakang Gedung Negara di kota Yogya. Pada perjalanan diwaktu pagi  itu pasukan Belanda  tidak diserang oleh gerilyawan TNI.
Selama interogasi berhari-hari dalam tahanan, Belanda tidak menemukan bukti-bukti bahwa Pak Salam dan Bapak Abdullah Angudi adalah gerilyawan, sehingga mereka lepas dari nasib yang lebih buruk. Untungnya Belanda juga tidak mengetahui bahwa Bapak adalah orang yang dicari intel militer IVG di Temanggung karena melakukan pembumihangusan bersama TNI.
Bisa jadi juga dalam interogasi selama satu minggu itu Bapak Abdullah Angudi tidak pernah menyinggung-nyinggung tentang Temanggung, seandainya hal ini terungkap niscaya Bapak akan dihabisi. 
Sesudah satu minggu Bapak Abdullah Angudi dilepaskan oleh Belanda dan Bapak Abdullah Angudi berjalan menuju Cebongan mencari kemana kami  mengungsi.
Berjalan kaki dari Rumah Tahanan Ngupasan ke luar kota melalui jalan-jalan yang asing yang belum pernah dilaluinya, sangatlah menakutkan. Tidak ada orang yang berkerja disawah ataupun lalu lalang. Sialnya dalam perjalanan ke Cebongan itu, Bapak Abdullah Angudi kepergok tentara Belanda yang sedang patroli di pedesaan.  Bapak Abdullah Angudi akan ditawan lagi. Bapak Abdullah Angudi menjelaskan bahwa Bapak Abdullah Angudi baru dilepas dari Rumah Tahanan Ngupasan. Setelah tentara Belanda itu menanyakan Rumah Tahanan Ngupasan melalui radio apakah benar ada nama Angudi yang baru dibebaskan, tentara Belanda itu membolehkan Bapak pergi. 
Saat seperti itu adalah hal yang mengerikan. Bapak Abdullah Angudi tahu bahwa adik iparnya, Adi, ditangkap Belanda, disuruh pergi dan ditembak dari belakang. 
Dalam masa Perang Kemerdekaan II ini pula, Menteri Pemuda dan Pembangunan, yaitu menteri yang membawahi para pelukis di Jl. Bugisan, tertangkap oleh Tentara Belanda dan ditembak mati. Nama Menteri Soepeno  diabadikan sebagai nama jalan di Semarang, Yogyakarta dan kota lainnya. 
Bahaya lainnya adalah bahwa gerilyawan Indonesia mencurigai semua orang yang datang dari kota ke desa sebagai mata-mata Belanda. Mata-mata Belanda sering ke desa-desa untuk mengetahui pergerakan TNI. Mereka sering berpura-pura sebagai pedagang kelontong eceran dari kota dan masuk kepasar  yang dibuka seminggu sekali.
Sesudah kepergok patroli Belanda, Bapak Abdullah Angudi masuk ke daerah Republik. Di daerah Republik Bapak Abdullah Angudi ditanya oleh pasukan gerilya yang berjaga di situ, apa yang Bapak bicarakan dengan tentara Belanda tadi. Rupanya para gerilyawan mengintai patroli Belanda dari kejauhan. Bapak Abdullah Angudi menjelaskan kepada TNI bahwa Bapak Abdullah Angudi adalah pengungsi yang tertangkap Belanda di Cebongan dan lalu dibawa dan ditahan di Rumah Tahanan Ngupasan di kota Yogya, lalu dilepaskan dan sekarang akan mencari keluarganya.
Pasukan TNI percaya akan keterangan Bapak Abdullah Angudi dan para gerilyawan membolehkan Bapak  Abdullah Angudi untuk meneruskan perjalanannya  mencari rombongan keluarganya. Seandainya TNI tidak percaya dan menganggap keterangan Bapak Abdullah Angudi hanya cerita buatan, Bapak Abdullah Angudi dapat dengan mudah dihabisi.
Perjalanan dari Ngupasan ke Cebongan, selain berbahaya, juga tidak melalui jalan-jalan yang biasa dilalui tetapi melalui jalan-jalan desa yang Bapak Abdullah Angudi belum tahu arahnya. Karena itu Bapak Abdullah Angudi harus  bertanya kepada rakyat desa kemana arah Cebongan, itupun kalau kebetulan ada yang bisa diajak bicara. Semua takut berhubungan dengan orang asing yang melewati desanya.
Bapak Abdullah Angudi dapat sampai ke Cebongan dengan cara sering bertanya kepada penduduk desa yang dilewatinya mana arah ke Cebongan. Selain itu juga menanyakan apakah orang melihat pengungsi dengan ciri-ciri dan jumlah rombongan pengungsi ini.  
