Selasa, 31 Maret 2015

Perjuangan Rakyat Bantul

Perjuangan Rakyat Bantul

Perjuangan tak hanya dilakukan di dalam kota Yogyakarta, di Bantul pun terjadi pertempuran-pertempuran demi mempertahankan kemerdekaan RI. Titik pertempuran di Bantul diantaranya : Jembatan Bantar Sedayu, Nyangkringan, Niten Trirenggo, Pasar Bantul, Pleret, Jebugan, Palbapang, Ganjuran, Pandak, Gunung Sepikul, dan Ngoto.
Menurut Mayor (Purn.) Soeyoto dan H. Sodali, Komandan Kompi ditugaskan untuk mempertahankan Pangkalan Batalyon I/X/III Jebugan Bantul. Namun karena adanya serangan Belanda secara tiba-tiba dan Kompi di Jebugan tidak mampu mempertahankan, maka pangkalan ditinggalkan menuju Imogiri dan selanjutnya bergabung dengan sebagian pasukan di Parangtritis. Setelah diyakini tidak akan terjadi pendaratan pasukan Belanda di Parangtritis dan Samas, maka Kompi menyusul Induk Pasukan di Markas Batalyon Pandak. Namun ternyata pasukan Belanda justru mengarah ke Pandak. Pasukan Belanda menyergap lewat Gunung Sepikul dan menghancurkan pertahanan gerilyawan sehingga harus mundur ke timur sampai lapangan Jodog dan ke selatan hingga desa Kadek.
Di Argomulyo, pembantaian dilakukan Belanda. Rumah-rumah dibakar dan tembakan membabi buta tak henti-hentinya menyalak. Belanda sepertinya begitu benci terhadap Argomulyo. Hal ini dikarenakan desa Kemusuk, Argomulyo merupakan tempat tinggal Letkol Suharto yang menjadi Komandan Wehrkreise dan berperan penting dalam melawan Belanda.
Kapten Inf. (Purn) Soewondho dalam catatan yang diberikan kepada Kapten CKU (Purn) sebelum meninggal menceritakan mmengenai perjuangan melawan Belanda pada September 1948. Ia sebagai Bintara Peralatan Batalyon Sardjono di Pos Pabrik Jebugan dan sebagai pengawal pribadi Sardjono mendapat tugas piket Batalyon, menerima laporan bahwa Kantor Telepon Palbapang dirusak oleh Belanda. Piket Batalyon segera melapor ke Komandan dan diperintahkan kepada semua Dan Ki segera menempatkan diri sesuai rute yang telah ditentukan. Batalyon Sardjono bergerak ke Pandak untuk bermarkas di Pandak. Gerakan ini diketahui Belanda. Di sudut desa Cengkiran terdapat banyak sekali serdadu Belanda dengan senjata lengkap. Pada pagi harinya, Soewondho memancing tembakan. Kontak senjata pun terjadi dan kekalahan ada di pihak Soewondho karena kekurangan senjata. Soewondho pun lari ke selatan dengan luka tembakan di tubuhnya. Namun ia ditolong rakyat dan dibawa ke RS Ganjuran.
Setiap rumah yang terendus Belanda sebagai tempat berkumpulnya para anggota Tentara Nasional Indonesia pasti akan menjadi sasaran penyerbuan Belanda, seperti yang terjadi di Ngoto. Suatu pagi di Ngoto didatangi sepasukan Belanda yang berjalan kaki. Hal itu dilihatnya oleh Pak Kliwon dan Pak Narsen yang ketika itu menjadi anggota tentara pelajar. Pak Kliwon dan temannya kemudian berlari menyebrang jalan ke timur. Ia berharap dikejar oleh musuh dengan tembakan sehingga bisa menarik perhatian dan membangunkan warga sekitar yang masih tidur. Sekaligus menjadi perintah siaga bagi semua tentara dan polisi yang berada di tempat itu. Belanda pun mengejarnya dengan tembakan membabi buta. Rakyat yang terkejut berlarian sehingga Belanda banyak yang terkena tembakan Belanda. Tercatat 21 rakyat sipil dan 9 polisi tewas dalam peristiwa tersebut.
Di dusun Ponggok (Jetis), Belanda nampaknya ingin mendirikan pos di bekas gudang tebu. Sampai menjelang sore, Belanda masih belum keluar sari kawasan itu. Akhirnya tentara RI memutuskan untuk mengepung dan pagi harinya diserang. Begitu pecah suara tembakan sehabis subuh, kendaraan patroli Belanda pun berdatangan. Dari Bulak Pacar sampai Ponggok pun berubah menjadi medan pertempuran. Pertempuran berlangsung hingga jam sepuluh malam dan berakhir setelah dibubarkan oleh pesawat cocor merah menghujani tembakan membabi buta. Korban yang terlihat saksi mata ialah para anggota APS dari kesatuan polisi pramong praja yang bergabung, diperkirakan berjumlah ratusan orang tewas menjadi tumbal perjuangan kemerdekaan di tempat itu.

Perjuangan Rakyat Kulon Progo



Perjuangan Rakyat Kulon Progo
"Lautan Api di Wates dan Sentolo"

Keputusan Belanda membatalkan gencatan senjata kemudian menyerang lapangan terbang Maguwo dan kota Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Serangan Belanda sedikit demi sedikit merangsek ke barat mencapai daerah Demak Ijo, dengan ini rakyat menjadi yakin bahwa Belanda tidak sedang main-main. Warga berbondong-bondong mengungsi ke arah barat. Demak Ijo yang tak luput dari serangan Belanda (saat ini menjadi markas Batalyon Infanteri 403/Wirasada Pratista Kompi C atau tepatnya di perempatan ringroad jalan Godean).
Dengan sangat cepat pada sore hari di hari yang sama kota Yogyakarta sudah dapat dikuasai Belanda. Tidak cukup sampai disitu. Untuk benar-benar melumpuhkan Yogyakarta, Belanda juga mengerahkan pasukannya menuju tempat-tempat yang dinilai penting di Bantul, Sleman, Gunung Kidul dan Kulonprogo.
Kulonprogo yang menjadi daerah dengan akses luas ke Jawa Tengah dan Jawa Barat tak luput dari perhatian Belanda. Menurut Belanda jika Jembatan Bantar dapat dikuasai maka lambat laun kota Wates yang saat itu masih menjadi pusat wilayah Kabupaten Adikarta dan Sentolo yang menjadi ibukota Kabupaten Kulonprogo dapat segera dikuasai.
Hanya delapan hari sejak Belanda menyerang lapangan udara Maguwo, Belanda telah berhasil merangsek ke wilayah Bantul yang berbatasan dengan Kulonprogo.
Kedatangan tentara Belanda yang semuanya berjalan kaki sebenarnya sudah dapat dilihat oleh para pejuang di Kecamatan Sedayu, Bantul. Para pejuang yang bertugas menjaga Jembatan Bantar mendapat tugas untuk memasang beberapa bom. Jembatan Bantar pertama mempunyai panjang total 176 meter dengan jumlah bentang 3 buah, yakni 48 meter, 80 meter dan 48 meter. Jenis bangunan atas berupa jembatan gantung, bangunan bawahnya pondasi sumuran dan jenis lantainya yakni balok dan papan kayu. Kita tau saat ini Jembatan Bantar sudah berjumlah 3 buah.
Dua buah bom digantungkan di bawah jembatan sedangkan sisanya dipasang di pondasi jembatan. Rangkaian bom akan menjadi penyambut tentara Belanda jika tetap berjalan melintasi Jembatan Bantar. Rakyat Sentolo bertarung dengan tentara Belanda di Jembatan Bantar. Korban berjatuhan dari kubu republik maupun pasukan Belanda. Darah mengalir mengucur di aliran Sungai Progo. Jembatan Bantar, salah satu jembatan gantung menumental di Indonesia, dengan panjang 176 meter dan menghubungkan Kabupaten Bantul serta Kabupaten Kulonprogo menjadi saksi bisu perjuangan rakyat mempertahankan kemerdekaan yang diperoleh dengan berkorban darah, pikiran, materi dan peluh. Belum sempat diledakan, tentara Belanda sudah berhasil melewati Jembatan Bantar. Rencana pejuang gagal total.

