Selasa, 10 November 2015

Peranan Tentara Pelajar di DIY pada masa Revolusi Kemerdekaan 1945-1949


Peranan Tentara Pelajar di DIY pada masa Revolusi Kemerdekaan 1945-1949


Pada masa-masa akhir kekuasaan Jepang di Indonesia, Jepang pernah mendorong agar masyarakat memperkuat benteng pertahanan rakyat. Pada kesempatan itulah organisasi boleh berdiri. Tentunya dalam rangka bisa membantu Jepang kalau diserang tentara Sekutu.
Di saat inilah di Yogyakarta berdiri organisasi GBPJ (Gerakan Benteng Perjuangan Jawa) yang menggerakkan masyarakat untuk memperkuat benteng pertahanan rakyat. Selanjutnya setelah berdiri juga Gabungan Sekolah Menengah Mataram atau disingkat GASEMMA juga bisa berdiri dengan mulus. Walaupun pada awalnya hanya merupakan organisasi yang bergiat di bidang olah raga. Kegiatan GASEMMA ini malah diarahkan oleh Jepang untuk keperluan apa yang disebut KINROHOSI atau kerja bakti untuk kepentingan pemerintahan Jepang.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan tersebut, tentunya peranan dan tugas para pelajar yang tergabung dalam GASEMMA tersebut semakin berat. Sehubungan dengan itu mereka kemudian mengadakan Kongres Pemuda Pelajar pada tanggal 25 sampai 27 September 1945.
Berikutnya beberapa organisasi pelajar sekolah menengah yang tergabung dalam GASEMMA (Gabungan Sekolah Menengah Mataram) ini menjelma menjadi IPI (Ikatan Pelajar Indonesia).
Berdasarkan perintah Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII dalam Maklumat No. 5 DIY tgl. 26-10-1945 untuk membantu TKR (Tentara Keamanan Rakyat) karena situasi perjuangan semakin meningkat IPI (Ikatan Pelajar Indonesia) juga meningkatkan peranannya dengan membentuk satuan khusus yang disebut IPI Pertahanan. Selain membentuk IPI Pertahanan juga ada yang ikut bergabung ke Lasykar Rakyat Kauman, kemudian ikut ke front Ambarawa bersama TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang bersenjata lengkap.
Pembentukan Lasykar Rakyat dan IPI Pertahanan inikan tujuannya untuk memperkuat pertahanan, karena NICA Belanda yang datang membonceng tentara Sekutu secara terang-terangan berusaha berkuasa kembali di Indonesia.
Pembentukan IPI Pertahanan mendapat restu dari Markas Besar Tentara Keamanan Rakyat untuk dijadikan pasukan khusus pelajar, yang kemudian disebut TP (Tentara Pelajar).
Akhirnya pada tanggal 17 Juli 1946 oleh DR. Mustopo dari Markas Pertahanan, bertempat di Lapangan Pingit Yogyakarta diresmikanlah pembentukan Tentara Pelajar (TP). S elanjutnya ada beberapa Batalyon Tentara Pelajar di tanah Jawa. Tapi untuk daerah Yogyakarta menggunakan kode TP Batalyon 300. Batalyon 300 itu, untuk Yogyakarta ada 3 kompi, yakni: Kompi 310, 320, dan 350. Sedangkan untuk Kompi 330, 340 dan 360 masing-masing untuk daerah Kedu Selatan, Banyumas dan Kedu Utara.
Satu hal yang perlu dicatat, bahwa walaupun organisasi Tentara Pelajar ini diresmikan dengan sebutan Tentara Pelajar dan organisasinya disusun seperti organisasi ketentaraan atau bersifat kemiliteran, namun status kelaskaran tetap dipertahankan sesuai dengan Sistem Pertahanan Kelaskaran Rakyat sehingga dalam pelaksanaan tugas-tugasnya tetap berdasarkan kekeluargaan yang kental. Karena itu dalam organisasi Tentara Pelajar ini tidak dikenal sistem kepangkatan. Yang menarik lagi dari kesatuan Tentara Pelajar adalah komandannya dipilih oleh para anggotanya sendiri.
Tentara Pelajar dalam perjuangannya melakukan perlawanan gerilya yang menyulitkan pihak musuh, mereka dituntut untuk memiliki kekompakan dan kedisiplinan.terbentuknya Tentara Pelajar adalah berdasarkan kesadaran para pelajar dalam memperjuangkan tanah air mereka.
Tentara Pelajar tersebut tugasnya mulai dari membantu penyelenggaraan dapur umum, penyelidikan lokasi obyek yang akan diserang, sebagai kurir pembawa dokumen rahasia, selaku anggota Palang Merah, dan bahkan terlibat dalam pertempuran-pertempuran atau penghadangan-penghadangan terhadap Militer Belanda. Salah satu anggota Tentara pelajar yang bernama Ibnoe Sawabi yang merupakan pernah menjadi anggota Counter Inteligence (Patriot Indonesia), juga di staf Keamanan Tentara Pelajar Batalyon 300 pernah bergabung dengan TNI Batalyon I yang Komandan Seksinya bernama Sugiarto. Beliau juga diberi senjata api, dan pada Clash II pernah ikut bertempur di daerah Bantul. Ada tugas khusus yang diemban Ibnoe Sawabi sebagai anggota TP ketika bergabung dengan satuan TNI di Batalyon I Seksi Sugiarto. Kalau mereka akan melakukan penyerangan atau pengacauan ke kota, maka Ibnoe Sawabi-lah yang ditugaskan satuan tersebut untuk lebih dahulu menyelidiki keadaan lokasi yang akan diserang.
Sardjiman (terakhir tinggal di Nogosari Lor) banyak terlibat dalam pertempuran.
Lalu Suwarno (nama lengkap beliau Drs. Suwarno terakhir sebagai pensiunan Kepala SPG Negeri) yang merupakan anggota TP yang bertugas sebagai Palang Merah. Sewaktu menjadi anggota Tentara Pelajar Suwarno ini pernah  mendapat kesempatan untuk ikut kursus PPPK (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan) yang diselenggarakan Pengurus TP bekerja sama dengan Rumah Sakit Bathesda, selama satu bulan. Dengan modal pengetahuan itu, beliau menjadi anggota TP, dan sering mendapat tugas sebagai anggota Palang Merah, mengikuti aksi-aksi penyerangan dan penghadangan terhadap militer Belanda.
Dalam rangka Serangan Umum 1 Maret 1949, Tentara Pelajar Detasemen 3 Brigade 17 diperintahkan untuk menjaga jangan sampai tentara Belanda lari keluar Yogyakarta. Anggota kesatuan yang dipimpin oleh Martono, pelajar Sekolah Guru Tinggi, hanya berjumlah tidak lebih dari dua ratus orang.
Namun, anak buah Martono juga sering masuk kota. Tempat yang dilalui mereka bila masuk kota adalah Blunyah, Jetis, dan Pakuningratan, kemudian menuju arah selatan. Mereka berpencar di sekeliling gedung bekas HBS (Hogere Burger School), DHS (Djogjasche Handel School), dan Kweekschool, yang dijadikan markas Belanda. Waktu bunyi sirine tanda jam malam berakhir, mereka serentak menembaki kubu pertahanan Belanda itu.
Selain itu pula ketika anak buah Martono memasang ranjau di dekat jembatan Tempel, kemudian diledakkan ketika iring-iringan serdadu Belanda lewat.
“Serdadu-serdadu Belanda itu bingung dan ketakutan,” kata Soebagijo dalam Pengalaman Masa Revolusi, “terdengar jerit mereka memanggil-manggil ibunya, ‘mammiee…mammiee…!”
Ada lagi anggota Tentara Pelajar yang bernama P.J. Soewardjo (P.J. Soewardjo, B. A.) yang diperbantukan pada staf Penerangan, ikut menangani berita-berita perjuangan serta penyebarluasannya.  Masih ada lagi Ismantoro yang bertugas menempelkan pamflet-pamflet yang berisi berita-berita perjuangan. Ada lagi anggota-anggota Tentara Pelajar yang ada di daerah  Srandakan (Bantul) yang bertugas menyebarkan pamflet-pamflet tentang penyerangan dan penghadangan terhadap Belanda oleh pejuang-pejuang kita.
Jadi pada intinya selain terlibat langsung dalam aksi penyerangan dan penghadangan terhadap musuh, juga terlibat dalam berbagai aktifitas lainnya yang menunjang perjuangan waktu itu.
Karena itulah, alangkah arifnya manakala kita hormati perjuangan dan pengorbanan mereka itu dengan berusaha melanjutkan cita-cita para pejuang bangsa, mengisi kemerdekaan, dan membenahi segala persoalan yang masih memerlukan uluran tangan dan perkobanan bangsa Indonesia pada umumnya.
 

