Kamis, 29 Januari 2015

Pangkalan Udara Maguwo 19 Desember 1948


Pangkalan Udara Maguwo 19 Desember 1948

Komandan pangkalan lapangan udara Maguwo yaitu Opsir Udara I Ruslannudanurusamsi yang mendapat tugas:
  1. Merusak pangkalan jika musuh mendarat
  2. Mengatur kesejahteraan anak buah dengan mengelola  sawah milik Jawatan Penerbanga
  3. Mempersiapkan pangkalan udara Gading sebagai lapangan udara darurat untuk mengangkut pemimpin-pemimpin RI ke Sumatera apabia Yogyakarta diserang musuh
Dokumen-dokumen penting telah diungsikan ke Lapangan Udara Gading bekerjasama dengan Bupati Wonosari.
Di dekat Pangkalan udara Gading terdapat desa Playen yang terdapat pemancar AURI yang cukup kuat daya pancarnya dari Wonosari, Sumatera, Rangoon, India.
Seminggu sebelum Agresi Belanda ke II jabatan Kepala Pangkalan Udara Maguwo diserahterimakan dari Opsir Udara I  Ruslannudanurusamsi kepada Opsir Udara Henk Sutoyo . Kemudian Opsir Udara I Ruslannudanurusamsi ditempatkan sebagai Sekretaris Umum di Markas Tertinggi AURI.
Karena pada tanggal 16 Desember 1948 Komodor Udara S Suryadarma mendapat perintah dari Presiden Ir. Sukarno untuk mendampingi rombongan Presiden ke India maka pada tanggal 15 Desember 1948 pucuk pimpinan AURI diserahkan kepada wakil KASAU yaitu Opsir Udara I Ruslannudanurusamsi.
Di lapangan udara Maguwo ada sekitar 150 orang dari Pasukan Pertahanan Pangkalan dan 34 orang teknisi di bawah pimpinan Kadet Kasmiran. 

Kadet Kasmiran

Adapun persenjataan yang melengkapi Pangkalan Udara Maguwo terdiri dari penangkis serangan udara milik Angkatan Darat terdiri dari 2 pucuk senjata kaliber 40 mm an 20 mm. Penangkis udara milik Angkatan Udara terdiri dari 9 pucuk senapan dengan kaliber 12,7 mm. Namun persenjataan berat ini dipinjamkan keluar Maguwo beberapa hari sebelumnya.
Pasukan Pertahanan pangkalan Maguwo memiliki persenjataan 5 pucuk senapan automatis kaliber 7,7 mm dan senjata sten gun yang berjumlah tiak lebih dari 30 buah. Selain persenjataan tersebut ada persenjataan penangkis udara ditempatkan di sekitar Maguwo.
Di Pangkalan Udara maguwo pesawat yang ada waktu itu Cureng, Cukiu, Nishikoreng, Hayabusha, Guntai.
Malam minggu itu diadakan malam gembira untuk menghibur rakyat dan anggota pasukan. Malam gembia diramaikan dengan hiburan ketoprak, dagelan, nyanyian, dan lain-lain yang dimainkan oleh anggota pasukan. Malam gembira ini berakhir sekitar pukul 02.00 dini hari. Pada waktu yang hampir sama, peleton Angkatan Darat yang ditempatkan di Maguwo ditarik untuk diperbantukan ke daerah Purwodadi, pati, Blora dan sekitar Madiun. Kekuatan pasukan Siliwangi yang ditempatkan di Jembatan Gajah Wong juga ditarik dengan alasan yang sama.  
Suasana sepi mewarnai hari minggu tanggal 19 Desember 1948 beberapa anggota pasukan dan pegawai sipil AURI sedang bertugas jaga dan piket.
Pada tanggal 19 Desember 1948 hari Minggu pagi kekuatan udara pasukan kerajaan Belanda yang terdiri dari sejumlah pesawat tempur, pasukan komando dan korps pasukan khusus menyerang, merebut dan menguasai Pangkalan Udara Maguwo Yogyakarta.
Angkatan Udara Belanda mengerahkan :
  • 9 buah pesawat tempur P-40 Kitty Hawk.
  • 5 buah pesawat tempur P-51 Mustang.
  • 3 buah pesawat pembom ringan B-25 Mitchell.
  • 17 buah pesawat pasukan C-47 Dakota (pesawat angkut pasukan).
Saat pangkalan Udara Maguwo diserang temak menembakpun terjadi pesawat Mustang yang menembak dari udara disambut tembakan perlawanan dari dari bawah. Pesawat Mustang segera menghilang, akan tetapi dari arah lain datang lagi pesawat lain dengan memuntahkan isi mitraliyurnya. Pesawat inipun segera menghilang.
Kadet Kasmiran memerintahkan secara lisan untuk mempertahankan pangkalan udara Maguwo. Dari arah barat muncul lagi 5 buah pesawat P 51 Mustang segera melepaskan puluhan roket yang menghantam menara pengawas lalu lintas udara dan bangunan stasiun penerbangan. 

 Menara pengawas lalu lintas udara yang hancur terkena serangan udara Belanda

2 buah pesawat pembom B 25 meroket bangunan beton yang kokoh yang berisi persediaan minyak pelumnas, bensin dan bensol untuk pesawat terbang akibatnya suara ledakan berdentum-dentum menggelegar memekakkan telinga. Setelah 2 buah pesawat B 25 meninggalkan Wonocatur  dan dari arah hanggar mengepul asap tebal membumbung tinggi berwarna hitam menandakan hanggar terkena serangan roket.

Asap tebal membumbung tinggi berwarna hitam 
menandakan hanggar terkena serangan roket
Beberapa saat kemudian datang lagi pesawat pemburu dengan sasaran yang baru yaitu perkampungan yang ada di sekitar Pangkalan Udara Maguwo yang padat penduduk. Tanpa ampun pesawat-pesawat pemburu ini menembaki perkampungan tersebut.
Pada saat penerjunan pasukan paratroops pertama kali diterjunkan boneka-boneka paratroop untuk memancing pasukan AURI untuk menghabiskan peluru dan mengetahui keberadaan pasukan AURI. Boneka-boneka karung yang berisi pasir lalu diberi seragam pasukan Belanda dan begitu menyentuh tanah maka terdengar suara petasan bagaikan letusan tembakan dan menimbulkan kepanikan.
Setelah itu datang 3 buah pesawat B 25 yang terlebih ahulu berputar-putar di atas Pangkalan Udara maguwo an salah satunya ditumpangi oleh Jendral Spoor yang mengadakan pengawasan dan pemotretan dari udara. Dan pada pukul 07.00 datanglah pesawat C 47 dengan terbang dengan formasi berjajar  di atas Pangkalan Udara Maguwo sementara itu angkasa di atas pangkalan Udara maguwo menjadi gelap karena sebagian tertutup payung udara yang berkembang karena ratusan jumlahnya. 