Jembatan Bantar

Tepatnya pada 27 Desember 1948 Jembatan Bantar jatuh ke tangan Belanda. Setelah berhasil menguasai Desa Bantar, Belanda membakar sejumlah rumah, membuat lubang persembunyian dan memasang kawat tajam. Belanda menggunakan rumah salah satu warga bantar untuk dijadikan markasnya. Dapur umum dan persenjataan begitu lengkap diletakan di sebelah timur sungai dengan anggota sekitar 81 orang. Meskipun demikian sudah ada tentara Belanda yang berusaha menyeberang jembatan dengan cara merangkak, karena sebelumnya jembatan sudah sedikit dirusak oleh gerilyawan. Di barat sungai atau di wilayah Kulonprogo hanya terdapat sekitar 30 tentara yang berjaga.
Dapur umum yang dibangun Belanda memiliki sejumlah juru masak yang diambil dari warga sekitar. Salah satu dari mereka menjadi informan bagi para pejuang. Sepulang bekerja di markas Belanda, sang informan selalu memberikan informasi-informasi yang dirasa penting bagi pergerakan pejuang dalam menentukan taktik dan strategi perlawanan.
Sebelum tentara menginjakan kaki ke Kulonprogo, tiap kecamatan di Kulonprogo sudah siap menghadapi kemungkinan apapun, termasuk konfrontasi secara terbuka dengan tentara Belanda. Semua penduduk yang sudah dewasa, baik tua maupun muda, pria atau wanita, diwajibkan untuk mengikuti perang rakyat, sebutan untuk perang yang dilakukan oleh masyarakat diluar militer pada saat itu.
Begitu mengetahui tentara Belanda sudah memasuki daerah Sedayu maka pihak militer memerintahkan untuk melakukan pembumihangusan kantor dan rumah serta penjebolan jembatan di seputar Wates dan Sentolo. Tujuannya agar Belanda tidak memanfaatkan bangunan dan menyulitkan tentara musuh memasuki kota Wates dan Sentolo.
Tak lama setelah pengumuman itu akhirnya gedung kabupaten, rumah kerajinan, gedung pegadaian, kantor pos, pasar, stasiun, rumah orang keturunan Tionghoa dan rumah wedana tidak luput dari kobaran api. Mungkin ini sebabnya tidak banyak ditemukan bangunan dengan arsitektur masa lalu atau bahkan bangunan yang berciri khas Belanda di sekitar Wates dan Sentolo.
Pembumihangusan bangunan dan penjebolan jembatan ternayata cukup efektif menahan laju tentara Belanda memasuki Wates dan Sentolo. Berhasilnya menahan pergerakan tentara Belanda tidak luput dari perjuangan Gerakan Pemuda Sentolo dan Pasukan Suro Panggah. Pasukan Suro Panggah sendiri memiliki pimpinan yang berasal dari sebuah desa bernama Salamrejo. Lokasinya kini terletak sebelum Pasar Sentolo baru belok ke kiri jika dari arah pusat kota Jogja.
Pasukan Suro Panggah berisikan pemuda-pemuda yang memiliki keberanian lebih, gagah berani dan tangguh, termasuk mereka yang kala itu termasuk dalam golongan pemuda yang nakal. Jumlahnya tak banyak, namun keberanian yang terdapat di dalam diri setiap anggotanya tidak dapat diragukan lagi. Pasukan Suro Panggah menggunakan senjata yang lebih modern. Kebanyakan merupakan senjata bekas tentara Belanda, Jepang serta mendapat suplai dari militer, seperti granat dari pos militer Demak Ijo.
Gerakan Pemuda Sentolo dan Pasukan Suro Panggah beserta kelompok-kelompok lain sangat kompak menggalang kekuatan untuk melemahkan bahkan menghancurkan Belanda. Mereka tidak terima jika ada bangsa asing yang kembali ingin menjajah Indonesia setelah Indonesia dinyatakan merdeka. Mereka ingin melindungi kedaulatan Indonesia. Berbagi tugas dengan tujuan yang sama yakni membantu militer mempertahankan kedaulatan Indonesia yang baru saja diproklamirkan.
Selain Gerakan Pemuda Sentolo dan Pasukan Suro Panggah, pamong praja juga bahu-membahu menghambat gerak Belanda menuju Wates. Caranya adalah menjebol jembatan Kali Popoh yang terletak di sebelah barat Sentolo menuju Wates.

 Proyek Kapal Selam Mini ALRI di daerah Sentolo yang kemudian segera di bawa ke Semarang untuk dilakukan observasi/penelitian lebih lanjut oleh pihak tentara Belanda

Selain itu juga di daerah Kulon Progo terdapat pasukan Tentara Pelajar yang mana kini diabadikan dalam bentuk monumen dengan nama-nama anggota Tentara Pelajar yang ada di daerah Kulon Progo. Adapun daftar nama-nama anggota Tentara Pelajar yang ada di Kulon Progo adalah sebagai berikut :

Soerjadi : Komandan Seksi
Abisai, Andogo,  Andoko (Handoko), Asmiran Loekito, Basoeki, Djadjoeri, Djemio, Djoeworo, Doellah Sirad, Endang Tojib, Gaib, Harsono, Ignatius Sarino, Imam Toermoedi, Jazid, Kaelani, Margono, Moersahid (Joeswo Harsono), Oemar, Rasiman (Rasman Soedarto), Sajar (Sajar Soeprapto), Samsoedini, Sandijo, Sangadji, Sanoen, Sardjiman, Sewan (Sewan Soesanto), Sikar, Siman (Simanhadi), Sodjo, Soebarjo, Soedarsono, Soedibdjo, Soedijono, Soedirman, Soediro, Soehadi, Soeharto (Bambang Soeharto), Soejatno, Soejono, Soekarno Hadian, Soekirjo, Soekrosoemanto, Soelardjo, Soemadi, Soemarno, Soemedi (Poenomo Soemedi), Soeparjan, Soepono, Soeprapto, Soerasto, Soeratno, Soeselo, Soetarsono, Soetrisno, Soewarjo, Tambeh, Tito Soejadi, Wahjono, Wanitro, Waris. 

    Monumen untuk mengenang Tentara Pelajar di Kulon Progo

Sumber: Bappeda Kulonprogo



Senin, 30 Maret 2015

Serangan Udara Pertama AURI dan Tertembaknya VT CLA

Serangan Udara Pertama AURI dan Tertembaknya VT CLA

Dalam melaksanakan agresinya, Belanda berusaha mengintimidasi dan memaksa kedudukan Indonesia makin mundur ke pedalaman, serta menghancurkan potensi-potensi kekuatan udara Republik Indonesia diberbagai daerah.   Seluruh pangkalan udara Republik Indonesia diserang secara serempak, mereka bergerak dengan mengandalkan pesawat-pesawat tempur P-5 Mustang dan P-40 Kitty Hawk serta pesawat pembom B-25/B-26.  Penyerangan terhadap pangkalan-pangkalan udara Republik Indonesia, yang saat itu masih dalam proses perintisan, tentunya dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi kemampuan Angkatan Udara Republik Indonesia, sehingga tidak mempunyai kesempatan untuk mengadakan serangan udara terhadap Belanda.  Demikian pula halnya dengan Pangkalan Udara Maguwo Yogyakarta, tidak luput dari sasaran serangan Belanda.
Serangan Belanda di Pangkalan Udara Maguwo, dilaksanakan secara bergelombang.   Serangan awal dilancarkan pada pagi hari tanggal 21 Juli 1947,  tetapi serangan awal ini mengalami kegagalan, karena secara kebetulan cuaca di atas kota Yogyakarta berkabut tebal sehingga Belanda tidak mampu melaksanakan serangan.  Kegagalan tersebut tidak mengurangi usaha Belanda untuk menghancurkan Maguwo, karena pada siang harinya Belanda menyerang kembali.  Selama 40 menit, empat buah pesawat pemburu Belanda menyerang dengan menjatuhkan beberapa bom di atas lapangan terbang Maguwo dan Wonocatur, yang menyebabkan timbulnya kebakaran di beberapa tempat, namun pesawat yang telah disembunyikan sebelumnya luput dari serangan Belanda. 
Pukul 14.10 WIB tanggal 23 Juli 1947, Belanda  kembali menyerang lapangan terbang Maguwo.  Pesawat-pesawat pemburu Belanda melepaskan tembakan mitraliur dan menjatuhkan granat tangan.   Serangan Belanda ini mendapat perlawanan dari anggota AURI, satu pesawat Belanda kena tembak dan melarikan diri.   Dua hari berikutnya, yakni pada 25 Juli 1947 pukul 14.30 WIB, kembali Maguwo diserang oleh dua pesawat P-40 Kitty Hawk Belanda.  Meskipun demikian perlawanan kita dari bawah tidak kendor sedikitpun.  Dalam pertempuran ini satu pesawat Belanda terkena tembakan pasukan penangkis serangan udara dan melarikan diri kearah Solo.
Menjelang Magrib tanggal 25 Juli 1947, Belanda kembali melancarkan serangan berikutnya.  Kali ini AURI mengalami kerugian yang sangat besar, karena pesawat-pesawat tempur Belanda menemukan pesawat-pesawat AURI yang sedang di run up.  Pada serangan yang kelima kalinya ini, beberapa pesawat Cukiu dan Cureng AURI hancur,  bahkan satu-satunya pesawat pembom AURI yang tersisa, yaitu Pangeran Diponegoro I ikut hancur.


 Pesawat pembom Pangeran Diponegoro I

 Pesawat pembom Pangeran Diponegoro I dipasang sebagai umpan jika ada serangan udara ML KNIL (Angkatan Udara Belanda)

 Pesawat pembom Pangeran Diponegoro I setelah serangan udara ML KNIL (Angkatan Udara Belanda) yang nampak hancur

Serangan-serangan Belanda yang tidak beraturan tersebut, menunjukan bahwa Belanda berusaha keras untuk melumpuhkan dan menghancurkan kekuatan udara Republik Indonesia.  Penghancuran sasaran yang diperkirakan menjadi tulang punggung kekuatan udara Republik Indonesia, dianggap Belanda sebaga salah satu cara terbaik dalam mencegah Pangkalan Udara Republik Indonesia untuk melakukan serangan, yang akan mengancam kedudukan maupun menyerang daerah yang baru saja diduduki Belanda.
Serangan udara Belanda atas kekuatan udara Republik Indonesia dapat dikatakan berhasil,  sebagian besar hasil pembinaan kekuatan udara Republik Indonesia yang telah dibangun selama kurang lebih dua tahun setelah kemerdekaan hampir dapat dilumpuhkan. Beberapa pangkalan udara di Pulau Jawa dapat diduduki, Pangkalan Udara Bugis (Malang) dan Kalijati dapat dikuasai Belanda, selain itu pesawat terbang yang ada di Pangkalan Udara Maospati, Panasan, dan Cibeureum banyak yang dihancurkan Belanda, sedangkan di Pangkalan Udara Maguwo hanya tersisa dua Cureng, satu Guntei dan satu Hayabusa. 
Setelah Belanda melancarkan agresinya, fasilitas penerbangan dan pesawat-pesawat yang telah diperbaiki oleh para tehnisi Angkatan Udara Republik Indonesia berhasil dihancurkan Belanda, bahkan beberapa pangkalan udara berhasil dikuasai oleh Belanda.  Meskipun demikian, kenyataan tersebut tidak mengendorkan semangat para pendahulu TNI Angkatan Udara, justru menjadi motivasi untuk terus berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan.  Dengan berbekal empat pesawat yang tersisa di pangkalan udara Maguwo, para pendahulu TNI Angkatan Udara melakukan perlawanan dan melancarkan serangan balik terhadap daerah-daerah yang berhasil diduduki Belanda.
Gagasan untuk melakukan pembalasan lewat udara terhadap kedudukan Belanda, menjadi pemikiran utama para pemimpin Angkatan Udara, terutama bentuk tindakan balasan yang akan dilaksanakan, karena kesiapan pesawat yang ada tidak memadai, dan kemampuan terbang operasional para kadet penerbang saat itu terbatas pada penerbangan pengintaian.  Atas dasar itu, maka Komandan Sekolah Penerbang Komodor Muda Udara A. Adisutjitpo, merasa sayang kalau para penerbang muda ini “gugur”, beliau menginginkan agar mereka lebih dulu ditingkatkan kecakapan terbangnya untuk mampu menerbangkan pesawat tempur, bahkan tercetus kata-kata beliau bahwa andai kata harus mengadakan serangan balas akan dilakukan oleh beliau sendiri.  Gagasan beliau tersebut disampaikan sebelum berangkat ke luar negeri.
Tetapi situasi waktu yang sangat mendesak untuk melakukan serangan balasan, maka setelah Komodor Muda Udara Adisutjipto dan rombongannya berangkat melaksanakan missinya ke luar negeri, para teknisi di Maguwo secara diam-diam sibuk dengan melaksanakan modifikasi dan mengadakan pemeriksaan beberapa pesawat terbang seperti Hayabusha, Cureng dan Guntai.  Pesawat-pesawat tersebut dipersiapkan untuk dijadikan pesawat pembom, kegiatan tersebut memang sangat dirahasiakan.  Dibawah pimpinan Basir Surya, para teknisi memeriksa dan memperbaiki pesawat-pesawat yang dapat dipersiapkan untuk melaksanakan misi operasi.  Sedangkan pada bidang teknik persenjataan dipimpin oleh Opsir Muda Udara I Eddie Sastrawidjaja.  Sementara itu pimpinan Angkatan Udara Komodor Udara S. Suryadarma dan Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma mengadakan rapat-rapat tertutup.  




