Kisah Pengungsian Keluarga Abdullah
Angudi Selama Agresi Belanda ke II
Oleh : Sardjono Angudi
Di Yogya
keluarga besar Abdullah
Angudi tinggal di sebuah rumah petak di
Jl. Bugisan no. 5 di mana beberapa
keluarga sudah tinggal sebelumnya, yaitu
keluarga-keluarga pelukis grafis Abdulsalam dan pelukis Soerono.
Ditengah
rumah terdapat ruangan yang agak luas dan bersih yang digunakan sebagai tempat kerja para pelukis yang tiap pagi
datang dan pulang siang hari. Mereka yang sering saya lihat adalah adalah
pelukis-pelukis Soedibjo yang rambutnya
klimis, Ramli, Oesman Effendi dan Tino Sidin selain Soerono dan Abdulsalam.
Kadang-kadang datang pelukis tamu yaitu Soekamto dan pernah Pak Djon panggilan
pelukis S. Soedjojono ke Jalan Bugisan.
Di ruang
tengah itulah terdapat lukisan-lukisan bernuansa perjuangan pesanan Kementerian
Pemuda dan Pembangunan di antara lukisan-lukisan lainnya, tube cat minyak dan
kwas.
Di masa perjuangan, anak-anak di rumah di Jl. Bugisan 5 itu pernah juga
dikumpulkan oleh para pelukis dan diberi bahan-bahan untuk menggambar di
halaman kantor. Lukisan anak-anak dikumpulkan dan dipajang. Beberapa tamu
datang dan melihat lukisan-lukisan itu. Anak-anak merasa gembira dan bangga
bahwa lukisan mereka dilihat para tamu. Pak Soerono menjelaskan lukisan itu
dari segi pemikiran anak-anak kepada para tamu yang datang.
Dalam tahun-tahun yang penuh ketegangan itu para seniman lukis dan
karikaturis berjuang dengan caranya sendiri yang khas. Di depan Gedung Negara
di Yogya tertera grafiti bagus menurut kaidah lettering yang dibuat
dengan kwas dan tatabahasa Inggris yang benar We Don’t Want to be
Ruled by Any Other Nations. Tentulah seorang seniman yang tak mau dikenal
yang membuatnya dan seorang politikus pejuang yang merahasiakan dirinya yang
mendiktekan kalimatnya.
Di depan Gedung Negara
di Yogya tertera grafiti bagus menurut kaidah lettering yang dibuat
dengan kwas dan tatabahasa Inggris yang benar
"We Don’t Want to be
Ruled by Any Other Nations."
Di Taman Siswa, di Jl. Bintaran ada percetakan yang dikerjakan dengan
tangan. Mereka para seniman membuat koran dari kertas merang yang tipis dan
mudah robek, isinya menyemangati perjuangan. Apa boleh buat kertas apa
saja dipakai untuk menggugah semangat perjuangan bangsa. Selain itu sering
karikatur-karikatur Pak Salam diberikan begitu saja untuk Harian Kedaulatan
Rakjat, Nasional dan Patriot yang terbit di Yogya.
Pada suatu malam Minggu seperti biasanya 10 remaja belasan tahun yang
mnamakan dirinya Anak-anak dari Patangpuluhan menggelar Orkes
Bambu dengan seruling bambu, bas tiup bambu, ukulele, gitar dan ketipung
dengan penyanyi tercantik Isti Karniah. Anak-anak kampung lainnya menjadi
penonton dengan gembira. Mereka tidak pernah menyangka bahwa besok paginya akan
ada peristiwa yang sangat genting bagi negaranya.
Esok harinya pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 7 pagi
tentara Belanda menyerbu dan menduduki Yogyakarta. Inilah yang dinamakan Agresi
Militer Belanda ke-II atau Operatie Kraai.
Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, Sutan Sjahrir dan Haji Agus
Salim dan pemimpin-pemimpin Indonesia lainnya ditangkap Belanda dan diasingkan.
Pada serangan ini dikerahkan 432 orang dari Korps Speciale Troepen, 2600
orang dari Grup Tempur M dan 1900 orang dari Grup Tempur T dibawah pimpinan
Kapt. Eckhout menyerang lapangan terbang Meguwo.