Perintah Jenderal Sudirman kepada Divisi Siliwangi untuk kembali ke Jawa Barat tidak dapat dilakukan sekaligus dalam waktu yang segera, karena anggota pasukan Siliwangi  yang berada di Yogya bersama  keluarga mereka terpisah-pisah dibanyak tempat di rumah rakyat dan di gedung-gedung pemerintah sehingga komunikasi diantara anggotanya untuk menentukan tempat dan waktu berangkat  bersama harus dilakukan dari mulut ke mulut untuk menjaga rahasia. Itulah sebabnya pada bulan Januari 1949 masih ada sebagian anggota Divisi Siliwangi yang bergerak ke barat walaupun perintah Jenderal Sudirman dilakukan pada tanggal 19 Desember 1948.
Akhirnya Bapak Abdullah Angudi dapat menemukan rombongan pengungsi ini di kampung Kontengan. Dari Kontengan rombongan pengungsi ini berjalan ke Jumeneng Alit.
Di Jumeneng Alit sore hari, Sardjono Angudi kecil berkawan dengan anak desa seorang gembala kerbau. Ketika berdua sedang memandikan kerbau, tiba-tiba mereka berdua berada ditengah pertempuran antara TNI dan Belanda. Mereka berdua berlari meninggalkan kerbau dan berjongkok di tengah rumpun bambu. TNI yang berlarian melompati kepala mereka berdua. Tembakan sahut menyahut. Batang bambu  yang terkena peluru patah dan rebah. Ketika Sardjono Angudi kecil pulang sesampainya di rumah dimarahi ayah yang kewatir karena Sardjono Angudi kecil bermain terlalu jauh. Bila ada pertempuran yang lebih gawat ada kemungkinan Sardjono Angudi kecil terpisah dengan keluarga, itulah sebabnya Bapak marah.
Di Jumeneng Alit sesudah menginap satu malam, melihat bahwa pengungsian tidak diketahui sampai kapan akan berakhirnya dan simpanan bekal menipis, Pak dan Bu Soerono, dan putera-puteri mereka, Widodo, Suroyo dan Tuti,  berpisah dengan kami dan  mereka kembali ke Yogya.
Kemudian keluarga Angudi, keluarga besarnya dan dua pembantu dan Ibu Salam dengan anak-anaknya dan satu pembantu terus berjalan dan akhirnya sampai di desa Bligo, Ngluwar, di luar Daerah Istimewa Yogyakarta tetapi masuk ke dalam Karesidenan Kedu. Desa  Bligo terletak agak di pinggir sungai Progo dan dilewati oleh Selokan Mataram yaitu saluran yang airnya diambil dari sungai Progo.
Di desa Bligo rombongan pengungsi ini diterima dengan baik oleh seorang petani kaya yang rumahnya  besar, Pak Mangunrejo. Rombongan pengungsi ini diberi tempat  beberapa kamar untuk tinggal. Pak Mangunredjo tidak minta bayaran apapun. Pada hari pertama dirumah Pak Mangunredjo itu rombongan pengungsi ini  diberi makanan ala kadarnya.
Sesudah ditahan satu bulan di Rumah tahanan Ngupasan, Pak Salam dilepaskan oleh Belanda, berjalan kaki ke Cebongan, Kontengan, Jumeneng Alit dengan cara bertanya kepada penduduk dan  kemudian dapat menemukan keluarganya di rumah dimana kami semua berada di Desa Bligo di rumah Pak Mangunredjo.
Tadinya rombongan pengungsi ini merasa aman di desa Bligo karena jauh dari jalan raya, tetapi ternyata itu hanya harapan. 
Pada suatu pagi dari kejauhan terdengar suara pesawat pemburu Mustang. Orang menyebutnya cocor merah. Pesawat itu dinamakan cocor merah karena moncongnya  dicat merah. Mereka tahu suaranya karena beberapa kali pesawat itu melintas di atas mereka. 
Mendengar suara itu mereka saling memperingatkan dan keluar rumah. Karena suaranya makin mendekat, kami mereka masuk ke dalam lubang-lubang perlindungan yang dangkal di pinggir-pinggir rumah.
Suara pesawat itu makin mendekat, mendesing seperti suara peluit dan menderu keras, gemuruh lalu tiba-tiba …dar…dar…dar, dua pesawat itu memuntahkan peluru kaliber 12,7 mm berganti-ganti kearah rumah Pak Mangunredjo. Kemudian kami mendengar suara atap rumah yang runtuh.