Merencanakan serangan balasan

Sejalan dengan proses penyiapan pesawat oleh para tehnisi AURI, pada tanggal 28 Juli 1947 lebih kurang pukul 19.00, seorang kurir ke Mess Perwira di Wonocatur yang membawa perintah KSAU yang ditujukan kepada empat orang kadet AURI, yaitu Kadet Penerbang Mulyono, Sutardjo Sigit, Suharnoko Harbani, dan Bambang Saptoadji agar menghadap Komodor Udara S. Suryadarma dan Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma.  Panggilan yang sangat dirahasikan itu menyangkut rencana operasi udara yang akan ditugaskan kepada keempat penerbang tersebut.   Rencana operasi ini disampaikan sendiri oleh Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma selaku Perwira Operasi dengan penjelasan-penjelasan seperlunya.  Operasi udara itu berupa pengeboman atas kota-kota yang menjadi kubu musuh di Jawa Tengah.  Pelaksanaannya tidak bersifat perintah tetapi sukarela, namun demikian tidak ada seorang pun dari para penerbang itu yang menolak tawaran tersebut.
Pada kesempatan itu, ditunjuk pula para penembak udaranya (air gunner).  Mereka adalah Kaput, Dulrachman dan Sutardjo.  Ketiga air gunner tersebut merupakan teknisi berpangkat Bintara, yang belum pernah mendapat pendidikan “gunnery” dari AURI.   Modal utama mereka adalah keberanian dan bersedia untuk berkorban dalam mempertahankan kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Pada pertemuan tersebut, KMU Halim Perdanakusuma menjelaskan secara rinci rencana penyerangan kedudukan Belanda di Semarang dan Salatiga, yaitu :

1. Kadet Udara I Mulyono ditugaskan menyerang Semarang yang disertai penembak udara Sersan Udara Dulrachman menggunakan pesawat pembom tukik Guntei.

2. Kadet Udara I Bambang Saptoadji ditugaskan mengawal pesawat pembom Guntei menggunakan pesawat Hayabusha.

3. Kadet Udara I Sutardjo Sigit didampingi penembak udara Sersan Udara Sutardjo dan Kadet Penerbang Suharnoko Harbani didampingi penembak udara Sersan Udara Kaput menyerang Salatiga menggunakan pesawat Cureng.

Sasaran pemboman dan tembakan ditentukan hanya pada kedudukan dan markas militer lawan, penerbangan yang dilaksanakan harus menghindari Boyolali, karena pasukan Belanda telah masuk ke daerah tersebut.  Di samping itu, para penerbang tidak diperbolehkan untuk terbang langsung menuju sasaran, tetapi harus membuat dog-leg, yaitu terbang ke arah timur, baru kemudian belok ke kiri menuju sasaran, dengan tetap memperhatikan taktik pendadakan. Penyerangan akan dilaksanakan sedini hari mungkin, selama kurang lebih satu jam, untuk menghindari penyergapan dan pengejaran lawan.  Apabila serangan selesai, para penerbang diinstruksikan untuk segera kembali ke Maguwo, dengan tree top level (terbang serendah mungkin) dan hedge-hopping.  Teknik ini dimaksudkan untuk mengurangi ruang gerak pesawat musuh yang jauh lebih tinggi kecepatanya, apa bila mereka mengejar dan mau menyergap.
Selesai briefing, mereka bergabung dengan para tehnisi pesawat yang sedang berusaha memperbaiki dan mempersenjatai pesawat yang akan digunakan. Untuk melengkapi persenjataan Guntei, para teknisi tidak mengalami kesulitan, karena pesawat jenis ini termasuk pesawat tempur.  Pesawat pembom Guntei yang berhasil diperbaiki mampu membawa bom seberat 400 kg.  di samping itu, juga dipasang sebuah senapan mesin yang diletakan di belakang penerbang.
Sedangkan pada pesawat Cureng, para teknisi harus bekerja keras, karena pesawat ini digunakan sebagai pesawat latih.   Berkat ketekunan para tehnisi, pesawat cureng berhasil dimodifikasi menjadi pesawat pembom, dengan menempatkan sebuah bom seberat 50 kg di bawah kedua sayapnya.    Untuk melepaskan bom-bom tersebut, disebelah kiri tempat duduk penerbang dibasang tiga buah handle (pegangan) yang terbuat dari kayu dengan warna yang berbeda-beda.  Yang kiri warna Merah untuk melepaskan bom di bawah sayap kiri, yang tengah warna Kuning untuk melepaskan kedua bom sekaligus, yang kanan berwarna Hijau untuk melepaskan di bawah sayap kanan.
Selain dilengkapi bom, pesawat Cureng dilengkapi pula dengan senapan mesin.   Dari kedua pesawat Cureng yang disiapkan, hanya satu pesawat yang bisa dipasang senapan mesin, karena satu pesawat Cureng yang akan diawaki Sutardjo Sigit tidak ada tempat kedudukan (mounting)-nya untuk memasang senapan mesin, sehingga pesawat ini sama sekali tidak dapat membela diri apabila disergap musuh.  Sebagai gantinya, pesawat Cureng tersebut diberi bom-bom bakar yang dibungkus dengan kain Blacu.
Sedangkan pesawat Hayabusha tidak  jadi digunakan, karena adanya kerusakan pada system persenjataanya.    Meskipun para juru teknik telah berusaha dengan bekerja keras sampai pukul 01.00 dini hari tanggal 29 Juli 1947, kerusakan pada sistim persenjataan pesawat Hayabusha belum juga dapat diatasi. Dengan demikian Kadet Penerbang Bambang Saptoadji merasa sangat kecewa. Setibanya di Mess Wonocatur tempat mereka disiagakan penuh, Ia  mendatangi ketiga kadet penerbang lainnya untuk dibujuk agar salah seorang bersedia diganti. Mereka tidak mau melepaskan tugas yang telah dipercayakan pada pundak masing-masing.
Sebelum melaksanakan misi operasi penyerangan, ketiga kadet penerbang hanya diberi kesempatan untuk beristirahat sekitar 2 jam.   Pada pukul 03.00 dini hari, mereka dibangunkan dan pukul 04.00 sudah harus siap di lapangan terbang Maguwo untuk menerima briefing dari kepala teknisi Bapak Sudjono, yang sebelumnya tidak mengetahui akan adanya serangan balas AURI terhadap Belanda.  Bapak Sudjono menjelaskan tentang tugas yang akan dilakukan para teknisi setelah pesawat kembali dari melakukan penyerangan.   Briefing berikutnya adalah dari Meteo yang dilakukan oleh Bapak Patah dengan menggunakan peta yang dipakai di sekolah dasar yang memberikan gambaran mengenai kabut rendah, angin tenang dan lainya.  Sedangkan mengenai kesiapan pemadam kebakaran diberikan oleh Bapak Djunaedi.
Pada pukul 05.00, ketiga pesawat mulai taxi-out ke posisi take-off, yang sebelumnya dilepas oleh KSAU Komodor Udara S. Suryadarma dan Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma.  Ketiga pesawat take off secara bergantian, Pesawat Guntei yang diterbangkan oleh Mulyono dan Dulrachman sebagai "air-gunner" terbang terlebih dahulu. Kemudian disusul pesawat Chureng yang dikemudikan oleh Sutardjo Sigit yang dibantu Sutardjo sebagai "air-gunner". Selanjutnya Suharnoko Harbani dengan Kaput juga menggunakan pesawat Chureng merupakan pesawat yang terakhir mengangkasa.


Salah satu jenis pesawat terbang yang digunakan dalam operasi pemboman AURI ini adalah pesawat Chureng

Untuk membantu tinggal landas, dipasang sebuah lampu sorot pada ujung landasan di belakang pesawat, maksudnya agar mendapat cukup penerangan.   Dengan demikian landasan bisa nampak terang oleh sorot lampu tersebut dan memberi sedikit keuntungan bagi pilot untuk menentukan batas pesawat baru mulai mengudara. Mereka tidak diperkenankan menggunakan lampu dan peralatan lain dalam pesawat untuk menjaga kerahasiaan operasi yang sedang dilaksanakan.  Ketiga pesawat tidak dibekali peralatan navigasi dan komunikasi, masing-masing kru pesawat hanya dibekali senter yang berfungsi sebagai alat komunikasi apa bila diperlukan. Walaupun para penerbang ini belum berpenglaman terbang malam, dengan penuh ketekunan dan kewaspadaan mereka bergiliran meninggalkan landasan terbang Maguwo secara lancar.

Pemboman Kota Semarang
Dengan menggunakan pesawat terbang pembom jenis Guntai, Kadet Penerbang Mulyono memulai pelaksanaan operasi udara atas kota Semarang sebagai sasaran urutan pertama.   Rute penerbangan yang dipakai dalam operasi udara ini memakai cara yang paling mendasar dan sederhana dalam ilmu navigasi yaitu dengan cara dead reckonning yang memperhitungkan arah dan kecepatan angin, keadaan cuaca dan lain sebagainya, karena penerbangan tersebut dilakukan pada malam hari yang tidak memungkinkan para penerbang mengamati tanda-tanda di daratan (land-marks) untuk dipakai sebagai pedoman.    Para awak pesawat hanya dibekali lampu senter (battery) sebagai pertolongan dan bantuan sekedar apabila diperlukan penggunaannya. Komunikasi antar awak ataupun antara pesawat satu dan lainnya hanya dilakukan dengan isyarat sandi yang dilakukan lewat sinar lampu senter tersebut, itupun kalau terpaksa saja.
Untuk menuju kesasaran para penerbang diinstruksikan tidak langsung menuju sasaran, tetapi menempuh suatu rute dogleg, yang telah diplot oleh komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma. Untuk pesawat Guntai ke Semarang dan pesawat Cureng ke Salatiga. Dogleg tersebut berupa terbang kejurusan timur selama sekian puluh menit, kemudian belok sekian derajat untuk langsung menuju sasaran.
Setelah take off, Kadet Penerbang MuIyono menunggu sejenak, setelah terlihat pesawat Cureng dari kejauhan, maka Ia segera melesat langsung menuju sasaran di Semarang. Secara fisik serangan dalam rangka operasi udara terhadap kota Semarang dilakukan pada hari Selasa, 29 Juli 1947 pukul 06.10 pagi dan pesawat Guntai ini menyerang dari arah utara.  Menghadapi arah posisi yang demikian, maka Kadet Penerbang Mulyono, menggunakan taktik pendadakan (surprise) dengan mengambil titik awal arah serangan yang dianggap paling aman.  Setelah pesawat Guntai ini mendekati daerah sasaran, tidak langsung melakukan serangan udara dengan segera, tetapi terlebih dahulu membelok untuk mengitarinya. Kesempatan tersebut dipakai untuk memahami medan dan menjajaki kemungkinan sasaran pemboman dan tembakan yang akan dituju. Setelah memasuki kawasan di atas laut Jawa, berulah pesawat mi membelok kembali kearah selatan dan menyerang Semarang dari arah utara.
Siasat ini tidak diketahui sama sekali oleh Belanda. Selain itu Belanda memang tidak memperkirakan, bahwa pesawat RI akan mampu hadir di atas wilayah kekuasaannya, apalagi mewujudkan suatu bentuk serangan. Di luar dugaan dan perkiraan kemampuan tersebut, ternyata pagi itu salah satu pusat kekuatan Belanda di Jawa harus menghadapi serangan udara Republik Indonesia. Selain itu perkiraan tepat telah diambil oleh Kadet Penerbang Mulyono bahwa pertahanan udara musuh akan kebobolan dengan serangan yang datang dari arah laut.
Setelah selesai melakukan operasi pendadakan ini, pesawat segera diarahkan langsung kembali ke pangkalan semula. Kadet Penerbang Mulyono baru mendaratkan pesawat Guntai-nya pada urutan terakhir, setelah kedua pesawat Cureng Kadet Penerbang Suharnoko Harbani dan Kadet Penerbang Soetardjo Sigit memasuki landasan Pangkalan Udara Maguwo, karena misi Kadet Penerbang Mulyono mengambil jarak yang terjauh dibandingkan dua misi operasi udara yang lain.

Pemboman Kota Salatiga
Setelah pesawat pembom Guntai yang diterbangkan oleh Kadet Penerbang Mulyono berhasil tinggal landas dan mengudara, maka segera Kadet Penerbang Soetardjo Sigit mengambil posisi untuk bersiap-siap berangkat. Sinar Lampu sorot yang sangat terang dan menyinari landasan dari ujung ke ujung, menjadi pedoman dan arah dalam melaksanakan tinggal landas di pagi hari yang gelap dan dingin itu.  Pesawat terasa lebih berat, karena adanya muatan tambahan dua bom masing-masing seberat 50 kg yang digantungkan pada kedua sisi sayap dan beberapa buah bom bakar. Untuk itu diperlukan kecepatan lepas landas yang lebih tinggi supaya lebih aman, sehingga suatu sudut tanjakan tertentu dapat dipenuhi.
Disisi lain tanjakan pesawat harus diusahakan jangan sampai terlampau terjal agar kecepatan tidak berkurang dan mencapai stalling speed yang dapat mengakibatkan pesawat jatuh.  Pesawat berhasil naik dengan sempurna dan dapat mengatur keseimbangan setelah pada ketinggian yang cukup. Kadet Penerbang Soetardjo Sigit selaku flight leader membuat satu lingkaran untuk memberi kesempatan waktu kepada wing man Kadet Penerbang Suharnoko Harbani agar bergabung dalam formasi menuju ke sasaran.
Selain itu, untuk menerbangkan pesawat jenis ini diperlukan suatu keuletan dan keterampilan para penerbangnya, karena pesawat ini tidak  dibekali lampu penerangan dan radio sebagai sarana perhubungan. Mereka hanya dibekali lampu senter saja dengan isyarat-isyarat tertentu yang diperlukan untuk berhubungan.  Sehingga usaha Kadet Penerbang Soetardjo Sigit untuk memberikan kesempatan kepada wing man Kadet Penerbang Suharnoko Harbani supaya mengikutinya tidak berhasil. Dalam kegelapan di pagi buta tersebut dengan menyalakan lampu senter yang dipegangnya, Kadet Penerbang Soetardjo Sigit mencoba mengarahkan sinarnya ke segala penjuru sekelilingnya dengan harapan dapat dilihat oleh rekannya.  Ternyata Kadet Penerbang Suharnoko Harbani tidak mengikutinya. Setelah jelas tidak ada pesawat yang mengikutinya, maka Kadet Penerbang Soetardjo Sigit mengambil keputusan untuk melaksanakan misi operasi ini secara sendirian, meskipun hal tersebut berarti bertambahnya resiko, karena tidak adanya wing man menyebabkan pula tidak adanya senjata penangkis bila diserang pesawat musuh, sebab pesawat Kadet Penerbang Soetardjo Sigit tidak dilengkapi dengan senapan mesin penangkis serangan musuh.
Sama halnya dengan pesawat Guntei, setelah take off, pesawat Cureng juga membuat gerakan dogleging, yaitu mula-mula terbang lurus ke arah timur untuk beberapa menit, baru kemudian membelok ke kiri dalam jumlah derajat tertentu kemudian menuju ke arah sasaran, setelah dijalani beberapa menit akan sampai pada sasaran kota Salatiga, gerakan ini di maksudkan untuk menghindari kota Boyolali.
Siasat pendadakan di Salatiga cukup berhasil, karena setelah sampai diatas kota Salatiga, lampu-lampu listrik masih menyala, tetapi kelihatan sepi.  Seperti juga operasi udara di kota Semarang, Belanda sama sekali tidak menyangka dan memperkirakan kemampuan RI untuk mengadakan serangan balas ke Salatiga.  Sesuai petunjuk sebelumnya, sasaran yang dituju ialah daerah di sebelah utara kota Salatiga, yang diperkirakan sebagai pusat kekuatan militer Belanda.  Untuk mengorientasi sasaran,  Kadet Penerbang Soetardjo Sigit membuat satu kali putaran, setelah sasaran yang diinginkan sudah ampak, yang disebut dalam pengarahan dan dikatakan sebagai Markas Militer Belanda, ia segera membuat bombing run yang pertama.  
Di dalam pesawat ada tiga tangkai pegangan (handle) kayu yang berturut-turut dari kiri ke kanan yaitu berwarna merah, kuning dan hijau. Ia menukikkan pesawatnya menuju sasaran kemudian menarik handle yang merah untuk melepaskan bom di bawah sayap sebelah kiri, pesawat oleng ke kanan, karena terganggu keseimbangannya. Sekejap api menyembur jauh di belakang bawah yang disusul dengan suara ledakan bom yang dijatuhkan.
Dengan menjaga keseimbangan pesawatnya, Kadet Penerbang Soetardjo Sigit bermaksud membuat bombing run yang kedua. Ia menarik handle yag berwarna Hijau untuk melepaskan bom sebelah kanan, namun gagal karena tangkai pegangan patah.  Serangan berikutnya ditempuh dengan cara menukikkan kembali pesawatnya, akan tetapi gagal juga, karena handle yang di tengah berwarna kuning ketika ditarik juga patah. Handle yang berwarna kuning tersebut berfungsi untuk melepaskan kedua buah bom sebelah kiri dan kanan sekaligus. Usaha ketiga kalinya ini ternyata gagal lagi, sedangkan bom masih tetap tergantung dan tidak terlepas.
Kadet Penerbang Soetardjo Sigit tetap berusaha untuk melepaskan bom yang tersisa dan masih tergantung di bawah sayap sebelah kanan dengan cara menarik kabel yang terkait dengan bom agar dapat terlepas. Tetapi untuk ini diperlukan usaha khusus tanpa mengurangi kemampuan mengendalikan pesawat, apalagi saat itu berada di atas wilayah musuh, yang sewaktu-waktu dapat menembaknya.   Untuk menarik kabel, Kadet Penerbang Soetardjo Sigit harus menundukkan kepala serendah-rendahnya, sehingga tidak dapat memandang ke luar cockpit. Ketiga kabel tersebut akhirnya berhasil diraih dengan tangan kirinya sambil tangan kanannya mengendalikan kemudi pesawat.    Dengan menahan napas ditariknya kuat-kuat ketiga kabel tersebut dan akhimya berhasil juga.
Hari mulai terang matahari sudah mulai memancarkan cahayanya di cakrawala timur, tiba-tiba ia teringat bahwa juru tembaknya masih membawa bom bakar satu peti penuh. Dibuatnya satu puteran terbang lagi sambil memberi isyarat kepada juru tembak yang kini menjadi juru bom untuk siap-siap melemparkan bomnya. Ia memberi isyarat agar bomnya dilemparkan, supaya pasti dapat meledak kunci pengamannya harus dibuka satu persatu.

Pemboman Kota Ambarawa
Pada rencana operasi yang telah digariskan sebelumnya, bahwa untuk menyerang Salatiga disiapkan dua buah pesawat Cureng.  Sebagai pimpinan misi ditunjuk Kadet Penerbang Soetardjo Sigit, sedangkan Kadet Penerbang Suharnoko Harbani bertindak sebagai wing man. Tetapi rencana ini harus juga mengalami perubahan karena beberapa faktor dan situasi yang terjadi di medan operasi.
Setelah Kadet Penerbang Suharnoko Harbani tinggal landas dengan mengikuti prosedur keberangkatan pesawat-pesawat sebelumnya, mulailah timbul masalah, Kadet Penerbang Suharnoko Harbani telah keliru membututi sinar api yang keluar dari mesin pesawat Guntai yang diterbangkan oleh Kadet Mulyono, karena mengira pesawat tersebut adalah Cureng yang diterbangkan oleh Kadet Penerbang Soetardjo Sigit.  Tanpa ragu-ragu Kadet Penerbang Suharnoko Harbani mengejar tanda tersebut, tetapi ternyata makin lama makin jauh ketinggalan dan akhirnya tidak keihatan lagi. Hal ini memang sudah sewajarnya, karena kecepatan pesawat Guntai lebih tinggi dari pesawat Cureng, maka pesawat Guntai diberi tugas beroperasi di daerah sasaran yang lebih jauh, yaitu kota Semarang.
Setelah kehilangan sinar api pesawat Guntai, dan tidak berhasil menemukan pesawat Cureng Kadet Penerbang Soetardjo Sigit.  Kadet Penerbang Suharnoko Harbani segera berusaha menentukan posisi pesawatnya, mengingat keterbatasan kemampuan dan waktu operasi yang akan dilaksanakan.   Saat-saat kritis yang perlu segera diatasi tiba-tiba dia melihat sebuah danau dari kota di dekatnya. Dia segera menganalisanya dan menarik suatu kesimpulan bahwa kota tersebut adalah Ambarawa, yang berdekatan dengan Rawapening.  Dengan cepat Ia memutuskan untuk memilih kota Ambarawa sebagai sasarannya, karena kota tersebut juga telah diduduki Belanda.
Kota Ambarawa tidak termasuk dalam rencana operasi, memang bukan sasaran yang direncanakan semula. Setelah yakin bahwa daerah yang dilaluinya merupakan daerah kekuasaan lawan, dia kemudian tidak ragu-ragu lagi memulai serangan udara. Ketinggian pesawat mencapai kurang lebih 3.000 kaki ke atas untuk sekedar mengadakan terbang keliling sambil mengamati sasaran yang akan dituju. Setelah mendekati sasara, pesawat kemudian menukik ke bawah kemudian melepaskan bom secepatnya. Setelah itu harus terbang serendah-rendahnya untuk mengelakkan kemungkinan serangan lawan, yang bisa saja saat itu telah mengetahui keberadaanya.
Setelah selesai melaksanakan serangan udara di atas kota Ambarawa, segera diputuskan untuk kembali ke pangkalan semula. Sementara itu timbul keraguan sejenak, rute mana yang akan dipakai/diambil untuk perjalanan kembali tersebut.  Meskipun dari Ambarawa dapat ditempuh langsung ke arah selatan sehingga dapat memperpendek jarak untuk tujuan Maguwo, Yogyakarta. Namun pertimbangan lain lebih memastikan, ialah bahwa Pimpinan Operasi telah menekankan agar rute penerbangan kembali sama dengan ketika pemberangkatannya. Tampak faktor keamanan menjadi bahan pertimbangan penting sehingga hal ini perlu ditegaskan lagi sebelum operasi dilaksanakan.
Dengan demikian maka pesawat kembali melalui rute semula, yaitu menuju arah antara Boyolali dengan danau di Panasan, baru kemudian menuju ke Maguwo. Walaupun mempunyai rute alternatif melalui Magelang tetapi tidak dipilihnya karena daerah tersebut lebih sulit kondisi geografi dan cuacanya.
Tindakan berani dari penerbang-penerbang RI dalam memberi serangan balas sungguh mengagumkan.  Lebih-lebih jika diingat bahwa tugas penerbangan semacam itu baru pertama kali mereka lakukan.   Apalagi kalau mengingat keadaan pesawat yang serba terbatas kondisinya.  Meskipun Taktis dan strategi serangan itu tidak menimbulkan kerugian besar bagi Belanda, namun serangan itu memberi pengaruh besar terhadap situasi dan kondisi saat itu, karena sejak itu Belanda melakukan penggelapan penerangan pada malam hari di seluruh Jawa Tengah.
Bahkan kejadian yang ditimbulkan atas keberhasilan operasi udara ini,  telah menarik perhatian opini dunia luar.   Radio Singapura telah menyiarkan kejadian tersebut sebagai berita penting (Head Line) dalam acara siarannya dan disebutkan mungkin sebagai kegiatan yang pertama dilakukan oleh Angkatan Udara Republik Indonesia.   Pokok acara yang disiarkan oleh radio Singapura tersebut adalah, bahwa AURI telah menyerang pertahanan Belanda di Semarang dan Salatiga.

Gugurnya Tiga Perintis TNI Angkatan Udara
Keberhasilan bangsa Indonesia/AURI dalam melaksanakan operasi udara mendadak di kubu-kubu Belanda di kota Semarang, Salatiga, dan Ambarawa dengan menggunakan tiga buah pesawat, dapat menunjukan ke dunia internasional bahwa Republik Indonesia melalui Angkatan Udaranya masih ada.   Meskipun hasilnya tidak seberapa namun hal ini sudah cukup menggembirakan bangsa Indonesia, khususnya anggota AURI.   Dengan keberhasilan ini memacu anggota lainnya untuk bisa berbuat lebih banyak lagi meskipun dalam keadaan yang serba terbatas.
Dilain pihak serangan udara ini membuat pihak Belanda merasa kecolongan dan kalang kabut.   Bahkan dapat dikatakan membuat malu Bangsa Belanda.   Mereka merasa bahwa agresi militer yang dilancarkannya pada tanggal 21 Juli 1947, telah menghabiskan seluruh kekuatan RI, terutama kekuatan udaranya.   Tetapi kenyataannya AURI masih mampu mengadakan serangan balas ke kubu mereka.    Akibatnya, Belanda membalas tindakan AURI ini dengan menyerang  sejumlah wilayah RI lagi seperti sebelumnya.   Bahkan pesawat Dakota VT-CLA yang dalam misi kemanusiaan menjadi korban balas dendam Belanda, sehingga tiga orang tokoh dan perintis AURI yang datang bersama pesawat itu gugur.
Peristiwa ini terjadi tidak jauh dari pangkalan udara Maguwo pada hari itu juga dan berselang hanya beberapa jam dari keberhasilan operasi udara yang telah dijalankan.   Hal yang menyedihkan dan membuat duka yang mendalam ialah tiga tokoh dan perintis AURI yang berada didalam pesawat tersebut yakni Komodor Muda Udara Agustinus Adisutjpto, Komodor Muda Udara Abulrachman Saleh dan Opsir Muda Udara I Adisumarmo gugur bersama  crew dan beberapa penumpang pesawat.
Kebahagian dan kegembiraan yang tercermin di wajah anggota AURI dengan serta merta berubah menjadi duka yang mendalam, apalagi bagi pimpinan AURI.    Pesawat yang telah ditunggu oleh Kasau Komodor Udara Suryadi Suryadarma ini, ternyata berakhir dengan tragis, ditembak oleh pesawat Belanda.   Hal yang sangat menyedihkan adalah bersama pesawat itu terdapat beberapa tokoh pendiri angkatan udara yang selama ini sebagai tangan kanannya. 
Kejadian itu merupakan suatu pukulan berat bagi Angkatan Udara RI pada saat membutuhkan tokoh-tokoh yang penuh dedikasi itu.    Musibah itu benar-benar diluar dugaan Angkatan Udara.   Kalau saja crew pesawat  VT-CLA Dakota mengikuti instruksi Kasau pada saat itu, maka cerita sejarah akan lain.  Kebahagian dan kebanggaan mungkin tidak berobah menjadi petaka dan duka.   Memang KSAU Komodor Udara S. Suryadarma telah menginstruksikan melalui Perwakilan AURI di Singapura supaya :
a. Penerbangan dilakukan pagi-pagi sekali atau sore hari menjelang matahari terbenam.
b. Setibanya di atas Maguwo, tidak perlu mengadakan putaran terlebih dahulu tetapi langsung mendarat.
c. Penerbangan dilaksanakan secara sendiri.
Peringatan Kasau tersebut karena diperkirakan akan ada serangan balasan Belanda atas pemboman yang dilakukan AURI di pagi hari, namun ia tidak mengetahui kapan.  Oleh karena itu ia menginstruksikan agar pesawat datang di waktu-waktu itu yang  diperkirakan  militer Belanda longgar dalam pengawasannya.
Namun kenyataannya, Pesawat meninggalkan Singapura pada pukul 13.00 tanggal 29 Juli 1947 menuju Pangkalan Udara Maguwo.   Entah instruksi KSAU tidak sampai atau ada hal-hal lain yang dipertimbangkannya sehingga pesawat Dakota VT-CLA berangkat tidak sesuai instruksi. Tidak ada pernyataan yang mendukungnya.
Dalam perjalanan pulang ke tanah air, penerbangan pesawat Dakota VT-CLA yang mula-mula aman itu, ternyata ketika memasuki perairan Indonesia diatas Bangka-Bliton, pesawat pemburu Belanda secara tiba-tiba muncul dan kemudian membuntutinya beberapa saat sebelum menghilang.  Selanjutnya dua pesawat pemburu Kitty Hawk milik Belanda yang berpangkalan di Semarang, muncul namun segera menghilang.   Tidak lama kemudian kedua pesawat tersebut muncul lagi, bahkan terus membuntuti.
Setelah menjalani lebih kurang tiga jam penerbangan, sekitar  pukul 16.00 sore, pesawat mendekati pangkalan udara Maguwo. Para penjaga dan petugas lapangan terbang bersiap siaga, melihat kedatangan pesawat yang belum jelas identitasnya, termasuk pula personel penangkis serangan udara.   Mereka belum mendapat informasi mengenai rencana kedatangan Dakota itu.   Namun tidak lama kemudian,  Kasau Komodor Udara Suryadarma memberi tahu tentang  kedatangan pesawat pengangkut tersebut,   keteganganpun mereda.   Bahkan berubah menjadi harap-harap gembira atas hendak turunnya pesawat tersebut.
Pesawat Dakota VT-CLA tampak terbang semakin rendah, dan melakukan putaran terakhir untuk mendarat.    Sesaat setelah roda-roda pendarat keluar dari tempatnya, secara tiba-tiba dengan kecepatan tinggi dua pesawat P-40 Kitty Hawk Belanda yang dipiloti oleh Letnan Satu B.J. Reusink dan Sersan Mayor W.E. Erkelens, mengejar dan tanpa peringatan terlebih dahulu langsung memberondong dengan senapan mesin.  Tembakan-tembakan lawan ini tepat mengenai sebuah mesin sebelah kiri, sehingga pesawat terbakar dan mengurangi daya terbangnya.  Akibatnya usaha untuk mencapai lapangan udara gagal.  Beberapa saat kemudian pesawat Dakota VT-CLA oleng.
Sebelum jatuh ke tanah, sayap pesawat sempat menghantam pohon dan akhirnya jatuh di tanggul pematang sawah di Desa Ngoto, Bantul sebelah selatan Yogyakarta, sekitar 2,5 km dari pangkalan udara Maguwo.  Badan pesawat patah menjadi dua, bagian ekor masih utuh namun bagian lain hancur berkeping-keping.     Dengan keadaan yang demikian maka berserakan bantuan obat-obatan hasil sumbangan berupa ½ ton verband dan sejumlah obat-obat sulpha dan penisilin di sawah.  Dari puing-puing pesawat itu tidak ditemukan sepucuk senjatapun seperti yang dicurigai oleh Belanda.



Pesawat Dakota VT-CLA yang jatuh di tanggul pematang sawah di Desa Ngoto, Bantul sebelah selatan Yogyakarta, sekitar 2,5 km dari pangkalan udara Maguwo

Awak pesawat dan beberapa penumpang gugur dalam peristiwa yang menyedihkan itu, termasuk tiga orang perintis AURI.  Hanya satu penumpang yang selamat ialah Abdulgani Handonotjokro.   Mereka yang gugur adalah Alexander Noel Constantine (Pilot) dan istri Ny. A.N. Constantine berkebangsaan Australia, Roy Hazellhurst (Co-pilot) berkebangsaan Inggris, Bhida Ram (Juru Teknik) berkebangsaan India dan Zainul Arifin (Konsul Dagang Republik Indonesia di Malaya). Tiga orang tokoh dan perintis AURI yang gugur adalah Komodor Udara Adisutjipto, Komodor Udara Prof. Dr. Abdulrachman Saleh, Opsir Muda Udara I Adi Sumarmo Wirjokusuma.

Alexander Noel Constantine (Pilot) berkebangsaan Australia dan  
Roy Hazellhurst (Co-pilot) berkebangsaan Inggris

Komodor Udara Adisutjipto

 Komodor Udara Prof. Dr. Abdulrachman Saleh

 Opsir Muda Udara I Adi Sumarmo Wirjokusuma

Sebenarnya keberangkatan pesawat Dakota VT-CLA, yang membawa obat-obatan ini ke Indonesia telah disiarkan secara khusus oleh mass media Malaya “The Malayan Times” sehari sebelumnya.    Pada siaran tersebut dinyatakan bahwa penerbangan pesawat Dakota VT-CLA hanya bersifat pengiriman obat-obatan dan telah ada persetujuan antara Pemerintah Inggris dan Pemerintah Belanda.     Disamping itu keberangkatan pesawat dari Singapura, biasanya telah dikirim flight plan ke pemerintah Belanda di Indonesia melalui telegram seiring dengan keberangkatan pesawat.   Semestinya pengiriman ini telah diterima oleh mereka pada hari itu juga.  Dengan dasar ketentuan-ketentuan hukum internasional yang telah dipenuhi itu, maka pesawat Dakota VT-CLA pun seharusnya berlaku secara legal menuju Maguwo Yogyakarta.   Namun kenyataannya Belanda tetap menembak pesawat ini.
Hal ini merupakan fakta awal dari pengkhianatan Belanda yang terencana untuk menghancurkan Dakota VT-CLA yang tidak bersenjata itu.    Sehingga sangat sukar untuk diterima oleh pikiran yang sehat apabila pihak Belanda mengatakan, bahwa penembakan pesawat Dakota VT-CLA itu “sangat terpaksa”  karena tidak memakai tanda palang merah dan tidak jelas tanda kebangsaannya.  Bagaimanapun juga pihak Belanda telah mengetahui, bahwa pesawat tersebut adalah Dakota VT-CLA  yang telah dibuntuti lebih dahulu.   
Kabar tertembak jatuhnya pesawat Dakota VT-CLA yang merenggut 3 orang tokoh AURI sungguh membuat duka segenap masyarakat dan anggota AURI khususnya.    Kedukaan yang tiada taranya ini mendorong pemerintah untuk memberi kesempatan kepada masyarakat guna memberikan salam terakhir dan hormat setinggi-tingginya atas ketabahan dan tanggung jawab mereka sebagai prajurit AURI.
Pemerintah mengambil kebijaksanaan untuk menyemayamkan pahlawan-pahlawan AURI tersebut dan korban yang gugur lainnya di bekas gedung Hotel Tugu Yogyakarta dengan upacara militer.   Keesokan harinya, atas permintaan keluarga jenazah Komodor Muda Udara Adisutjipto dan Komodor Muda Udara Prof. Dr. Abdulrachman Saleh  dimakamkan dipemakaman umum Kuncen Yogyakarta.  Pemakaman bapak Adisutjipto di pemakaman umum Kuncen I bagi yang beragama Katolik dan Bapak Abdulrachman Saleh di Pemakaman keluarga, bagi yang beragama Islam yang juga terletak di Kuncen.  Sementara itu, Opsir Muda Udara I Adisumarmo dan Zainul Arifin dimakamkan di pemakaman Semaki, yang kemudian berubah menjadi Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara Semaki.    Sedangkan korban warga negara asing dimakamkan di pemakaman Belanda yang terletak disebelah selatan Yogyakarta.
Gugurnya ketiga tokoh perintis AURI ini, bukan berarti perjuangan terhenti, bahkan memompa semangat anggota AURI lainnya untuk berjuang melawan militer Belanda.    Mempertahankan kemerdekaan harus terus dilakukan agar benar-benar dicapai kemerdekaan yang sesungguhnya dengan segera, agar tidak lagi di injak-injak oleh kekuasaan asing yang berbuat semena-mena melalui kekuatan udaranya, yang mengakibatkan sejumlah putra-putra terbaik Indonesia gugur.   Oleh karena itu kemajuan harus segera diraih untuk menjadi sarana mencapai kemerdekaan yang diinginkan.   
Agresi Militer Belanda, yang menyerang seluruh wilayah RI  ini, menimbulkan reaksi bagi negara-negara lain di seluruh dunia, terutama negara-negara yang bersimpati pada perjuangan bangsa Indonesia.   Apalagi diketahui bahwa pesawat Dakota VT-CLA yang sedang menjalankan misi kemanusiaan ditembak jatuh oleh pesawat pemburu  Belanda, menyebabkan korban yang tidak sedikit dari beberapa warga negara asing.   Hal ini semakin menarik simpati dunia.   Sejumlah negara mengajukan protes dan menginginkan agar masalah Indonesia dibicarakan di  Dewan Keamanan PBB.     Protes ini didengar dan disambut baik oleh PBB untuk dicarikan jalan damai.

Perjuangan Pelajar Islam Indonesia Semasa Revolusi Fisik

Perjuangan Pelajar Islam Indonesia Semasa Revolusi Fisik

Sejarah Pembentukan
Salah satu faktor pendorong terbentuknya Pelajar Islam Indonesia (PII) adalah dualisme sistem pendidikan di kalangan umat Islam Indonesia yang merupakan warisan kolonialisme Belanda, yakni pondok pesantren dan sekolah umum. Masing-masing dinilai memiliki orientasi yang berbeda. Pondok pesantren berorientasi ke akhirat sementara sekolah umum berorientasi ke dunia. Akibatnya pelajar Islam juga terbelah menjadi dua kekuatan yang satu sama lain saling menjatuhkan. Santri pondok pesantren menganggap sekolah umum merupakan sistem pendidikan orangkafir karena produk kolonial Belanda. Hal ini membuat para santri menjuluki pelajar sekolah umum dengan "pelajar kafir". Sementara pelajar sekolah umum menilai santri pondok pesantren kolot dan tradisional; mereka menjulukinya dengan sebutan "santri kolot" atau santri "teklekan".
Pada masa itu sebenarnya sudah ada organisasi pelajar, yakni Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) namun organisasi tersebut dinilai belum bisa menampung aspirasi santri pondok pesantren. Hal ini menjadi kerisauan seorang pelajar STI Yogyakarta, Joesdi Ghazali. Oleh karena itu, pada tanggal 25 Februari 1947 ketika sedang beri'tikaf di Masjid Besar Kauman Yogyakarta, muncul gagasan untuk membentuk suatu organisasi bagi para pelajar Islam yang dapat mewadahi segenap lapisan pelajar Islam. Gagasan tersebut kemudian disampaikan dalam pertemuan di gedung SMP Negeri 2 Setyodiningratan, Yogyakarta. Peserta pertemuan tersebut antara lain: Anton Timur Djaelani, Amien Sjahri, dan Ibrahim Zarkasji. Semua yang hadir bersepakat untuk mendirikan organisasi pelajar Islam.
Joesdi Ghazali kemudian menyampaikan kesepakatan tersebut dalam Kongres Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), 30 Maret-1 April 1947. Kongres menyetujui gagasan Joesdi Ghazali dan memutuskan melepas GPII Bagian Pelajar untuk bergabung dengan organisasi pelajar Islam yang akan dibentuk. Selanjutnya peserta kongres GPII yang kembali ke daerah masing-masing juga diminta untuk memudahkan berdirinya organisasi khusus pelajar Islam di daerah masing-masing.
Menindaklanjuti keputusan kongres, pada Minggu, 4 Mei 1947, diadakan pertemuan di kantor GPII, Jalan Margomulyo 8 Yogyakarta. Pertemuan itu dihadiri Joesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani, dan Amien Syahri dari GPII Bagian Pelajar, Ibrahim Zarkasji dari Yahya Ubeid dari Persatuan Pelajar Islam Surakarta (PPIS), Multazam dan Shawabi dari Pergabungan Kursus Islam Sekolah Menengah (PERKISEM) Surakarta, serta Dida Gursida dan Supomo NA dari Perhimpunan Pelajar Islam Indonesia (PPII) Yogyakarta. Rapat yang dipimpin oleh Joesdi Ghozali itu kemudian memutuskan berdirinya organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) tepat pada pukul 10.00, 4 Mei 1947 M/ 12 Jumadits Tsani 1366 H. Hari pembentukan PII tersebut diperingati sebagai Hari BangkitPII (HARBA PII). Hal dianggap sebagai momen kebangkitan dari gagasan yang sebelumnya sudah terakumulasi, sehingga tidak digunakan istilah hari lahir atau hari ulang tahun.

Revolusi Fisik
Tak lama setelah PII berdiri pada tahun, pada tahun 1947 Belanda melancarkan agresi militer yang pertama. Dalam agresi ini kader PII terlibat dalam revolusi fisik melalui pembentukan Brigade PII di Ponorogo pada 6 November 1947 yang dipimpin oleh Abdul Fattah Permana. Brigade PII adalah badan otonom PII yang berbentuk kelasykaran/ketentaraan. Walaupun baru diresmikan pada tahun 1947, sebenarnya sebelumnya telah ada aktivitas ke-brigade-an di PII. Satuan yang telah ada sebelum peresmian Brigade PII adalah TPI (Tentara Pelajar Islam Aceh). Terdapar sebanya 12.000 orang anggotanya yang langsung dikoordinir di bawah komando Komandan Koordinator Pusat Brigade PII saat itu. Di antara pimpinan TPI Aceh ialah Hasan Bin Sulaiman, Hamzah S.H., dan Ismail Hasan Metareum SH

Brigade PII merupakan salah satu dari pasukan rakyat yang berjuang melawan penjajah. Pada masa kemerdekaan Republik Indonesia, terbentuk lasykar-lasykar dari rakyat banyak yang turut membantu TKR (Tentara Keamanan Rakyat)antara lain TRI Hizbullah, BPRI (Baris dan Pemberontakan RI), TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar Jawa Timur), Sabilillah, Tentara Pelajar IPPI, TPI (Tentara Pelajar Islam Aceh), CM Corps – Mahasiswa, CP (Corps Pelajar Solo) dan lain sebagainya.

Lambang Brigade Pelajar Islam Indonesia

Korps yang baru dibentuk ini ikut serta sebaga pendamping Jenderal Sudirman dalam perang gerilya. Secara khusus Jenderal Sudirman mengapresiasi peran PII dalam pidatonya pada peringatan Hari Bangkit I PII tahun 1948 di Yogyakarta.
"Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada anak-anakku di PII, sebab saya tahu bahwa telah banyak korban yang telah diberikan oleh PII kepada negara. Teruskan perjuanganmu. Hai anak-anakku Pelajar Islam Indonesia. “Negara di dalam penuh onak dan duri, kesukaran dan rintangan banyak kita hadapi. Negara membutuhkan pengorbanan pemuda dan segenap bangsa Indonesia."

Brigade PII juga terlibat dalam perlawanan terhadap pemberontakan PKI di Madiun. Pada saat itu, Komandan Brigade PII Madiun Surjo Sugito yang masih belajar di Sekolah Menengah gugur.

Minggu, 29 Maret 2015

Perjuangan Akademi Militer Yogyakarta

Perjuangan Akademi Militer Yogyakarta

Letnan Jendral Urip Sumoharjo Kepala Staf Umum TKR yang memerintahkan pembentukan Akademi Militer di Yogyakarta

Kolonel Samijo yang mempersiapkan MA Yogyakarta pada tanggal 27 Oktober 1945

Pada tanggal 27 Oktober 1945 sekitar pukul 10.00 Letjen Urip memanggil temannya Samijo yang merupakan tamatan Akademi Militer Kerajaan Belanda di Breda.

Guntingan surat kabar Kedaulatan Rakyat tanggal 1 November 1945 yang memuat pengumuman pembukaan Akademi Militer di Yogyakarta

 Gedung MA Yogyakarta dimana dahulunya merupakan bekas gedung Christelijke MULO dan sekarang menjadi gedung SMA BOPKRI I Yogyakarta 

Asrama MA Yogyakarta di Kotabaru yang dahulu merupakan bekas gedung Normaal School dan sekarang menjadi gedung SMP N 5 Yogyakarta

Di gedung STM Don Bosco inilah dahulu di bulan November 1945 ditengah-tengah berkecamuknya pertempuran dengan Inggris di Surabaya, para kadet MA mengambil meriam peninggalan Jepang yang tersimpan di gedung tersebut yang kini menjadi gedung Panti Asuhan Don Bosco

Pengembalian para APWI melalui udara di Pangkalan Udara Panasan Solo tahun 1946

Jendral mayor DR. Mustopo yang dengan Brigade Teratenya pernah memimpin pasukan kadet MA di front Subang tahun 1946

Jembatan Cijambek di front Subang bandung Utara 
yang pernah diledakkan oleh para kadet MA pada tahun 1946




Kunjungan Panglima Besar Sudirman pada peringatan ulang tahun MA disambut dengan barisan kehormatan.


Peringatan ulang tahun I nerdirinya MA, Oktober 1946 di halaman dalam gedung MA Kotabaru yang dihadiri oleh Presiden Ir Soekarno. Nampak Panglima Besar Sudirman sedang memberi pidato sambutan (foto : IPPHOS).


Demonstrasi permainan pencak Kadet MA dalam ulang tahun MA ke I 

Tanda pangkat Vaandrig Cadet, strip putih di atas dasar merah dan lencana MA

Cadet Sayogo dari MA Yogyakarta saat mendapat tugas jaga


Taruna MA saat mengawal Jendral Sudirman ke Jakarta pada tanggal 1-2 November 1946. Jumlah Taruna MA yang berangkat ke Jakarta mengawal Jendral Sudirman berjumlah 15 diantaranya Subroto (mengundurkan diri waktu berpangkat Letnan Dua dan kelak menjadi ketua OPEC). Sedangkan Sri Bimo Ariotedjo dan Sudarmo kemudian pindah ke AURI dan kelak menjadi penerbang. Nampak para Taruna MA membawa senjata SMG Lanchester MK I.

Asrama sekolah olahraga MA di Sarangan yang diberi nama Sarang Garuda, 
kini hanya tinggal puing-puing saja


Pemandangan Sarangan dari gedung asrama Sarang Garuda

Kartu anggota kadet MA Yogyakarta tertanggal 24 Juli 1947

Sersan Mayor Kadet Mustafa tewas di Tempel pada tanggal 4 September 1947 karena kecelakaan waktu melatih rakyat setempat. Dalam peristiwa yang hampir serupa telah tewas pula Sersan Mayor Kadet Sudarto di Wates

Kadet MA di lapangan Kridosono Yogyakarta pada tahun 1947

Defile Kadet MA di lapangan Kridosono Yogyakarta pada tahun 1947 (foto : IPPHOS)

 
Demonstrasi permainan anggar kadet MA

Demonstrasi permainan bela diri kadet MA

Demonstrasi permainan bela diri kadet MA

Vaandig Cadet Anto Sugiarto yang gugur bersama dengan Vaandrig Cadet Hardosumeru dalam pertempuran di Pracimantoro pada tanggal 4 Oktober 1948 dalam operasi menumpas pemberontakan FDR (Front Demokrasi Rakyat) Madiun. Dalam pertempuran tersebut dengan keadaan luka parah ia masih mencoba bertahan terus sampai peluru pistolnya yang terakhir

Laporan perwira remaja kepada Gubernur MA Yogyakarta, pada upacara pelantikan Perwira Remaja tamatan MA angkatan pertama tanggal 28 November 1948 di halaman Istana Presiden Yogyakarta

Letnan Dua Soesilo Soedarman salah satu lulusan terbaik Akademi Militer Yogyakarta, menyerahkan Pedang Garuda Yaksa kepada Presiden RI Ir. Soekarno di Gedung Agung Yogyakarta pada tanggal 28 November 1948.


Presiden Ir Soekarno memberi ucapan selamat kepada 
salah satu perwira remaja yang baru saja dilantik

ijazahnya lulusan Akademi Militer Yogyakarta.

Kolonel GPH Jatikusumo Gubernur MA yang kedua yang memimpin kadet MA bergerilya selama menghadapi Agresi Militer ke II

Gedung Kawedanan Imogiri. Di muka gedung inilah dahulu pada tanggal 21 Desember 1948 setelah Yogyakarta diduduki tentara Belanda diadakan upacara pelantikan cadet angkatan kedua naik pangkat menjadi Vaandrig Cadet. Pada akhir upacara dinyanyikan Hymne Cadet "Biar badan hancur, kami kan terus bertempur........"

Hymne Cadet

Biar badan hancur lebur
Kita kan bertempur
Membela keadilan suci
Kebenaran murni

Di bawah dwi warna panji
Kita kan berbakti
Mengorbankan jiwa dan raga
Membela Ibu Pertiwi

Demi Allah Maha Esa
Kami nan bersumpah
Sedia membela Nusa dan Bangsa
Tanah Tumpah Darah

Contoh pamflet bikinan kaet MA sewaktu bergerilya, dalam rangka perang urat syaraf menentang pendudukan tentara Belanda di daerah Yogyakarta

Sekolah darurat awal pembentukan TKR (sekarang TNI) di daerah yang diberi nama Sekolah Tentara Divisi VIII pada tahun 1946. Namun Divisi VIII berganti nama menjadi Sekolah Tentara Divisi VII Suropati dengan simbol melati.
Di Malang sekolah ini lebih dikenal dengan nama Sekolah Kadet Malang, karena siswanya biasa disebut dengan Kadet. Gagasan pendirian sekolah ini berawal dari Kepala Staf Operasi Divisi VIII Mayor Mutakad Hurip setelah beliau pulang dari pertempuran di Surabaya yang pertama atau sebelum meletus pertempuran kedua 10 November 1945.
Pembukaannya diumumkan oleh Mayor Jendral Imam Sujai selaku komandan divisi VIII pada awal Novemnber 1945. Ditegaskan lulusan Sekolah tentara Divisi VII Malang sama dan sederajat dengan akademi militer di Yogyakarta. Istilah Perwira pengganti Opsir dan istilah Taruna pengganti Kadet diakui nasional juga terlahir dari Malang. Karena Kota Malang dalam bidang istilah bahasa memang selangkah lebih maju.
Hal ini dapat dilihat pada syair lagu mars kadet Malang yang berjudul “Mars Taruna Perwira” (Moehkardi, 1979:192). Sekolah Tentara mula-mula menempati bekas gedung Meisjes HBS, beberapa bulan kemudian pindah ke gedung Eropees che Lagere School (Susteran Corjesu) dan setelah sekolah ini benar-benar tidak mampu menampung peminat, akhirnya pindah ke bekas Asrama Marine Belanda di Jalan Andalas, kompleks Angkatan Laut sampai tahun 1947.
Pada tahun 1949 MA di Malang ini diintegrasikan dengan MA di Yogyakarta dan para kadet ex MA Malang bergabung di Peleton Z MA Yogyakarta. 