Sebanyak 128 orang pasukan Siliwangi dari 150 orang yang bertugas menjaga
lapangan terbang Meguwo, kalah dalam jumlah dan kalah dalam teknologi
persenjataan, gugur. Duapuluh dua lainnya tidak diketahui nasibnya.
Kalau pada Agresi Militer Belanda ke-I Belanda melanggar
Persetujuan Linggarjati, maka pada Agresi Militer ke-II ini Belanda melanggar
Persetujuan Renville yang diadakan pada bulan Januari 1948 di kapal Amerika USS
Renville.
Pada masa
itu Sardjono Angudi melihat kartupos Republik
dengan pesan dari Jenderal Sudirman: “Pertahankan kampung dan halaman!”
Pada hari itu juga Panglima Besar Sudirman memerintahkan Pasukan
Siliwangi yang beberapa bulan sebelumnya telah hijrah dari Jawa Barat ke Yogya,
untuk kembali ke daerahnya, sedangkan Jenderal Soedirman yang sedang sakit
paru-paru memimpin gerilya di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Hari Senen tanggal 20 Desember 1948 yaitu sehari sesudah Belanda
menyerang Yogya, keluarga Pak Salam, keluarga Soerono, Oesman Effendi, Soedibjo
dan keluarga besar kami mengungsi ke Desa Cebongan masih masuk daerah
Yogya di rumah pegawai bagian administrasi, Pak Kambali yang menawarkan
rumahnya untuk pengungsian.
Keluarga
besar Abdullah Angudi yang terdiri Bapak, ibu, Sardjono Angudi kecil dan dua adik Sardjono
Angudi kecil
yang bernama Isti dan Yanto, dua pembantu yang tidak sempat pulang ke desanya
sehingga ikut mengungsi bersama keluarga besar Abdullah Angudi, yaitu Kasijem dan Jatin. Kakek Wirjo, Bu Suwarti dan Bu Supiah juga
ikut mengungsi.
Keluarga besar Pak Salam adalah Pak dan Bu Salam, Wibowo, Nani dan
seorang pembantu mbok Mbok Hardjo.
Perjalanan
ke Cebongan itu menyiksa Sardjono
Angudi kecil yang sebagai anak yang baru
berumur delapan tahun karena panas, haus, lapar dan perjalanan yang jauh.
Perjalanan tidak langsung menuju Cebongan yaitu kearah utara, tetapi
melingkar untuk menghindar dari jalan-jalan besar yang diduga telah diduduki
Belanda.
Di sebelah barat Pingit kami melihat korban serangan Belanda satu hari
sebelumnya yaitu dua orang yang tergeletak di jalan dengan mobil sedan hitam
yang pintunya terbuka. Di sudut jalan seorang ibu membawa nangka tergelatak
mati. Kami belum pernah melihat hal yang mengerikan seperti itu. Kami
cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
Siang harinya sekitar jam dua rombongan baru sampai di rumah Pak Kambali
di Cebongan.
Tanpa diduga-duga esok harinya empat tentara Belanda bersenjata
mitralyur, sten, karaben dan pistol datang menggerebeg. Pak Salam, Usman Effendi,
Soedibjo, dan Bapak Abdullah Angudi, ditangkap Tentara Belanda. Anak-anak
disuruh masuk rumah oleh Tentara Belanda itu.
Pak Soerono, kakek Wirjo dan beberapa orang lainnya tidak tertangkap
karena sedang mandi di sungai dekat rumah yang jembatannya sudah dihancurkan
oleh TNI.
Ketika keluar rumah, Tentara Belanda dan tawanan mereka sudah
pergi. Kami tidak tahu dibawa kemana para tawanan itu. Karena para suami
dan laki-laki-dewasa dibawa tentara Belanda, ibu-ibu dan anak-anaknya dan para
pengungsi lainnya, dengan perasaan gundah, dipimpin oleh Pak Soerono
satu-satunya lelaki muda, besok paginya meninggalkan Cebongan.
Kami melanjutkan perjalanan ke kampung berikutnya yaitu kampung
Kontengan. Pokoknya meninggalkan Cebongan saja. Kami tidak tahu arah tujuannya
dan apa yang akan menimpa.
