Selasa, 10 November 2015

Peranan Tentara Pelajar di DIY pada masa Revolusi Kemerdekaan 1945-1949


Peranan Tentara Pelajar di DIY pada masa Revolusi Kemerdekaan 1945-1949


Pada masa-masa akhir kekuasaan Jepang di Indonesia, Jepang pernah mendorong agar masyarakat memperkuat benteng pertahanan rakyat. Pada kesempatan itulah organisasi boleh berdiri. Tentunya dalam rangka bisa membantu Jepang kalau diserang tentara Sekutu.
Di saat inilah di Yogyakarta berdiri organisasi GBPJ (Gerakan Benteng Perjuangan Jawa) yang menggerakkan masyarakat untuk memperkuat benteng pertahanan rakyat. Selanjutnya setelah berdiri juga Gabungan Sekolah Menengah Mataram atau disingkat GASEMMA juga bisa berdiri dengan mulus. Walaupun pada awalnya hanya merupakan organisasi yang bergiat di bidang olah raga. Kegiatan GASEMMA ini malah diarahkan oleh Jepang untuk keperluan apa yang disebut KINROHOSI atau kerja bakti untuk kepentingan pemerintahan Jepang.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan tersebut, tentunya peranan dan tugas para pelajar yang tergabung dalam GASEMMA tersebut semakin berat. Sehubungan dengan itu mereka kemudian mengadakan Kongres Pemuda Pelajar pada tanggal 25 sampai 27 September 1945.
Berikutnya beberapa organisasi pelajar sekolah menengah yang tergabung dalam GASEMMA (Gabungan Sekolah Menengah Mataram) ini menjelma menjadi IPI (Ikatan Pelajar Indonesia).
Berdasarkan perintah Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII dalam Maklumat No. 5 DIY tgl. 26-10-1945 untuk membantu TKR (Tentara Keamanan Rakyat) karena situasi perjuangan semakin meningkat IPI (Ikatan Pelajar Indonesia) juga meningkatkan peranannya dengan membentuk satuan khusus yang disebut IPI Pertahanan. Selain membentuk IPI Pertahanan juga ada yang ikut bergabung ke Lasykar Rakyat Kauman, kemudian ikut ke front Ambarawa bersama TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang bersenjata lengkap.
Pembentukan Lasykar Rakyat dan IPI Pertahanan inikan tujuannya untuk memperkuat pertahanan, karena NICA Belanda yang datang membonceng tentara Sekutu secara terang-terangan berusaha berkuasa kembali di Indonesia.
Pembentukan IPI Pertahanan mendapat restu dari Markas Besar Tentara Keamanan Rakyat untuk dijadikan pasukan khusus pelajar, yang kemudian disebut TP (Tentara Pelajar).
Akhirnya pada tanggal 17 Juli 1946 oleh DR. Mustopo dari Markas Pertahanan, bertempat di Lapangan Pingit Yogyakarta diresmikanlah pembentukan Tentara Pelajar (TP). S elanjutnya ada beberapa Batalyon Tentara Pelajar di tanah Jawa. Tapi untuk daerah Yogyakarta menggunakan kode TP Batalyon 300. Batalyon 300 itu, untuk Yogyakarta ada 3 kompi, yakni: Kompi 310, 320, dan 350. Sedangkan untuk Kompi 330, 340 dan 360 masing-masing untuk daerah Kedu Selatan, Banyumas dan Kedu Utara.
Satu hal yang perlu dicatat, bahwa walaupun organisasi Tentara Pelajar ini diresmikan dengan sebutan Tentara Pelajar dan organisasinya disusun seperti organisasi ketentaraan atau bersifat kemiliteran, namun status kelaskaran tetap dipertahankan sesuai dengan Sistem Pertahanan Kelaskaran Rakyat sehingga dalam pelaksanaan tugas-tugasnya tetap berdasarkan kekeluargaan yang kental. Karena itu dalam organisasi Tentara Pelajar ini tidak dikenal sistem kepangkatan. Yang menarik lagi dari kesatuan Tentara Pelajar adalah komandannya dipilih oleh para anggotanya sendiri.
Tentara Pelajar dalam perjuangannya melakukan perlawanan gerilya yang menyulitkan pihak musuh, mereka dituntut untuk memiliki kekompakan dan kedisiplinan.terbentuknya Tentara Pelajar adalah berdasarkan kesadaran para pelajar dalam memperjuangkan tanah air mereka.
Tentara Pelajar tersebut tugasnya mulai dari membantu penyelenggaraan dapur umum, penyelidikan lokasi obyek yang akan diserang, sebagai kurir pembawa dokumen rahasia, selaku anggota Palang Merah, dan bahkan terlibat dalam pertempuran-pertempuran atau penghadangan-penghadangan terhadap Militer Belanda. Salah satu anggota Tentara pelajar yang bernama Ibnoe Sawabi yang merupakan pernah menjadi anggota Counter Inteligence (Patriot Indonesia), juga di staf Keamanan Tentara Pelajar Batalyon 300 pernah bergabung dengan TNI Batalyon I yang Komandan Seksinya bernama Sugiarto. Beliau juga diberi senjata api, dan pada Clash II pernah ikut bertempur di daerah Bantul. Ada tugas khusus yang diemban Ibnoe Sawabi sebagai anggota TP ketika bergabung dengan satuan TNI di Batalyon I Seksi Sugiarto. Kalau mereka akan melakukan penyerangan atau pengacauan ke kota, maka Ibnoe Sawabi-lah yang ditugaskan satuan tersebut untuk lebih dahulu menyelidiki keadaan lokasi yang akan diserang.
Sardjiman (terakhir tinggal di Nogosari Lor) banyak terlibat dalam pertempuran.
Lalu Suwarno (nama lengkap beliau Drs. Suwarno terakhir sebagai pensiunan Kepala SPG Negeri) yang merupakan anggota TP yang bertugas sebagai Palang Merah. Sewaktu menjadi anggota Tentara Pelajar Suwarno ini pernah  mendapat kesempatan untuk ikut kursus PPPK (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan) yang diselenggarakan Pengurus TP bekerja sama dengan Rumah Sakit Bathesda, selama satu bulan. Dengan modal pengetahuan itu, beliau menjadi anggota TP, dan sering mendapat tugas sebagai anggota Palang Merah, mengikuti aksi-aksi penyerangan dan penghadangan terhadap militer Belanda.
Dalam rangka Serangan Umum 1 Maret 1949, Tentara Pelajar Detasemen 3 Brigade 17 diperintahkan untuk menjaga jangan sampai tentara Belanda lari keluar Yogyakarta. Anggota kesatuan yang dipimpin oleh Martono, pelajar Sekolah Guru Tinggi, hanya berjumlah tidak lebih dari dua ratus orang.
Namun, anak buah Martono juga sering masuk kota. Tempat yang dilalui mereka bila masuk kota adalah Blunyah, Jetis, dan Pakuningratan, kemudian menuju arah selatan. Mereka berpencar di sekeliling gedung bekas HBS (Hogere Burger School), DHS (Djogjasche Handel School), dan Kweekschool, yang dijadikan markas Belanda. Waktu bunyi sirine tanda jam malam berakhir, mereka serentak menembaki kubu pertahanan Belanda itu.
Selain itu pula ketika anak buah Martono memasang ranjau di dekat jembatan Tempel, kemudian diledakkan ketika iring-iringan serdadu Belanda lewat.
“Serdadu-serdadu Belanda itu bingung dan ketakutan,” kata Soebagijo dalam Pengalaman Masa Revolusi, “terdengar jerit mereka memanggil-manggil ibunya, ‘mammiee…mammiee…!”
Ada lagi anggota Tentara Pelajar yang bernama P.J. Soewardjo (P.J. Soewardjo, B. A.) yang diperbantukan pada staf Penerangan, ikut menangani berita-berita perjuangan serta penyebarluasannya.  Masih ada lagi Ismantoro yang bertugas menempelkan pamflet-pamflet yang berisi berita-berita perjuangan. Ada lagi anggota-anggota Tentara Pelajar yang ada di daerah  Srandakan (Bantul) yang bertugas menyebarkan pamflet-pamflet tentang penyerangan dan penghadangan terhadap Belanda oleh pejuang-pejuang kita.
Jadi pada intinya selain terlibat langsung dalam aksi penyerangan dan penghadangan terhadap musuh, juga terlibat dalam berbagai aktifitas lainnya yang menunjang perjuangan waktu itu.
Karena itulah, alangkah arifnya manakala kita hormati perjuangan dan pengorbanan mereka itu dengan berusaha melanjutkan cita-cita para pejuang bangsa, mengisi kemerdekaan, dan membenahi segala persoalan yang masih memerlukan uluran tangan dan perkobanan bangsa Indonesia pada umumnya.