Pesawat C 47 Skytrains Belanda yang sedang menerjunkan pasukan khusus Belanda

Menurut George Mc. Tunan Kahin, parasut yang diterjunkan di lapangan udara Maguwo pada tanggal 19 Desember 1948 itu berjumlah 600 buah. Pasukan yang diterjunkan ini tergabung dalam pasukan tempur dengan kode M  yang berkekuatan 2 kesatuan para dan 1 kompi Para KST.
Sementara itu pesawat-pesawat pemburu seperti kesetanan menyemburkan tembakan-tembakan mautnya di sekitar wilayah penerjunan. Dalam waktu kurang dari 10 menit sejak tentara payung keluar dari pesawat angkut, suah terdengar rentetan tembakan gencar dari senapan ringan di daerah penerjunan. Dengan demikian berarti sudah banyak yang mendarat. Perlawanan dengan kekuatan terakhir dilancarkan untuk mempertahankan sejengkal demi sejengkal tanah air tercinta. Berdesing desing peluru berhamburan di atas perkampungan di sekitar lapangan udara. Sebentar-bentar terdengar tembakan gencar, diselingi ledakan granat dan peluru mortir yang menggelegar.
Pasukan payung Belanda segera menguasai pangkalan dan daerah sekitarnya. Bom-bom dan ranjau-ranjau mereka bersihkan sedangkan bom tarik yang ada di ujung landasan tidak berfungsi sama sekali.
Landasan pacu lapangan udara Maguwo yang sepanjang 2 km dan dibatasi sungai di ujung timur dan barat sebenarnya sudah masuk rencana dibumihanguskan dengan maksud agar tidak bisa digunakan oleh lawan, yang berhasil merebut dan menguasai landasan pacu untuk mendarat dan tinggal landas. Langkah-langkah menghalangi itu sudah lama sudah dimulai, dengan menanam bom di kanan kiri landasan dengan jarak sekitar 50 meter. Secara elektronis dengan sekali menekan tombol yang dipasang di base ops, semua bom akan meledak dalam waktu yang sama dan akibatnya landas pacu sepanjang 2 km akan hancur.
Tugas untuk melakukan penghancuran landasan pacu diserahkan kepada kelompok yang disebut demolition team (tim bumi hangus) dari kesatuan Angkatan Udara. Namun dalam keadaan kritis dimana menara base ops sudah hancur dihanam roket, dan upaya untuk mendekati lapangan udara sudah tidak mungkin maka semua usaha pembunihangusan landasan pacu, sama sekali tidak mungkin dilaksanakan.
dengan demikian sampai tengah hari tentara belanda memiliki kesempatan untuk dengan mudah mendatangkan bala bantuan dengan segala perlengkaan peangnya. Tentara belanda yang didatangkan melalui jembatan uara berhasil diterjunkan, antara lain pasukan dari kesatuan Tiger Brigade yang sudah terkenal berpengalaman dimana-mana.
Pada saat Agresi Belanda ke 2 ini selain menghancurkan pesawat RI 004 juga dirampasnya pesawat RI 006 serta pesawat sewaan yang disewa pemerintah Republik Indonesia untuk melakukan mengevakuasi tokoh kunci Republik dari Yogyakarta, pesawat tersebut dari jenis De Havilland DH-86B Denebola dengan no register G-ADYH ((c/n 2344) milik South Eastern aircraft. Pesawat De Havilland DH-86 ini disewa pemerintah Republik Indonesia oleh karena pesawat RI 001 sedang mengalami overhaul dan tanki bahan bakar tambahan pun belum dipasang dan pesawat masih dicat kamuflase. Nasib dari pesawat De Havilland DH-86B Denebola dengan no register G-ADYH ((c/n 2344) milik South Eastern aircraft akhirnya dibongkar di Bandung lalu mesinnya Gipsy 6 kemudian dipakai untuk pesawat yang dibuat secara lokal di Bandung.
Untuk RI 004 merupakan pesawat dari jenis Avro Anson 652 A type XIX ang diterbangkan ke Bengkulu oleh pemiliknya yaitu Wade palmer yang berkewarganegaraan Scotlandia. Dan untuk kepentingan perbaikan lalu diterbangkan dari Bukittinggi ke Maospati melalui Bengkulu, Tanjungkarang, Garda dan Maguwo. 


Pesawat PBY Catalina RI 006
Pada latar belakang nampak pesawat PBY Catalina RI 006 yang ditahan oleh Belanda
Para penumpang pesawat PBY Catalina RI-006 yang ditangkap Belanda di PU Maguwo pada tanggal 19 Desember 1948

Para penumpang pesawat PBY Catalina RI-006 yang ditangkap Belanda di PU Maguwo pada tanggal 19 Desember 1948 saat baru saja pulang dari Tanjungkarang. Para penumpang pesawat PBY catalina RI-006 yang dipiloti oleh James Fleming (tidak ditahan karena berwarga kenegaraan Amerika), dan co pilotnya Harnoko Harbadi (salah seorang penerbang AURI yang terlibat pengeboman di daerah musuh Ambarawa), lalu flight engineer Billani Valenova, Mayor Arif dan beberapa Staff Kementrian Keuangan RI, diantaranya Bung Basri serta Bintara juru radio yaitu Sersan Udara Harjanto. Semula semua penumpang pesawat RI-006 disuruh keluar pesawat dan digiring ke tengah lapangan untuk ditembak mati. Secara kebetulan datang beberapa perwira Belanda yang berkendaraan dan dengan cepat menuju ke arah para tawanan berada. Salah satunya memerintahkan agar jangan menembak. Kemudian mereka segera diangkat ke gedung menara yang sebagian telah hancur, untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut. Di sebuah ruang James Flemming dan Bill berdiri, sedangkan Suharnoko Harbani disuruh duduk. Satu-satu diinterogasi dalam bahasa Belanda. Akhirnya semua tawanan diangkut dengan pesawat Dakota ke Semarang, dengan pengawalan dari Koninlijke Leger yang terdiri ari Belanda totok. Jam menunjuk kurang lebih jam 12 siang.
Di Kalibanteng di sana ada bilik yang beratap sirap, di sana mereka diinterogasi lagi ditanya siapa namanya, di mana anggota AURI yang lainnya, markasnya di mana, dan macam-macam lagi. Setelah diinterogasi mereka dibawa ke mess Perwira di kawasan Candi. Sejak itu James Flemming dan Bill sudah tidak nampak lagi, entah dibawa kemana. Di Mes Perwira yang terdapat di Kawasan Candi ini mereka siang malam diinterogasi. Suharnoko Harbani dibujuk agar mau bergabung dengan KNIL dan dijanjikan akan disekolahkan di Akademi Militer. Namun dijawab oleh Suharnoko Harbani kalau dia sudah lulus. Dan ketika diminta untuk memberikan keterangan berapa kekuatan AURI dijawabnya bahwa ia sudah angkat sumpah untuk tidak membocorkan rahasia kesatuannya. Diantara kesekian pertanyaan itu yang paling mengesankan adalah “Apa kamu merasa bermusuhan dengan Belanda?” dijawab oleh Suharnoko Harbani “Tidak”. “Ya Belanda yang mana?”
Dalam interogasi ini Sersan Soewarso dari Kementerian Pertahanan RI, VC Surabaya, Cadet Seno yang sama yang lainnya disuruh mengaku sebagai pelajar atau siswa SLTA karena mereka masih sangat muda-muda. Ternyata pengakuan siswa mereka oleh Belanda dipercaya dan dilepas dari tawanan. Selama di tahanan, para tahanan dilayani oleh wanita tentara Belanda.
Malam keempat, Suharnoko Harbani dipindahkan ke penjara Mlaten dan menghuni di sana kurang lebih 3 bulan, bersama RM. Sudaryo, Suharyoto, Daan Yahya, Mayor Daeng, Serma Soemitro, dan Susantyo Mardi dari Angkatan Laut.
Kecuali melakukan tugas rutin antara pukul 5 sore hingga jam 9 malam, para tahanan melakukan kurss bahasa Inggris dengan pengajar Suharnoko Harbani dan Sudarto (penghubung dengan KTN). Selain itu juga ada kursus teori mesin.
Suatu pagi setelah apel jam 6 pagi semua tawanan militer diminta untuk naik truk menuju stasiun Tawang dan mereka memenuhi 3 gerbong kereta api yang tempat duduknya berbangku kayu memanjang dengan jendela tertutup rapat dan dengan pengawalan ketat.
Sampai di Tegal waktu azar lalu mereka menginap semalam di penjara yang ada di Tegal dan selanjutnya mereka dibawa lagi menggunakan kereta api menuju ke Cirebon. Sampai di Cirebon loknya diputus dan ganti lok yang mengarah ke Bumiayu dan sesampainya di Purwokerto mereka menginap semalam di penjara Purwokerto. Dan keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan ke Cilacap dengan menggunakan truk. Sesampainya di Cilacap dan turun dari truk yaitu di Pelabuhan Cilacap. Selanjutnya mereka diseberangkan ke Nusakambangan. Di Penjara Nusakambangan mereka menghuni disana hingga 9 bulan.


 Psukan Belanda setelah menguasai Lapangan Udara Maguwo 
 Mitraliur ringan jepang yang disita tentara Belanda di Lapangan Udara Maguwo

Rabu, 21 Januari 2015

Pedesaan Kalibawang Sekitar Revolusi pada tahun 1945 - 1949



 Pedesaan Kalibawang Sekitar Revolusi pada tahun 1945 - 1949

Wilayah Kecamatan Kalibawang yang terletak di Kabupaten Kulonprogo Propinsi DIY pada masa revolusi mempunyai peran besar dalam keikutsertaan penduduknya membantu perjuangan tentara Indonesia melawan determinasi tentara Belanda. Keadaan geografis yang dipenuhi dengan perbukitan dan jauh dari pusat kota sangat mendukung tentara Indonesia yang sedang mengusahakan perjuangan lewat strategi perang gerilya. Pedesaan- pedesaan di Kalibawang sendiri menjadi pusat pos- pos militer atau yang lebih dikenal sebagai MBKD (Markas Besar Komando Jawa) saat pusat pemerintah Indonesia yang pada waktu itu berada di Kota Yogya jatuh akibat agresi militer Belanda II pada tahun 1948.
Sistem administrasi lokal yang sudah teratur dan lancar juga berpengaruh besar dalam hal terpenuhinya dan terkoordinasinya kebutuhan para tentara. Hal ini tidak lepas dari peran Sultan Hamengkubuwono IX yang mengintruksikan adanya pembentukan sistem birokrasi dari pedesaan di Yogyakarta sampai terbentuknya Propinsi Yogyakarta. Ini disebabkan masih lemahnya kekuatan administratif pusat untuk mengontrol daerah saat Negara Indonesia pada waktu masih muda. Sehingga ada inisiatif untuk penguatan daerah terlebih dahulu, sebelum nantinya pusat juga akan diperbaiki dan diperkuat otoritas administrasinya. Panasnya iklim politik pasca kemerdekaan yang ditandai dengan banyak munculnya organisasi massa, politik, dan kelaskaran dengan kepentingan- kepentingan mereka sendiri juga melatar belakangi dikoordinasikanya organisasi- organisasi tersebut. Selain itu Pemerintah Provinsi Yogya pada April 2008 1946 mengumumkan bahwa terjadi pemilihan- pemilihan baru untuk jabatan lurah, pamong praja, dan dewan legislatif. Upaya ini guna mencegah terjadinya aksi sepihak dari masyarakat yang dendam dan ingin menghakimi sendiri bangsawan- bangsawan desa yang dianggap “kontra-revolusi”. Hal inilah yang menyebabkan wilayah Yogyakarta terhindar dari “revolusi sosial” yang marak terjadi di berbagai daerah seperti peristiwa tiga daerah, Banten, dan Aceh. Kekuatan birokrasi di wilayah Yogyakarta sendiri terbukti cukup kuat, ini ditandai dengan masih berjalanya kegiatan mereka walaupun pada waktu itu wilayah Yogya sempat dikuasai oleh Belanda. Tentu saja kegiatannya berada di bawah tanah agar tidak diketahui oleh pihak Belanda.
Pada tanggal 27- 28 Oktober 1945 BTI yang merupakan kaderisasi formal para petani mengadakan konferensi. Para pendidik kader tersebut adalah orang- orang Taman Siswa. Konferensi tersebut memutuskan untuk mendesak Pemerintah Propinsi DIY agar membentuk DPR di setiap kelurahan sampai tingkat propinsi guna peningkatan taraf hidup para petani. Menindak lanjuti tuntutan tersebut Sultan berdasar maklumat NO. 7/ 1945 mengintruksikan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Kelurahan yang efektif berjalan pada tanggal 6 Desember 1945. Pemilihan anggota dipilih warga desa yang sudah berumur 18 tahun dan sudah tinggal di desa tersebut selama lebih dari enam bulan. Kemudian dibentuk pula Majelis Permusyawaratan Desa yang anggotanya terdiri atas kepala rumah seluruh desa. Untuk mengatur masalah kepartaian di pedesan muncul maklumat NO. 14/1946 dan Maklumat NO. 15 1946 yang menetapkan bahwa dewan kelurahan yang dipilih dari kepala keluarga. Selain itu untuk penguatan administrasi pedesaan demi tercukupinya kebutuhan otonomi desa muncul Maklumat NO. 5/1948 pada tahun 19 April 1948, yang mengintruksikan adanya penggabungan desa- desa menjadi satu desa atau kelurahan yang kuat. Dalam hal ini wilayah Kulonprogo jumlah desanya berkurang dari 118 menjadi 47. Akibat berbagai penguatan lokal pedesaan di atas maka muncul maklumat No. 18/1946, mengenai pembentukan Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Kabupaten yang akan diselenggarakan di semua Kabupaten di wilayah propinsi DIY.
Peranan wilayah pedesaan Kalibawang dalam hal militer ditandai dengan datangnya Kolonel T.B. Simatupang memimpin pasukanya ke daerah Dekso yang berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Kalibawang untuk membentuk basis pertahanan karena kota Yogyakarta jatuh akibat agresi militer Belanda II. Selain itu dibangun Markas Komando Operasi Panglima Tentara dan Teritorium Jawa Tengah di desa Boro di rumah Bapak Nitirejo. Dalam hal ini yang menjadi komando adalah kolonel A.H. Nasution. Dalam keberadaanya di desa ini pengamanan yang dilakukan terhadap beliau sangatlah ketat. Ini terlihat dari penyamaran yang ia gunakan saat pertama datang dengan mengaku sebagai guru dari Sumatra yang tidak bisa pulang juga jarangnya beliau keluar kamar atau rumah bapak Nitirejo. Beliau selalu sibuk dengan merancang strategi militer gerilya yang akan dijalankan dalam upaya merebut kota Yogyakarta. Selain itu bagi siapapun yang ingin bertemu beliau harus melewati prosedur yang rumit dan berbelit- belit. Di markasnya ini beliau sering melakukan kontak dengan markas RRI yang telah dipindah ke Gunung Kidul khususnya menjelang Serangan Umum Satu Maret. Sampai sekarang meja dan kursi yang ia gunakan masih tersimpan di Museum Sudirman yang terletak di Kota Yogyakarta. Menurut pengakuan dalam bukunya ia sering mendengar keluhan dari rakyat mengenai kinerja tentara yang kurang maksimal, dan memplesetkan kepanjangan MBKD menjadi Markas Belanda Keliling Jawa. Tetapi dengan kenyataan mengenai besarnya peranan rakyat yang besar pada waktu itu, tentulah patut dipertanyakan mengenai “keindahan” bersatunya rakyat- tentara. Atau faktor keberhasilan propaganda yang dilakukan pihak pers lewat berbagai media seperti Ketoprak Pedesaan yang banyak mengangkat tema perjuangan, surat- surat kabar yang masih sarat dengan idealisme dan tidak bertujuan mencari profit, dan pamflet serta selebaran yang menjadikan penduduk pada waktu itu begitu “ikhlas” membantu berbagai kebutuhan tentara. Tentunya harus diingat pula bahwa pada waktu itu Belanda juga menyebarkan berbagai propaganda anti- RI lewat pembagian obat, makanan dll dan meminta penduduk agar tidak membantu para gerilyawan.
Terlepas dari permasalahan di atas, nampaknya kenyataan mengenai “indahnya” persatuan tentara- rakyat di wilayah Kalibawang perlu dibahas lebih lanjut. Desa Banjar Harjo, Kalibawang, Kulonprogo adalah salah satu desa pertahanan tentara yang melakukan gerilya. Markas MBKD sendiri menjadi menetap di wilayah Kalibawang dimana sebelumnya markas tersebut berpindah- pindah. Desa Banjar Harjo sendiri menjadi markas kesekretariatan yang terletak di rumah bapak Suparjan. Sedangkan markas operasionalnya terletak di Kelurahan Banjar Sari, tepatnya di rumah bapak Nitirejo dimana Kolonel Nasution berada di wilayah itu. 


Rumah keluarga Karyoutomo yang berada di kawasan perbukitan Menoreh Kulonprogo ini pernah menjadi markas para pejuang pada masa perang kemerdekaan. Tokoh pejuang yang pernah tinggal di rumah tersebut adalah Kol. T.B. Simatupang saat menjabat Wakil Kepala Staf Angkatan Perang. Bangunan tampak masih baru karena selesai direnovasi.

Untuk menjaga keamanan wilayah ini maka tentara bersama rakyat memutuskan segala rute yang merupakan akses untuk masuk ke wilayah Kalibawang. Diantaranya adalah pengrusakan jembatan di Padukuhan Duwet, dengan cara memotong talinya karena hanya jembatan gantung. Selain itu segala jalan darat yang menuju ke wilayah Kalibawang diberi berbagai halangan seperti batang- batang pohon dan ranting- ranting bambu. Dalam hal ini yang berperan adalah pemuda desa yang tergabung dalam PAGER Desa (Pasukan Gerilyawan Desa). Adapun peranan penduduk desa Banjar Harjo dalam membantu tentara diantaranya:
1. Membantu pengawasan. Adapun tugas pengawasan ini dikoordinir oleh golongan pemuda yang dipimpin oleh Kasdu dan Kabul. Mereka berhasil menangkap mata- mata dan ditahan di rumah Atemo Mihardjo, Padukuhan Duwet. Kedua mata- mata tersebut bernama Arjo Bodong dan Nyamat. Tetapi kemudian jumlah tawanan tersebut bertambah menjadi lima karena ada tambahan dari wilayah Sleman. Mereka adalah Damhuri, Ali dan seorang lurah dari daerah Salam. Purwo Utomo yang dipasrahi untuk menjaga dan merawat kelima tawanan tersebut memperlakukan mereka secara baik. Purwo Utomo sendiri adalah adik dari Atemo Mihardjo. Selanjutnya karena dianggap terlalu berbahaya maka ada perintah dari pihak militer kepada Ronodimedjo untuk membunuh Aryo Bodong. Selain itu Nyamat juga berhasil memberikan informasi letak gerilyawan kepada pihak Belanda dengan cara member sinyal lewat pantulan cahaya cermin saat kapal- kapal perang Belanda lewat. Karena informasi tersebut maka terjadi penyerangan terhadap kelurahan Banjar Harjo dengan menggunakan senjata berat seperti meriam yang ditembakkan dari markasnya di Cebongan. Pedukuhan yang menjadi korban adalah Ngrajun, Ngemplak, Srandu, Salak Malang, Mbago dan Duwet. Adapun korban jiwa ada empat orang, dua penduduk Ngrajun dan dua pengungsi, selain itu kerugian berupa seekor lembu dan sebuah rumah.
2. Menyelenggarakan dapur umum. Adapun bahan makanan diperoleh dari sumbangan warga desa yang dikoordinir bapak dukuh, sumbangan tersebut berupa sayuran, beras, ketela pohon, dll.
3. Mau menjadi kurir. Minimnya sumber daya manusia yang dimiliki militer di bidang kesekretariatan menjadikan mereka sering mengutus penduduk desa untuk mengantarkan surat ke berbagai daerah.

Selain itu ada petugas tentara bidang teknik persenjataan dan bertempat di rumah Astikin yang menyulap rumahnya menjadi bengkel senjata. Ini tidak mengherankan karena ia merupakan lulusan teknik mesin. Yang ia tangani adalah senjata- senjata ringan seperti pistol atau senapan, selain itu ia hanya mampu memperbaiki senjata dengan kerusakan ringan. Ini dikarenakan minimnya perlatan yang ia miliki. Apabila ada senjata yang mengalami kerusakan berat maka ia mengirimnya ke kelurahan Banjar Sari yang lebih lengkap peralatanya selain itu di wilayah tersebut juga ada mesin bubut. Terdapat juga pos P3K di rumah Atmo Wijono di Padukuhan Demangan yang dihuni 12 orang, sehingga sangat minim peralatanya karena hanya perban yang disediakan. Akibatnya apabila ada korban dengan luka berat maka akan dikirim ke kelurahan Banjar Sari karena disana sudah ada rumah sakit St Jusuf.
Seperti dijelaskan di atas bahwa yang mendirikan MBKD Pos X-2 di Borogunung, Banjar Sari adalah Kolonel Nasution. Pada umumnya keadaan desa tersebut sudah cukup teratur dan lengkap fasilitas kesehatan, pendidikan dan administrasinya. Hal ini adalah pengaruh missionaris Katolik yang datang ke wilayah ini sejak awal abad ke- 20. Maka tidak heran apabila wilayah ini merupakan pusat konsentrasi pengungsi dari kota Yogya di wilayah Kalibawang. Dengan struktur desa yang baik mereka mampu mengurusi pengungsi, pertahanan sipil, perbekalan dan penerangan. Lurahnya yang bernama Sastrowihardjo menyerahkan pemerintah gerilya kepada cariknya karena ia sudah tua. Di wilayah ini juga terdapat pabrik senjata seperti granat gombyok, peluru, detonator, mortir dll. Perbaikan dan pembuatan dilakukan di rumah penduduk Panjang Redjo, Manguntulimin, Setjopawiro, Kromowidjojo, Kromowinangun, Djojopawiro dan Djojoukoro. Pabrik- pabrik senjata ini dikoordinir oleh Siam yang kantornya di wilayah perbukitan Ngampel dan Gebiri. Kedua wilayah ini letaknya pada waktu itu sangat dirahasiakan. Di wilayah ini juga terdapat sebuah rumah sakit yang sudah mencukupi fasilitasnya bagi orang sakit pada waktu itu. Nama rumah sakit itu adalah St Jusuf yang didirikan oleh para misionaris Kristen. Adapun yang menjadi koordinator untuk merawat korban dari berbagai daerah adalah Suster Koleta dan Pastur Zervatius dan didukung oleh sembilan dokter dan beberapa perawat, yang diantaranya adalah dokter Hutagalung dan Dokter Kusen. Pernah terjadi saat rumah sakit tersebut kehabisan obat- obatan, maka para pegawai rumah sakit tersebut pergi ke Kota Yogyakarta untuk mengambil persedian obat di rumah sakit kota. Walaupun tindakan tersebut tidak mendapat persetujuan dari berbagai pihak, khususnya pihak militer karena dianggap terlalu berbahaya.
Di Desa Banjar Sari juga dijadikan tempat persembunyian para pejabat Negara. Diantaranya adalah Jaksa Agung Tirtawinata dan Komisaris Besar Polisi Sosrodanukusumo. Di tempat tersebut mereka tetap membangun pos- pos pemerintahan agar kegiatan pemerintahan tidak lumpuh. Mereka tinggal di depan di depan rumah keluarga Pawirosuwarno. Banyaknya pejabat penting di wilayah desa Banjar Sari membuat penjagaan keamanan di wilayah ini sangat ketat. Selain itu mereka juga harus bertingkah laku seperti penduduk biasa agar tidak dicurigai oleh mata-mata Belanda yang disebar ke berbagai daerah.
Selain kedua desa diatas ada sebuah lagi desa yang mempunyai peran cukup penting pada masa revolusi, desa tersebut bernama Desa Banjaroyo. Ini ditandai pada tanggal 16 Desember 1948 mulai diadakan persiapan- persiapan pelaksanaan menghadapi Agresi Belanda II dibawah pimpinan letnan Wusdo. Kadet- kadet MA yang bertugas di wilayah ini mempunyai kewajiban untuk membina masyarakat dalam menjalankan perang gerilya. Wilayah ini juga didatangi oleh sekitar 5000 pengungsi dari berbagai daerah khususnya dari wilayah Kota Yogyakarta.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa wilayah pedesaan di Kecamatan Kalibawang, khususnya desa Banjar Harjo, Desa Banjar Asri, dan Desa Banjaroyo mempunyai peran besar dalam menjaga kestabilan republik Indonesia dalam usaha mempertahankan dan memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia. Seharusnya ada bentuk apresiasi nyata dari pemerintah pusat atau paling tidak pemerintah daerah DIY untuk kemajuan wilayah Kecamatan Kalibawang. Seiring dengan diperolehnya kemerdekaan penuh pada tahun 1950 maka wilayah pedesaan- pedesaan di Kecamatan seakan dilupakan jasa- jasanya oleh berbagai pihak yang pada waktu itu dibantu oleh warga. Ini dilihat bagaimana sekarang ini Kota Jakarta atau bahkan Kota Yogyakarta yang dipenuhi oleh berbagai jalan beraspal juga berbagai macam monumen perjuangan dan nasionalnya yang diiringi oleh derunya suara kendaraan bermotor. Selain itu dengan segala bintang penghargaan yang diberikan kepada pihak militer karena jasa perjuangan mereka mempertahankan kemerdekaan tidak diimbangi dengan pemberian penghargaan bagi penduduk sipil ataupun pihak yang berjasa pada masa itu. Sebaliknya wilayah Kalibawang sekarang ini masih terlihat lengang seperti tidak pernah terjadi apa- apa disana, atau tidak mempunyai peran apa- apa dalam pembentukan Republik Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
A. H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 10: Perang Gerilya Semesta II, Bandung: Angkasa, 1976.
Dharmono Hardjowidjono, dkk, Replika Sejarah Perjuangan Rakyat Yogyakarta: Buku Kedua, Yogyakarta: Proyek Pemeliharaan Tempat Bersejarah Perjuangan Bangsa di DIY, 1984.
P.J. Suwarno, Hamengkubuwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942- 1974: Sebuah Tinjauan Historis, Yogyakarta: Kanisius, 1994.
---------, “Pemerintah Daerah 1945-1950: Khususnya DIY” dalam Sejarah Lokal, Jakarta: DepDikBud, 1995.
Reid, Anthony, Revolusi Nasional Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.
R. G. Soedarsono, dkk. Peranan Pelajar Dalam Perang Kemerdekaan, Pusat Sejarah dan Tradisi Angkatan Bersenjata RI: Jakarta, 1985.
Suhartinah, “ Kehidupan Persuratkabaran di Yogyakarta Masa Revolusi Fisik: Sebuah Studi Awal” dalam Sejarah Lokal, Jakarta: DepDikBud, 1995.
Suratmini, “ Peranan Pers Pada Masa Revolusi Fisik di Yogyakarta Tahun 1945-1949” dalam Sejarah Lokal, Jakarta: DepDikBud, 1995.

Senin, 19 Januari 2015

Kekuatan Pasukan Belanda selama Agresi Belanda II di Yogyakarta

Kekuatan Pasukan Belanda 
Selama Agresi Belanda II di Yogyakarta

Pasukan khusus



Pisau Komando artinya kesiapan, latar belakang setengah malam dan setengah siang. Jadi artinya Kesiapan baik di malam hari maupun di siang hari.

Serah terima jabatan Kapten Westerling di Batujajar pada tanggal 16 November 1948
dimana Kapten Westerling digantikan oleh Letnan Kolonel KNIL W.C.A. van Beek
Penerjunan pasukan Para Belanda di Maguwo Yogyakarta


Nampak Letnan Antonietti Komandan 1e Para Cie di Maguwo





Sebagian pasukan Para Belanda yang telah berhasil merebut Maguwo, 
jam 07.00 pagi, 19 Desember 1948.
Lapangan Udara Magoewo 19 Desember 1948. Membawa M 1 Carabin Kol.Van Langen, latar depan kiri Kap.JW Westerhoff, kanan bawah Kap.WDH Eekhout

Pasukan Belanda masuk kota Yogyakarta setelah menduduki lapangan terbang Maguwo
 tanggal 19 Desember 1948

Nampak komandan KST yaitu Letnan Kolonel KNIL W.C.A. van Beek bersama Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta.
1e Para Cie dan 2e Para Cie di Lapangan Udara Gading 10 Maret 1949
dengan target utama menangkap Panglima Besar Jendral Sudirman
Nampak ada salah seorang pasukan yang menaiki
Cushman Model 53

KST dan 1e Para Cie
DST dan 1e Para Cie yang tergabung alam pasukan tempur dengan kode "M" berkekuatan sekitar 600 personil dengan menggunakan pesawat C 47 dikawal P 51 Mustang dari lapangan udara Andir Bandung melakukan penerjunan ke lapangan udara Maguwo di Yogyakarta untuk menguasai kota Yogyakarta dan menangkap petinggi RI dengan target utama Ir. Sukarno, Drs. Moh. Hatta dan Panglima Besar Jendral Sudirman.
Pada tanggal 10 Maret 1949 1e Para Cie di bawah pimpinan Letnan Antonietti menuju ke Playen melakukan pembersihan dengan kerugian pi pihak Republik Indonesia 13 orang gugur. dan pada pukul 11 mereka mencapai Karangmojo.
2e para Cie
Tanggal 10 Maret 1949 Kompi 2 (2e Para Compagnie), melakukan penerjunan di lapangan terbang kecil Gading di tenggara luar kota Yogyakarta. Tujuannya untuk merebut stasiun pemancar radio perjuangan, milik Republik di sekitar Wonosari. Selain itu juga untuk menangkap Panglima Jendral Sudirman dan beberapa menteri Indonesia.
Untuk menguasai Lapangan Udara Gading ini paling tidak ada 4 pasukan Para Belanda yang terluka.
1e Para Cie bergerak ke Playen dipimpin oleh Letnan Antonietti melakukan pembersihan dan menyebabkan kerugian di pihak Republik 13 orang gugur. Lalu bergerak ke Karangmojo dan tiba di Karangmojo pada pukul 11.00.
Sedangkan 2e Para Cie bergerak ke Wonosari dibawah pimpinan Letnan Mey. Dan mereka berhasil menduduki Wonosari.
Tujuan mereka sebenarnya untuk menangkap Panglima Besar Jendral Sudirman dab nenerapa oang menteri dari pihak Republik.
Mereka hanya menemukan pemancar radio yang telah berhasil menyiarkan keberhasilan serangan umum 1 Maret 1949 yang dilakukan oleh TNI.
Bahaya yang mereka hadapi malah muncul dari wabah frambusia dan kudis yang bisa mengganggu kesehaan pasukan ini dan yang malah sibuk adalah seorang dokter korps Verhagen.
Dan dari interogasi terhadap penduduk terungkap bahwa pada tanggal 21 Februari dan 3 Maret 1949 Angkatan Udara Belanda telah melakukan pemboman di wilayah ini akan tetapi Kapten Eekhout tidak pernah memberitahukan hal ini kepada pasukan 1e Para Cie dan 2e Para Cie ini.
Jadi karena hal ini tentu saja TNI telah waspada dan melakukan pengosongan wilayah ini. Setelah 10 hari melakukan operasi di wilayah sekitar Playen, karangmojo dan Wonosari tanpa hasil yang berarti pasukan ini ditarik ke Bandung.

Selain pasukan tempur dengan kode "M" juga ada pasukan dari Divisi B Tijger Brigade







Pasukan Infanteri



Regiment Stoottroepen (Raider kalau di TNI-AD saat ini) adalah resimen infanteri ringan penyerbu dalam KL.

5-RS (De vliegende stoters)


Logo 5 RS saat melakukan Operation Kraii ke Yogyakarta, 19 Desember 1948




Dokumentasi saat Pasukan 5 RS melakukan Operation Kraii 19 Desember 1948 ke Yogyakarta

Pasukan 5 RS dengan truk Chevrolet CMP
Nampak pasukan dari 5 RS sedang beristirahat 
untuk minum dalam suatu operasi patroli rutin

Batalion 5-RS ikut mengambil bagian dalam pengambil-alihan Yogyakarta dan menangkap pemimpin-pemimpin Republik. Batalion 5-RS dipindahkan melalui lintas udara dari Kalibanteng, Semarang ke lapangan udara Magoewo, Yogyakarta. Ini merupakan unit batalion Belanda yang dipindahkan dengan cara lintas udara. Setelah mengambil-alih kota, batalion ditugaskan untuk mengamankan kota Yogyakarta.
Setelah Aksi Polisi II, waktu mereka dipergunakan untuk patroli dan pengamanan disekitar daerah Yogyakarta. Pada tanggal. 1 Maret 1949 TNI menyerang Yogyakarta. Sebuah penyerangan yang berakhir dalam waktu 6 jam setelah pertempuran hebat. Pada tanggal. 10 Maret 1949 batalion 5 RS berpartisipasi dalam aksi disekitar Wonosari bersama dengan Korps Tropen Spesial, Resimen Infantri 5-5 dan Resimen Infantri 5-6. Setelahnya batalion 5 RS mengambil-alih posisi-posisi disekitar Kaliurang, Cebongan dan Prambanan dari Resimen Infantri 5-5.
Pada tgl. 29 Juni 1949 Yogyakarta dikembalikan kepada Republik Indonesia, setelah mendapat tekanan dari Amerika.
Batalyon 5 RS merupakan unit terakhir yang meninggalkan Yogyakarta dan pindah ke Purworejo.