Ibu Abdullah Angudi tidak mempunyai apa-apa
kecuali perhiasan emas yang disimpan dijahit di ikat pinggang wanita (stagen,
Jw) sebagai bekal. Di Kontengan kami mendapati beberapa rumah reyot dengan
dinding bambu lapuk yang berlubang sebagai tempat kami berteduh. Rumah reyot
itu adalah gudang tempat penyimpanan gula pasir milik tengkulak. Angin malam
bertiup menembus dinding. Udara sangat dingin.
Sementara itu Pak Salam dan Bapak Abdullah
Angudi dibawa
dengan truk dari Pabrik Gula Cebongan yang menjadi markas Belanda ke
Rumah Tahanan Ngupasan di belakang Gedung Negara di kota Yogya. Pada perjalanan
diwaktu pagi itu pasukan Belanda tidak diserang oleh gerilyawan
TNI.
Selama interogasi berhari-hari dalam tahanan, Belanda tidak menemukan
bukti-bukti bahwa Pak Salam dan Bapak Abdullah
Angudi adalah
gerilyawan, sehingga mereka lepas dari nasib yang lebih buruk. Untungnya
Belanda juga tidak mengetahui bahwa Bapak adalah orang yang dicari intel
militer IVG di Temanggung karena melakukan pembumihangusan bersama TNI.
Bisa jadi juga dalam interogasi selama satu minggu itu Bapak Abdullah Angudi tidak pernah
menyinggung-nyinggung tentang Temanggung, seandainya hal ini terungkap niscaya
Bapak akan dihabisi.
Sesudah satu minggu Bapak Abdullah
Angudi dilepaskan
oleh Belanda dan Bapak Abdullah
Angudi berjalan
menuju Cebongan mencari kemana kami mengungsi.
Berjalan kaki dari Rumah Tahanan Ngupasan ke luar kota melalui
jalan-jalan yang asing yang belum pernah dilaluinya, sangatlah menakutkan.
Tidak ada orang yang berkerja disawah ataupun lalu lalang. Sialnya dalam
perjalanan ke Cebongan itu, Bapak Abdullah
Angudi kepergok
tentara Belanda yang sedang patroli di pedesaan. Bapak Abdullah Angudi akan ditawan lagi. Bapak Abdullah Angudi menjelaskan bahwa Bapak Abdullah Angudi baru dilepas dari Rumah
Tahanan Ngupasan. Setelah tentara Belanda itu menanyakan Rumah Tahanan Ngupasan
melalui radio apakah benar ada nama Angudi yang baru dibebaskan, tentara
Belanda itu membolehkan Bapak pergi.
Saat seperti itu adalah hal yang mengerikan. Bapak Abdullah Angudi tahu bahwa adik iparnya,
Adi, ditangkap Belanda, disuruh pergi dan ditembak dari belakang.
Dalam masa Perang Kemerdekaan II ini pula, Menteri Pemuda dan Pembangunan, yaitu menteri yang membawahi para pelukis di Jl. Bugisan, tertangkap oleh Tentara Belanda dan ditembak mati. Nama Menteri Soepeno diabadikan sebagai nama jalan di Semarang, Yogyakarta dan kota lainnya.
Dalam masa Perang Kemerdekaan II ini pula, Menteri Pemuda dan Pembangunan, yaitu menteri yang membawahi para pelukis di Jl. Bugisan, tertangkap oleh Tentara Belanda dan ditembak mati. Nama Menteri Soepeno diabadikan sebagai nama jalan di Semarang, Yogyakarta dan kota lainnya.
Bahaya lainnya adalah bahwa gerilyawan Indonesia mencurigai semua orang
yang datang dari kota ke desa sebagai mata-mata Belanda. Mata-mata Belanda
sering ke desa-desa untuk mengetahui pergerakan TNI. Mereka sering berpura-pura
sebagai pedagang kelontong eceran dari kota dan masuk kepasar yang dibuka
seminggu sekali.