Bapak Abdullah Angudi yang telah siap-siap untuk pergi karena takut pasukan Belanda akan segera datang bila penembakan telah selesai, mendengar suara jeritan dari dalam rumah. Bapak Abdullah Angudi lari ke dalam rumah dan menemukan Yatin terduduk sambil  menangis dan gemetaran. Bapak segera menarik Yatin keluar rumah sambil berlari masuk kedalam lubang perlindungan. Tanah, serpihan dahan dan daun berguguran diatas penutup lubang perlindungan mereka yang hanya berupa daun salak yang tipis. Serangan mungkin berlangsung 15 menit.
Setelah serangan selesai mereka keluar dari lubang perlindungan dengan seluruh badan gemetaran dan lutut seperti tidak dapat menahan beratnya badan. Kepala dan pakaian kotor karena tanah bekas ledakan peluru yang terhamburkan ke perlindungan mereka.
Rumah Pak Mangunredjo rusak atapnya, halaman depan rumah tempat saya sering menggambar di atas tanah berpasir yang rata dan halus, di bawah pohon sawo, menjadi seperti bekas dibajak karena kena peluru. Selongsong peluru yang besar-besar ditemukan di halaman rumah dimana-mana.
Mereka semua beruntung tidak ada  yang terkena peluru.
Mata-mata Belanda telah salah menunjukkan rumah yang besar itu yang dikiranya markas TNI. Hibah dari Sekutu berupa kelebihan senjata bekas Perang Dunia II, yang merupakan pesawat terbang tercanggih didunia pada jamannya, Mustang P-51, hanya digunakan untuk menembak sasaran yang tak berguna dari segi militer, rumah Pak Mangunrejo dan Yatin.
Pada akhir Januari 1949, Kakek Wirjo, Bu Warti dan Bu Sup yang mengungsi bersama mereka, merasa bahwa pengungsian tidak diketahui kapan akan berakhirnya, bergabung pulang ke Tegal bersama dengan rombongan Pasukan Siliwangi dan keluarganya yang melakukan Long March berjalan kaki kembali ke Jawa Barat. Penggabungan Kakek Wirjo dengan Divisi Siliwangi dilakukan pada waktu malam, karena  Pasukan Siliwangi hanya bergerak pada waktu malam  agar tidak ketahuan oleh Belanda. Rencana kakek Wirjo, bila sudah dekat dengan Tegal, akan keutara memisahkan diri dari rombongan Siliwangi.
Pada malam yang hujan, Kakek Wirjo berpamitan dengan mereka untuk bergabung dengan rombongan Pasukan Siliwangi. Mereka semua ragu apakah Kakek Wirjo dan dua bibi mereka dapat sampai ke Tegal. Ibu Abdullah Angudi menangis mengantar Bapaknya dan dua adiknya   bergabung dengan Siliwangi.
Suatu siang Kasijem mengasuh Janto di pinggir desa dekat persawahan, ketika dia melihat pesawat capung Belanda mendekati desa Bligo. Masih terpesona dan merasa ada bahaya, Kasiyem mengambil Janto ke gendongannya untuk cepat-cepat kembali ke rumah.  Kasijem masih sempat melihat pesawat capung itu mengeluarkan “bola api yang terang memancar ke atas”. Setengah berlari Kasijem kembali ke rumah dan memberi tahu orang-orang yang ada di rumah apa yang telah dilihatnya. Tiba-tiba sayup-sayup terdengar suara ledakan, diikuti suara siulan, lalu suara dedaunan yang disambar benda bergerak dan…bum, bum, bum.
Peluru meriam meledak disekitar rumah Pak Mangunredjo. Mereka segera keluar rumah dan tiarap berlindung dari pecahan-pecahan peluru meriam yang beterbangan di sekitar mereka setiap kali ada peluru yang mendesing dan meledak di dekat mereka. Kelihatannya Desa Bligo dianggap sebagai tempat persembunyian TNI.
Kemudian tembakan meriampun berakhir.
Bapak Abdullah Angudi dan Pak Salam segera mengabsen anggota keluarganya.
Tiba-tiba Bu Salam muncul sambil berlari di halaman rumah Pak Mangunredjo dimana kami tiarap. Bu Salam menjelaskan    bahwa mbok Mbok Hardjo  yang bersamanya  baru pulang dari pasar terkena pecahan peluru meriam.
