Peranan Tentara Pelajar di DIY pada masa Revolusi Kemerdekaan 1945-1949
Pada masa-masa akhir
kekuasaan Jepang di Indonesia, Jepang pernah mendorong agar masyarakat
memperkuat benteng pertahanan rakyat. Pada kesempatan itulah organisasi boleh
berdiri. Tentunya dalam rangka bisa membantu Jepang kalau diserang tentara
Sekutu.
Di saat inilah di
Yogyakarta berdiri organisasi GBPJ (Gerakan Benteng Perjuangan Jawa) yang
menggerakkan masyarakat untuk memperkuat benteng pertahanan rakyat. Selanjutnya
setelah berdiri juga Gabungan Sekolah Menengah Mataram atau disingkat GASEMMA
juga bisa berdiri dengan mulus. Walaupun pada awalnya hanya merupakan
organisasi yang bergiat di bidang olah raga. Kegiatan GASEMMA ini malah
diarahkan oleh Jepang untuk keperluan apa yang disebut KINROHOSI atau kerja
bakti untuk kepentingan pemerintahan Jepang.
Setelah Proklamasi
Kemerdekaan tersebut, tentunya peranan dan tugas para pelajar yang tergabung
dalam GASEMMA tersebut semakin berat. Sehubungan dengan itu mereka kemudian
mengadakan Kongres Pemuda Pelajar pada tanggal 25 sampai 27 September 1945.
Berikutnya beberapa
organisasi pelajar sekolah menengah yang tergabung dalam GASEMMA (Gabungan
Sekolah Menengah Mataram) ini menjelma menjadi IPI (Ikatan Pelajar Indonesia).
Berdasarkan perintah
Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII dalam Maklumat No. 5 DIY tgl.
26-10-1945 untuk membantu TKR (Tentara Keamanan Rakyat) karena situasi
perjuangan semakin meningkat IPI (Ikatan Pelajar Indonesia) juga meningkatkan
peranannya dengan membentuk satuan khusus yang disebut IPI Pertahanan. Selain
membentuk IPI Pertahanan juga ada yang ikut bergabung ke Lasykar Rakyat Kauman,
kemudian ikut ke front Ambarawa bersama TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang
bersenjata lengkap.
Pembentukan Lasykar
Rakyat dan IPI Pertahanan inikan tujuannya untuk memperkuat pertahanan, karena NICA
Belanda yang datang membonceng tentara Sekutu secara terang-terangan berusaha
berkuasa kembali di Indonesia.
Pembentukan IPI
Pertahanan mendapat restu dari Markas Besar Tentara Keamanan Rakyat untuk
dijadikan pasukan khusus pelajar, yang kemudian disebut TP (Tentara Pelajar).
Akhirnya pada tanggal
17 Juli 1946 oleh DR. Mustopo dari Markas Pertahanan, bertempat di Lapangan
Pingit Yogyakarta diresmikanlah pembentukan Tentara Pelajar (TP). S elanjutnya
ada beberapa Batalyon Tentara Pelajar di tanah Jawa. Tapi untuk daerah
Yogyakarta menggunakan kode TP Batalyon 300. Batalyon 300 itu, untuk Yogyakarta
ada 3 kompi, yakni: Kompi 310, 320, dan 350. Sedangkan untuk Kompi 330, 340 dan
360 masing-masing untuk daerah Kedu Selatan, Banyumas dan Kedu Utara.
Satu hal yang perlu
dicatat, bahwa walaupun organisasi Tentara Pelajar ini diresmikan dengan
sebutan Tentara Pelajar dan organisasinya disusun seperti organisasi
ketentaraan atau bersifat kemiliteran, namun status kelaskaran tetap
dipertahankan sesuai dengan Sistem Pertahanan Kelaskaran Rakyat sehingga dalam
pelaksanaan tugas-tugasnya tetap berdasarkan kekeluargaan yang kental. Karena
itu dalam organisasi Tentara Pelajar ini tidak dikenal sistem kepangkatan. Yang
menarik lagi dari kesatuan Tentara Pelajar adalah komandannya dipilih oleh para
anggotanya sendiri.
Tentara Pelajar dalam
perjuangannya melakukan perlawanan gerilya yang menyulitkan pihak musuh, mereka
dituntut untuk memiliki kekompakan dan kedisiplinan.terbentuknya Tentara
Pelajar adalah berdasarkan kesadaran para pelajar dalam memperjuangkan tanah
air mereka.
Tentara Pelajar
tersebut tugasnya mulai dari membantu penyelenggaraan dapur umum, penyelidikan
lokasi obyek yang akan diserang, sebagai kurir pembawa dokumen rahasia, selaku
anggota Palang Merah, dan bahkan terlibat dalam pertempuran-pertempuran atau
penghadangan-penghadangan terhadap Militer Belanda. Salah satu anggota Tentara
pelajar yang bernama Ibnoe Sawabi yang merupakan pernah menjadi anggota Counter
Inteligence (Patriot Indonesia), juga di staf Keamanan Tentara Pelajar Batalyon
300 pernah bergabung dengan TNI Batalyon I yang Komandan Seksinya bernama
Sugiarto. Beliau juga diberi senjata api, dan pada Clash II pernah ikut
bertempur di daerah Bantul. Ada tugas khusus yang diemban Ibnoe Sawabi sebagai
anggota TP ketika bergabung dengan satuan TNI di Batalyon I Seksi Sugiarto.
Kalau mereka akan melakukan penyerangan atau pengacauan ke kota, maka Ibnoe
Sawabi-lah yang ditugaskan satuan tersebut untuk lebih dahulu menyelidiki
keadaan lokasi yang akan diserang.
Sardjiman (terakhir
tinggal di Nogosari Lor) banyak terlibat dalam pertempuran.
Lalu Suwarno (nama
lengkap beliau Drs. Suwarno terakhir sebagai pensiunan Kepala SPG Negeri) yang
merupakan anggota TP yang bertugas sebagai Palang Merah. Sewaktu menjadi
anggota Tentara Pelajar Suwarno ini pernah
mendapat kesempatan untuk ikut kursus PPPK (Pertolongan Pertama Pada
Kecelakaan) yang diselenggarakan Pengurus TP bekerja sama dengan Rumah Sakit
Bathesda, selama satu bulan. Dengan modal pengetahuan itu, beliau menjadi
anggota TP, dan sering mendapat tugas sebagai anggota Palang Merah, mengikuti
aksi-aksi penyerangan dan penghadangan terhadap militer Belanda.
Dalam rangka Serangan
Umum 1 Maret 1949, Tentara Pelajar Detasemen 3 Brigade 17 diperintahkan untuk
menjaga jangan sampai tentara Belanda lari keluar Yogyakarta. Anggota kesatuan
yang dipimpin oleh Martono, pelajar Sekolah Guru Tinggi, hanya berjumlah tidak
lebih dari dua ratus orang.
Namun, anak buah
Martono juga sering masuk kota. Tempat yang dilalui mereka bila masuk kota
adalah Blunyah, Jetis, dan Pakuningratan, kemudian menuju arah selatan. Mereka
berpencar di sekeliling gedung bekas HBS (Hogere Burger School), DHS
(Djogjasche Handel School), dan Kweekschool, yang dijadikan markas Belanda.
Waktu bunyi sirine tanda jam malam berakhir, mereka serentak menembaki kubu
pertahanan Belanda itu.
Selain itu pula ketika
anak buah Martono memasang ranjau di dekat jembatan Tempel, kemudian diledakkan
ketika iring-iringan serdadu Belanda lewat.
“Serdadu-serdadu Belanda
itu bingung dan ketakutan,” kata Soebagijo dalam Pengalaman Masa Revolusi,
“terdengar jerit mereka memanggil-manggil ibunya, ‘mammiee…mammiee…!”
Ada lagi anggota
Tentara Pelajar yang bernama P.J. Soewardjo (P.J. Soewardjo, B. A.) yang
diperbantukan pada staf Penerangan, ikut menangani berita-berita perjuangan
serta penyebarluasannya. Masih ada lagi
Ismantoro yang bertugas menempelkan pamflet-pamflet yang berisi berita-berita
perjuangan. Ada lagi anggota-anggota Tentara Pelajar yang ada di daerah Srandakan (Bantul) yang bertugas menyebarkan
pamflet-pamflet tentang penyerangan dan penghadangan terhadap Belanda oleh
pejuang-pejuang kita.
Jadi pada intinya
selain terlibat langsung dalam aksi penyerangan dan penghadangan terhadap
musuh, juga terlibat dalam berbagai aktifitas lainnya yang menunjang perjuangan
waktu itu.
Karena itulah, alangkah
arifnya manakala kita hormati perjuangan dan pengorbanan mereka itu dengan
berusaha melanjutkan cita-cita para pejuang bangsa, mengisi kemerdekaan, dan
membenahi segala persoalan yang masih memerlukan uluran tangan dan perkobanan
bangsa Indonesia pada umumnya.