Sesudah kepergok patroli Belanda, Bapak Abdullah Angudi masuk ke daerah Republik. Di daerah Republik Bapak Abdullah Angudi ditanya oleh pasukan
gerilya yang berjaga di situ, apa yang Bapak bicarakan dengan tentara Belanda
tadi. Rupanya para gerilyawan mengintai patroli Belanda dari kejauhan. Bapak Abdullah Angudi menjelaskan kepada TNI
bahwa Bapak Abdullah
Angudi adalah
pengungsi yang tertangkap Belanda di Cebongan dan lalu dibawa dan ditahan di
Rumah Tahanan Ngupasan di kota Yogya, lalu dilepaskan dan sekarang akan mencari
keluarganya.
Pasukan TNI percaya akan keterangan Bapak Abdullah Angudi dan para gerilyawan membolehkan Bapak Abdullah Angudi untuk meneruskan
perjalanannya mencari rombongan keluarganya. Seandainya TNI tidak percaya
dan menganggap keterangan Bapak Abdullah
Angudi hanya
cerita buatan, Bapak Abdullah
Angudi dapat
dengan mudah dihabisi.
Perjalanan dari Ngupasan ke Cebongan, selain berbahaya, juga tidak
melalui jalan-jalan yang biasa dilalui tetapi melalui jalan-jalan desa yang
Bapak Abdullah Angudi belum tahu arahnya. Karena
itu Bapak Abdullah Angudi harus bertanya kepada
rakyat desa kemana arah Cebongan, itupun kalau kebetulan ada yang bisa diajak
bicara. Semua takut berhubungan dengan orang asing yang melewati desanya.
Bapak Abdullah
Angudi dapat
sampai ke Cebongan dengan cara sering bertanya kepada penduduk desa yang
dilewatinya mana arah ke Cebongan. Selain itu juga menanyakan apakah orang
melihat pengungsi dengan ciri-ciri dan jumlah rombongan pengungsi ini.
Perintah Jenderal Sudirman kepada Divisi Siliwangi untuk kembali ke Jawa
Barat tidak dapat dilakukan sekaligus dalam waktu yang segera, karena anggota
pasukan Siliwangi yang berada di Yogya bersama keluarga mereka
terpisah-pisah dibanyak tempat di rumah rakyat dan di gedung-gedung pemerintah
sehingga komunikasi diantara anggotanya untuk menentukan tempat dan waktu
berangkat bersama harus dilakukan dari mulut ke mulut untuk menjaga
rahasia. Itulah sebabnya pada bulan Januari 1949 masih ada sebagian anggota
Divisi Siliwangi yang bergerak ke barat walaupun perintah Jenderal Sudirman
dilakukan pada tanggal 19 Desember 1948.
Akhirnya Bapak Abdullah
Angudi dapat
menemukan rombongan pengungsi ini di kampung Kontengan. Dari Kontengan rombongan
pengungsi ini berjalan ke Jumeneng Alit.
Di
Jumeneng Alit sore hari, Sardjono
Angudi kecil berkawan dengan anak desa
seorang gembala kerbau. Ketika berdua sedang memandikan kerbau, tiba-tiba mereka
berdua berada ditengah pertempuran antara TNI dan Belanda. Mereka berdua
berlari meninggalkan kerbau dan berjongkok di tengah rumpun bambu. TNI yang
berlarian melompati kepala mereka berdua. Tembakan sahut menyahut. Batang
bambu yang terkena peluru patah dan rebah. Ketika Sardjono Angudi kecil pulang sesampainya di rumah dimarahi ayah yang kewatir karena Sardjono Angudi kecil bermain terlalu jauh. Bila ada pertempuran yang lebih gawat ada
kemungkinan Sardjono
Angudi kecil terpisah dengan keluarga,
itulah sebabnya Bapak marah.
Di Jumeneng Alit sesudah menginap satu malam, melihat bahwa pengungsian
tidak diketahui sampai kapan akan berakhirnya dan simpanan bekal menipis, Pak
dan Bu Soerono, dan putera-puteri mereka, Widodo, Suroyo dan Tuti,
berpisah dengan kami dan mereka kembali ke Yogya.