Pak Salam dan Bapak segera berlari ke mbok Mbok Hardjo. Bapak Abdullah Angudi melakukan ikatan Torniquet di kaki Mbok Hardjo untuk menghentikan darah yang keluar. Sesudah tembakan meriam berhenti mereka berdua dengan bantuan rakyat lalu pergi ke Rumah Sakit Katolik di Boro sekitar 20 km dari Bligo.
Serangan itu berlangsung mungkin sekitar 20 menit dan selama itu mereka tiarap diatas tanah dimanapun mereka berada, terpisah dari masing-masing keluarga karena mereka harus segera bertiarap, tidak usah menunggu berkumpul dekat dengan keluarga masing-masing. 
Karena markas-markas tentara Belanda ada di Pabrik Gula Cebongan dan Pabrik Gula Medari, mereka menyangka bahwa tembakan-tembakan itu berasal dari sana.
Merasa kurang aman di Bligo, merekapun mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Pak Mangunredjo atas kebaikannya telah menampung mereka, lalu mereka pindah ke rumah Pak Sumoloso di kampung Bligo Kolodanan. Di kampung itu mereka memang merasa lebih aman karena agak jauh masuk lagi ke daerah tepi Sungai Progo. Dari perlindungan mereka, mereka dapat melihat orang-orang yang menjala ikan yang ikannya makan bangkai manusia yang hanyut dikali Progo.
Di Desa itu Ibu Abdullah Angudi diserahi mengajar anak-anak desa dan anak para pengungsi. Ibu Abdullah Angudi adalah tamatan sekolah guru Kweekschool, sehingga mengajar baginya bukan hal yang baru, walaupun sekolah daruratnya hanya satu ruangan terbuka di sebuah rumah. Gaji ibu Abdullah Angudi adalah beras atau singkong. Dengan menjadi guru itu mereka dapat menambah kalori yang diperlukan untuk bertahan hidup.
Sering  kalau mereka berangkat ke sekolah darurat itu, mereka melewati Selokan Mataram, mereka melihat bangkai-bangkai manusia mengapung di situ. Bangkai-bangkai itu dibiarkan dihanyutkan air. Penduduk tidak mempunyai waktu dan tenaga untuk menguburkannya, karena begitu sering mayat-mayat itu dihanyutkan. Jenazah-jenazah dengan tanda-tanda penyiksaan atau bekas luka peluru itu dibiarkan dihanjutkan air.  Mereka tidak tahu apakah mereka itu pejuang atau penghianat.
Selama mengungsi mereka kekurangan makan dan makan seadanya dari ubi kayu, keong sawah, daun genjer muda (Limnocharis flava). Mereka juga mengumpulkan bunga mlinjo (Gnetum gnemon) yang jatuh di tanah selain sedikit nasi.
Pada awal-awal 1949 Sultan Hamengku Buwono IX yang pernah sekolah di Akademi Militer Belanda di Breda, petinggi-petinggi TNI semacam Jenderal Sudirman, A.H. Nasution, T. B. Simatupang dan Kol. Soeharto merencanakan penyerbuan ke kota Yogya untuk membuktikan bahwa Republik Indonesia masih ada.
Pada tanggal 1 Maret 1949 TNI menyerang secara besar-besaran kota Yogya antara jam 6 pagi sampai siang dipimpin oleh Letkol. Soeharto sehingga  tentara Belanda tidak berani keluar dari markasnya. Selama setengah hari Yogya dikuasai oleh TNI, kemudian TNI mundur lagi. Berita tentang dikuasainya Yogya oleh RI walaupun hanya sebentar, yang disiarkan melalui RRI Darurat di Sumatera dan dipancarkan keseluruh dunia dari  India, menggegerkan sidang Dewan Keamanan PBB yang kemudian memerintahkan Belanda meninggalkan Indonesia.
Pada tanggl 29 Juni 1949, sesudah menduduki Yogya selama tujuh bulan, tentara Belanda mundur dan TNI masuk Yogya.  Penyerangan 1 Maret 1949 oleh TNI di seluruh kota Yogya dan sekitarnya membuktikan kepada Dewan Keamanan PBB bahwa Republik Indonesia masih ada. 
Kami para pengungsi yaitu keluarga Pak Salam dan keluarga  Pak Angudi  dan penduduk desa mendengar berita mundurnya tentara Belanda dari pasar darurat mingguan di desa. Pasar adalah sumber informasi, desas-desus dan perang urat syaraf antara mata-mata Belanda dan TNI.
Setengah tidak percaya bahwa Belanda akan mundur secepat itu karena senjata yang dimiliki Belanda sangat tidak seimbang dengan apa yang dimiliki TNI, kami dan para pengungsi lainnya pun memutuskan untuk kembali ke Yogya.
Kami berterimakasih dan berpamitan kepada Pak dan Bu Sumoloso di Bligo Kolodanan dan kemudian kembali ke Yogya.

Sesudah perang
Lebaran di Purwokerto satu tahun sesudah Perang Kemerdekaan II, 1950. Yang ditangkap Tentara Belanda: Bp Abdullah Angudi (berdiri paling kanan), Bp Abdulsalam (berdiri ke-2 dari kanan). Isteri-isteri yang mengungsi: Bu Salam (berdiri ke-3 dari kanan), Bu Abdullah Angudi (berdiri ke-5 dari kanan).Yang melihat pesawat capung memberi tanda untuk meriam: Kasijem (duduk paling kiri,  memangku Sudijanto).Anak-anak yang  melihat penangkapan di Cebongan:Wibowo (duduk depan ke-4 dari kiri) dan Sardjono (duduk depan ke-6 dari kiri). Pelukis Soerono melukiskan penangkapan itu berdasar keterangan Wibowo dan Sardjono. Ikut mengungsi: Istimiarti dan Nani (duduk depan ke-3 dan ke-2 dari kanan). Toyo dan Djuki berdiri ke-1 dan ke-2 dari kiri adalah Tentara Pelajar. Tidak diceritakan dalam riwayat ini.
Lebaran di Tegal dua tahun sesudah mengungsi, 1951.
Kakek Wirjo (berdiri paling kiri), Bu Suwarti dan  Bu Supiah (dewasa, berdiri no 3 dan no 4 dari kiri), berjalan kaki dari Tegal ke Temanggung, lalu dari Yogya kembali ke Tegal bersama Divisi Siliwangi. Seluruh perjalanan 600 km melewati daerah berbahaya. Berdiri dewasa no 5, 6, 7 dan 8. adalah Bp. Abdullah Angudi, Bu Sudiyati (isteri A.Angudi), Bu Khotijah (isteri Umar Khasan) dan Bp Umar Khasan.
 
Kakek Wirjo, Suwarti dan Supiah selamat mencapai Tegal kira-kira Februari 1949 setelah ikut rombongan Pasukan Siliwangi ber-Long March ke barat dari Desa Bligo (Kedu).
Di Bangirejo Taman  No. 17, kira-kira pada 1950, Abdulsalam menggambar cerita bergambar Kisah Pendudukan Yogya sambil mengajar di Akademi Seni Rupa Indonesia. Mungkin cerita bergambar ini merupakan cerita bergambar sejarah pertama yang diterbitkan sesudah kemerdekaan. Kemudian Abdulsalam ditugaskan ke Negeri Belanda untuk menggambar satu ringgit uang De Javaasche Bank.
Soerono melukis penangkapan di Cebongan. Lukisan dipamerkan di Gedung Seni Sono Yogya pada 1951. Lukisan itu adalah salah satu lukisan koleksi Presiden Soekarno yang tercantum dalam buku Koleksi Lukisan Presiden Soekarno yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Rakjat Tiongkok. Kemudian Soerono pindah ke Bali dan melukis di Bali.
Pak Tino Sidin yang saya jumpai di Yogya waktu saya anak-anak pada 1948, pada tahun 1980-an mengajar menggambar untuk anak-anak di TVRI.
Abdullah Angudi lulus insinyur sipil dari UGM pada 1958. Pada 1960  melengkapi gagasan Prof. W. J. van Bloemmestein dan Ir. Van Scravendijk untuk memperkuat kemungkinan pembangunan Waduk  Jatiluhur (Waduk Ir. H. Djuanda) yang membendung Citarum dan mengusulkan kepada pemerintah agar Bendungan Jatiluhur dapat dilaksanakan disertai multifungsi pengelolannya. Kemudian menjadi Direktur Pengairan Departemen Pekerjaan Umum.  
Suwarti menjadi  staf administrasi pada Kodam VII Diponegoro.
Supiah menjadi seorang guru SD
Isti menjadi isteri Kol. TNI AU.
Yanto menjadi pegawai BUMN.
Umar Khasan menjadi Bupati Grobogan
Marjanto lulus sebagai Sarjana Muda Hukum dari Universitas Diponegoro.
Margiono lulus sebagai Sarjana Muda Teknik dari Universitas Diponegoro.
Kasiyem pulang ke Cilacap.
Yatin kembali ke Temanggung.
Mbok Harjo bertemu lagi dengan keluarganya di Yogya.
Sardjono Angudi menyelesaikan S1 Pertanian di Universitas Padjadjaran dan bekerja di ICI, Dow dan pensiun dari DuPont.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar