Sabtu, 13 Juni 2015

Kompi Sukertiyo Berjuang Bersama Rakyat Lumajang

Kompi Sukertiyo Berjuang Bersama Rakyat Lumajang
 
Soekertijo adalah nama sejak lahir namun ejaan sekarang menjadi Sukertiyo.  Lahir di Lumajang tanggal 8 November 1926 dan meninggal di Jakarta  (usia 59 tahun) pada tanggal 11 November 1985, dimakamkan di Taman Makam  Pahlawan Kalibata (Blok R no 115).
 
Pada Masa Jepang
Pendidikan Sekolah Dasar H.I.S di Lumajang dan SMP di Probolinggo (pada jaman penjajahan Belanda) kemudian tahun 1944 mengikut pendidikan shodanco PETA (Pembela Tanah Air) pada saat pendudukan Jepang. Latihan militer oleh tentara Jepang dilaksanakan selama empat bulan di Kyoikutai Bogor (sekarang menjadi museum Pembela Tanah Air (PETA) dan setelah selesai kemudian ditempatkan sebagai shodanco PETA, Daidan Probolinggo.
Sukertiyo yang saat itu berusia 17 tahun berangkat ke Bogor pada bulan April 1944 bersama beberapa orang kawan,  diantaranya adalah Suwandak (gugur di Lumajang), Suyoso (gugur), Suwignyo (mantan Bupati Malang), Sumitro (Jendral). Berangkat dari Probolinggo menuju Malang dengan kereta api dan di Malang ditampung di asrama Panderman. Lalu berangkat ke Surabaya karena harus menjalani pemeriksaan kesehatan dan sore harinya naik kereta api berangkat ke Bogor dan setibanya di Bogor bertemu dengan kawan-kawan dari kota-kota lain.
Selama menjalani latihan digembleng habis-habisan, setiap hari diberi latihan lari yang semakin lama bertambah jauh dan juga latihan lapangan terus menerus, dimulai dari latihan perorangan, latihan tingkat regu, latihan tingkat peleton sampai latihan tingkat kompi, hampir tidak ada teori selama empat bulan itu.
Pendidikan PETA memberi semangat membela tanah air. Semakin berat latihan semakin tebal semangat berperang sebagai prajurit. Kalau nanti berperang tidak kenal menyerah dan wajib bertempur sampai mati.
Selesai pendidikan kemudian dilantik di lapangan Ikada, Jakarta pada tanggal 10 Agustus 1944 serta mengucapka janji atau semacam sumpah wajib yaitu : Mengabdi, Keberanian prajurit, Sopan santun dan Sederhana. Selesai dilantik kemudian kembali ke  Probolinggo bergabung di Daidan Probolinggo merupakan Batalion 5 Karesidenan Malang.
Pada suatu hari Sukertiyo menerima kartu pos dari Lumajang  yang mengabarkan bahwa ibunya  telah meninggal dunia pada 7 Juli 1944 dan sudah dimakamkan. Kemudian Sukertiyo minta izin pulang tetapi tidak diperbolehkan, hanya diberi uang duka sebesar dua puluh sen, itupun harus disimpan di Bank.
Tahun 1945 Amerika menjatuhkan bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki sehingga membuat Jepang menyerah kepada Amerika dan sekutunya serta harus keluar dari wilayah jajahannya termasuk Indonesia. Pada akhirnya Indonesia dapat memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945,  oleh sebab itu  tentara PETA dibubarkan.

Pada Masa Kemerdekaan Indonesia dan Pertempuran Surabaya
Setelah tentara PETA bubar, Sukertiyo kembali ke Lumajang dan tidak lama kemudian pemerintah Republik Indonesia membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang terdiri dari mantan anggota PETA, Heiho dan Laskar masyarakat. Terbentuklah Batalion Lumajang dengan komandan batalion Mayor dr.Soedjono sedangkan Sukertiyo mendapat pangkat Letnan Dua dan menjadi komandan Seksi yang ikut serta melucuti tentara Jepang.  Tak lama kemudian BKR berubah menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) lalu  berubah lagi menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia). Pangkat Sukertiyo dinaikkan menjadi Letnan Satu sekaligus menjadi komandan Kompi dengan sebutan  Kompi Sukertiyo. Kemudian pimpinan Angkatan Perang merubah nama TRI  menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia).
Sejak September 1945 tentara sekutu mendarat di Surabaya untuk mengurusi tawanan tentara Jepang namun tentara Belanda ikut menyusup kedalam tentara sekutu karena ingin kembali menguasai Indonesia. Arek-arek Suroboyo berontak karena tidak menghendaki kedatangan tentara sekutu sehingga terjadilah Pertempuran Surabaya pada tanggal 10 November 1945 yang kemudian berlanjut menjadi  Perang Kemerdekaan untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan.
Setiap daerah ikut membantu mengirim pasukan ke Surabaya termasuk juga Batalion Lumajang, Divisi VII / Untung Surapati yang diberi tugas menyerang daerah Sepanjang dan menduduki daerah Gubeng. Pertempuran berlangsung terus sehingga pengiriman pasukan silih berganti dengan tujuan Surabaya, Wonokromo, Gedangan, Tanggulangin dan terakhir ke Porong, Gempol dan Bangil yang merupakan penugasan yang ke-13 kalinya.

Agresi Militer Belanda ke 1
Agresi Militer Belanda dimulai dengan terus menerus mengirim pasukan dengan mendaratkan tentaranya di Probolinggo, Pasuruan dan Pasir Putih pada tanggal 21 Juli 1947 dengan tujuan  menduduki Jember, Lumajang dan Malang.
Pada saat itu sebagian besar anggota batalion  sedang cuti selama 3 hari sepulangnya dari front Surabaya sehingga semua Staff dan Komandan Kompi keatas tidak boleh meninggalkan kota Lumajang. Markas Batalion dan seluruh Kompi dipindahkan ke Sukodono, Wonokerto, Tempeh dan Tempursari / Pronojiwo.
Kompi Soewandak dengan kekuatan 2 regu mengadakan serangan malam terhadap musuh di jembatan Drandang dan Kompi Sukertiyo dengan kekuatan 1,5 regu berusaha menghadang gerakan pasukan musuh di perlintasan kereta api Klakah, namun kekuatan musuh dengan kendaraan Lapis bajanya berhasil masuk ke kota Lumajang pada 22 Juli 1947.
Kakak kandung Sukertiyo bernama Cokrosujono yang saat itu menjadi Camat Ranuyoso merupakan korban pertama dari penyerbuan tentara Belanda ke Lumajang, beliau gugur sebagai pahlawan.


 Yosowilangun merupakan wilayah pengawasan dari Kompi Sukertiyo yang dalam beberapa hari berhasil menghimpun kembali prajuritnya dibantu para pemuda dan masyarakat membentuk kompi pasukan Gerilya yang berjumlah kira-kira 150 orang. Pusat komando di desa Wringinsari dan bagian kesehatan di desa Tunjungrejo. Kompi ini tergabung dalam Batalion Lumajang/ Ketunggeng  (Mayor Santoso), Resimen Infanteri 39/ Menak Koncar (Letkol Moch Sruji),     Divisi VII/ Untung Surapati (Kolonel Imam Suja’i).
Pada 29 Juli 1947 kompi Soekertijo dengan bantuan pasukan lain, menyerang tangsi Belanda di Jatiroto, kira-kira satu regu tentara Belanda tewas termasuk merampas senjata. Kemudian Belanda melakukan pembalasan dengan mengepung Rowokangkung namun tidak berhasil menangkap satu orangpun pasukan gerilya namun kemudian menangkap 15 penduduk desa yang beberapa orang ditembak mati dan lainnya disiksa.
Pada Agustus 1947 terjadilah serangan penghadangan yang gemilang dari Kompi di muka desa Pepe, Yosowilangun. Konvoi tentara Belanda menggunakan tank, panser serta 16 truk pasukan bergerak dari kota Lumajang kearah Jember digempur habis-habisan oleh Kompi Sukertiyo yang waktu itu dalam posisi baik dan kekuatan besar dari sekitar pukul 08.00 hingga 10.00. 
Dengan teriakan-teriakan histeris, pasukan kompi menembaki tentara musuh tanpa ada perlawanan.  Jalanan disekitar jembatan sesek amat sempit karena padatnya tanaman pohon asam dikiri kanan jalan sehingga menguntungkan pasukan kompi. Tank dan panser Belanda yang dihadang tidak dapat berputar arah dan truk-truk menabrak pohon dan secara beruntun menabrak truk-truk didepannya. Dilaporkan kurang lebih 50 tentara Belanda tewas dan dievakuasi pada pukul 13.00 setelah mendapat bantuan dari Lumajang.
Setelah itu Belanda memberikan serangan balasan ke desa Pepe dengan penembakan mortir 8 hingga pukul 19.00 malam, akan tetapi seluruh penduduk desa sudah mengungsi bersama Kompi ke Rowokangkung.
Perjanjian ‘Renville’ menghasilkan gencatan senjata ( cease fire ) yang diumumkan di Jawa Timur pada   tanggal 27 Januari 1948. Semua pasukan TNI harus pindah ke daerah Republik (garis status quo yang telah ditentukan) atau disebut juga Hijrah menuju Kepanjen, Turen, Sedayu, Dampit. Tentara diangkut dengan truk-truk menuju Malang melalui jalan raya melingkar jauh melalui Probolinggo, Pasuruan, Malang dan Pakisaji namun sebagian lagi tentara berjalan kaki menuju Sumberrowo. Pusat Komando berada di Dampit dan Turen. Sukertiyo sempat bertemu dengan Letkol Moch Sruji di desa Sumberrowo.
Pada saat Hjrah, TNI mengadakan ReRa yaitu Rekonstruksi dan Rasionalisasi dengan merubah susunan Resimen menjadi Brigade dengan Batalion Mobile dan Teritorial. Kompi Sukertiyo berada di Batalion 31 Lumajang (Mayor Santoso) dibawah Brigade IV Malang (Letkol dr.Soedjono) sedangkan Letkol Moch Sroedji memimpin Brigade III Damar Wulan.
Pada saat Hijrah ini pula terjadi gerakan perebutan kekuasaan oleh PKI pimpinan Musso di Madiun dan beberapa kota lain di Jawa Timur dengan dukungan sejumlah kecil batalion TNI yang memihak kepada PKI. Oleh karena itu sejumlah pasukan TNI dari Jawa Timur dan Jawa Tengah ditugaskan untuk menumpas pemberontakan tersebut. Kompi Sukertiyo mendapat tugas untuk menumpas pasukan pemberontak di wilayah Blitar Selatan.

 Agresi Militer Belanda ke 2
Perjanjian Renville tidak dipatuhi Belanda, pada 19 Desember 1948 pasukan musuh mulai mengadakan serangan kepada kompi Soekertijo dan kompi lainnya yang ditugaskan menjaga daerah perbatasan Malang-Kepanjen. Sehingga keluar perintah untuk memasuki kembali daerah basis gerilya yang telah lama ditinggalkan atau dikenal dengan istilah Wingate action.
Letkol. Moch Sruji yang ketika itu berada di Blitar, bersama Mayor Safiudin dan pasukannya bergerak lewat utara melalui gunung Kobong, Penanggal, Kloposawit, Gucialit, Wates, Aeng songo. Setelah sempat mengalami pertempuran hebat dengan tentara Belanda di Karangkedawung, Moch Sruji terbunuh bersama dr. Subandi dan beberapa pasukannya.
Desa Tempursari merupakan jalan satu-satunya yang terpendek untuk masuk ke daerah Besuki dari Semeru Selatan namun hanya dapat dilakukan oleh pasukan besar karena dijaga ketat oleh pasukan Belanda. Kompi Sukertiyo bergerak menerobos gunung Kobong melewati gunung Sawur dan Kertosari yang dilakukan pada siang hari. Sebelum memasuki daerah basis, kompi menyerang kota Lumajang, menyerang pos-pos kecil di Kunir, Yosowilangun, Gemitri dan melucuti senjatanya., membakar kebun tebu milik Belanda, menggulingkan kereta pengangkut gula Jatiroto. Kompi berhasil merampas 20 pucuk senjata. Supaya tidak terjebak oleh musuh, kompi melakukan mobilitas tinggi dengan gerakan pasukan berputar menjelajahi daerah gunung Sawur (lereng Semeru), Lumajang Timur sepanjang pantai selatan dari Gondoruso sampai Maleman, daerah Kencong dan Karangbayat (gunung Argopuro).
Pada Agustus 1949 gerakan pasukan musuh mulai mengendor dengan dimulainya perundingan KMB (Konferensi Meja Bundar). Setelah selesai KMB, Belanda harus meninggalkan wilayah yang dikuasai dan menyerahkan kepada Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Sejak saat itu maka berakhirlah penjajahan Belanda diatas bumi Indonesia selama 350 tahun dan TNI berhasil menebus kekalahan perang melawan Belanda pada saat perang Diponegoro, Sultan Agung dan lain-lainnya.
Kompi Sukertiyo selalu bekerja sama dengan kompi Suwandak, kompi Suwignyo, kompi Moch Yasir, pasukan Mujahidin pimpinan Kyai Ilyas, Barisan Maling, Palang Merah dan lain-lain.
Nama-nama yang ikut berjuang antara lain : dr. Sujono, Moch Wiyono, Moch Sruji, dr.Subandi, Nailun Hamam, Wachman, Santoso, Joko Hadisuprapto, Suyoso,  Suwadi, Kamari Sampurno, Syaifudin, Winoto, Sumitro, Sulam Syamsun, Warouw, Abd Manan, Sabar Sutopo, Magenda, Rivai, Mujitahid, Bambang Utoyo, Maksum, Suhariyo, Abdul Muchni, Bagiyo Sukarjo, Jonodo, Naam, Saparin, Amir, Jalal, Nungki, Slamet Wardoyo, Hasan, Suwono, Adi Kusumo, Wirasad dan lain-lain.
Setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda, bulan Desember 1949 Sukertiyo ditugaskan sebagai Kepala Staf Kompi Batalion 30 di Malang dengan pangkat Kapten.

Monumen Juang Kompi Sukerto 





Tentara Pelajar

Tentara Pelajar

Lambang Ikatan Pelajar Indonesia bagian Pertahanan

Sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 pihak Belanda terus berusaha  untuk kembali menjajah Bumi Nusantara. Melihat kondisi tersebut , Pelajar Indonesia yang usianya masih sangat muda banyak yang terpanggil untuk turut serta berjuang mempertahankan kemerdekaan  Negara Republik Indonesia. Para Pelajar ini secara umum  dikenal dengan sebutan Tentara Pelajar dan kemudian oleh Pemerintah Republik Indonesia ditetapkan sebagai TNI Brigade 17 seperti Det I TRIP - Jawa Timur, Det II - Solo, Det III - Yogyakarta, Det IV – Siliwangi dan TGP (Tentara Genie Pelajar).

Beberapa kesatuan di bawah Brigade 17

Tanda anggota Tentara Pelajar Det I Brigade 17 di Jawa Timur yang dikenal sebagai TRIP

 Anggota TRIP di Madiun pada tahun 1947


Anggota TRIP di Madiun

 TRIP Jawa Timur berfoto bersama

Dalam perjuangan tersebut ada beberapa kelompok antara lain  : Sturm Abteilung , Pasukan Garuda, Pasukan Alap Alap, Laskar Kere, Brigade X, Laskar Minyak dll dari mereka yang turut berjuang antara tahun 1945 – 1949 di Wilayah Surakarta, Wonogiri, Boyolali, Semarang dan sekitarnya, yang selanjutnya tergabung sebagai  TNI Batalyon 55 Brigade V Divisi III dibawah komando Ign Slamet Riyadi dan diberi nama dengan CSA (Corps Suka Rela).

Muhadi dan teman-temannya dari Kompi I Detasemen II Brigade 17

 Anggota-anggota Sturm Abteilung- Corps sedang berbaris di Yogyakarta pada tahun 1948

Foto anggota Sturm Abteilung- Corps Suka Rela Tentara Pelajar Det II

Foto anggota Sturm Abteilung- Corps Suka Rela Tentara Pelajar Det II

Foto anggota Sturm Abteilung- Corps Suka Rela Tentara Pelajar Det II

Tanda anggota Tentara Pelajar di Purworejo Det III Brigade 17


 Martono, Komandan Detasemen III Brigade 17, berpangkat Kapten Inf


Foto Wiyono dan mam Pratignyo Komandan dan Wakil Tentara Pelajar Kedu Selatan.

 Anton Sudjarwo anggota Tentara Pelajar Kedu Selatan.

 Gatot Suryadi

 Entjung Abdullah Sadjadi, Komandan Kompi 300 Batalyon 300 
Tentara Pelajar Purwokerto.

 Para prajurit remaja dari kesatuan Tentara Pelajar Terpis

Tanda anggota Tentara Pelajar diMagelang KDM Temanggung STM Kedu

 Lili Soebarli anggota Tentara Pelajar Siliwangi Detasemen IV Brigade 17

Foto bersama anggota Tentara Pelajar Siliwangi Detasemen IV Brigade 17.
Nampak yang diberi tanda panah adalah Lili Soebarli

 Paaka Tentara Pelajar Brigade 17 saat mendekati Demobilisasi tahun 1951.

Lambang Brigade 17






Jumat, 12 Juni 2015

Perjuangan di Purworejo tahun 1945 - 1949

Perjuangan di Purworejo tahun 1945 - 1949

Setelah Purworejo membentuk B.K.R (Badan Keamanan Rakyat) yang di pimpin oleh Mukahar, maka dilakukan usaha-usaha jerjasama untuk mengambil alih pemerintahan dan melucuti Jepang di Purworejo oleh pimpinan Angkatan Muda Indonesia Purworejo. Sekolah-sekolah pada waktu itu belum dibuka kembali sehingga pasuka Angkatan Muda Indonesia dapat sepenuhnya membantu B.K.R Purworejo.
Usaha melucuti Jepang dapat berlangsung damai di Purworejo. Di Kutoarjo (walau sekarang Kutoarjo menjadi bagian dari Purworejo) terjadi insiden besar walau pada akhirnya dapat di tangani dengan baik. itulah modal perta a dari B.K.R yang kemudian menjari T.K.R untuk membentuk satu resimen TKR Purworejo dengan persenjataan lengkap dibawah pimpinan Kolonel Mukahar (bekas sudanco Peta).

Pada permlaan tahun 1946 para pemuda di Purworejo membentuk I.P.I (Ikatan Pelajar Indonesia) Cabang Purworejo yang meliputi tiga sekolah menengah yakti SMP Negeri Purworejo, SKP (Sekolah Kepandaian Putri) dan Sekolah Pertukangan Negri (kemudian hari menjadi Sekolah Teknik Pertama). Imam Pratignyo adalah Ketua IPI Cabang Purworejo pertama yang kemudin menjadi IPI Kedu Selatan dimana dia tetap sebagai ketuanya. Didalam organisas IPI ini kemudian dibentuk Bagian Pertahanan yang berkembang menjadi Tentara Pelajar Kedu Selatan, Brigade 17.
Selanjutnya saat rapat pembentukan Tentara Pelajar dilakukan di Gedung Olahraga SMP Negeri yang dihadiri sekitar 60 orang siswa, dan sebagai komandannya ditunjuklah Wijono (yang semula memegang Bagian Pertahanan menjadi Komandan TP Kedu Selatan) dan Toewoeh sebagai wakil, sedangkan Imam Pratignyo Kepala Stafnya.    

Foto Bapak Wiyono dan Bapak Imam Pratignyo.

 
Kartu anggota Tentara Pelajar di Kedu Selatan yang 
ditandatangani oleh Bapak Imam Pratignyo.

Markas Tentara Pelajar Kedu Selatan mula-mula menempati rumah di Jl. Kutoarjo, simpangan menuju Jl Sibak yang sekarang digunakan untuk SMA Kristen, kemudian dipindahkan ke Paviliun di sebelah gedung Kkabupaten Purworejo. Selanjutnya karena diperlukan Markas yang lebih besar untuk menampung pasukan-pasukan yang datang dari Font (daerah pertempuran), oleh Bapak Bupati Muritno pada waktu itu diberikan Hotel Van Laar, hotel terbesar di Purworejo semasa penjajahan Belanda di Jl. Urip Sumoharjp (yang kemudian waktu perang kemerdekaan ke II di bumihanguskan oleh pasukan Tentara Pelajar sendiri dan sekarang menjadi kawasan tersebut menjadi komplek kepolisian Purworejo).
Komandan tentara yang ada di Purworejo pada waktu itu adalah Let.Kol. Koen Kamdani (yang pada jamannya dikenal sebagi “Macan” Kedu Selatan) sebagai komandan Resimen Kedu Selatan dan Mayor Sroehardoyo sebagai Komandan Batalyon, sedangkan Komandan CPM Mayor Sutarto (ayah Jendral. Endriartono Sutarto Panglima ABRI).
Persetujuan Linggarjati antara Pemerintah RI dan Belanda mengalami kegagalan karena pelaksanaan Pembentukan UNI antara Indonesia dan Belanda selama pemerintahan peralihan, Belanda menuntut adanya pengakuan dari RI akan kedaulatan Belanda atas Indonesia dan dibentuknya gendarmerie bersama. Kabite Syahrir ke III jatuh tanggal 3 Juli 1947 dan pada tanggal 21 Juli 1947 dan Belanda melancarkan “Aksi Polisonil” Pertama yang bagi kita disebut sebagai Agresi Pertama serentak keseluruh kefatto RI, menuju Yogyakarta, namun terhenti antara Gombong-Karanganyar. Setelah itu Purworejo menjadi garis depan menghadapi Belanda. Pada waktu itu murid-murid SMP di Gombong dan Kebumen pindah ke SMP Purworejo dan tinggal di Asrama Pelajar Kedungkebo, diantarana adalah Roesmin Nuryadin. Di asrama pelajar di Kedungkebo Purworejo yang di dalamnya terdapat nama-nama Imam Pratignyo, Roesmin Nuryadin ( Mantan KSAU/Dubes/Menteri), Wiyono, Imam Subechi, Anton Sudjarwo (Mantan Kapolri), Achadi (kemudian jadi menteri jaman Bung Karno dan sempat ‘menghuni’ penjara selama 12 tahun di jaman Orba), Sudihardjo, Buntaran.
Dalam hal ini pasukan T.P.(Tentara Pelajar) Kie 332  yang berkedudukan di Kebumen dibawah pimpinan Sadar Sudarso menyerbu perbatasan Karanganyar bersama TRI KA, Markas TP Kie 330 Bat 300 yang berada di Purworejo yang juga merupakan asrama Tentara Pelajar juga digunakan untuk menampung pasukan TP Tegal dan Pekalongan karena adanya persetujuan Renville yang mengharuskan hijrahnya Tentara Pelajar dari daerah-daerah kantong gerilya.
Pada akhir bulan Agustus datang ke markas Kie 330, Kastaf Bat 300 Moedojo membawa perintah Komandan Bat 300 suatu penugasan pasukan untuk mengganti pasukan TP yang ada di font Gombong.
Dilain sisi,di daerah Sidobunder pada tanggal 1 September 1947 pada malam hari terjadi hujan lebat, sehingga sungai-sungai banjir dan sawah-sawah tergenang air. Menurut Anggoro, komandan Sie, dia telah mengatur sedemikian rupa agar siap tempur, dengan menempatkab pemegang bren gun di sebelah kanan pos pertahanan dan pasukan Perpis di sebelah selatan, menempati pertigaan dekat lumpung desa.
Pada tanggal 2 Sempetember 1947 pada dini hari Belanda dengan 2 kompi menyerang Pos TP Sidobunder dan mengepungnya dari berbagai arah. Hanggara memutuskan untuk menggabungkan semua pasukan kembali dan membagi peluru serta granat kepada anak buahnya. Pasukan TP berusaha mengubah posisinya ke arah selatan akan tetapi Belanda telah menghadangnya, seghingga akhirnya kehabisan peluru. Perkelahian kemudian dilanjutkan dengan sangkur dan menimbulkan korban besar di pihak Anggoro. Sisa anggota tentara pelajar yang berada di sudut desa sebanyak 11 orang, bergerak ke timur meloloskan diri. Dari anggota TP Sie 321 yang berjumlah 36 orang, gugur 23 orang. Di antaranya selamat karena pura-pura mati tidur di samping kawannya yang telah gugur dan ada pula yang bersembunyi di bawah lesung. Esok harinya jenasah-jenasah yang berserakan di sawah dan pekarangan rumah dikumpulkan dan di tutup dengan daun pisang kemudian dibawa ke Sugiwaras untuk di tandu ke Karanganyar dan dibawa ke Jogja dengan kereta api. Pahlawan-pahlawan itu kemudian dimakamkan di Taman Pahlawan Semaki Jogjakarta. Dari pihak Belanda diperkirakan 40 orang tewas, mereka adalah dari pasukan anjing NICA Bat Cakra dari Madura.

 Anton Sujarwo saat masih menjadi anggota Tentara Pelajar di
daerah Kedu Selatan

Pada tahun 1948, berdasar “Perjanjian Renville” di bulan Februari 1948, pasukan Siliwangi dari Jawa Barat “hijrah” ke Jawa Tengah. Purworejo “kebagian” tamu dari Jawa Barat ini, tidak tahu berapa jumlahnya, namun di jalan-jalan kota Purworejo menjadi pemandangan umum keberadaan pasukan Siliwangi ini yang terkesan lebih “dinamis” dalam gerakannya dengan senjata yang tersandang kemanapun mereka pergi.
Di sore dan malam hari mereka bergerombol ditempat-tempat keramaian seperti bioskop Bagelen dengan senjata yang selalu tersandang. Keberadaan mereka samasekali tidak menimbulkan “ketakutan”, bahkan sebaliknya terasa adanya suasana persaudaraan dan keakraban, terbukti selama mereka di Purworejo tidak pernah ada berita tentang terjadinya “gesrekan” baik dengan penduduk setempat maupun dengan pasukan lokal. Dari kesan sepintas diperoleh gambaran bahwa pasukan Jawa Barat ini mempunyai disiplin yang tinggi dengan persenjataan yang cukup lengkap untuk ukuran waktu itu.
Pada tanggal 18 Senpetmber 1948 walaupun masih ada perundingan KTN di Kali urang Yogyakarta, wakil Tinggi Mahkota Belanda secara sepihak menyatakan tidak terikat lagi dengan persetujuan Renville.
Seksi I Kie III pada mulanya dipimpin langsung oleh komandan kompinya Wijono didampingi Imam Pratigyo, kemudian diserahkan kepada Subijono. Sie I Kie III Det III Be 17 dalam kegiatan operasinya tergabung dalam MPK (Markas Perlawanan Kota) Purworejo.
Desember 1948 Belanda melancarkan Agresi Militer ke-2. Sebagaimana daerah-daerah lainnya, Purworejo juga menjadi daerah pendudukan Belanda.

Purworejo 1 Januari 1949 di Jalan Raya Purworejo Yogyakarta (lokasi tepatnya kalau kita masuk Purworejo dari arah barat jangan lewat ring road akan tetapi masuk kota, mentok belok kanan (kiri ke Magelang) ke arah Yogja, nah rumah yang nampak di latar belakang di foto ini ada di pertigaan itu). Di belakang juru foto di foto ini adalah jalan raya menuju ke Yogyakarta. Nampak Overste (Letkol) Ahmad Yani yang menggunakan kacamata hitam sedang mendapat aporan dari 2 orang pasukan TNI. Dan disekitar Overste Ahmad Yani para anggota Komisi Tiga Negara (KTN) dan ada juga perwakilan pasukan Belanda.

Serangan umum kota Purworejo dilakukan dua kali, yang pertama pada bulan Februari dan yang kedua pada bulan Maret 1949. Pada waktu serangan umum ke II ke kota Porworejo, pasukan TP yang dipimpin oleh Wijono didampingin Imam Pratigyo, Sie I Pasukan Soebijono masuk Kalinongko dan Brengkelan. Pasukan yang melewati pasar hewan kemudian menuju kawedanan Purworejo masuk ke komplek  toko-toko Bioskop Bagelen, disana sempat terjadi ketegangan karena adanya ledakan berwarna kuning kemudian merah, pertanda musuh meminta bantuan tentara Belanda.
Pasukan TP kemudian sampai di komplek bank Rakyat lagi dan masuk pula ke kabupaten. Niat membakar rumah bupati dibatalkan dan hanya mengibarkan bendera merah-putih. Pasukan TP mundur keluar kota sekitar pukul 10.00 siang.