Kamis, 29 Oktober 2015

Pasukan Terate

Pasukan Terate

Satuan ini terdiri dari mahasiswa Akademi Militer Yogyakarta, yang sedang melakukan latihan lapangan. Anggota lainnya adalah sejumlah wanita pelacur, dan sejumlah pencopet dari Surabaya dan Yogyakarta, yang tugasnya menyusup ke dalam garis pertahanan Belanda di daerah Bandung, untuk mencuri senjata, pakaian, perlengapan lainnya, dan pada umumnya menimbulkan keresahan dan kekacauan di kalangan tentara Belanda.
Perekrutan pelacur dan pencopet dari Surabaya dan Yogyakarta atas ide dr. Moestopo. Dalam kancah perjuangan, dr. Moestopo memang lebih dikenal lewat keberhasilannya melucuti tentara Jepang di Surabaya dan perannya dalam memimpin rakyat-rakyat dari “dunia hitam” untuk ikut serta mempertahankan kemerdekaan. Lucunya, konon sempat terjadi penyebaran penyakit sipilis di kalangan laskar pejuang yang disebabkan tentunya oleh keberadaan pasukan eks pelacur yang dimpimpin Moestopo. Konon juga beliau pernah kehilangan beberapa harta bendanya yang dicuri oleh salah satu “copet” yang dipimpinnya. Tapi biarlah kejadian tersebut menjadi pernak-pernik yang mengisi peristiwa proklamasi. Pada kenyataannya, para mantan pelacur, copet, dan perampok yang dikoordinir Moestopo mampu membuat repot Belanda seperti diakui oleh Robert Cribb.
Dalam buku/dokumen karya dr. Moestopo yang berjudul “History dari Barisan Penggepur Terate”. Dokumen yang dibuat tahun 1984 ini tidak diterbitkan secara umum dan lebih layak disebut sebagai catatan pribadi dr. Moestopo. Di dalamnya dimuat sejarah singkat Barisan Gundul, barisan Macan Putih, Barisan Macan Hitam, Barisan Semut Ireng dan lain-lain barisan yang berjuang di bawah tanah dan menggempur musuh dengan “secret war“, perang rahasia yang :
1. Telah turut serta memenangkan pasukan sekutu, sehingga Alm. General Mallaby mengerek bendera putih/bendera menyerah kepada arek Suroboyo pada pertempuran sengit tanggal 28, 29, 30 Oktober 1945 (Jawa Timur).
2. Turut serta menggagalkan usaha serangan “General Spoor” panglima pasukan Belanda melalui darat dari Semarang dan Gombong, sehingga serangan ke Jogjakarta kedua melalui Udara (Jawa Tengah)
3. Turut serta menghancurkan mata-mata musuh yang dikendalikan oleh gembongnya Pasundan “Kartalegawa” (Jawa Barat)
4. Mendidik mereclassir teman-temannya criminalisten menjadi patriot-patriot negara, srikandi-srikandi negara di Solo, juga seluruh Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Menurut pengakuannya, Moestopo mendapatkan ilmu “secret war” dari instrukturnya semasa mengikuti pelatihan PETA. Ia menyebutkan jika frontal war dengan senjata saja tidak dapat memenangkan pasukan sekutu, namun perlu dibantu dengan “Barisan Gundul”, semut ireng yang melaksanakan secret war (Himitsu Sensosen) yang tidak dapat dimengerti Jendral Mallaby / sekutu. Dalam peperangan di Surabaya, Moestopo memperkenalkan “senjata ampuh” berupa bambu runcing yang ujungnya diberi kotoran kuda.
Barisan Terate yang dipimpin Moestopo suatu waktu diperintahkan Panglima Sudirman untuk menghambat gerakan Jenderal Spoor ke Jogjakarta. Upaya secret war yang mereka lakukan antara lain menyerang Kebumen, Karanganyar dan meledakkan jembatan di antara Kebumen dan Gombong sehigga tank-tank kavaleri Belanda tidak dapat jalan. Barisan eks pelacur dan eks copet ditugaskan untuk menjadi mata-mata, memasang pamflet-pamflet propaganda di pohon-pohon, serta mengungsikan rakyat yang lemah ke Jogjakarta.
Ketika tiba di Kebumen, Moestopo beserta barisan Terate-nya menemukan kota itu sudah dibumihanguskan. Akhirnya di sana mereka hanya bertempur dengan mata-mata pasukan Belanda (V de Coloni). Karena makanan habis, maka Moestopo memperbolehkan anak buahnya untuk memakan tikus, anjing, dan kucing. Seterusnya mereka berkamuflase menjadi rakyat sipil dan melaksanakan upacara sekatenan. Setiap hari selama sebulan, Moestopo menyamar sebagai dukun dengan dikelilingi pisau gobed dan asap kemenyan.
Anak buah Moestopo yang merupakan eks pelacur ditugaskan untuk menyebarkan gosip jika dukun itu merupakan titisan Diponegoro yang hidup lakgi dan membalas dendam terhadap musuhnya (Belanda). Pemimpin-pemimpin rakyat dan ulama-ulama yang mendatangi sang dukun (Moestopo) kemudian diberinya pisau gobed yang disertai mantra untuk digunakan melawan Belanda. “Dengan ini terbentuklah pasukan rakyat yang kompak untuk menyerang Belanda dengan caranga masing-masing,” kenang Moestopo.
Lain waktu, anak buah Moestopo baik pria maupun wanita melakukan penyerangan malam hari dengan cara yang cukup unik. Badan mereka dicat hitam serta rambut dibiarkan terurai sehingga para eks pelacur bagaikan “wewe gombel” dan “kuntilanak”, sedangkan anak-anak eks copet bagaikan “tuyul”. Pada satu waktu, setelah Moestopo memberi komando dengan suara pistol, mitraliur dibunyikan secara berpindah-pindah, seolah-olah TNI mengepung tangsi Belanda di Karanganyar. Eks Pelacur yang berdandan layaknya kolong wewe dan eks copet yang bagaikan tuyul berlari kesana kemari sehingga rakyat Karanganyar panik dan Belanda lari ke arah Gombong. Hasilnya, Moestopo berhasil menduduki Karanganyar.
Ketika menjadi Komandan Front Bandung Utara, lagi-lagi Moestopo mengandalkan jasa Eks Pelacur yang jumlahnya kurang lebih 2000 orang untuk menjadi mata-mata dan mencuri senjata Belanda. Menurutnya, ketika Moestopo bertemu Soekarno dan menceritakan kisah keberadaan 2000 eks pelacur anak buahnya itu, Soekarno tertawa terbahak-bahak serta langsung mengajak Moestopo makan bersama. Selain ini masih ada beberapa kisah menarik lagi tapi tampaknya terlalu panjang untuk diceritakan di sini.
Kisah yang lebih runtut justru disajikan oleh anak buah Moestopo yang bernama Prodjohandoko. Ia mengatakan jika pada awalnya adalah Sdr. Sundjoto, Sujitno, Sutardjo, Hadji Djen dll. yang mendapatkan mandat dari Surabaya untuk membentuk BPRI (Barisan Pemberontak Rakjat Indonesia) yang bermarkas di Jl. Hondomanan N0. 13 (sebelah selatan Kelenteng). Mereka kemudian mengumpulkan lebih banyak tokoh sehingga pada tanggal 5 Desember 1945 bertempat di Gendingan 132 (rumah R.P. Prodjohandoko) diadakan pertemuan yang menghasilkan suatu wadah organisasi bagi para “sampah masyarakat” (pencuri, pencopet, dan para pelacur) untuk bisa berbakti kepada revolusi.
Untuk keperluan itu Sdr. Atmodihardjo dan kawan-kawan disebar untuk melakukan perjalanan keliling Jawa Tengah dan Jogjakarta untuk mengumpulkan “sampah masyarakat” tersebut. Pada tanggal 25 Desember 1945 bertempat di gedung bioskop Soboharsono di alun-alun utara Jogjakarta akhirnya terkumpul ratusan tokoh dunia hitam itu. Mereka didaulat untuk mendirikan Barisan Macan Hitam Putih Indonesia (BMHPI). Dalam kesempatan itu Prodjohandoko ditunjuk sebagai ketua, sedangkan Atmodihardjo sebagai wakil ketuanya. Mereka menggunakan sebuah bangsal di timur alun-alun utara sebagai markas pasukan BMHPI.
Setelah dilatih dan digembleng lahir bathin selama sebulan, pasukan BMHPI disebar untuk ditempatkan di sekitar Bandung, Semarang, Surabaya, Sulawesi dan Maluku. Ketika berada di garis depan, entah bagaimana kisahnya mereka lebih dikenal sebagai barisan Terate.
Keberadaan barisan Terate berakhir ketika pada tanggal 5 Juli 1947 Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang bermaksud mempersatukan semua kelasykaran. Pimpinan-pimpinannya seperti Moestopo diberi pangkat Jenderal Major. Pasukan Terate merupakan momok yang ditakuti sehingga seringkali langsung dibunuh tanpa proses apabila disergap oleh Belanda.
Di bagian akhir buku ini terdapat kisah perjuangan salah seorang anggota Barisan Terate bernama Sri Alifah yang bertugas di Bandung Utara. Berdasarkan kisahnya, ternyata tidak semua anggota Barisan Terate berasal dari dunia hitam. Barisan Terate ternyata merupakan wadah bagi berbagai laskar seperti M.A. (Militer Akademi), T.R.I.P. (Tentara Republik Indonesia Pelajar), P.T.W.I (Pusat Tenaga Wanita Indonesia). dan lain-lain. Sri Alifah sendiri tadinya merupakan anggota dari P.T.W.I. Dengan demikian para eks. narapidana, eks pelacur, dan eks copet merupakan bagian kecil saja dari Barisan Terate yang dipimpin Moestopo.

Kamis, 22 Oktober 2015

KAUM SANTRI MELAWAN KOLONIAL: Dari Hizbullah hingga Angkatan Perang Sabil (APS) di Jogjakarta




KAUM SANTRI

MELAWAN KOLONIAL:

Dari Hizbullah hingga Angkatan

Perang Sabil (APS) di Jogjakarta





Oleh:

Ahmad Adaby Darban





Disampaikan pada Forum

Diskusi dan Pameran 60 Tahun

Indonesia Merdeka dalam

Dalam Lintasan Sejarah

DI BANDUNG, 11-12 AGUSTUS 2005











KEMENTRIAN KEBUDAYAAN & PARIWISATA

Deputi Bidang Sejarah & Purbakala

Asdep Urusan Sejarah Nasional


PENDAHULUAN



Ketika imperialisme dan kolonialisme menjajah wilayah Indonesia, penduduk negeri ini tidak tingal diam, dan terus menerus mengadakan perlawanan. Umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia, memiliki peran penting di dalam proses yang panjang dalam perjuangan melawan penjajahan di Indonesia. Perlawanan awal dilakukan oleh karajaan-kerajaan, dan kemudian disambung dengan perlawanan rakyat semesta yang dipimpin oleh para ulama hampir di seluruh wilayah Indonesia.



Ulama sebagai informal leaders yang merakyat, dekat dengan rakyat, ditampilkan oleh umat Islam sebagai pemimpinnya dalam perang melawan penjajahan. Selain itu, idiologi Perang Sabil sebagai penggerak umat untuk berani melawan kolonial sebagai penjajah yang dianggap dlolim ( Sartono kartodirdjo,Kepemimpinan dalam Sedjarah Indonesia,1974.hlm.24). Idiologi Perang Sabil itu meliputi antara lain : Izin berperang di jalan Allah bagi yang dijajah dan ditindas ( Al Qur’an:S.Al Haj, 39 ); Cinta tanah Air sebagian dari Iman (ulama); Simbol kalimat yang menggerakkan rakyat (Allahu Akbar); dan Amar ma’ruf nahi munkar (Al Qur’an S. Ali Imron, 103 dan 110). Semangat perlawanan terhadap kolonial sebagai penjajah ini terus bergulir dari daerah satu ke daerah lain di seluruh wilayah Indonesia, peran serta umat Islam dalam perjuangan melawan dan mengusir penjajahan ini tidak berhenti sampai Republik Indonesia Merdeka, bahkan diteruskan pada perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

(Ahmad Adaby Darban,Peranserta Islam …,1990,hlm.3.)

Pada era pendudukan Jepang di Indonesia, melalui organisasi Madjelis Sjuro Muslimin Indonesia (MASJUMI), para ulama ber-syiyasah agar memiliki angkatan perang yang terlatih, maka minta pada pemerintah Jepang untuk diperkenankan membentuk pasukan Hizbullah. Agar maksud itu dikabulkan, dengan alasan untuk membantu Bala Tentara Jepang dalam melawan Sekutu. Pihak Jepang yang memang pada saat itu sedang banyak kekalahan di front perang, maka usul para ulama itu dikabulkan, maka dibentuklah secara resmi Hizbullah, tangal 14 September 1944 di Jakarta ( Suara Muslimin, “Hizbullah”,No.23. 15 Desember 1944). Sebagai pasukan Lasykar Hizbullah permulaan diambil dari para pemuda Islam dari beberapa daerah di Indonesia, kemudian dilatih kemiliteran di Cibarusa, dan kemudian ditugasi untuk membentuk Lasykar Hizbullah di daerahnya maning-masing, termasuk juga di daerah Jogjakarta. Lasykar Hizbullah kemudian berkembang pesat, dan menjadi kekuatan bersenjata umat Islam bangsa Indonesia untuk kemerdekaan & mempertahankan NKRI.



HIZBULLAH



Madjelis Sjuro Muslimin Indonesia ( Masjumi ) sebagai lembaga resmi persaudaraan-permusyawaratan-persatuan Umat Islam, untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, yang di dalamnya terdapat kumpulan tokoh dan organisasi Islam, seperti Muhammadiyah, Nahdlotul Ulama (NU), Persis, Al Wasliyah, dan sebagainya. Dalam perjuangan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, selain melalui organisasi juga  diperlukan persiapan perang pisik, sehingga telah direncanakan punya lasykar sendiri.



Terdesaknya Jepang oleh Sekutu dan kemudian membuat pernyataan membolehkan bangsa Indonesia mempersiapkan kemerdekaannya, kesempatan ini digunakan oleh Masjumi untuk membentuk lasykar Hizbullah, yang diharapkan untuk menghimpun pemuda Islam yang belum terorganisir ( Kahar Moedzakir, "Hizbullah" dalam Suara Muslimin, No.1, 1 Djanuari 1945, hlm.6). Dalam rapat Masjumi tanggal 14 September 1945, yang dihadiri oleh antara lain : KH.Hasyim'Asj'ari, KH. Faried Ma'ruf, Harsono Tjokroaminoto, Zainoel Arifin, KH.Wahid Hasjim, S.O. Soemaatmadja, KH.Masjkoer, KHM. Dachlan, Mohammad Ma'some, dan Moehammad Roem. ( A. Yazid, "Susunan Pengurus Masjumi", dalam Suara Muslimin,15 Djanuari 1945, hlm.13 ), diputuskan untuk membentuk  Badan Perjuangan dengan nama HIZBULLAH, yang artinya tentara Allah swt.( Hasil wawancara Kol.

Bakri Sahid, dalam Skripsi Abdul Mutholib, "Hizbullah…,1985, hlm. 9). Adapun susunan pengurus pusat Badan Perjuangan Hizbullah itu antara lain,



            Ketua,                Zainoel Arifin

            Wakil Ketua       Moehammad Roem

            Anggota             S. Soewijono, Soedjono, Anwar Tjokroami-

                                     noto, KH. Zarkasji, Soenarjo Mangoenpus-

                                     pito, Masjhudi, Joesoef Wibisono, Moeham

                                     ad Djoenaidi, R.H.O. Djoenaidi, Prawoto -

                                     Mangkoesasmito. (G.McT.Kahin : 1952, 7)



Dalam rapat itu juga diputuskan bahwa agar di setiap daerah juga didirikan Hizbullah, yang diharapkan dapat kerja-sama dengan kepala pemerintah sebagai "Pernyatan pengorbanan dan kebaktian Umat Islam" ( Kahar Moedzakkir, "Hizbullah" dalam Suara muslimin,No. 23, 15 Desember 1944, hlm. 25). Namun secara rahasia para tokoh Islam juga mempunyai tujuan jangka panjang yaitu untuk melawan pemerintah Jepang yang semakin lemah.(sumber Sejrah Lisan, wawancara dengan Ngusman Nuri, pewawancara Nur’aini S. 1987).



HIZBULLAH JOGJAKARTA



Proses Berdirinya



Umat Islam Jogjakarta menyambut baik berdirinya Hizbullah, maka pada tanggal 3 Oktober 1944 dibentuk Hizbullah Daerah Jogjakarta, dengan ketua terpilih H. Wasir Nuri. Rekruitmen anggota Hizbullah melalui tokoh-tokoh Muhammadiyah, NU, dan juga lembaga pendidikan yang ada, seperti Madrasan Mu'alimin, sekolah-sekolah Muhammadiyah dan juga dari pondok pesantren di sekitar Jogjakarta, melalui guru agama dan para muballigh dari Bantul, Sleman, Kulon Progo, Gunung Kidul. ( Wawancara dengan Bachron Edrees, dalam Abdul Mutholib, Hizbullah..,hlm.10).



Pelamar sebagai anggota Hizbullah Jogyakarta brasal dari berbagai organisasi Islam, antara lain dari Muhammadiyah dan Nhdlotul Ulama (NU). Adapun yang berasal dari Muhammadiyah antara lain ialah, Bakri Syahaid, Muhammad Nazar, Rustam, Hajun, Hartono, Waston Sujak, Bachron Edrees, Syaifullah Asmuni, dan para pelajar Mu’alimin Muhammadiyah Patangpuluhan serta Mu’alimin Muhammadiyah Wal Fajri Karanganyar Jogjakarta. Pendaftar awal Hizbullah dari kalangan NU antara lain, Mujab, Badawi dan Mardiono. Motivasi mereka memasuki Hizbullah terekam dalam wawancara seleksi, yaitu pada umumnya adalah semangat keagamaan Li’ilaa-I kalimatillah yang artinya menegakkan kalimah Allah ( laa-illaha ilallah ), untuk kadilan dan kebenaran yang diajarkan oleh para ulama mereka.( Masjumi Pendukung Republik Indonesia,Kapu Masjumi,hlm.14). Dari wawancara terpisah terhadap Bahron Edrees, Bakri Syahid, Kyai Mujab, Masduki Abdullah dan Jumali, terdapat pernyataan yang sama, yaitu niat memasuki Hizbullah untuk berjihad karna Allah Swt. dalam rangka membebaskan tanah air dari penjajahan, dengan jiwa semangat khubbul wathon minal Iman, artinya cinta tanah air itu sebagian dari Iman(Yazid Qosim,Himpunan Hadits … ,1979, hlm.347), jadi bukan untuk mendapatkan status dan materi untuk hidup.



Rekruitmen anggota Hizbullah sesuai dengan keputusan Masjumi, harus melalui tes, yaitu Pengetahuan dan Pengamalan Agama Islam, dan kesehatan serta ketrampilan pisik. Angkatan pertama dapat lulus masuk Hizbullah Jogjakarta sebanyak 25 pemuda, yang terdiri dari berbagai daerah, yaitu:

Dari Kota Jogjakarta 10 orang, dari Kabupaten Sleman 3 orang, dari kabupaten Gunung Kidul 2 orang, dari Kabupaten Kulonprogo 2 orang, dari Kabupaten Bantul 3 orang, dari Pakualaman 3 orang, serta dari Adikerta 2 orang. Jumlah 25 orang itu, menurut organisasinya tersiri 4 orang dari NU dan 21 orang dari Muhammadiyah.( sumber Sejarah Lisan,wawancara dengan Bachron Edrees, pewawancara Abdul Mutholib, 1985 ).



Pada bulan Februari 1945 seluruh anggota Hizbulah Daerah Jogjakarta dikirim ke Cibarusa, Jawa Barat, untuk mengikuti latihan kemiliteran bersama seluruh Badan Perjuangan Hizbullah se Jawa. Biaya transportasi, perlengkapan dan pelatihan ditanggung oleh Pimpinan Masjumi Daerah Jogjakarta. Anggota Hizbullah yang mengikuti pelatihan di Cibarusa lebih kurang 500 orang,ditemptkan di barak-barak bambu.Salah seorang pelatihnya adalah Syodanco Peta Zidni Nuri dari Jogjakarta. Latihan Perang Hizbullah ini dibuka oleh pimpinan Jawa Gunseikan, pada tanggal 28 Februari 1945, dan duhadiri oleh para tokoh Masjumi dan pembesar militer Jepang. Pelatihan perang ini dilaksanakan selama 3 bulan, disamping latihan kemiliteran, juga diberikan semangat Islam dalam perjuangan. Salah satu dari ajaran semangat perjuangan Islam itu adalah jihad fi sabilillah  yang diberikan oleh para ulama, antara lain KH. Musthafa Kamil dari Singaparna.(sumber Sejarah Lisan, wawancara dengan Badawi, di Turi Sleman, pewawancara Abdul Mutholib, 1985). Adapun secara keseluruhan yang dilatihkan adalah:

                      

1.   Mempertebal ke-Islaman, Taukhid, Fiqih, dan Jihad.

2.   Semangat Nippon dalam teknis berperang

3.   Akhlak Islam beramal ikhlas dan semangat perang

4.   Praktek lapangan menghadapi bahaya udara, melin-

dungi penduduk,  pengerahan tenaga rakyat, latihan

lengkap berperang, dan membasmi mata-mata.



Pada tanal 20 Mei 1945 Pelatihan militer bagi Badan Perjuangan Hizbullah di Cibarusa ditutup oleh wakil Toomubutyoo dan dihadiri oleh K.H.A. Wahid Hasyim mewakili pimpinan Msjumi. Semua yang ikut pelatihan di Cibarusa diwajibkan berikrar: a. Menyerahkan dirinya secara bulat pada Masjumi; b. Harus mampu mendirikan Hizbullah di daerah tempat tinggalnya, dan c. Selalu berhubungan dengan dengan pemerintah dan jantor  Shuuchoo.(sumber Sejrah Lisan, wawancara dengan Bakri Syahid, pwawncara Abdul Mutholib,1985).



Sepulangnya peserta latihan Hizbullah dari Cibarusa, di Jogjakarta tetap dibina dan dilatih. Latihan pematangan ini dilakukan di daerah Dai-San (III) Pingit Jogjakarta, selama 1 bulan, dipimpin oleh Syodanco Ahmad Hadiwidjojo dari Peta. Adapun materinya adalah  teknik pengunan senjata berat di medan pertempuran.( “Hizbullah” dalam Suara Muslimin No.6, 15 Maret 1945, hlm.25).



Dari modal 25 orang, kemudian berhasil menghimpun sampai 500 orang pada tahap pertama. Pada tahap selanjutnya berkembang sehingga  Hizbullah Daerah Jogjakarta  dapat membentuk  satu divisi yang diberi nama DIVISI SULTAN AGUNG dengan komandannya H. Wasir Nuri, dan Bakri Syahid sebagai wakilnya. Di bawah divisi dibentuk beberapa batalyon, Batalyon 25 dipimpin oleh Basuni, Batalyon 32 dipimpin oleh Zidni Nuri, dan Batlyon 39 di bawah pimpinan H.Dawam.( sumber Sejarah Lisan, wawancara dengan Waston Sudjak dan Bakri Syahid, pewawancara Abdul Mutholib, 1985).



Aktivitas Hizbullah Daerah Jogjakarta



Setelah pelatihan, rekruitmen, dan berdirinya Hizbullah Daerah Jogjakarta, aktivitas lebih dikerahkan untuk membina teritorial. Pembinaan teritorial ini dimaksudkan untuk menjalin hubungan ukhuwah Islamiyah dengan umat Islam di pedesaan-peesaan, dengan melalui pengajian dan penanaman semangat perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia. Pedekatan pasukan Hizbullah dengan tanpa seragam ini mendapat simpati masyarakat, dan memudahkan dukungan rakyat di kemudian hari saat perang gerilya. Setelah Republik Indonesia Merdeka, pasukan Hizbullah segera menghubungi lembaga bersenjata resmi yaitu Polisi, dan Badan Keamanan Rakyat (BKR), untuk bekerja-sama mengamankan negara.



1. Merebut Jogjakarta dari Kekuasaan Jepang



Setelah Republik Indonesia merdeka, segera di Jogjakarta dibentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah diketuai oleh Muhammad Saleh, dan Badan Keamanan Rakyat (BKR) diketuai oleh Sudarsono dari Polisi. Selain itu, sebelum ada ketentuan resmi penataan badan perjuangan, maka BKR berperan sebagai koordinator.(Sejarah TNI-AD Kodam VII Diponegoro:1968,hlm.25 ).

Oleh karena itu, ketika masyarakat Jogjakarta akan merebut kekuasaan dari tangan Jepang, maka diadakan koordinasi antara KNI, BKR, Hizbullah dan lasykar lainnya. Oleh karena usaha perundingan dengan pihak Jepang mengalami jalan buntu, maka diputuskan untuk merebut kekuasan Jepang atas Jogjakarta dengan jalan perang. Hizbullah Daerah Jogjakarta mengerahkan pasukannya, bergabung dengan BKR,Polisi, dan lasykar lain, pertama kali merebut kantor KOOTI, kemudian merebut markas dan gudang senjata Jepang Butaitjo di Kota Baru.( Sejarah TNI-AD,

Ibid. dan sumber Sejarah Lisan, Waston Sudjak, pewawancara Abdul Mutholib,1985). Dengan perang yang mengerahkan masyarakat luas, akhirnya berhasil merebut markas dan gudang senjata Jepang. Dalam pertempuran Kota Baru itu pihak Indonesia 21 orang gugur, 32 orang luka-luka. Di antara yang gugur itu terdapat 3 orang dari Hizbullah, yaitu Abu Bakar Ali, Wardani, dan Ahmad Djazuli.( Tiga Puluh Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, Jakarta: Sek.Neg. RI,1975, hlm,14). Korban dari Hizbullah itu dikuburkan di makam Syuhada’ barat Masjid Gedhe kauman Jogjkarta, sedangkan sebagai Monumen Perang Kota Baru dibangun Masjid Syuhada’.( Prasasti Manumen Perang Kota Baru, ditandatangani oleh Bung Hatta, 1952).



2. Perang Mempertahankan Kemerdekaan RI



Sebelum adanya peraturan yang melebur lasykar-lasykar dan barisan bersenjata ke dalam TNI, Hizbullah proaktif bekerja-sama dengan BKR-TKR untuk mempertahankan kedaulatan RI. Berikut ini kisah pasukan Hizbullah Divisi Sultan Agung Jogjakarta dalam kancah perjuangan melawan Belanda.



a. Pertempuran Ambarawa ( Palagan Ambarawa )

  

Pada tangal 21 November 1945, pukul 09.00 atas desakan dan serangan pasukan yang dipimpin oleh Jendral Sudirman, Sekutu mundur menuju ke Semarang. Mundurnya Sekutu juga membuat onar di Ambarawa, yang kemudian meletus perang besar, Palagan Ambarawa. Perang itu memancing hadirnya solidaritas dari berbagai tempat, termasuk dari Jogjakarta. Pasukan TKR, Hizbullah, dan lasykar lainnya berduyun duyun menuju Ambarawa, dan mengepung kota itu. Hizbullah Jogjakarta mengirim Batalyon Bachron Edrees, yang ditempatkan di bagian barat Ambarawa, tepatnya di desa Jambu dan Banyubiru. Meskipun daerah basis Hizbullah Daerah Jogjakarta di Jambu dan Banyubiru, namun siasat dan gerakan perang gerilyanya selalu berpindah-pindah(A.H.Nasution,Pokok – pokok Perang Gerilya dan

Pertahanan  Republik Indonesia di Masa Lalu dan yang Akan Datang,:1980, hlm. 35). Masih dalam sumber itu, dikisahkan pengepungan Ambarawa, dari arah selatan ditempatkan pasukan gabungan dari Surakarta dan Salatiga; dari utara pasukan dari Kedu dan Ambarawa sendiri; dari timur dari devisi IV BKR Salatiga. Adapun pihak sekutu dan Belanda bermarkas di Hotel  Van Rheeden, dan mendirikan pos di kompleks Gereja jalan Margo Agung, serta pos-pos militer di perkebunan-perkebunan, untuk menahan serangan gerilya dari barat dan selatan. Akan terapi pos-pos itu berhasil direbut para gerilyawan Indonesia, sehingga hubungan komunikasi pihak sekutu hanya dapat lewat udara. Pasukan Hizbullah pimpinan Bachron Edrees setelah sebulan di front Ambarawa, kemudian ditarik mundur, digantikan oleh pasukan yang dipimpin oleh Khudhori. Dalam pertempuran Palagan Ambarawa, meskipun pihak Indonesia berhasil mendesak Sekutu dan Belanda hingga mundur ke Semarang, namun dalam perang itu banyak menelan kurban. Khudhori komandan pasukan Hizbullah menderita luka-luka, sedangkan yang gugur di pihak Hizbullah dari Jogjakarta sebanyak 2 orang, yaitu Muchammad Asief dan Muchammad Djirhas, keduanya dimakamkan di makam Syuhada’ Kauman Jogjakarta.(Arsip Laporan RK Kauman, 1979).



b. Pertempuran Mranggen ( Timur Semarang ).



Gerakan selanjutnya diarahkan untuk mengepung kota Semarang, sebagai front perjuangan melawan kolonial dalam rangka mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan RI. Dalam pengepungan Semarang, dari Jogjakarta dikirim pasukan Hizbullah batalyon Basuni, untuk membatu TRI yang ditempatkan di daerah Mranggen sebelah timur Semarang. Pasukan lainnya ditempatkan di Srondol selatan Semarang, dan Kaliwungu di barat Semarang. Komandang Kompi Hizbullah yang ditempatkan di Mranggen adalah Bachron Edrees, dan sebagai komandan-komandan regunya antara lain Mohammad Diponegoro (seniman);

Masduqi, Badawi dan Rebo.( sumber Sejarah lisan, wawancara dengan Badawi, pewawancara Abdul Mutholib,1985).



Alasan mengapa Semarang dikepung, dan selalu diadakan serangan gerilya ke dalam kota, karena Sekutu tidak beriktiqat baik terhadap bangsa Indonesia, dan jelas-jelas cenderung membatu Belanda untuk menguasai Indonesia kembali. Sebagai bukti antara lain, Pertama, Pasukan KNIL Belanda difasilitasi masuk Semarang dengan membawa persenjataan yang lengkap, pada bulan Mei 1946 seluruh Brigade tentara NICA mendarat dan mengambil posisi menguasai Semarang. Kedua, selanjutnya pada tangal 17 Mei 1946 telah dilangsungkan upacara serah terima komando pendudukan dari Brigade Darling ( Inggris ) kepada Kolonel van Langen Komandan Brigade T KNIL ( Belanda ), sehingga resmilah Semarang dikuasai oleh Belanda.(A.H. Nasution

Tentara Nasional Indonesia II; 1963, hlm. 310.). Dengan berkuasanya NICA di Semarang akan melancarkan jalan untuk menghancurkan Republik Indonesia (Ibid.). Kejadian ini semakin meningkatkan semangat bangsa Indonesia untuk mengadakan gerakan ofensif menyerang kanthong-kanthong Belanda termasuk Semarang. Perang gerilya semakin meningkat, pada tanggal 25 Mei 1946 di sektor Jatingaleh selatan Semarang para gerilyawan gencar menembakkan mortir. Para pejuang Indonesia juga menyerbu sektor barat Semarang, hingga berhasil menduduki Lapangan Terbang  Kalibanteng. Pasukan Hizbullah dari daerah Jogjakarta, yang dipimpin oleh Bachron Edrees juga berhasil mengacaukan dan menahan kedudukan Belanda di Front Timur Semarang, sehingga tidak mngembangkan kekuasaannya. Kompi Hizbullah Jogjkarta yang dipimpin oleh Bachron Edrees ini tugas di Mranggen selama 2 bulan, kemudian digantikan oleh kompi Hizbullah dari Jogjakarta juga yang dipimpin oleh Khudhori yang tiba pada tanggal 2 September 1946.



Rupanya pihak Nica setelah kuat, kemudian ingin mengembangkan kekuasaannya, dan menembus kepungan para gerilyawan dari RI. Pada tangal 11 Oktober 1946, pukul 16.00 pihak Nica Belanda mngadakan serbuan ke front Timur Semarang. Serbuan ini dilawan oleh pasukan Hizbullah kompi Khudhori, terjdilah perang frontal. Oleh karena kekuatan pasukan Belanda lebih banyak, dan memang dikerahkan untuk menembus Timur Semarang, maka kompi Hizbullah Jogjakarta ini terpaksa mundur.

Dalam pertempuran itu 17 anggota Hizbullah gugur, sedangkan komandannya yaitu Khudhori luka parah tertembak dan ditusuk bayonet. Jenazah yang gugur itu dimakamkan di makam Syuhada’

Kauman (di lingkungan Masjid Gedhe Jogjakarta ). Selain itu pasukan Hizbullah yang pulang dari Mranggen juga ada yang sakit terkena Malaria Tropika, diantaranya Muhammad Adnan, yang sesampainya di Jogjakarta kemudian wafat, dan dimakamkan di tepat yang sama.( sumber Sjarah Lisan, Bachron Edrees, pewawancara Abdul Mutholib, 1985; wawancara dengan Muhammad Darban,oleh Ahmad Adaby, 2005).



c.Pertempuran Srondol



Hizbullah Jogjakarta juga mengirim sebagian dari kompi Rebo, untuk membantu menahan serbuan Nica Belanda yang akan meluaskan wilayahnya ke selatan. Pada tanggal 4 Juli 1946 terjadi pertempuran, dalam pertempuran itu pihak Nica Belanda mengerahkan pasukan ateleri dan dibantu oleh pesawat tempur udara. Pihak RI yang di dalamnya terdapat kompi Hizbullah Jogjakarta terpaksa mundur ke Banyumanik.( Sejarah TNI-AD Kodam VII Diponegoro…..Op.Cit. 1968,hlm.74). Dalam pertempuran Srondol ini anggota Hizbullah yang gugur  2 orang, yaitu Ahmad Dahlan bin Hilal (cucu KHA Dahlan) dan Hajid bin Jalil, kduanya juga dimakamkan di makam Syuhada’ Kauman Jogjkarta.



Adanya Perundingan Lingga Jati, maka untuk sementara waktu perang dihentikan, maka pasukan Hizbullah Jogjakarta ditarik kembali ke Jogjakarta. Selama tidak berperang, di kalangan Hizbullah Jogjakarta terus diadakan pembinaan Agama Islam, Mental, Akhlaq, dan latihan pisik lainnya. Anggota Hizbullah berbaur dengan masyarakat, ada yang menjadi guru ngaji, melatih ketrampilan para pemuda sebagai kader yang akan datang, dan juga ada yang aktif dalam politik serta organisasi sosial-keagamaan lainnya.



Adanya Peraturan Pemerintah tanggal 3 Juni 1947, tentang peleburan seluruh badan perjuangan, lasykar, dan kelompok bersenjata lainnya ke dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI) (AH Nasution, TNI Djilid II,1968, hlm. 86.), maka sebagian anggota Hizbullah Jogjakarta masuk bergabung dalam TNI. Dalam TNI mantan pasukan Hizbullah tetap aktif bertempur dalam skala yang lebih besar, ukuran perang intarnasional.



Adapun sebagian mantan angota Hizbullah kembali ke masyarakat menurut profesinya masing-masing, namun tetap dalam keadaan siaga, siap tempur membela Republik Indonesia bila dibutuhkan. Pertemuan-pertemuan diantara mereka tetap diadakan dalam koordinasi Masjumi. Dalam pertemuan-pertemuan itu dibicarakan mengenai bahaya kembalinya Belanda menjajah Indonesia, bahaya provokasi  PKI yang membahayakan kehidupan beragama di Indonesia, dan juga tukar-menukar informasi.( sumber Sejarah Lisan, Muhammad Darban, pewawancara A.Adaby, 2005 ).



Mantan Hizbullah baik yang ada di TNI maupun yang ada di masyarakat, saling bertemu tukar-menukar informasi dan tetap membina semangat juang menghadapi penjajahan. Menjelang Agresi Belanda I, pasukan TNI dikonsentrasikan ke front-front garis demarkasi untuk menghadapi Belanda yang selalu tidak mentaati perundingan. Untuk menjaga keamanan dalam negeri agar masyarakat tentram, maka mantan pasukan Hizbullah yang di luar TNI ikut membantu polisi dalam tugas ini. Ketika Belanda memaksakan kehendaknya untuk menguasai RI, maka situasi semakin tidak menentu, muncul orang-orang yang mencari kesempatan antara lain, menjadi mata-mata (spionase) Belanda, menjadi garong, dan tindakan jahat lainnya. Melihat situasi yang sedemikian itu, maka para Ulama Jogjakarta mengadakan musyawarah untuk membicarakan nasib masyarakat, khususnya umat Islam yang ada di pedesaan dan perkotaan.(sumber Sejarah Lisan,KH Haiban Hajid, pewawancara A.Adaby, 1996). Untuk sementara waktu dalam menghadapi situasi yang tidak menentu, maka ulama Jogjakarta yang berada di Masjumi membentuk badan pejuang Islam Sabilillah. Para ulama di Jogjakarta yang tergabung dalam Sabilillah ini antara lain KH Mahfudz Siraj, KH Ahmad Badawi, KH Amin Bahrun, KH Abdullah, KH Juraimi.Para ulama ini memang dahulunya sebagai penasehat Hizbullah, yang tetap komitmen pada perjuangan bangsanya. Pada tanggal 21 Juli 1947 terjadi Agresi Belanda pertama, yang mencaplok dan menduduki beberapa daerah di Jawa Tengah. Hal ini di mata para ulama Jogjakarta merupakan ancaman bagi Ibukota RI Jogjakarta.Oleh karena itu, untuk lebih menggalang kekuatan yang terkoordinasi dan  eksis dalam membela Negara Kesatuan RI, maka para ulama kembali menggelar musyawarah di Jogjakarta. Hasil musyawarah para Ulama itu kemudian di sosialisasikan kepada para pemuda dan mantan Hizbullah yang tidak berada di TNI. Pada tanggal 3 Juli 1947 diadakan rapat bersama antara para Ulama dan pemuda serta mantan Hizbullah Jogjakarta, di Masjid Taqwa kampung Suronatan Jogjakarta. Dalam rapat itu hadir antara lain : H.Ki Bagus Hadikusuma, KHA Badawi, KH Machfud Siraj, KH. Daim, KH. Abdullah, KH.Amien Bachrun, KH.Muhammad Sarbini. Rapat yang didahului dengan Sholat Lail dan Iktikaf serta do’a para ulama itu, memutuskan antara lain mendirikan Lasykar Angkatan Perang Sabil (APS), untuk melanjutkan dukungan dan bantuan secara pisik umat Islam pada pemerintah Republik Indonesia. ( Nur’aini Setyawati,” Asykar Perang Sabil…”,Skripsi Jur.Sejarah FS-UGM,1988, hlm.25.)



Untuk merealisasikan keputusan itu, diutus beberapa ulama menghadap Sri Sultan Hamengku Buwana IX (sebagai Mentri Pertahanan) dan Panglima Besar Sudirman( pimpinan TNI), untuk minta dispensasi agar diizinkan mendirikan lasykar Angkatan Perang Sabil (APS). Mengingat Wilayah RI semakin terdesak, dan Jogjakarta sebagai ibukota RI semakin terancam agresi Belanda, serta dapat memahami iktikat baik umat Islam Jogjakarta, maka Sri Sultan Hamengku Buwana IX, dengan persetujuan Panglima Besar Sudirman, mengabulkan permohonan para ulama Jogjakarta yang disampaikan oleh H Ki Bagus Hadikusuma itu  (lihat lampiran: Serat Kekancingan).

MARKAS ULAMA

ANGKATAN PERANG SABIL (MU-APS)





PROSES BERDIRINYA MU-APS



Situasi negara R.I. sedang mengalami tekanan dari pihak kolonial Belanda dan sekutunya. Ibukota R.I. hijrah ke Yogyakarta, daerah-daerah R.I. pun sedikit demi sedikit dicaplok oleh penjajah. Melihat keadaan negara R.I. yang demikian itu, para Ulama Yogya ikut prihatin tidak tinggal diam, mereka kemudian berbulat tekad mempertahankan Kedaulatan Negara Republik Indonesia.



Pada tanggal 23 Juli 1947 bertepatan tanggal 17 Romadlon 1367 H., para Ulama Yogya mengadakan musyawarah dan sebelumnya diawali sholet lail & I’tikaf bermunajah kepada Allah Swt. di Masjid Taqwa Suronatan Jogjakarta. Hasil dari pertemuan tersebut ialah Kedaulatan Tekad para Ulama membentuk badan perjuangan yang bernama ”MARKAS ULAMA ANGKATAN PERANG SABILILLAH (MU. A.P.S)”,lebih lanjut disebut Angkatan Perang Sabil, yang bertujuan untuk membantu pemerintah R.I. dalam menghadapi kesulitan menanggulangi musuh yang akan merobohkan Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI).

Para Ulama tersebut mengutus Ki Bagus Hadi Kusuma, K.H. Mahfuds Siraj dan K.H. Ahmad Badawi untuk menyampaikan kebulatan tekad Ulama Jogjakarta itu kehadapan Sri Sultan Hamengku Buwono ke IX. Maksud kebulatan tekad Ulama tersebut disambut baik oleh Sri Sultan, bahkan kemudian Sri Sultan mengeluarkan surat keputusan persetujuan do’a restunya .

Selain itu juga dihubungkan dengan Panglima Besar Sudirman.



AKTIVITAS PERJUANGAN APS



Sebagai pusat MU- APS adalah di kompleks Masjid Agung Jogjakarta, sedang  tempat latihan juga diadakan plataran Masjid Agung tersebut. Pak Dirman selaku pimpinan TNI dapat memaklumi berdirinya lasykar APS tersebut, bahkan menunjuk sebagai pelatih Lasykar APS, yaitu dari TNI yakni Bung Tomo dan Mayor Fachruddin(Abdurrahman, ”Lasykar AngkatanPerang Sabil....1983, hlm.15). Dari sini dapat dilihat adanya manunggalnya Angkatan Perang dengan para Ulama yang bersama-sama mempertahankan Negara Republik Indonesia tercinta. Setelah peresmian APS, maka dilanjutkan berlatih, dan kemudian diterjunkan ke front-front perjuangan untuk bekerja-sama dengan TNI. Pada tahap pertama pasukan APS dikirim ke Mranggen dan Srondol (melanjutkan kedudukan Hizbullah Jogjakarta ) dalam mengepung Belanda. Selain dua derah itu, Pasukan APS juga dikirim ke Kebumen, untuk menghadang kedatangan Belanda dari arah Jakarta.



a. Pengepungan Semarang



Untuk mengetahui lebih jelas peranan APS, berikut ini kita ungkapkan selintas aktivitas perjuangannya :Di front Mranggen ditempatkan dua kompi APS untuk membantu TNI, kompi pertama dikomandari oleh KH Juraimi dengan Imam ruhani KHR Hajid,  ( Uswatun Chasanah,Kehidupan & Perjuangan Ayahku; Riwayat hidup KRH.Hajid.:2005, hlm.74).

Adapun kompi yang kedua pimpinan  Badri, dengan Imam ruhani KH Abdurrahman. Dua kompi ini dibagi tugas, kompi pertama di Mranggen Timur, sedangkan kompi kedua di Mranggen Selatan.(sumber Sejarah Lisan, wawancara denhan Ardani Zainal,

Pewawancara Nur’aini S, 1988).



Ketika pos pertehanan RI di Srondol terdesak, maka dikirimlah pasukan APS dua kompi, untuk membantu TNI. Dua kompi itu, pertama dari APS Pusat komandannya H.Dimyati Dahlan, dan kompi kedua dari Kulonprogo dikomandani oleh M.Djauhar Suhaimi, sedangkan Imam Ruhaninya ada emapat yang tergabung dalam ”Barisan Jenggot”, yaitu K.Dahlan, K.Syahid, K.Bajuri, dan K.Djauhari. (sumber lisan, Zahri Elyas, pewawancara Nur’aini S., 1987). Empat kompi APS yang ditempatkan di Mranggen dan Srondol, meskipun sering mendapat serangan usaha Belanda untuk mengembangkan daerahnya, namun dapat dicegah dan pasukan APS selamat sampai ditarik kembali ke Jogjakarta.



b. Front Perjuangan Kebumen



Atas permintaan Panglima Besar Sudirman melalui surat perintah dari Jendral Urip Somoharjo( Kepala Staf TNI), dan anjuran Sri Sultan Hamengku Buwana IX, agar pasukan APS dikirim ke Kebumen untuk melawan Belanda. Dari markasnya di Masjid Agung Jogjakarta diberangkatkan satu Batalyon dengan senjata lengkap dengan kereta api menuju Kebumen. Batalyon APS dikomandani oleh Sarbini dan wakilnya KH Juraimi, sedangkan Imam Rohaninya KH.Mahfudz Siraj dan KRH. Hajid, pada tanggal 30 Juli 1947.( Dokumen Arsip Kantor Legiun Veteran Jogjakarta, dan wawancara dengan Suyadi, oleh Nur’aini, 1987.). Setelah mengatur strategi bersama dengan TNI, maka pasukan APS mulai menempati pos-pos yang telah ditentukan. Ketika pasukan Belanda melacarkan pembersihan di daerah-daerah dalam rangka melancarkan jalannya pasukan menju Jogjakarta, maka terjadi benturan pisuk dengan pasukan APS. Pada pertempuran pertama, pasukan Belanda dari barat Kebumen, dilawan dan berhasil dipukul mundur oleh pasukan APS. Pada hari-hari berikutnya pihak Belanda mengerahkan pasukannya untuk menyerang markas APS di sekitar Kebumen, sehingga pasukan APS melawan dengan lebih keras. Untuk mengantisipasi semakin kuatnya tentara Belanda, maka Markas Ulama APSJogjakarta mengirim 1kompi pasukan dipimpin oleh Bachron Edrees, didampingi oleh Imam Ruhani KH. Amien Bachrun dan KH. Abdurrahman. Seluruh pasukan APS dikerahkan ke Front Barat Kebumen, meliputi Petanahan, Poring, dan Karanggayam, berhadapan langsung dengan Belanda dari arah Barat. Selama pertempuran di Kebumen itu pihak APS gugur seorang yaitu Rudin, pada awal September 1948, Batalyon APS dari Jogjakarta ditarik mundur untuk tugas lain yang telah menantikan selanjutnya.( sumber Sejarah Lisan, bachron Edrees, oleh Nur’aini,1988).



c. Penumpasan Pembrontakan PKI tahun 1948.



Pada saat bangsa Indonesia menghadapi agresi Belanda, Partai Komunis Indonesia (PKI) menusuk dari belakang, berusaha dengan pemberontakan untuk merebut pemerintahan yang syah Republik Indobesia. Pemberontakan PKI yang pusatnya di Madiun

itu dipimpin oleh Muso dan Amir Syarifuddin,  diproklamirkan pada tanggal 18 September 1948, mengunakan pasukan Fron Demokrasi Rakyat (FDR). Pemberontakan itu dilakukan dengan berbagai kekerasan dengan pembantaian terhadap kaum Nasionalis Birokrat, dan kaum Muslimiin, yaitu para kyai, santri pondok serta aktivis muslim, sehingga ribuan korban bergelimpangan. Untuk menghadapi pemberontakan PKI itu didatangkan Pasukan TNI dan dibantu oleh APS dari Jogjakarta. Jumlah Pasukan APS yang dikirim untuk menghadapi pemberontakan PKI adalah 1 batalyon dipimpin oleh Bachron Edrees didampingi oleh Imam Rohani K.H. Dalhar dan K.H.Dimyati. Pasukan APS ini di front ini bergabung dengan batalyon Kemal Idris dan batalyon Kusno Utomo dari TNI.(sumber Sejarah Lisan, Bachron Edrees, Pewawancara Nur’aini,1988). Pasukan ini beroperasi menumpas pemberontakan PKI di Purwadadi, Pati dan Kudus.  Adapun kompi yang dipimpin oleh Ir.Sofyan dan M.Djauhar Suhaimi dari markas Kulonprogo, dikirim ke Ponorogo, bergabung dengan TNI( batalyon Darsono ) merebut tempat-tempat yang diduduki PKI, dan mempertahankan pesantren serta kantor-kantor pemerintah. Dalam medan pertempuran melawan pembrontak komunis PKI itu yang jumlahnya lebih besar itu ,TNI beserta APS dan pasukan masyarakat anti komunis lainnya berhasil memukul mundur pasukan FDR-PKI.  Dari Jogjakarta APS Gunung Kidul bersama TNI dari Siliwangi brhasil memukul mundur pasukan PKI yang membuat kerusuhan. Pasukan PKI itu mundur menuju Wonogiri, namun salah seorang tokohnya tertangkap, yaitu Istiajid (sumber Sejarah Lisan, Moh.Hani, pewawancara Nur’aini, 1987), nama Istiajid ini nanti muncul pula dalam pemberontakan G.30.S/PKI. Pada pertempuran di Ponorogo dan Gunung Kidul, APS dikawal oleh Imam Rohaniyah yaitu KH. Dalhar BKN, dan KH. Dimyati. Setelah tugas-tugas meredam dan membantas pemberontakan PKI 1948 yang berpusat di Madiun itu dapat dituntaskan, maka pasukan APS ditarik mundur ke Jogjakarta untuk ikut mempertahankan Ibukota RI Jogjakarta dan sekitarnya. Adapun anggota APS yang gugur syahid dalam menumpas pemberontakan PKI berjumlah 25 orang, dimakamkan di makam Syuhada’ Kauman Jogjakarta.



Tugas APS selanjutnya  ikut mempertahankan dan mengamankan

Wilayah Jogjakarta. Adapun kegiatannya antara lain :



a)    Merintangi Masuknya Belanda ke Yogyakarta



Pada tanggal 19 Desember 1948, adalah hari bersejarah dimana Kolonial Belanda mulai menduduki Ibukota R.I. Yogyakarta. Lasykar APS ikut menghadang mempertahankan kota Yogyakarta, dalam pertempuran ini korban yang diderita APS 5 orang menemui syahidnya. Pertahanan kota yang terakhir di daerah Karang Kajen, dari sini dalam waktu satu minggu mengadakan penyerangan gerilya ke kota. Namun setelah itu Belanda mengetahui markas APS di Karangkajen, kemudian digempur sehingga terjadi pertempuran yang membawa korban syahid di pihak APS 4 orang. Markas APS kemudian bergeser ke selatan daerah Bantul, dengan markasnya di Tegal-Layang Sanden.( A.Adaby D, Fragmenta Sejarah Islam di Indonesia,; 1984, hlm.43 ). Dari Bantul laskar APS terus mengadakan perang gerilnya melawan patroli-patroli Belanda yang mengadakan penyerangan di desa-sesa. Selain itu juga menjaga keamanan Bantul yang ditinggalkan mengungsi pemerintahannya.



b)   Mengamankan Bantul



Setelah terjadi serangan Belanda terhadap Bantul, maka kota Bantul menjadi kosong dari penjagaan dan pemerintahan, maka terjadilah perampokan dan penggedoran liar terhadap rumah-rumah penduduk. Adanya situasi yang tidak sehat ini, maka pimpinan MU-APS mengambil kebijaksanaan untuk bertindak mengamankan dan mengatur pemerintahan darurat agar kehidupan rakyat jadi tenang dan tentram. Setelah berhasil mengamankan kota Bantul dari kaum perusuh tersebut, maka dalam waktu 1 minggu setelah datangnya aparat pemerintah kota Bantul, kekuasaan darurat tersebut diserahkan kembali kepada yang bertanggung jawab yaitu pemerintah daerah Bantul. Selama kota Bantul di bawah kekuasaan APS, tidak kurang dari 2000 TNI dan polisi mendapat jaminan dari dapur umum MU-APS Pusat, sampai keadaan stabil.( Wehrkreise III, 1952, hlm.27 )



c)    Menyerang Kota Yogyakarta



Pada tanggal 8 Januari 1949 atas ajakan Letnan Kolonel Suhud dari TNI, APS menyerbu Yogyakarta bersama pasukan TNI untuk mengusir penjajah Belanda yang masih bercokol di kota itu. Penyerbuan itu dipimpin oleh Imam besar KHA. Machfudz dan Komandan APS Muh. Sjarbini. Serbuan tersebut membawa hasil yang baik, pasukan Belanda dibikin kocar-kacir. Sehabis serbuan itu, kemudian pasukan APS kembali ke markasnya, di samping itu 2 regu pasukan APS di bawah pimpinan Abdullah Mabrur meneruskan perang gerilya di dalam kota dan ber pos di Sonosewu (barat batas kota Yogya sekitar ½ km dari Ketanggungan). Perang gerilya APS yang 2 regu ini bertahan sampai seminggu, dan berhasil menghancurkan beberapa daerah pokok Belanda. Pada tanggal 14 januari 1949 Belanda mengadakan serbuan besar-besaran ke Sonosewu dengan satu Kompi serdadu dilengkapi senjata berat ringan yang lengkap. Lasykar APS di Pos Sonosewu hanya dua regu, sedang pasukan TNI yang bermortir sudah meninggalkan Sonosewu, beratlah tekanan yang dialami lasykar APS. Namun semangat jihadnya tetap berkobar untuk melawan serangan penjajah Belanda tersebut, peristiwa serbuan terhdap  pos Sonosewu itu mengorbankan 12 anggota APS gugur menemui Syahidnya. Korban tersebut merupakan korban terbanyak bagi APS dalam pertempuran selama dua tahun. Oleh penduduk setempat, pahlawan yang gugur itu dimakamkan di Kuburan Sonosewu, dan selalu diziarahi setiap peingatan kemerdekaan Indonesia.( Nur’aini S.,” Askar Perang Sabil;...,Skripsi 1988,hlm.84-85.)



d)   Pertempuran Wonosari



Markas APS cabang Wonosari di Kedung Pring pada tanggal 9 Maret 1949 sebagai markas Penerangan APS yang punya peranan menjembatani pasukan dengan masyarakat, dan juga mengkomunikasikan rencana-rencana operasional. Markas itu diketahui oleh Belanda, kemudian digempurnya. Dalam perlawanan pasukan APS menderita korban 4 orang sebagai syahid, ialah : Al Ustadz Abdul Jabar, Ahmad Hisyam, Muh. Bustam Syah dan Muh. Bachrom. Kesemuanya berjasa bagi penerangan untuk mengobarkan semangat melawan penjajah Belanda. Kemudian markas APS Gunung Kidul berpindah pindah, dari desa yang satu ke desa yang lain.



c. Mengamankan Kulonprogo



Pada waktu revolusi pisik sering terjadi pihak yang mencari keuntungan dengan jalan menggarong dan menggedor rumah penduduk. Oleh karena itu MU-APS cabang Kulon Progo bersama bantuan APS Yogyakarta yang dipimpin oleh seorang mahasiswa Gadjah Mada, yaitu Muh. Harun Alrosyid, berhasil mengamankan mentertibkan daerah Kulon Progo. Di Kulon Progo terjadi pembagian tugas, yaitu TNI yang berhadapan di front prtempuran, sedangkan APS bertugas mengamankan daerah-daerah, agar masyarakat tentram, terhindar dari pengarongan.



e)    Menjaga Kraton Yogyakarta dan Lingkungannya



Dalam menyiapkan pengembalian kota Yogyakarta kepada Republik Indonesia, maka pasukan TNI dan kelasykaran disiapkan pula di sekitar Yogya. Dalam hal ini lasykar APS mendapat tugas untuk menjaga Kraton Yogyakarta



Pada tanggal 27 Mei 1949, sekitar jam 14.00 pasukan Belanda telah siap akan mengadakan operasi di sepanjang jalan Ngabean. Satu Jeep patroli menyusuri jalan Grejen mengejar gerilyawan APS, sesampainya di rumah Abdul Gani ia turun dan masuk ke lorong kampung Kauman. Di sini Belanda menemui anggota APS yang sedang menjaga keamanan kampung, kemudian ditembaknya. Kemudian Belanda membabibuta main tembak sehingga jatuh korban 2 orang anak kecil dan menembak pula 2 orang yang sedang Sholat hingga gugur. Peristiwa tersebut merenggut 3 orang anggota APS yaitu H. Ilyas, H.Barozie Syafi’i dan Zaidun. Disamping itu 2 orang anak juga gugur, mereka itu ialah Fu’ad dan Sudaryo. Jenazah mereka dimakamkan di makam Syuhada’ Barat Masjid Agung Kauman Yogyakarta. Setelah Perundingan Roem-Royen, dan Ibukota RI Jogjakarta dikembalikan pada RI, maka Pasukan APS dikembalikan ke masyarakat, bekerja menurut profissinya masing-masing, dan ada pula yang meneruskan belajar, serta ada pula yang masuk TNI.



Amatlah banyak kiranya bila kita kisahkan perjuangan Markas Ulama Angkatan Perang Sabilillah (APS) dalam mempertahankan negara Republik Indonesia. Kisah-kisah di atas hanyalah sebagian saja, namun cukup kiranya menjadi perhatian kita bangsa Indonesia bahwa peranan para Ulama Yogya pada khususnya dan kaum Santri  pada umumnya tersebut tidak dapat diabaikan begitu saja di dalam panggung sejarah perjuangan Indonesia. Di samping itu keikhlasan Ummat Islam dalam perjuangannya, yang sangat berharga bagi perjuangan bagi perjuangan bangsa Indonesia itu, perlu juga diberitakan kepada generasi penerus. sehingga dapat bermanfaat menjadi suri tauladan dan menjernihkan sejarah dari kabut hitam yang menyelimuti peranan Ummat Islam di dalam sejarah Indonesia



                                           Jogjakarta, 21 Juli 2005



                                           Ahmad Adaby Darban

                                           Kauman Gm.I/355 Jogjakarta.

                                           0274-373426/ Hp.08157950715







DAFTAR PUSTAKA







Abdul Mutholib. ” Hizbullah di Yogyakarta pada Masa Revolusi :

           ( 1945 – 1949 )”. Skripsi .Yogyakarta Fakultas Sastra UGM,

           1985.



Abdurrahman. ” Laskar Angkatan Perang Sabil Yogyakarta, 1947-

          1949 ”.Yogyakarta: Lembaga Survey IAIN Sunan Kalijaga,

          1983.



Ahmad Adaby Darban. Fragmenta Sejarah Islam di Indonesia.

          Yogyakarta: Pustaka Irma, 1984.



_______.Peranserta Islam dalam Perjuangan Indonesia. Yogyakarta:

          Perpustakaan Fakultas Hukum UII, 1990.



A.H. Nasution. Pokok-pokok Perang Gerilya dan Pertahanan Repu-

          blik Indonesia di Masa yang Lalu dan Masa yang Akan Da-

          tang. Bandung : Angkasa, 1980.

______. T N I , djilid I dan II. Djakarta: Seruling Masa. 1968.



A.Sartono Kartodirdjo. Kepemimpinan dalam Sejarah Indonesia.

         Yogyakarta: B.P.A – Universitas Gadjah Mada, 1974.



A. Yazid Qosim K. Himpunan Hadits-Hadits Dlo’if. Surabaya: PT.

          Bina Ilmu, 1979.



Benda. Harry, J. Bulan Sabit dan Matahari Terbit; Islam di Indone-

          sia pada Masa Pendudukan Jepang ( terjemahan ). Jakarta:

          Pustaka Jaya, 1986.



Buku Gerilja Wehrkreise III, Jogjakarta: Perkumpulan Wehrkreise

          III, 1950.



Kahin. G. McT. Nationalism and Revolution in Indonesian.New York:

          Ithaca, 1952.



Masjumi Pendukung Republik Indonesia.Djakarta: KAPU, 1955.



Mohammad Roem. Pentjulikan Proklamasi dan Penilaian Sedjarah.

          Djakarta: Penerbit Hudaya, 1970.



Nur’aini Setiawati. Askar Perang Sabil; Studi Sosio Religious dalam

          Perjuangan Republik Indonesia,di DIY 1945-1949.”Skripsi

          Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, 1988.



Uswatun Chasanah. Kehidupan dan Perjuangan Ayahku; Riwayat

          Hidup KRH.Hadjid. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah,2005



Tiga Puluh Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia.  Jakarta :Sek.

          Negara RI, 1975.





MAJALAH DAN SURAT KABAR



Soeara MIAI, No. 4. Tahoen : I, 15 Pebroeari 2603



Soeara Moeslimin, No. 1.  1 DJanoeari 1945



Soeara Moeslimin, No. 2. 15 Djanoeari 1945



Soeara Moeslimin, No.23. 15 Djanoeari 1947





DAFTAR INFORMAN

           Nama           !     Jabatan/Peran       !          Alamat



Ardani Zaenal                   ! Sekretaris APS Sleman            ! Patran Moyudan Sleman



Azan Sarbini (70)              !  Anggota APS Koto Jogja          ! Suronatan Ng.4/ 43 Jogja



Bachron Edrees (60)         ! Komandan kompi Hizbullah     ! Jl.Janti No.33 Jogjakarta



Badawi  ( 61 )                   ! Anggota Hizbullah                    ! Selobonggo,Turi Sleman DIY



Bakri Syahid ( 65 )           ! Wakil Dan Div.Hizbullah S.Ag.  ! Jl. Agus Salim 21 Jogjakarta



Danuri (62)                      ! Komandan Kompi APS              ! Jl. Jend.Sudirman Badegan

                                                                                              Bantul.

Djauhar Suhaimi ( 73)     ! Komandan kompi APS Kl.Progo ! Wonosidi Wates Kulon Progo



Haiban Hadjid ( 81 )        ! Staf umum APS Kota Jogja        ! Kauman Jogjakarta



Juraimi ( 88 )                  ! Imam APS                                  ! Kauman Jogjakarta



HM Fadzil (68)                 ! Imam APS                                 ! Temon, Kulon Progo



M.Hani ( 73 )                   ! Imam APS                                 ! Kepek, Wonosari



HM Darban ( 80 )            ! Penerangan APS                        ! Babadan Baru Depok Sleman



Zahrie Elyas ( 65 )           ! Sekretaris & bag.Asrama APS    ! Kaumn 225 Jogjakarta