GRGr adalah resimen garda infanteri yang difungsikan sebagai pasukan infanteri biasa. Grenadier biasanya dipilih dari prajurit-prajurit yang memiliki fisik kuat dan ditugaskan mengawali serangan dalam sebuah pertempuran.

5 GRgr (Garde Regiment Grenadiers)

Pada tanggal 1 Maret 1949 4 cie ditambahkan ke Batalyon milik T - Brigade 5-5 RI dan ditempatkan di dalam dan sekitar Yogyakarta.
Pada tanggal 14 Juni 1949 Ost.cie juga berkedudukan di Kota Gedeh dan Kedaton Plered.


Regiment Infanterie atau RI adalah satuan-satuan infanteri yang disusun oleh para wajib militer dan sukarelawan (orang Belanda).

Batalyon 1-15 RI (The Blijvertjes)






Belati bersayap melambangkan penaklukan Yogyakarta dari udara

1-15 RI pada dasarnya unit Lintas Udara pertama dalam sejarah angkatan bersenjata Belanda . Selama Aksi Polisi II ( Operasi Gagak ) , batalion 1-15 RI menggunakan pesawat  DC - 2 diangkut ke bandara Maguwo Yogyakarta. Lambang 'belati bersayap' kini digunakan sebagai lambang 11 Airmobile Brigade.




Overste Scheers
Pada tanggal 22 Desember 1948, tampak pasukan dari 
kompi 2 Batalyon I-15 RI di Stasiun Tugu Yogyakarta.
Beberapa anggota 1-15 RI di depan Bren Carrier

Sesudah pasukan terjun payung dari Korps Spesial Troepen telah menguasai lapangan udara di Magoewo, Batalion 1-15 RI diterbangkan untuk menguasai Yogyakarta dari arah utara. Mereka membersihkan area tersebut dalam beberapa hari dan pada tanggal 22 Desember 1948 mereka mengambil-alih keamanan Kaliurang dari pihak pasukan Republik.
Dari sini mereka berpatroli di sepanjang jalan menuju ke Yogyakarta untuk mengamankannya. Pada tanggal 27 Desember 1948 sebagian batalion 1-15 RI dipindahkan untuk mengamankan jembatan di Sentolo. Pada tanggal 3 Januari 1949 aksi dilakukan di daerah utara Yogyakarta. Disini 4 orang tentara hilang, baru 2 tahun kemudian diketahui mereka telah dibunuh oleh TNI. Situasi ini membuat patroli di sepanjang area utara menjadi tugas yang berat bagi tentara di battalion 1-15 RI.
Pada tanggal 18 Januari 1949 dilakukan operasi “Zuid”. Tujuan operasi ini untuk membersihkan daerah selatan Yogyakarta. Pada tgl. 1 Maret 1949 TNI melakukan serangan umum yang besar di Yogyakarta. Ini timbul sesudah adanya beberapa perlawanan yang berat. Sesudahnya aksi di sekeliling Yogyakarta berkelanjutan seperti biasa. Dalam periode ini batalion 1-15 RI berpusat di Barat Laut Yogyakarta,  mengambil posisi di Sentolo, Bantul, Gamping, Padokan dan Pedes.
Pada akhir Mei 1949 batalion 1-15 RI digantikan oleh Batalion Infantri 426 dan kembali ke Semarang.
Keterlibatan pasukan 1-15 RI telah tertulis di buku :
Reijgwart, A.W., 2003, "1-15 R.I. De Blijvertjes onbewust voorloper van de Mobiele Luchtbrigade"


 J. F. Scheers, 1949, "Djokjakarta"

Batalyon 5-5 RI (The Tukkers) 


Batalyon terdiri dari para wajib militer dari Twente dan Gelderland. Pasukan ini menggunakan lambang Kuda Jingkrak dari bendera Saxony dengan latar belakang perisai Saxon sebagai lambang yang dipasang di lengan mereka.

Mulai ke Yogyakarta tanggal 18 Desember 1948 yang didahului oleh para perintis. Lalu batalyon ini sampai ke Yogyakarta secara keseluruhan pada tanggal 21 Desember 1948. Tanggal 22 Desember 1848 mereka meninggalkan Yogyakarta menuju ke Magelang. Dan sehubungan dengan operasi “Zuid” Resimen Infantri 5-5 dipindahkan ke Yogyakarta lagi pada tanggal 12 dan 13 Januari 1949. Aksi ini dimulai tanggal  18 Januari 1948 untuk membersihkan daerah Selatan Jogjakarta. Setelah aksi ini Resimen Infantri 5-5 mengambil posisi-posisi di Sentolo, Barongan, Bantoel dan Karangsemut dan daerah-daerah tersebut dapat dibersihkan dalam waktu 3 minggu. Pada tanggal 6 Maret 1948 pasukan pendukung dari Resimen Stoottroepen 5 dipindahkan ke Resimen Infantri 5-5 dan berpusat di Kota Gedeh. Setelahnya pasukan dipisahkan dan anggota-anggotanya disebarkan ke sisa Resimen Infantri 5-5. Pada tanggal. 16 Maret posisi-posisi di Sentolo, Barongan dan Bantul dialihkan kepada Resimen Stoottroepen 5.
Pada tangga. 18 Maret 1949 Resimen Infantri 5-5 berpusat di Yogyakarta, dimana mereka tinggal sampai pengosongan kota Yogyakarta pada tanggal. 29 Juni 1949.

Batalyon 426 (6-4 RI) 


Batalyon 426 memilih logo dengan Burung Merak atau Garuda berkepala dua sebagai simbol ari Sultan Yogyakarta. Bintang melambangkan komet batalyon. Ekor melambangkan payung pelindung di atas kota.


Pada tanggal 19 April 1949 Batalyon 426 dialihkan ke tiga kompi yang ada di Yogyakarta dan ditugaskan untuk 1-15 RI , RI 5-5 dan 5 - RS untuk selanjutnya dilatih dalam patroli dan tugas jaga.
Dua hari kemudian sisa batalion 426 yang antara lain ditempatkan di Sentolo , Kaliurang , Wonosari dan Bantul.
Dari tanggal 23 Mei 1949 batalyon 426 menggantikan pasukan dari 1-15 RI dengan pos-pos di Bantul , Sentolo , Gamping , Padokan dan Jogjakarta .
Pada tanggal 4 Juni 1949 2 kompi dari 5 RS ditambahkan ke batalyon 426 ditempatkan di Moentilan dan Salam . Pada tanggal 26 Juni 1949, Bantul dan Sentolo sebagai bagian dari pengosongan kota Yogyakarta di bawah tekanan dari PBB. Hari berikutnya juga dikosongkan pos ke Padokan dan Gamping. Pada tanggal 29 Juni 1949 akhirnya Yogyakarta dibersihkan dan batalion 426 ditempatkan ke Nganti dan Beran , pada rute mundurnya Belanda dari Yogyakarta.