Patroli Belanda pertama kali sampai di desa Seren sekitar bulan Maret 1949. Pada pagi hari sekitar pukul 07.00 tentara Belanda terlebih dahulu menembaki Seren dengan mortir, walau kebanyakan justru jatuh di pinggir sawah. Sedangkan jembatan Seren di sebelah Timur oleh kaum gerilya di ledakkan hingga terputuslah hubungan darat dengan beberapa kendaraan. Terjadilah perang  yang mengakibatkan tentara Belanda tidak bisa maju ke jembatan.
Pasukan Pusma yang mendengar pertempuran itu datang ke arah utara Seren. Dalam hal ini terjadi lelucon yang mengakibatkan tentara Puma dan Belanda lari terbirit sambil menyerang dengan pistol. Anehnya lagi, anak-anak TP kalau perang sambil ngobrol dan santai sekali, seolah-olah seperti masih latihan perang-perangan.

Pertempuran terjadi di berbagai front diantaranya adalah di Purwodadi, Kenteng, Grantung, Gebang, Wareng. Tentara Pelajar yang tinggal di asrama pelajar di Kedungkebo Purworejo yang gugur dalam “Palagan Purwodadi” waktu clash II antara lain adalah Toewoeh dan Djawadi keduanya dari Sekolah Teknik Kedungkebo (kini beristirahat di Makam Pahlawan Purworejo di depan Pasar Purwodadi, dihalaman ex. Kawedanan Purwodadi dan kini juga telah dibangun sebuah monumen untuk mengenang pengorbanan delapan orang Tentara Pelajar yang gugur tersebut).
Pendudukan Belanda di Purworejo ini berakhir menjelang pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949. Dari Tentara Pelajar Kedu Selatan pimpinan Wiyono ini, lebih dari 50 orang telah gugur dalam perjuangan kemerdekaan.

Pasukan Tentara Pelajar Sie I Kie III Det III formasi baru yang khusus terdiri dari anggota tingkat SMA dibawah pimpinan Sie Rusmin Nurjadin. Di ujung sebalah kanan tampak Komandan Sie Rusmin Nursyadin.

 Lambang Ganesha Putra merupakan Lambang Be 17
yang digunakan mendekati demobilisasi tahun 1951

Imam Pratignyo yang dahulu sebagai Ketua IPI Cabang Purworejo / Ketua IPI Kedu akhirnya menjadi Wakil Sekjen Front Nasional yang bersama beberapa orang lainnya ikut membidani lahirnya Sekber Golkar yang berkembang menjadi Golongan Karya. Dan terakhir mendirikan “Paguyuban Keluarga ex. TP Kedu Selatan. Saat meninggal dimaamkan di TMP Kalibata serta saat akan dimakamkan diantarkan oleh teman-teman seperjuangannya yang dipimpin oleh Bapak Roesmin Nuryadin sampai di TMP Kalibata.
Tidak lama kemudian Bapak Roesmin Nuryadin juga menyusul, dan dimakamkan di TMP Kalibata yang lokasinya tidak jauh dari makam Bapak Imam Pratignyo.
Semboyan :
1. ” Kesetiaan kami kepada bangsa dan Negara dari buaian sampai ke liang lahat”.
2. ”Kami tak akan kembali ke bangku sekolah sebelum penjajah enyah dari bumi pertiwi”.
Kata Mutiara :
1. Pelan tapi pasti. Bukan yang banyak itu baik, tapi yang baik pastilah yang banyak (alm. Ibu R.A. Oemijatie, Kepala SGP Yogyakarta dalam buku harian Atiatoen).
2. Memang baik jadi orang penting, tapi jauh lebih penting adalah menjadi orang baik (alm. Bang Imad, Dr. Imadudin – Dosen ITB)
Bapak Wiyono (Komandan TP Kedu Selatan) yang meneruskan kariernya di Angkatan Darat dan mencapai pangkat BrigJen, sudah mendahului, gugur dalam satu kecelakaan pesawat helikopter waktu bertugas di Lampung.