Vaandrig Cadet Madjid  ketua senat ex Kadet Malang bersama stafnya 
(foto koleksi pribadi Kol. Purn Madjid)


Dua buah stempel  yang serba guna selama masa gerilya kadet MA di Jawa Timur  
(foto koleksi pribadi Kol. Purn Madjid)

Letda Kusnodanujo yang gugur di Ponorogo ketika bergerilya menghadapi Agresi Militer Belanda ke II pada tahun 1949

Letda Thobias Pasuat Kandou (Bos) yang gugur di Godean pada tanggal 17 Februari 1949 ketika patrolinya berpapasan dengan patroli Belanda. Ketika gugur ia baru 79 hari menjadi perwira

Tempat terjadinya pertempuran antara gerilya MA dengan patroli Belanda di sebelah utara desa Sambiroto pada tanggal 22 Februari 1949

Simpang tiga di lorong desa Sambiroto inilah tempat Vaandrig Cadet Abdul Jalil gugur pada tanggal 22 Februari 1949

Vaandrig Cadet Abdul Jalil gugur pada tanggal 22 Februari 1949

Di kalangan temannya Vaandrig Cadet Abdul Jalil dikenal sebagai pemuda pendiam yang berjiwa seniman. Dia sering suka menyepi, mengasingkan diri untuk membuat syair sebagai penyalur gelora remajanya. Ia juga pandai main piano dan menggubah lagu. Ada sebuah lagu yang sangat populer di kalangan para kadet MA Yogyakarta yang merupakan hasil ciptaan Vaandrig Cadet Abdul Jali lyang merupakan curahan hati Vaandrig Cadet Abdul Jalil kepada seorang perawat yang bernama Lucy saat Vaandrig Cadet Abdul Jalil dirawat di rumah sakit Ngelo. Adapun bunyi syair lagu tersebut adalah sebagai berikut :

Kenangan jaman dahulu
Malam hari ku duduk sendiri
Tak ada seorang disisi
Mengenangkan jaman bahari
Kala aku duduk disampingmu
Disaksikan bulan purnama
Wajahmu nan indah jelita
Selalu terbayang di mata
Rasa bahagia meliputi kita berdua
Laksana di sorga
Puas terasa tercurah kasihmu
Kasihku, oh Juita
Senyumanmu meresah di kalbu
Tak mudah kulupakan, sungguh
Mengenang jaman dahulu..........

Sebagian dari peleton Z yang berjongkok paling kiri dan berbaret adalah Vaandrig Cadet Slamet Herman komandan peleton Z. Peleton Z inilah yang terlibat pertempuran di Plataran dan lima orang anggotamya gugur. Berdiri di tengah memakai dasi dan peci adalah Vaandrig Cadet Suprapto (foto koleksi Kol. CPM. Andi Chairoel)

5 anggota peleton Z yang gugur dalam pertempuran di Plataran adalah sebagai berikut :
Vaandrig Cadet Husein (komandan regu)
Vaandrig Cadet Sarsanto
Vaandrig Cadet Suharsoyo
Vaandrig Cadet Subiyakto
Vaandrig Cadet Sumartal

Vaandrig Cadet Sarsanto yang merupakan yang pertama gugur 
dalam Palagan Plataran 24 Februari 1949

Letda RM. Utoyo Notodirjo gugur di Plataran pada tanggal 24 Februari 1949, dimana beliau mengambil alih sepucuk bren dari tangan seorang kadet yang terluka parah. Dia berusaha menahan gerak maju pasukan tentara Belanda dan melindungi para kadet yang sedang mundur sampai akhirnya dia sendiri gugur.

Mayor J. F. Scheers (mengenakan pistol) komandan Batalyon 1-15 RI yang anak buahnya terlibat dalam pertempuran Palagan Plataran 24 Februari 1949 (foto dari buku Let. Kol. J. F. Scheers, Djokjakarta)

Komando Batalyon  Suraji ? Rayon II PPS II di desa Kener Boyolali 
(foto dari buku Slamet Riyadi)


Pasukan gerilya dari Sub Wehrkreis 104 WK III di bawah pimpinan Mayor Soekasno (depan kanan) dan perwira operasi Letnan Dua Soesilo Soedarman (depan kiri), di desa Kepurun pinggiran kota Yogyakarta pada Maret 1949 setelah melaksanakan Serangan Umum 1 Maret 1949. Nampak pula Mayor Ir. Herman Johanes (berdiri no 2 dari kiri) dari satuan demolisi.

Vill Dr. Sukiman di Kaliurang dimana dalam serangan MA Yogyakarta terhadap pos ini pada tanggal 30 April 1949 Vaandrig Cadet Slamet Sudibyo (komandan regu pengganti Vaandrig Cadet Husein dari peleton Z) gugur tersungkur di belakang villa tersebut

Di desa Gejayan di timur laut Yogyakarta pada tanggal 29 Juni 1949 pagi sudah siap untuk bergerak masuk kota Yogyakarta. Pada gambar nampak Letda Wiyogo komandan Kompi MA sedang berjabat tangan dengan salah seorang anggota Panitia Militer Komisi PBB yang siap menjemputnya. Berdiri paling kanan adalah Kolonel. Jatikusumo

Pasukan MA mulai bergerak masuk kota Yogyakarta. Berjalan paling depan dari kiri ke kanan adalah Letda Sunarko, Kolonel Jatikusumo, Sri paku Alam VIII, dan Letda Wiyogo

Saat pasukan MA bergerak memasuki kota Yogyakarta opada tanggal 29 Juni 1949.
Berbaris di baris depan adalah Letda R. Sunarjo dan Vaandrig Cadet Sujanadi

Setelah memasuki kota Yogyakarta tempat pertama yang dituju adalah rumah sakit pusat Petronela yang dijadikan sebagai pos komando. Di situlah mereka dengan khidmat melakukan upacara pengibaran bendera merah putih

Letda Wiyogo sedang laporan dan menerima instruksi selanjutnya dari Komandan Wehrkreise III Let. Kol. Suharto, disaksikan oleh Sri paduka paku Alam VIII dan Kol. Jatikusumo

Setelah tahap terakhir penarikan pasukan Belanda dari Yogyakarta selesai, pasukan MA lalu melanjutkan gerakannya ke bagian barat laut kota dan bergambar sejenak di simpang tiga jalan menuju ke Semarang/ Magelang

Para instruktur MA Yogyakarta pada tahun 1949

Let. Kol. Sahirjan salah satu instruktur MA Yogyakarta

Bekas benteng Belanda yaitu Benteng Vredeburg ini setelah Yogyakarta kembali ke tangan Republik Indonesia dijadikan sebagai markas MA Yogyakarta yang baru. Gedung tersebut setelahnya pernah menjadi markas Batalyon Infanteri 403 Divisi Diponegoro dan kini menjai Museum Benteng Vredeburg

Dalam  upacaramenyambut kembalinya Presiden dan wakil presiden dari tempat pengasingan pada tanggal 6 Juli 1949 di Maguwo, peleton MA mendapat kehormatan menerima, mengawal dan mengibarkan bendera pusaka Sang Merah Putih kembali dari Presiden Ir Sukarno

Pemakaman kembali 10 kadet dan 3 orang Tentara Pelajar di Makam Taman Bahagia Semaki Yogyakarta pada tanggal 21 Agustus 1949. Dalam foto nampak iring-iringan jenazah yang didahului barisan kadet dan barisan pelajar pembawa bunga (foto koleksi Mayor Jendral Susilo Sudarman) 

Para kadet nsmpsk mengheningkan cipta mengiringi pemakaman kembali kawan-kawannya di Semaki (foto koleksi Mayor Jendral Susilo Sudarman) 

Tempat peristirahatan terakhir Letda RM. Utoyo Notodirjo dan kawan-kawannya di Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta

Pelantikan perwira tamatan MA angkatan ke II di Yogyakarta pada tanggal 5 Oktober 1949 oleh Presiden Ir Soekarno nampak dalam foto Gubernur MA Kol. Jatikusumo sedang menyerahkan ijazah kepada Letnan Dua Suprapto yang lulus ujian dengan nilai tertinggi. 


Selesai pe;lantikan Presiden Ir Sukarno dan Sri Sultan hamengku Buwono IX memberikan salam selamat kepada para perwira baru.

Alumni MA angkatan II Kompi R sesaat setelah pelantikan 
 (Koleksi foto Letda Pur. Suhadi)


 Pelantikan perwira tamatan MA angkatan ke II di Jakarta pada tahun 1950

Ucapan selamat dari KSAP Kol. TB Simatupang

Kadet MA angkatan ke III yang akhirnya hanya tinggal 7 orang saja

Reuni pertama alumni MA Yogyakarta pada tahun 1956 di Yogyakarta

Monumen MA Yogyakarta di depan SMA BOPKRI I Yogyakarta

Di monumen MA Malang yang terdapat di Jalan Ijen ini di salah satu reliefnya nampak jelas terpampang lagu Hymne Sumpah Janji Taruna yang liriknya sama persis dengan lagu Hymne cadet yang dinyanyikan pada akhir acara tanggal 21 Desember 1948 setelah Yogyakarta diduduki tentara Belanda diadakan upacara pelantikan cadet angkatan kedua naik pangkat menjadi Vaandrig Cadet di gedung Kawedanan Imogiri