Garde Regiment Prinses Irene atau GRPIr adalah resimen garda infanteri yang difungsikan sebagai pasukan infanteri bermotor. Putri Irene adalah cucu dari Ratu Belanda, Wilhelmina yang bernama Irene.



2e Cie GRPir 

Pasukan Arteleri Medan 


2-2 RVA







Pasukan Kavaleri




Eskadron Pantserwagens (Skadron Tank) adalah satuan kavaleri dengan Panzer atau Tank. Didesignasi sebagai kavaleri, namun juga berfungsi Armor dalam serangan.

2 EskPaw

Kendaraan lapis baja Humber Mk II
Kendaraan lapis baja Humber Scout

C15TA Armored Truck

2e Esk.Paw (Calmeyer eenheid)
Pada tanggal 21 Desember 1948, ketika eskadron bergerak maju bersama dengan kompi 2 dari RI 5-5 dengan tujuan Yogyakarta. Dan mencapai lapangan udara Magoewo, dimana mereka melakukan hubungan dengan para penerjun payung yang diterjunkan disana sehari sebelumnya. Ini merupakan operasi yang lebih besar dimana eskadron mengambil bagian selama Aksi Polisi II. Setelah itu waktu banyak dipergunakan untuk patroli-potroli dan tugas konvoi, sebuah tugas yang memerlukan kerja keras dari pasukan karena kendaraan tempurnya tidak cocok untuk tugas ini.
Pada tanggal 29 Juni 1949 eskadron meninggalkan Yogyakarta.

7e Esk.Vew (3 Esk. Vew KNIL)



Eskadron Vechtwagens (Skadron Infanteri Mekanis) adalah satuan infanteri dengan IFV dan/atau APC. Esk Vew bertempur sebagai satuan kavaleri (flanking manouver) dalam peperangan di Hindia belanda / Indonesia.

Kegiatan perawatan tank ringan M 3 Stuart di Camp Patuk



Tank-ringan M-3 Stuart Mk III, penyusun utama 7e EskVew

Tank-ringan M-3 Stuart Mk V, penyusun utama 7e EskVew

Selama Aksi Polisi II Eskadron Vechtwagens VII mengamankan jembatan-jembatan dan mempekerjakan teknisi-teknisinya selama pergerakan ke Jogjakarta. Setelah itu mereka bertugas patroli lagi, disamping berpartisipasi dalam berberapa operasi besar di sekitar Bloembang, Jogja dan Sentolo. Di awal bulan Januari Eskadron Vechtwagens VII mengambil bagian dalam serangan kejutan di Wates dengan berhasil melakukan kontak dengan W Brigade. Dan dengan bekerja-sama dengan Resimen Infantri 1-15 rute konvoi antara Jogja dan Magelang tetap terbuka dan daerah luas disekitarnya berada dibawah kontrol mereka.  Patroli-patroli dilakukan baik dengan berjalan kaki maupun dengan tank-tank dan kendaraan-kendaraan bersenjata.
Ketika lawan mencoba menyerang dan mengambil-alih Jogjakarta pada tgl. 1 Maret 1949 dengan memblokir semua jalan dan mengisolasi pos-pos luar yg lebih kecil, peleton 3 dari Eskadron Vechtwagens VII yg mengagalkan penyerangan dan mengetahui adanya bahaya. Bersama dengan Infantri KNIL V dan Eskadron Pantserwagens 2, Eskadron Vechtwagens VII meredakan penyerangan tersebut. Dua buah tank patroli bergegas turun ke jalan kecil dan membuat Letnan II  G. van Osch terjun dalam kekacauan ketika sebuah ranjau German meledak di depan tank, meledakkan sisi kanan dari tanknya. Menembak dengan apapun yg dimiliki mereka, kedua tank tersebut menarik diri dari daerah mematikan (tank Letnan 2 G. van Osch menggunakan sisi kiri) dan menahan lawan sampai peleton II yg menjawab panggilan radio mereka datang menyelamatkan mereka.
Diketahui bahwa dikemudian hari Jogjakarta dievakuasi dan dikembalikan kepada lawan. Para lawan masih melanjutkan aksi mereka di dalam daerah tersebut dan menyebabkan penundaan penarikkan diri. Tetapi evakuasi berlanjut dan pada tgl. 30 Juni 1949 peleton tank III dari Eskadron Vechtwagens VII meninggalkan Jogjakarta, bersama dengan peleton III dari Eskadron Pantserwagens II sebagai unit pasukan Belanda yg terakhir.

Pasukan Zeni





5e Genie Veld Cie

Pada awal Aksi Polisi II tidak banyak pekerjaan, karena di medan pertempuran hanya ditempatkan beberapa hambatan oleh pihak TNI. Dan karena itu Yogyakarta bisa dicapai pada tanggal 21 Desember 1948 .

Setelah akhir Aksi Polisi II tugas utama 5e Genie Veld Cie adalah untuk memperbaiki jembatan dan jalan setelah disabotase oleh pihak TNI. Hal ini terus dilakukan sampai 5e Genie Veld Cie kembali ke Semarang pada tanggal 29 Juni 1949 saat Yogyakarta ke pihak Indonesia.




2 GnParkCie

Pasukan Perbekalan dan Angkutan

4eCie AAT 



Aan en Afvoertroepen (Perbekalan dan Angkutan) adalah pasukan yang mengorganisasikan perbekalan dan angkutan.


Pada tanggal 18 Desember 1949 Kompi Suplai dan Tranportasi 4 mengangkut Resimen Infantri 1-15 RI ke Kalibanteng yang akan terbang ke Magoewo, lapangan udara di Yogyakarta.

Pasukan Teknis / Regiment Technische Troepen



32 Verzorgingspeloton


Pasukan Perhubungan



VbdA T-Brigade (Perhubungan Brigade T)

Pasukan Kesehatan



31th HpVa (Hulp Verbandplaats Afdeling / Seksi Bantuan Medis)




Pada Aksi Polisi II pada tahun 1948 31th HupVa (Seksi Bantuan Medis 31) membuka rumah sakit di Yogyakarta bekerja sama dengan Dr. Yap . Tapi ketika Belanda mengembalikan Yogyakarta ke Indonesia lagi, pasukan 31th HupVa meninggalkan pada tanggal 28 Juni 1949 bersama dengan sisa pasukan Belanda.
Tentang kekuatan Belanda yang pernah masuk ke Yogyakarta pernah terdokumentasikan di kantin garnisun Belanda di Yogyakarta tahun 1949.

  
 
Sumber
www.dekolonisatie.com/troepenoverzicht.htm
http://www.hetdepot.com/emblemen8.html
http://www.indie-1945-1950.nl/web/5grgr.htm
http://www.kaskus.co.id/thread/54222bed98e31bfd658b456e/organisatie-van-de-nederlandse-landstrijdkrachten-operatie-product-amp-operatie-kraai
http://tijgerbrigade.com/infmainindo.html