Kemudian keluarga Angudi, keluarga besarnya dan dua pembantu dan Ibu
Salam dengan anak-anaknya dan satu pembantu terus berjalan dan akhirnya sampai
di desa Bligo, Ngluwar, di luar Daerah Istimewa Yogyakarta tetapi masuk ke
dalam Karesidenan Kedu. Desa Bligo terletak agak di pinggir sungai Progo
dan dilewati oleh Selokan Mataram yaitu saluran yang airnya diambil dari sungai
Progo.
Di desa Bligo rombongan pengungsi ini diterima dengan baik oleh seorang
petani kaya yang rumahnya besar, Pak Mangunrejo. Rombongan pengungsi ini
diberi tempat beberapa kamar untuk tinggal. Pak Mangunredjo tidak minta
bayaran apapun. Pada hari pertama dirumah Pak Mangunredjo itu rombongan
pengungsi ini diberi makanan ala
kadarnya.
Sesudah ditahan satu bulan di Rumah tahanan Ngupasan, Pak Salam
dilepaskan oleh Belanda, berjalan kaki ke Cebongan, Kontengan, Jumeneng Alit
dengan cara bertanya kepada penduduk dan kemudian dapat menemukan
keluarganya di rumah dimana kami semua berada di Desa Bligo di rumah Pak
Mangunredjo.
Tadinya rombongan
pengungsi ini merasa aman di desa Bligo karena jauh dari jalan raya, tetapi
ternyata itu hanya harapan.
Pada suatu
pagi dari kejauhan terdengar suara pesawat pemburu Mustang. Orang menyebutnya cocor merah. Pesawat itu dinamakan cocor
merah karena moncongnya dicat merah. Mereka
tahu suaranya karena beberapa kali pesawat itu melintas di atas mereka.
Mendengar
suara itu mereka saling memperingatkan dan keluar rumah. Karena suaranya makin
mendekat, kami mereka masuk ke dalam lubang-lubang perlindungan yang dangkal di
pinggir-pinggir rumah.
Suara
pesawat itu makin mendekat, mendesing seperti suara peluit dan menderu keras,
gemuruh lalu tiba-tiba …dar…dar…dar, dua pesawat itu memuntahkan peluru kaliber
12,7 mm berganti-ganti kearah rumah Pak Mangunredjo. Kemudian kami mendengar
suara atap rumah yang runtuh.
Bapak Abdullah Angudi yang telah siap-siap untuk pergi karena takut pasukan
Belanda akan segera datang bila penembakan telah selesai, mendengar suara
jeritan dari dalam rumah. Bapak Abdullah
Angudi lari ke dalam rumah dan menemukan
Yatin terduduk sambil menangis dan
gemetaran. Bapak segera menarik Yatin keluar rumah sambil berlari masuk kedalam
lubang perlindungan. Tanah, serpihan dahan dan daun berguguran diatas penutup
lubang perlindungan mereka yang hanya berupa daun salak yang tipis. Serangan
mungkin berlangsung 15 menit.
Setelah serangan
selesai mereka keluar dari lubang perlindungan dengan seluruh badan gemetaran
dan lutut seperti tidak dapat menahan beratnya badan. Kepala dan pakaian kotor
karena tanah bekas ledakan peluru yang terhamburkan ke perlindungan mereka.
Rumah Pak
Mangunredjo rusak atapnya, halaman depan rumah tempat saya sering menggambar di
atas tanah berpasir yang rata dan halus, di bawah pohon sawo, menjadi seperti
bekas dibajak karena kena peluru. Selongsong peluru yang besar-besar ditemukan
di halaman rumah dimana-mana.
Mereka semua
beruntung tidak ada yang terkena peluru.
Mata-mata
Belanda telah salah menunjukkan rumah yang besar itu yang dikiranya markas TNI.
Hibah dari Sekutu berupa kelebihan senjata bekas Perang Dunia II, yang
merupakan pesawat terbang tercanggih didunia pada jamannya, Mustang P-51, hanya
digunakan untuk menembak sasaran yang tak berguna dari segi militer, rumah Pak
Mangunrejo dan Yatin.
Pada akhir Januari
1949, Kakek Wirjo, Bu Warti dan Bu Sup yang mengungsi bersama mereka, merasa
bahwa pengungsian tidak diketahui kapan akan berakhirnya, bergabung pulang ke
Tegal bersama dengan rombongan Pasukan Siliwangi dan keluarganya yang melakukan
Long March berjalan kaki kembali ke
Jawa Barat. Penggabungan Kakek Wirjo dengan Divisi Siliwangi dilakukan pada
waktu malam, karena Pasukan Siliwangi
hanya bergerak pada waktu malam agar
tidak ketahuan oleh Belanda. Rencana kakek Wirjo, bila sudah dekat dengan
Tegal, akan keutara memisahkan diri dari rombongan Siliwangi.
Pada malam yang hujan,
Kakek Wirjo berpamitan dengan mereka untuk bergabung dengan rombongan Pasukan
Siliwangi. Mereka semua ragu apakah Kakek Wirjo dan dua bibi mereka dapat
sampai ke Tegal. Ibu Abdullah Angudi menangis mengantar Bapaknya dan dua
adiknya bergabung dengan Siliwangi.
Suatu siang
Kasijem mengasuh Janto di pinggir desa dekat persawahan, ketika dia melihat
pesawat capung Belanda mendekati desa Bligo. Masih terpesona dan merasa ada
bahaya, Kasiyem mengambil Janto ke gendongannya untuk cepat-cepat kembali ke
rumah. Kasijem masih sempat melihat
pesawat capung itu mengeluarkan “bola api yang terang memancar ke atas”.
Setengah berlari Kasijem kembali ke rumah dan memberi tahu orang-orang yang ada
di rumah apa yang telah dilihatnya. Tiba-tiba sayup-sayup terdengar suara
ledakan, diikuti suara siulan, lalu suara dedaunan yang disambar benda bergerak
dan…bum, bum, bum.
Peluru
meriam meledak disekitar rumah Pak Mangunredjo. Mereka segera keluar rumah dan
tiarap berlindung dari pecahan-pecahan peluru meriam yang beterbangan di
sekitar mereka setiap kali ada peluru yang mendesing dan meledak di dekat mereka.
Kelihatannya Desa Bligo dianggap sebagai tempat persembunyian TNI.
Kemudian
tembakan meriampun berakhir.
Bapak Abdullah Angudi dan Pak Salam segera mengabsen anggota keluarganya.
Tiba-tiba Bu
Salam muncul sambil berlari di halaman rumah Pak Mangunredjo dimana kami
tiarap. Bu Salam menjelaskan bahwa
mbok Mbok Hardjo yang bersamanya baru pulang dari pasar terkena pecahan peluru
meriam.
Pak Salam
dan Bapak segera berlari ke mbok Mbok Hardjo. Bapak Abdullah Angudi melakukan ikatan Torniquet di kaki Mbok Hardjo
untuk menghentikan darah yang keluar. Sesudah tembakan meriam berhenti mereka
berdua dengan bantuan rakyat lalu pergi ke Rumah Sakit Katolik di Boro sekitar
20 km dari Bligo.
Serangan itu
berlangsung mungkin sekitar 20 menit dan selama itu mereka tiarap diatas tanah
dimanapun mereka berada, terpisah dari masing-masing keluarga karena mereka
harus segera bertiarap, tidak usah menunggu berkumpul dekat dengan keluarga
masing-masing.
Karena
markas-markas tentara Belanda ada di Pabrik Gula Cebongan dan Pabrik Gula
Medari, mereka menyangka bahwa tembakan-tembakan itu berasal dari sana.
Merasa kurang aman di Bligo, merekapun mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Pak Mangunredjo atas kebaikannya telah menampung mereka, lalu mereka pindah ke rumah Pak Sumoloso di kampung Bligo Kolodanan. Di kampung itu mereka memang merasa lebih aman karena agak jauh masuk lagi ke daerah tepi Sungai Progo. Dari perlindungan mereka, mereka dapat melihat orang-orang yang menjala ikan yang ikannya makan bangkai manusia yang hanyut dikali Progo.
Merasa kurang aman di Bligo, merekapun mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Pak Mangunredjo atas kebaikannya telah menampung mereka, lalu mereka pindah ke rumah Pak Sumoloso di kampung Bligo Kolodanan. Di kampung itu mereka memang merasa lebih aman karena agak jauh masuk lagi ke daerah tepi Sungai Progo. Dari perlindungan mereka, mereka dapat melihat orang-orang yang menjala ikan yang ikannya makan bangkai manusia yang hanyut dikali Progo.
Di Desa itu
Ibu Abdullah Angudi diserahi mengajar anak-anak desa dan anak para
pengungsi. Ibu Abdullah
Angudi adalah tamatan sekolah guru Kweekschool, sehingga mengajar baginya
bukan hal yang baru, walaupun sekolah daruratnya hanya satu ruangan terbuka di
sebuah rumah. Gaji ibu Abdullah
Angudi adalah beras atau singkong. Dengan
menjadi guru itu mereka dapat menambah kalori yang diperlukan untuk bertahan
hidup.
Sering kalau mereka berangkat ke sekolah darurat
itu, mereka melewati Selokan Mataram, mereka melihat bangkai-bangkai manusia
mengapung di situ. Bangkai-bangkai itu dibiarkan dihanyutkan air. Penduduk
tidak mempunyai waktu dan tenaga untuk menguburkannya, karena begitu sering
mayat-mayat itu dihanyutkan. Jenazah-jenazah dengan tanda-tanda penyiksaan atau
bekas luka peluru itu dibiarkan dihanjutkan air. Mereka tidak tahu apakah mereka itu pejuang
atau penghianat.
Selama
mengungsi mereka kekurangan makan dan makan seadanya dari ubi kayu, keong
sawah, daun genjer muda (Limnocharis
flava). Mereka juga mengumpulkan bunga mlinjo (Gnetum gnemon) yang jatuh di tanah selain sedikit nasi.
Pada
awal-awal 1949 Sultan Hamengku Buwono IX yang pernah sekolah di Akademi Militer
Belanda di Breda, petinggi-petinggi TNI semacam Jenderal Sudirman, A.H.
Nasution, T. B. Simatupang dan Kol. Soeharto merencanakan penyerbuan ke kota
Yogya untuk membuktikan bahwa Republik Indonesia masih ada.
Pada tanggal
1 Maret 1949 TNI menyerang secara besar-besaran kota Yogya antara jam 6 pagi
sampai siang dipimpin oleh Letkol. Soeharto sehingga tentara Belanda tidak berani keluar dari
markasnya. Selama setengah hari Yogya dikuasai oleh TNI, kemudian TNI mundur
lagi. Berita tentang dikuasainya Yogya oleh RI walaupun hanya sebentar, yang
disiarkan melalui RRI Darurat di Sumatera dan dipancarkan keseluruh dunia
dari India, menggegerkan sidang Dewan
Keamanan PBB yang kemudian memerintahkan Belanda meninggalkan Indonesia.
Pada tanggl
29 Juni 1949, sesudah menduduki Yogya selama tujuh bulan, tentara Belanda
mundur dan TNI masuk Yogya. Penyerangan
1 Maret 1949 oleh TNI di seluruh kota Yogya dan sekitarnya membuktikan kepada
Dewan Keamanan PBB bahwa Republik Indonesia masih ada.
Kami para
pengungsi yaitu keluarga Pak Salam dan keluarga
Pak Angudi dan penduduk desa
mendengar berita mundurnya tentara Belanda dari pasar darurat mingguan di desa.
Pasar adalah sumber informasi, desas-desus dan perang urat syaraf antara
mata-mata Belanda dan TNI.
Setengah
tidak percaya bahwa Belanda akan mundur secepat itu karena senjata yang
dimiliki Belanda sangat tidak seimbang dengan apa yang dimiliki TNI, kami dan
para pengungsi lainnya pun memutuskan untuk kembali ke Yogya.
Kami
berterimakasih dan berpamitan kepada Pak dan Bu Sumoloso di Bligo Kolodanan dan
kemudian kembali ke Yogya.
Sesudah
perang
Lebaran di Purwokerto satu tahun sesudah Perang Kemerdekaan II, 1950.
Yang ditangkap Tentara Belanda: Bp Abdullah Angudi (berdiri paling kanan), Bp Abdulsalam (berdiri ke-2 dari kanan). Isteri-isteri yang mengungsi: Bu Salam (berdiri ke-3 dari kanan), Bu Abdullah Angudi (berdiri ke-5 dari kanan).Yang melihat pesawat capung memberi tanda untuk meriam: Kasijem (duduk paling kiri, memangku Sudijanto).Anak-anak yang melihat penangkapan di Cebongan:Wibowo
(duduk depan ke-4 dari kiri) dan Sardjono (duduk depan ke-6 dari kiri).
Pelukis Soerono melukiskan penangkapan itu berdasar keterangan Wibowo
dan Sardjono. Ikut mengungsi: Istimiarti dan Nani (duduk depan ke-3 dan ke-2 dari kanan).
Toyo dan Djuki berdiri ke-1 dan ke-2 dari kiri adalah Tentara Pelajar. Tidak diceritakan dalam riwayat ini.
Kakek Wirjo (berdiri paling kiri), Bu Suwarti dan Bu Supiah (dewasa,
berdiri no 3 dan no 4 dari kiri), berjalan kaki dari Tegal ke
Temanggung, lalu dari Yogya kembali ke Tegal bersama Divisi Siliwangi.
Seluruh perjalanan 600 km melewati daerah berbahaya. Berdiri dewasa no
5, 6, 7 dan 8. adalah Bp. Abdullah Angudi, Bu Sudiyati (isteri A.Angudi), Bu Khotijah (isteri Umar Khasan) dan Bp Umar Khasan.
Kakek Wirjo,
Suwarti dan Supiah selamat mencapai Tegal kira-kira Februari 1949 setelah ikut
rombongan Pasukan Siliwangi ber-Long
March ke barat dari Desa Bligo (Kedu).
Di
Bangirejo Taman No. 17, kira-kira pada
1950, Abdulsalam menggambar cerita bergambar Kisah Pendudukan Yogya sambil mengajar di Akademi Seni Rupa
Indonesia. Mungkin cerita bergambar ini merupakan cerita bergambar sejarah
pertama yang diterbitkan sesudah kemerdekaan. Kemudian Abdulsalam ditugaskan ke
Negeri Belanda untuk menggambar satu ringgit uang De Javaasche Bank.
Soerono
melukis penangkapan di Cebongan. Lukisan dipamerkan di Gedung Seni Sono Yogya
pada 1951. Lukisan itu adalah salah satu lukisan koleksi Presiden Soekarno yang
tercantum dalam buku Koleksi Lukisan
Presiden Soekarno yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Rakjat
Tiongkok. Kemudian Soerono pindah ke Bali dan melukis di Bali.
Pak
Tino Sidin yang saya jumpai di Yogya waktu saya anak-anak pada 1948, pada tahun
1980-an mengajar menggambar untuk anak-anak di TVRI.
Abdullah
Angudi lulus insinyur sipil dari UGM pada 1958. Pada 1960 melengkapi gagasan Prof. W. J. van
Bloemmestein dan Ir. Van Scravendijk untuk memperkuat kemungkinan pembangunan
Waduk Jatiluhur (Waduk Ir. H. Djuanda)
yang membendung Citarum dan mengusulkan kepada pemerintah agar Bendungan
Jatiluhur dapat dilaksanakan disertai multifungsi pengelolannya. Kemudian menjadi
Direktur Pengairan Departemen Pekerjaan Umum.
Suwarti
menjadi staf administrasi pada Kodam VII
Diponegoro.
Supiah
menjadi seorang guru SD
Isti menjadi
isteri Kol. TNI AU.
Yanto
menjadi pegawai BUMN.
Umar Khasan
menjadi Bupati Grobogan
Marjanto
lulus sebagai Sarjana Muda Hukum dari Universitas Diponegoro.
Margiono
lulus sebagai Sarjana Muda Teknik dari Universitas Diponegoro.
Kasiyem
pulang ke Cilacap.
Yatin
kembali ke Temanggung.
Mbok Harjo
bertemu lagi dengan keluarganya di Yogya.
Sardjono
Angudi menyelesaikan S1 Pertanian di Universitas Padjadjaran dan bekerja di
ICI, Dow dan pensiun dari DuPont.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar