Selasa, 22 September 2015

Sejarah Badan Inteljen di Indonesia tahun 1945 - 1950

Sejarah Badan Inteljen di Indonesia tahun 1945 - 1950


Pendidikan dasar untuk calon Perwira Komandan Peleton (DanTon), tidak sederhana. Tetapi serius, tekun, keras, penuh disiplin! Pendidikan ini mengutamakan perombakan mental dan fisik. Targetnya untuk dicetak menjadi prajurit yang tangguh, tanggap, trengginas dan tanggon, dengan standard militer Jepang. Instruktur yang melatih pun bukan orang sembarangan. Mereka para prajurit lapangan dan professional, para prajurit Jepang lulusan Akademi Militer. Bahkan umumnya telah berpengalaman tempur di palagan perang besar, di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Misalnya di daratan China melawan tentara China. Di  Asteng bertempur menghadang  pasukan Sekutu, gabungan pasukan Inggris, Amerika, dan Belanda.
Satu sisi penguasa militer Jepang menyengsarakan rakyat Indonesia, di sisi lain mereka mencetak ratusan pemuda Indonesia untuk dijadikan militer professional. Dan tentunya, itu sangat menguntungkan buat perjuangan mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia. PETA, adalah salah asset mahal harganya bagi bangsa Indonesia saat itu.  
Sebagian para prajurit pribumi yang tangguh tersebut, di kemudian hari, dimanfaatkan menjadi instruktur pada Badan Intelijen Indonesia yang pertama. Ide pembentukan Badan Intelijen Indonesia digagas oleh Zoelkifli Loebis, siswa Seinen Dojo Tangerang. Kebetulan, dalam pendidikan pemuda di Tangerang, dialah siswa yang meraih ranking pertama. Bangun tubuhnya tidak besar tinggi, bahkan cenderung “kecil”, namun otaknya cerdas, brilian.
Salah satu cara membangkitkan semangat bertempur adalah: berani menyerang musuh! Bukan menunggu musuh bertindak. Istilah dalam main bola: jemput bola. Dalam jarak 200 meter dari posisi lawan, prajurit  Jepang harus berani menyerang musuh. Cepat bergerak, dengan sangkur terhunus, dia harus berteriak sekeras mungkin! … Caaattt! ….
Biar badan lelah, tetapi dengan teriakan yang keras sekali, serangan mendadak sering kali berhasil. Pihak lawan saat mendengar teriakan keras, sering miris, gemetar, dan turun morilnya. Jika dalam latihan seorang siswa tidak berteriak keras, dia harus mengulang lagi, mengulang lagi, mengulangi lagi! …
Selain sifat berani dan gerak cepat, diajarkan pula sifat hemat, improvisasi, dan sederhana. Improvisasi di sini, dengan pengertian, mencari solusi alternatif untuk menyelesaikan masalah dalam waktu cepat. Sifat-sifat yang unggul, brilian, dan cerdas itu amat penting. Itu harus dikuasai oleh setiap prajurit. Ilmu-ilmu kemiliteran semacam itu yang kemudian disebar-luaskan oleh Zoelkifli Loebis, kepada para pemuda Indonesia. Dan mereka yang berani dan cerdas, nantinya dimanfaatkan untuk membentuk Prajurit Perang Fikiran, suatu istilah pada zaman itu, yang saat ini dikenal dengan nama Anggota Intelijen Negara.
Sejumlah siswa Pusat Latihan Pemuda (Seinen Dojo) Tangerang, tidak diperbantukan menjadi asisten instruktur pada Pusat Latihan calon sukarelawan Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor, tetapi diperbantukan pada Markas Besar “Perang Rahasia Jepang” di Gambir, Jakarta. Mereka itu antara lain adalah Zoelkifli Loebis, Daan Mogot, dan Kemal Idris.
Masyarakat Indonesia pada masa pendudukan penguasa militer Jepang, pada tahun akhir 1943, mulai tahu bahwa, Pusat Latihan Pemuda (Seinen Dojo) di Tangerang sebenarnya adalah Sekolah Calon Intelijen Jepang khusus buat pribumi. Sedang istilah “Perang Rahasia Jepang” sebenarnya adalah identik dengan Intelijen.
Ketika mengikuti pendidikan di Seinen Dojo di Tangerang, Zoelkifli tinggal di barak pertama (nihan), bersama-sama dengan Kemal Idris, Yonosewoyo, Soeprijadi dan Amir Sjamsoedin. Kelompok lain berada di barak kedua (ichihan). Mereka antara lain adalah Daan Mogot, Soeprapto Soekawati, dan Moefreni.
Para siswa Seinen Dojo Tangerang yang lain diperbantukan atau ditempatkan di daidan-daidan ( bataliyon) sebagai Shodancho I (DanTon). Tugas mereka menyusun dan mengatur program latihan (kyoiku gakari) perang gerilya. Mereka juga di tempatkan di daidan-daidan, yang teritorialnya memiliki daerah pantai yang strategis. Tugas mereka adalah memimpin dan menyusun program pertahanan pantai.
Medio tahun 1944 Zoekifli dikirim ke semenanjung Malaya. Saat itu Negara Malaysia dan Negara Singapura belum lahir. Dia dikirim ke Malaya untuk mengikuti Letnan Rokugawa, mantan Komandan Sekolah Seinen Dojo Tangerang, yang sebenarnya adalah sekolah intelijen buat pribumi. Di negeri jiran tersebut Zoelkifli banyak menimba ilmu intelijen dari Letnan Rokugawa.
Saat menuju ke Singapura, keduanya menumpang pesawat pemburu Angkatan Udara Militer Jepang. Di kota niaga tersebut, Zoelkifli bertemu dengan Mayor Ogi, serdadu Jepang berwajah Eropa, serta pandai berbahasa Perancis. Selama di Kota Singa tersebut Zoelkifli tidur satu kamar dengan Mayor Ogi. Dari dia jugalah putra Tapanuli Selatan kelahiran Aceh tersebut banyak belajar ilmu intelijen. Harap diketahui, akhir 1944 – awal 1945, semenanjung Malaya masih dalam kekuasaan penguasa militer Jepang.
Bagaimana kehebatan Mayor Ogi dalam soal intelijen? Menurut cerita Zoelkifli pada Amir Sjamsoedin, sesama siswa Seien Dojo Tangerang, hanya dengan psy war, alias tanpa perang, pasukan tentara Perancis yang menduduki Vietnam, dapat ditundukkan!
Markas Besar Tentara Kekaisan Jepang di Jawa telah menyetujui dibentuknya pasukan gerilya (yugekitai). Untuk keperluan tersebut harus dididik dulu para DanTon Infanteri biasa menjadi DanTon Yugekitai (Shodancho Yugekitai).
Pendidikan para calon DanTon Yugekitai untuk pertama kali diadakan di Lembang, Bandung. Kepala Pendidikan buat para calon DanTon Yugekitai adalah Kapten Yanagawa Motosige. Beberapa waktu kemudian pusat pendidikan dipecah ketiga tempat, Lembang (Jabar), Salatiga (Jateng) dan Malang (Jatim).
Ketiga kota tempat tersebut  Lembang, Salatiga, Malang, berada di daerah pegunungan berhawa sejuk. Tempat semacam itu cocok digunakan sebagai tempat pendidikan militer, lebih-lebih buat latihan perang gerilya.
Lulusan pendidikan ini, para DanTon Yugekitai (Shodancho Yugekitai) di ketiga kota tersebut kemudian disebar ke daerah-daerah untuk dijadikan instruktur di Pusat Latihan Pemuda (Seinen Dojo) . Lulusan Salatiga misalnya dikirim ke kota-kota Pekalongan, Tegal, Semarang, Jepara, dan di kota-kota lain di Jateng. Shodancho Yugekitai lulusan Malang disebar di kota-kota Jatim, terutama di kota-kota di sepanjang pantai utara Jawa. Shodancho Yugekitai lulusan Lembang juga disebar ke kota-kota di Jabar. Demikianlah akhirnya seluruh kota-kota besar di pulau Jawa memiliki pasukan gerilya. Mereka tetap pendukung dan bagian dari PETA, tentara sukarela Pembela Tanah Air. Harap dicatat, namanya tentara sukarela! Jadi ya nggak ada gaji … tapi kalau nasi bungkus,… iya laahhh! Dalam keadaan darurat, seringkali nasi bungkus disediakan oleh dapur umum. Dananya dari masyarakat! Penguasa militer Jepang mana punya fulus …Kalau nasi bungkus Padang, nyaman man! Tapi itu nasi bungkus dengan lauk-pauk seadanya. Bungkusnya pun bukan daun pisang, tapi daun pohon kayu jati, yang kasar, diambil dari hutan di batas desa.
Jadi para Shodancho Yugekitai (PETA) akhirnya tersebar ke seluruh Jawa. Mereka itulah cikal-bakal militer Indonesia.
Sejarah terus bergulir memasuki babak baru. Jepang bertekuk lutut pada pasukan Sekutu pimpinan Jendral Mac Arthur dari AS pada tanggal 15 Agustus 1945 pukul 12.00 waktu Tokyo. Saat itu Kaisar Jepang Tenno Heika mengucapkan pidato yang intinya: Jepang menyerah kepada Sekutu tanpa syarat. Pengakuan secara lisan kemudian disusul dan diperkuat pada upacara penandatangan dokumen Instrument of Surrender di kapal perang Amerika Serikat Missouri yang merapat di Teluk Tokyo pada tanggal 2 September 1945 (Soebagio IN/Sudiro, Pejuang Tanpa Henti/ PT Inti Idayu Press Jakarta1981/hal 134). Perang Dunia II berakhir.
Saat-saat menjelang masa peralihan kekuasaan dari Jepang ke Sekutu, awal Agustus 1945, Zoelkifli menyusup dari Malaya kembali ke Indonesia. Untuk beberapa waktu Zoelkifli tinggal di Palembang.
Setelah mendengar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, Zoelkifli segera mengumpulkan kawan-kawan seperjuangannya. Mereka membahas dan menyusun program untuk mendirikan badan intelijen. Sebab dia yakin, negara tanpa intelijen, adalah mustahil. Dari Palembang mereka berangkat ke Jakarta untuk bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR), yang para anggotanya campuran, para anggota Laskar Rakyat dan para mantan pasukan PETA. Untuk mendirikan badan intelijen Indonesia, Zoelkifli cs berintegrasi dan bersinergi pada BKR, suatu cikal-bakal TNI.
Dari Palembang Zoelkifli ke Jakarta sekitar medio Agustus 1945. Sebetulnya Zoelkifli diberi nasehat oleh salah seorang perintis kemerdekaan Indonesia, AK Gani, putra kelahiran Sumatra Barat, agar Zoelkifli jangan ke Jakarta dulu. Alasannya, negara masih dalam situasi kritis dan tak menentu. Namun Zoelkifli tetap pada pendiriannya: Ke Jakarta … aku kan kembali!
Dari Palembang ke Jakarta Zoelkifli cs lewat darat, kemudian menyeberang Selat Sunda dan masuk Banten. Di daerah ini Zoelkifli cs bertemu dengan sejumlah pemuda mantan PETA, antara lain bernama Ateng Djauhari.
Di Jakarta dia sempat bertemu dengan Yanagawa dan Yamazuki, kedua serdadu Jepang tersebut, bekas instrukturnya. Keduanya pendukung perjuangan bangsa Indonesia, merebut kemerdekaannya.
Rekan-rekannya yang diajak untuk mendirikan Badan Intelijen Pertama, sejak dari Palembang, adalah para mantan anggota “Perang Rahasia Jepang” (Beppan). Mereka antara lain Soetjarno, Jahja Jasin, dan mantan PETA, Soerjadi. Orang yang disebut terakhir, sampai awal Mei 2011, masih hidup dan tinggal di Jakarta. Terakhir menjabat Redaktur Pelaksana Buletin Akrab, majalah format buku dan bersifat non-profit. Media massa cetak tersebut terbit di Jakarta. Pada Mei 2011 beliau berusia sekitar 85 tahun, dalam keadaan “sakit tua”.
Di Jakarta, Zoelkifli cs mengumpulkan semua rekan-rekannya, antara lain mantan siswa Seinen Dojo Tangerang. Mereka itu adalah Daan Mogot, Kemal Idris, dan Amir Sjamsoedin.
Ketika PETA dibubarkan, pimpinan militer Jepang memerintahkan agar semua persenjataan mantan anggota Peta diserahkan dan dikumpulkan di markas daidan-daidan (bataliyon) dan para anggota Peta diminta pulang ke rumah masing-masing. Tetapi tidak semua mantan anggota PETA mematuhi perintah militer Jepang. Oleh sebab itu para mantan anggota Peta masih banyak yang memiliki persenjataan milik militer Jepang dan milik militer Belanda. Mereka itulah yang kemudian menjadi anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR), yang sifatnya bukan pasukan militer resmi. Personil BKR juga banyak yang berasal dari Laskar Rakyat.
Pada saat masa peralihan kekuasaan dari kekuasaan militer Jepang ke masa Indonesia merdeka, PETA harus bertempur melawan sisa-sisa serdadu Jepang yang terpencil, buta situasi, dan bandel. Mereka tak kenal menyerah kepada Sekutu dan … kepada siapa saja!
“Dalam keadaan apa pun, intelijen itu penting, dan harus ada”, ucapan Zoelkifli yang selalu terngiang-ngiang di telinga rekan-rekanya, cerita Amir Sjamsoedin. Badan itu harus segera dibentuk. Maka lahirlah cikal-bakal Badan Intelijen Indonesia, walaupun saat itu Tentara Keamanan Rakyat (TKR), militer Indonesia resmi yang pertama, belum lahir! Badan intelijen Indonesia yang pertama tersebut dinamakan “Badan Istimewa” dan menjadi bagian dari Badan Keamanan Rakyat (BKR) Pusat. Badan Istimewa (BI) yang dapat dikatakan sebagai organisasi intelijen pertama di Indonesia.
BKR Pusat berkedudukan di Jakarta dipimpin oleh Kafrawi, mantan Daidancho (DanYon) PETA Jakarta, dan dibantu oleh Sutalaksana (Ketua I), Latief Hendraningrat (Ketua II), Arifin Abdurrachman dan Machmud serta Zulkifli Lubis dipercayakan sebagai pimpinan pusat Badan Keamanan Rakyat.  BKR Pusat dibentuk oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Saat itu KNIP dipimpin oleh Kasman Singodimedjo, dan wakilnya Latuharhary. Disinilah Zulkifli Lubis mulai mempersiapkan pembentukan badan intelijen yang diberi nama Badan Istimewa. Zulkifli Lubis, Sunarjo, Juwahir dan GPH Djatikusumo membidani lahirnya badan itu. “Badan Istimewa”, atau Badan Intelijen Indonesia pertama ini, berkantor di Pejambon, Jakarta Pusat.
Kegiatan pendidikan intelijen telah dimulai sejak awal revolusi fisik pada tahun 1945. Pendidikan intelijen tersebut telah dilaksanakan oleh berbagai instansi dan kesatuan yang membutuhkan perlunya fungsi intelijen di dalamnya. Adapun wadah bagi pendidikan intelijen pada waktu revolusi fisik 1945 berada di dalam wewenang Kementerian Pertahanan RI dan badan yang mengelola pendidikan intelijen tersebut adalah Staf Pendidikan “A” Kementerian Pertahanan.
Karena didorong oleh kebutuhan yang mendesak maka segera dibentuk “kursus kilat” intelijen pertama di Indonesia. Lokasi kursus meminjam gedung Sekolah Pelayaran di daerah Pasar Ikan, Jakarta Utara. Pimpinan Sekolah Pelayaran Pasar Ikan mengijinkan, berkat usaha anggota PETA Oentoro Koesmardjo dan Soerjadi. Para siswanya diambil dari giyugun, atau mantan anggota PETA dari seluruh Jawa serta bekas informan Jepang di Indonesia.
Jumlah siswa 40 orang. Lama pendidikan hanya seminggu! Pelajaran yang diberikan antara lain adalah: aplikasi intelijen, informasi, sabotase, dan psywar. Penyelenggaraan kursus intel pertama ini, Zoelkifli dibantu oleh Soenarjo, Djatikoesoemo dan Joewahir, para cendekiawan dan perwira muda. Kapan “kursus kilat” intel itu terjadi? Zoelkifli lupa! Tetapi menurut perkiraan dia, antara antara 17 Agustus 1945 – 5 Oktober 1945 (Tempo/29 Juli 1989).
Ke-40 pemuda mantan anggota PETA yang mendapat “kursus kilat” intel tersebut dipanggil lewat BKR Pusat. Alamat-alamat mereka telah lama disimpan oleh Zoelkifli, yang adalah, siswa terbaik jebolan Seinen Dojo Tangerang.
Dengan bekal pengetahuan intelijen yang terbatas para agen BI kemudian disebar ke berbagai wilayah di Jawa dengan tugas pertama untuk menggalang dukungan terhadap kemerdekaan RI sekaligus mendapatkan informasi mengenai akitivas musuh. Organisasi ini bertugas mendapatkan sebanyak mungkin informasi yang diperlukan oleh tentara nasional dalam menghadapi pasukan Belanda yang mencoba kembali menduduki Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia II.
Organisasi intelijen lain yang dibentuk pada periode ini merupakan bagian dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Organisasi ini dibentuk di bulan Oktober 1945 dan dipimpin oleh Dr. Soetjipto, seorang dokter yang menerima pelatihan kemiliteran PETA, dan kemudian bekerja sebagai pegawai kesehatan PETA di Jakarta. Namun organiasi ini hanya bertahan dalam waktu yang singkat; salah satunya karena tidak efektif dalam menjalankan fungsinya, selain juga karena Soetjipto sendiri ditahan pada bulan Juli akibat diduga terlibat dalam kasus kudeta 3 Juli 1946.
Badan Intelijen Indonesia tahun 1945 – 1949 memang selalu berganti nama. Hal itu disebabkan karena situasi dan kondisi negara yang terus bergerak cepat dan serba darurat. Pembentukan bidang aparatur negara yang lain juga demikian, serba darurat dan cepat, dengan anggaran yang nyaris nol!
Berikutnya pendidikan intelijen dimulai sejak tanggal 29 Nopember 1945 dengan mengambil tempat di Rowo Seneng ( ± 14 Km dari Temanggung) Jawa Tengah dengan menunjuk Kapten Harwoko sebagai Komandan yang pertama. Untuk selanjutnya dengan melihat kondisi dan perkembangan serta situasi keamanan pada waktu itu, maka akhir Januari 1946, tempat pendidikan dipindahkan dari daerah Rowo Seneng ke daerah Plaosan (± 4 Km sebelum Sarangan dari arah Magetan) Jawa Timur.
Di akhir tahun 1945 lalu terdapat pula pendidikan intelijen sebagai kelanjutannya yaitu PMC (Penyelidik Militer Khusus) yang terletak di Desa Pingit Yogyakarta.  Penyelidik Militer Khusus  di bawah pimpinan Kolonel Zulkifli Lubis, dimana Sutopo Yuwono termasuk di dalamnya. Selama beberapa saat, fungsi Penyelidik Militer Khusus ini sempat tumpang tindih dengan lembaga bentukan Soetjipto sebelum ia ditahan. Penahanan Soetjipto menyebabkan kendali operasional untuk kegiatan intelijen di masa revolusi lebih banyak dijalankan oleh Lubis.
PMC bertanggung jawab langsung kepada Presiden Soekarno. Sesudah TKR dibentuk oleh Pemerintah RI yang pertama, menggantikan BKR, maka PMC dimasukkan ke dalam formasi Markas Besar Tentara (MBT). Selain PMC masih ada lembaga intelijen militer, namanya Bagian I MBT. Selanjutnya PMC diganti menjadi FP (Field Preparation). Tugas khusus FP di daerah-daerah.
Zulkifli Lubis juga merekrut sejumlah pemimpin lascar sebagai agennya di daerah-daerah. Bahan Zulkifli Lubis melakukan banyak manuver intelijen militer dan politik. Salah satunya adalah menggalang dan merekrut penjahat yang ada di Nusakambangan untuk keperluan organisasi intelijen.
Karya besar Kolonel Zoelkifli Loebis sebagai seorang intelijen antara lain dibuktikan dengan dilancarkannya sejumlah ekspedisi atau operasi intelijen pada akhir tahun 1945 ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali dan Nusa Tenggara. Bahkan juga ke luar negeri, antara lain ke Singapura. Tujuan operasi adalah mengabarkan dan menyadarkan penduduk di daerah dan masyarakat dunia bahwa, Indonesia sudah merdeka 100 persen. Oleh sebab itu masyarakat Indonesia harus mendukung, mempertahankan, dan membela tegak-kuatnya Negara Republik Indonesia.
Kolonel Zoelkifli Loebis sebagai seorang intelijen antara lain dibuktikan dengan dilancarkannya sejumlah ekspedisi atau operasi intelijen pada akhir tahun 1945 ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali dan Nusa Tenggara. Bahkan juga ke luar negeri, antara lain ke Singapura. Tujuan operasi adalah mengabarkan dan menyadarkan penduduk di daerah dan masyarakat dunia bahwa, Indonesia sudah merdeka 100 persen. Oleh sebab itu masyarakat Indonesia harus mendukung, mempertahankan, dan membela tegak-kuatnya Negara Republik Indonesia.
Operasi tersebut mempunyai nilai strategis dan taktis, karena pada saat itu, pasukan militer Belanda telah menduduki kembali sejumlah daerah Indonesia, dan berniat mendirikan negara-negara separatis. Operasi Militer I Intelijen tersebut:
  1. Ke Sumatera dilakukan a.l. oleh MS Rasjid
  2. Ke Kalimantan dilakukan a.l. oleh Muljono dan Cilik Riwut
  3. Ke Sulawesi dilakukan a.l. oleh Warsito dan Wolter Monginsidi
  4. Ke Maluku dilakukan a.l. oleh Ibrahim Saleh, Yos Sudarso, Muljadi, Moerwanto (semua dari BKR Laut Semarang), Isbianto, Anton Papilaya. 
  1. Ke Nusa Tenggara dilakukan a.l. oleh Soerjadi alias Paiman
  2. Ke Bali dilakukan a.l. oleh Bambang Soenarjo dan Jahja Jasin.
Penyelundupan senjata dari Singapura pun dilakukan. Kegiatan ini dilakukan PMC di Sumatra dan Kuala Enoch atau Kuala Tungkal. Penyelundupan itu juga dilakukan untuk membantu operasi di Kalimantan di bawah pimpinan Muljono dan Tjilik Riwut.
Dengan segala kekurangannya, antara lain logistik dan persenjataan, juga banyaknya hambatan dan penderitaan, kenyataannya, operasi intelijen pertama tersebut bisa dibilang sukses. Para PPF berhasil mengobrak-abrik rencana pasukan militer Belanda yang berniat mendirikan negara-negara boneka di wilayah negara Republik Indonesia. Memang harus diakui, dengan segala kekurangannya, sejumlah operasi intelijen tempur tersebut kurang berhasil. Namun secara umum, operasi-operasi “di bawah tanah” tersebut sangat membantu mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Lebih dari itu operasi tersebut berhasil membina ribuan pemuda patriotis dan militan. Mereka adalah kader-kader penerus perjuangan bangsa yang tersebar di seluruh Indonesia.
Tugas para Penyelidik Militer Chusus (PMC) dan Field Preparation (FP) memang luas dan dalam. Artinya, tugas PMC/FP tidak hanya bertempur melawan musuh, terbatas pada sektor hankamnas, tetapi juga meliputi pembinaan, penjagaan, dan kemajuan perikehidupan masyarakat luas. Jadi tugas mereka bisa meluas ke sektor-sektor politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Inilah ciri khas militer Indonesia yang lahir dari rakyat untuk rakyat. Oleh sebab itu jiwa militer Indonesia tidak sama dengan jiwa militer negara lain. Itulah fakta sejarah yang tak terbantahkan.
Maka pada tahun-tahun berikutnya muncul tokoh-tokoh seperti Frans Seda dan El Tari.
Intelijen Lewat Seni Budaya.
Salah satu tugas PMC/FP yang tidak banyak diketahui masyarakat luas adalah, tugas propaganda dan penerangan. Untuk tugas itu sejumlah anggota PMC/FP “ditanam” di sejumlah media masa cetak dan stasiun radio. Ketika itu belum ada televisi. Sebagai contoh, Mayor Usmar Ismail pernah menjadi pengasuh Mingguan Patriot dan Majalah Arena. Sampai sekarang publik mengenal Usmar Ismail sebagai “orang film”. Pemancar Radio di daerah banyak pula ditempatkan tenaga PMC/FP. Kemudian media masa tradisional, antara lain grup Dagelan Mataram, Kethoprak, dan Sandiwara Keliling juga ditempatkan sejumlah tenaga PMC/FP.
FP 0017 yang berpusat di Yogyakarta pernah mendirikan grup Dagelan Mataram. Para pelawaknya yang populer antara lain terdapat nama Sujadi, Siwi, Sarpin, dan Jayengdikoro. FP 003 yang berkedudukan di Garut Jawa Barat juga pernah mendirikan sandiwara, dipimpin oleh Letnan Hasan, dan salah seorang primadonanya adalah Sofia yang kemudian menjadi isteri bintang film WD Mochtar.
Bintang ayu dan pemain watak itu kemudian bersama-sama Kapten Suryo Sumanto mendirikan Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi). Sementara itu anggota PPF yang lain, Djamaludin Malik pernah mendirikan sandiwara keliling Pancawarna. Djamaludin Malik memimpin sandiwara keliling tersebut sebenarnya hanya sebagai “kamuflase” saja atau sebagai “cover”. Tugas sebenarnya adalah intelijen. Kemudian hari publik mengenalnya juga sebagai “orang film”.
Selama memimpin sandiwara keliling Pancawara, Djamaludin bersama rombongan sandiwaranya berhasil menyusup ke daerah-daerah yang masih diduduki pasukan mililter Belanda/NICA, mulai dari Surabaya sampai ke Jakarta. Itu terjadi pada periode 1946 – 1948.
Markas para anggota FP yang seniman itu, pada tahun 1946-1947 pernah berkantor di Jl Sumbing No. 5 Yogyakarta. Itulah bukti bahwa tugas-tugas para FP/PPF tidak hanya bertempur, namun juga bergiat di berbagai lapangan kehidupan masyarakat. Dan itulah makna kata ” dalam dan luas” istilah Intelijen.
Dengan berperpindahnya ibukota Negara Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946 berdampak pada pindahnya segala kegiatan di berbagai Kementerian ke Yogyakarta, termasuk Kementerian Pertahanan. Salah satu bagian pada Kementerian Pertahanan yang memiliki tugas membuat laporan kritis mengenai sesuatu keadaan dan analisisnya yang tepat untuk keberhasilan operasi intelijen adalah Bagian B (bagian intelijen).
Pada tanggal 4 April 1946 pukul 10.00 WIB, Menteri Pertahanan, Mr. Amir Sjarifuddin, memerintahkan dr. Roebiono, seorang dokter di Kementerian Pertahanan Bagian B untuk membentuk badan pemberitaaan rahasia yang disebut Dinas Code. Untuk mendukung pelaksanaan Dinas Code dalam mengkomunikasikan berita rahasia, pada saat yang sama dibangun sarana telekomunikasi berupa pemancar radio telegrafi. Saat itu, operasional Dinas Code menggunakan suatu sistem yang sangat sederhana dalam bentuk buku kode yang dikenal “Buku Code C” terdiri dari 10.000 kata (dibuat sebanyak 6 rangkap) diawali untuk hubungan komunikasi pemberitaan rahasia antara Pemerintah RI di Yogyakarta dengan para pimpinan nasional di Jawa Barat (Tasikmalaya, Garut, Karawang, Banten dan Cirebon), Jawa Timur (Jember, Jombang, Kediri dan Mojokerto), Jawa Tengah (Solo, Purwokerto, Tegal) dan Sumatera (Pematang Siantar dan Bukit Tinggi) dan Jakarta.
Pada saat itu, beberapa instansi Pemerintah RI selain Kementerian Pertahanan yang menggunakan jasa Dinas Code adalah Markas Besar Tentara (M.B.T), Tentara Rakyat Indonesia (T.R.I) Sumatera, Panitya Oeroesan Pengembalian Orang Djepang Dan Asing (P.O.P.D.A), Panitya Gentjatan Senjata, Divisi I, Gubernur Sumatera. Selain melaksanakan tugas pengamanan berita rahasia, Dinas Code juga bertugas melakukan pemantauan terhadap berita-berita dalam negeri dan luar negeri yang diperlukan oleh Kementerian Pertahanan Bagian B.
Pada bulan April 1946, cabang PMC di Purwakarta mendapat reaksi yang sengit dari pihak tentara, karena dianggap melakukan serangkaian penangkapan dan penyitaan yang semena-mena. Keberatan itu muncul pula di berbagai daerah lain dan menyebabkan PMC dibubarkan oleh Markas Besar Tentara Keamanan Rakyat pada tanggal 3 Mei 1946.
Pendidikan intelijen yang dimulai sejak tanggal 29 Nopember 1945 seperti telah disebutkan di bagian depan, telah berlangsung selama ± 6 (enam) bulan dan ditutup dengan melalui suatu upacara resmi dengan melantik 45 orang siswa menjadi letnan dua. Pelaksanaan upacara pelantikan dilaksanakan pada tanggal 10 Juni 1946 bertempat di lapangan Kridosono Yogyakarta yang dipimpin oleh Menteri Muda Pertahanan RI Bapak Arudji Kartawinata dengan memberikan surat pengangkatan kepada semua siswa, yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertahanan RI. Selanjutnya para perwira intelijen yang telah diangkat sebanyak 45 orang tersebut, di dalam sejarah perjuangan bangsa dan negara, merupakan modal utama di dalam pelaksanaan pengisian jabatan-jabatan penting baik di lingkungan TNI AD, ABRI maupun negara yang memerlukan adanya fungsi intelijen di dalam lingkungannya.
Kemudian beberapa bulan berikutnya, Zulkifli dan Sutjipto (pemimpin Penyelidik Umum Militer) terlibat dalam Peristiwa 3 Juli 1946, yaitu percobaan perebutan kekuasaan yang dimotori oleh Mayor Jenderal Sudarsono, Kepala Divisi III Yogyakarta. Sutjipto tertangkap, akan tetapi sebaliknya Zulkifli Lubis berhasil lolos.
Akibat kecerdikan Zulkifli Lubis, ia bisa menghapus jejak setelah melakukan aksi dan mendapat pemberian grasi Presiden Sukarno atas keterlibatannya dalam Peristiwa 3 Juli 1946.
Sesuai sikon, semua tatanan aparatur negara terus disempurnakan. Maka atas persetujuan Presiden Soekarno, Perdana Menteri Amir Sjarifuddin dan Panglima Besar Sudirman, status FP ditingkatkan peranannya dan diintegrasikan ke satu badan intelijen negara. Badan tersebut bernama Badan Rahasia Negara Indonesia disingkat Brani, Zulkifli Lubis kemudian mendapat kepercayaan membentuk Badan Rahasia Negara Indonesia (Brani) dan menjadi ketuanya di bulan Juli 1946. Sejak itu maka FP menjadi bagian dari Brani.
Untuk merekut anggota Brani dan, Zulkifli menggunakan sekitar 36 pemuda dari berbagai latar belakang etnik lulusan Pendidikan intelijen pertama ini lalu menjadi anggota Badan Rahasia Negara Indonesia (Brani). Selain itu juga direkrut sebagian besar pelajar, bekas Seinen Dojo maupun Yugeki diantaranya Bambang Supeno, Kusno Wiwoho, Dirgo, Sakri, Suparto dan Tjokropranolo. Lembaga Badan Rahasia Negara Indonesia (Brani) lalu ini menjadi payung gerakan intelijen dengan beberapa unit ad hoc, bahkan operasi luar negeri. Brani sendiri merupakan semacam payung bagi unit-unit khusus yang ada pada divisi tentara di berbagai wilayah di Jawa, seperti Kontra Intelijen di Jawa Timur dan Penyiapan Lapangan (Field Preparation). Field Preparation bertujuan untuk melakukan penyusupan ke wilayah-wilayah yang dikuasai Belanda. Mereka menjalankan fungsi intelijen tempur sekaligus intelijen teritorial.
Selain di Jawa, Penyiapan Lapangan juga dikirim ke daerah-daerah lain di luar Jawa. Salah satu grup dalam Brani secara khusus bertugas melakukan operasi ke luar negeri. Target utama adalah Singapura dalam rangka mendapatkan senjata dan obat-obatan. Lubis mendapatkan dana untuk membiayai operasi dan mendapatkan barang-barang tersebut antara lain dari pengusaha Tegal yang diberi hak ekspor ke Singapura, selain juga dari hasil menjual opium yang dititipkan Belanda ke orang-orang China di Jakarta. Meskipun dana tersebut tidak mencukupi, kontribusi agen-agen intelijen tersebut cukup berarti bagi usaha mempertahankan kemerdekaan.
Khusus Operasi Militer I ke Nusa Tenggara yang antara lain dilakukan oleh Soerjadi awal tahun 1947, telah berhasil membina ratusan pemuda penerus perjuangan bangsa menegakkan dan membela Negara RI. Selain itu juga pada tahun 1947, agen-agen intel tersebut juga beroperasi ke wilayah-wilayah lain seperti Hongkong, Thailand, dan Burma.
Komunisme Menyusup ke Brani
Dalam perkembangannya, Kabinet Presidensiil di dalam mana kedudukan Presiden RI langsung memimpin kabinet, digeser oleh kekuatan politik. Pemimpin pemerintahan bukan lagi Presiden RI tetapi dipimpin oleh Perdana Menteri. Ini artinya, kekuasaan Presiden Soekarno dipretheli atau dikurangi. Presiden RI bukan lagi Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, tetapi hanya menjadi Kepala Negara, alias hanya “tukang stempel”. Perdana Menteri (PM) Amir Sjarifuddin akhirnya yang memimpin negara. Saat itulah situasi dan kondisi negara mulai retak, tidak lagi kompak. Karena sejumlah partai politik mulai menunjukkan nafsunya untuk bisa menguasai kabinet atau pemerintahan.
Selain sebagai PM, Amir Sjarifuddin juga merangkap sebagai Menteri Partahanan. Maka Amir Sjarifuddin yang berhaluan kiri (komunisme) tersebut mulai ancang-ancang untuk merebut kekuasaan di Indonesia.
Pada saat Lubis berusaha mendapatkan pengaruh dan kepercayaan sebagai pemimpin intelijen, Menteri Pertahanan Amir Syarifudin –seorang sosialis kiri— berambisi untuk mengambil alih kontrol intelijen dan menempatkan intelijen di bawah struktur Kementerian Pertahanan. Ambisi ini memperkuat pola Interaksi Intelijen-Negara yang berkarakter Militerisasi Intelijen. Syarifudin kemudian membentuk Badan Pertahanan B yang dipimpin oleh seorang komisaris polisi.
Akibatnya mudah ditebak. Tidak ada kekompakan antara Sjarifuddin dengan Zoelkifli sebagai Pimpinan Brani. Pada tanggal 30 April 1947 Sukarno setuju untuk menyatukan semua unit intelijen di bawah Kementerian Pertahanan berdasarkan SK. Menteri Pertahanan No. A/126/1947.  Akibatnya beberapa hari kemudian Brani dan Badan Pertahanan B dibubarkan dan sebagai gantinya dibentuk lembaga bernama Bagian V di bawah Kementerian Pertahanan yang menjalankan fungsi sebagai koordinator lembaga intelijen. Lembaga ini sering disebut sebagai KP V. Dengan adanya Brani difusikan dengan Bagian B menjadi Kementerian Pertahanan KP (Kementerian Pertahanan) V otomatis berada di bawah kendali Sjarifuddin. Siapa Kepala KP V? Dia adalah kader komunis yang ditunjuk langsung oleh Amir Syarifudin, bernama Abdulrachman, mantan Letnan I Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Dan Zoelkifli? Menjadi wakilnya! Saat itu intelijen mulai berada di tangan Amir Sjarifudin. Politik komunisme mulai bisa berkiprah di badan intelijen Indonesia.
Struktur KP V relatif sederhana— terdiri dari tiga unit yang disebut Grup A, Grup B, dan Grup C, dan memiliki lima belas staf yang dibagi dalam desk militer, politik, dan ekonomi. Namun, dengan sumber daya dan kapasitas yang terbatas, tidak banyak yang dapat dilakukan oleh lembaga intelijen ini.
Group A adalah unit yang memiliki fungsi paling signifikan, dipimpin langsung oleh Abdurahman. Sebagian besar anggotanya pernah mendapat pelatihan dari tentara dan intelijen Jepang. Kelompok ini dianggap lebih berorientasi pada tindakan (action-oriented) dibanding yang lain.
Grup B terdiri dari kaum nasional yang berlatar belakang polisi, jaksa, maupun pangreh praja (aparat pemerintahan kolonial). Beberapa diantaranya adalah mantan anggota dinas intelijen politik Belanda (PID).
Grup C beranggotakan aktivis intelijen yang cenderung beraliran kiri dan berafiliasi pada Amir Syarifuddin dan PKI. Kelompok ini cenderung tertutup sehingga tidak banyak yang diketahui mengenai kelompok ini. Ketiga kelompok ini cenderung bersifat konspiratorial dan tertutup satu sama lain. Meskipun berada di bawah Departemen Pertahanan, tidak cukup jelas diferensiasi fungsi antara setiap group, dan nantinya justru muncul ketegangan-ketegangan politik antara ketiganya.
Dengan terbentuknya Kementerian Pertaanan KP V ini selanjutnya Dinas Code diubah menjadi Bagian Code KP-V. Bagian code KP-V semula berkantor di dua tempat (Jalan Gondokusuman dan Jalan Batonowarso 4) kemudian menyatu dalam satu kantor yang beralamat di Jalan Batonowarso 32 yang cukup memadai dalam pelaksanaan tugasnya. Dan setelah fusi kelembagaan Bagian Code KP V jumlahnya menjadi 34 orang, karena ada tambahan tenaga dari Badan Rahasia Negara Indonesia (B.R.A.N.I).
Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melakukan Agresi Belanda I yang menimbulkan banyak pengorbanan, baik fisik maupun non fisik termasuk terganggunya hubungan dengan luar negeri. Untuk menjaga agar hubungan RI dengan luar negeri tidak terputus, maka diutus Duta Besar pertama kali untuk India beserta staf Dinas Code untuk menangani pengamanan berita rahasia. Pada tanggal 15 Agustus 1947 untuk pertama kalinya diterima berita dari Perwakilan RI di New Delhi dan sejak itulah hubungan komunikasi berita rahasia antara Perwakilan RI di New Delhi dan Pemerintah RI di Yogyakarta berjalan dengan baik melalui PTT dan RRI yang kemudian meluas dengan Perwakilan RI di Singapura, London, Cairo, dan PBB (Lake Success).
Pada masa revolusi ini, Militerisasi Intelijen juga ditopang oleh proses pelatihan intelijen. Pelatihan di Kaliurang. Pendidikan AP (Aanvullings Paedagogie Intelijen) dan WP (Wordings Paedagogie Intelijen) yang bertempat di Kaliurang Yogyakarta, misalnya, memberikan dasar-dasar mengenai intelijen tempur, penyiapan medan, kontraintelijen, intelijen teknis, dan intelijen domestik.
Departemen Pertahanan mengadakan pelatihan intelijen di Yogyakarta untuk waktu tiga tahun; namun hanya terdapat satu angkatan dengan 40-50 anggota yang mengikuti kursus ini.
Sementara itu, kursus intelijen yang diselenggarakan oleh Departemen Pertahanan di Sarangan memberikan pelatihan khusus mengenai masalah-masalah internasional dan operasi luar negeri, terutama bagi mereka yang akan bekerja di Kementerian Luar Negeri.
Zoelkifli tidak tinggal diam. Dengan caranya sendiri, dia menghimpun semua FP dan memperluas wilayah operasi kerja mereka. Terutama daerah-daerah yang strategis. Tentu saja semua operasi kerja FP tetap di bawah kendali Zoelkifli.
Tahun 1947-1948 pergolakan politik meningkat dan panas. Untuk memenangkan ideologinya, orang-orang politik mulai mengambil cara kekerasan. Mereka saling menculik lawan politiknya. Pertarungan politik tidak terbatas hanya di ruang DPR, tetapi sampai di luar gedung DPR. Setelah diculik banyak pula yang dihabisi riwayatnya.
Pada saat Perjanjian Renville (Kapal USS Renville, 8 Desember 1947 – 17 Januari 1948) untuk memfasilitasi komunikasi rahasia antara Delegasi RI dengan Pemerintah Pusat, Yogyakarta, selama perundingan RI-Belanda di Kapal USS Renville ditugaskan 2 (dua) orang Code Officer (CDO)/Petugas Sandi yaitu Letnan II Marjono IS dan Letnan II Padmowirjono. Sedangkan 2 (dua) orang CDO, Letnan II Oetoro Kolopaking dan Letnan II Parhadi Utomo, bekerja di darat (Jakarta) yang berkantor di bekas Gedung Proklamasi Jl. Pegangsaan Timur no.56. Sistem sandi yang digunakan 3 (tiga) jenis yaitu Buku C (Besar), Sistem Transposisi, dan One Time Pad (OTP).
Jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin pasca perundingan Renville pada bulan Februari 1948 yang diikuti dengan pembubaran KP V, memperkuat interaksi Militerisasi Intelijen.
Setelah peristiwa Pemberontakan Komunis di Madiun, atau sering disebut Madiun Affair meledak, dan Amir Sjarifudin, hilang dari peredaran ranah politik.
Dengan dibubarkannya KP V setelah itu Zulkifli Lubis mengambil alih kepemimpinan intelijen, namun bukannya mengembangkan unit intelijen dalam struktur Departemen Pertahanan, ia justru mengembangkan kemampuan intelijen taktis dalam militer. Di tahun yang sama Zulkifli Lubis menjabat sebagai Kepala Intelijen Militer, meskipun pada saat itu struktur intelijen dalam militer tidak jelas. Pada masa ini, tiap-tiap kesatuan tentara yang cukup besar memiliki unit dan organisasi intelijen masing-masing.
Para  FP kemudian ditempatkan pada Staf I Markas Besar Komando Djawa (MBKD) sampai datangnya agresi Belanda ke Yogyakarta tanggal 19 Desember 1948. 
Sebelum mengawali Agresi Militer Kedua pada tanggal 19 Desember 1948, Spoor sudah mengumpulkan informasi mengenai kekuatan militer Indonesia, strategi serta rencana diplomatik yang akan dilakukan oleh para pemimpin Republik. Sebagaimana dituturkan George McTurnan Kahin dalam Southeast Asia: A Testament, karena keterbatasan CDO dan kurangnya kesadaran beberapa pemimpin politik dan militer untuk mengamankan komunikasinya, maka beberapa komunikasi strategis perjuangan Indonesia berhasil disadap oleh Belanda.
Sebelum Penyerangan Belanda ke Kota Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948, di pihak Republik Indonesia Presiden Soekarno memerintahkan 2 (dua) pengiriman kawat. Satu kawat dikirimkan ke Bukittinggi yang isinya memerintahkan Mr. Sjarifoeddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Sumatera. Sedangkan kawat kedua dikirimkan kepada Mr. A.A. Maramis di New Delhi yang memerintahkan Pembentukan Exit Government di New Delhi jika Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Sumatera tidak berhasil.
Pada Clash II, dimana perang antara militer Indonesia melawan militer Belanda untuk yang kedua kalinya. Atau juga dikenal sebagai Perang Kemerdekaan ke-2. Serangan mendadak pasukan militer Belanda ke Yogya, membuat kacau-balau Staf I MBKD Pusat di Yogya. 
 Pada Agresi Militer II yang terjadi pada tanggal 19 Desember 1948, Pihak Belanda mendahulukan serangan atas sasaran komunikasi dalam pendudukannya di Yogyakarta sehingga para CDO menghancurkan seluruh dokumen termasuk arsip-arsip sejak Bagian Code berdiri 4 April 1946 agar tidak sampai jatuh ke tangan Belanda sebelum meninggalkan tempat tugasnya. Semua anggota dan pimpinan Staf I MBKD mengungsi ke luar kota, yaitu ke Desa Sruggo, masuk wilayah Imogiri, Yogya Selatan. Sebagian para FP menggabung ke Imogiri, tetapi para anggota FP yang lain, yang tidak tahu ke mana pergi “boss-nya”, segera bergabung ke pasukan TNI. Pada waktu itu pasukan TNI dikenal dengan nama Wehr Kreise (WK). Di kala itu pasukan TNI/WK terbagi menjadi beberapa Sub Wehr Kreise (SWK). Sedangkan para CDO menyebar ke berbagai daerah dr. Roebiono bersama seorang CDO ke Jawa Barat, beberapa orang CDO pindah ke sebuah desa kecil di tepi barat Kali Progo di kaki Pegunungan Menoreh yang bernama Dekso dan berusaha untuk bergabung dengan salah satu kesatuan yang mempunyai hubungan kode, setidaknya pemancar radio (PHB). Ternyata tidak jauh dari Dekso, di desa Banaran, terdapat Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel TB. Simatupang.
Perang Kemerdekaan ke-2 terus bergolak, sejak akhir 1948 sampai tengah tahun 1949. Bung Karno dan Bung Hatta beserta sejumlah pemimpin negara Indonesia -- yang baru merdeka -- ditangkap dan ditahan di luar kota Yogya. 
Selama di Dekso, Letnan II Soemarkidjo dan Letnan Md. Soedijatmo membentuk Bagian Code yang berkedudukan dibawah PHB Angkatan Perang dipimpin oleh Mayor Dartodjo. Pengiriman salinan kawat dilakukan menggunakan jasa kurir dari Dukuh ke Banaran. Bagian Code di Dekso mempunyai hubungan komunikasi dengan PDRI (Sumatera), Jawa Barat dan Playen (Gunung Kidul) dengan menggunakan sitem sandi transposisi, koordinat dan matriks. Sementara 2 (dua) orang CDO lainnya sampai di daerah Gringging, Jawa Timur.
Perlawanan pasukan militer Indonesia, tidak kenal menyerah. Bahkan mereka berani melakukan serangan balik, serang fajar, menggempur pasukan militer Belanda yang telah menguasai kota Yogya. Perang terus berkobar, dengan segala dinamika, romantika, dan suka-dukanya.
Akhirnya penyelesaian konflik Indonesia – Belanda dapat diselesaikan di meja perundingan. Pada tanggal 3 Agustus 1949, Presiden RI/Panglima Tinggi Angkatan Perang RI Soekarno di Yogyakarta mengeluarkan Perintah Penghentian Permusuhan (genjatan senjata). Perintah Presiden RI tersebut antara lain berbunyi (ejaan lama):

Segala anak buah dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan semua penganut Republik lainnja jang bersendjata, diperintahkan supaja moelai 10/11 Agoestoes 1949 tengah malam mengenai Djawa, 14/15 Agoestoes 1949 tengah malam mengenai Sumatera, mereka menghentikan peperangan gerilja.

Penandatanganan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) merupakan titik pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda dan berakhirnya periode perjuangan bersenjata untuk menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan. Setelah persetujuan KMB tersebut, Pasukan Pemerintah/TNI yang berada di sekitar kota diperintahkan untuk masuk ke kota Yogyakarta termasuk Bagian Code yang sebelumnya bertempat di Dekso. Bagian Kode di Dekso di bawah pimpinan Letnan II Soemarkidjo beserta semua personilnya masuk kota Yogyakarta pada tanggal 11 Juli 1949. .Bagian Code menempati sebuah gedung sekolah di dekat Stadion Kridosono yang merupakan juga Markas PHB Angkatan Perang. Sebagai kelanjutan Bagian Kode sewaktu di Dekso, setelah kembali ke Yogyakarta menjadi Bagian Kode MBKD yang berkedudukan di Yogya dengan pimpinannya Letnan II Soemarkidjo. Sambil menunggu kedatangan dr. Roebiono dari Jawa Barat, para pejabat CDO dua kali mengadakan pertemuan untuk membicarakan tindakan-tindakan selanjutnya. Karena tempat Bagian Kode sempit maka pertemuan-pertemuan diadakan berturut-turut di rumah Mayor Soebeno dan Letkol. CFM. Soenarjo. 
Setelah pengakuan kedaulatan inilah Dinas Kode mengenal penggunaan mesin-mesin sandi untuk mendukung kegiatan komunikasi rahasia. Kemudian pada bulan Desember 1949 dikirimlah 3 (tiga) orang CDO, Munarjo, Sumarkidjo dan Maryono Idris Sunarmo, untuk memperdalam ilmu kriptologi di Belanda.
Konferensi Meja Bundar telah menghasilkan kesepakatan antara lain pemindahan ibu kota dari Yogyakarta ke Jakarta. Berkaitan dengan kepindahan seluruh aparat pemerintah, kepindahan kementrian pertahanan dan staf angkatan perang dilaksanakan sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pertahanan RI tanggal 16 Januari 1950, sesuai dengan lampiran Surat Keputusan tersebut Bagian Kode dimasukkan dalam staf G Angkatan Darat bersama Militair Security (G-I), yang selanjutnya Bagian Kode berubah nama menjadi Jawatan Sandi.
Sejak tanggal 14 Februari 1950 sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat Nomor 65 Tahun 1950, Jawatan Sandi dipindahkan dari Kementrian Pertahanan dan ditempatkan langsung di bawah Perdana Menteri dan untuk urusan personil secara administratif tetap di bawah Kementrian Pertahanan. Setelah berada di bawah Perdana Menteri maka Jawatan Sandi menjadi lebih berkembang tidak hanya untuk kepentingan pertahanan namun untuk seluruh pemerintahan.
Dengan keluarnya Keputusan Presiden tersebut maka Jawatan Sandi sudah mulai menapak menyusuri kemandirian dirinya sebagai suatu organisasi melalui penataan organisasi, kebijakan persandian, penambahan dan penataan personil, dan penempatan gedung tersendiri yaitu di Jalan Tosari Jakarta.
Kebijakan persandian yang ditata adalah :
  1. Penyediaan sistem-sistem penyandian yang dapat dipertanggungjawabkan secara kriptografis,
  2. Melaksanakan sendiri kegiatan komunikasi rahasia dari berbagai instansi dan secara kuantitas berita-berita rahasia tersebut datang dari Kementrian Pertahanan dan Kementrian Luar Negeri.
  3. Mengeluarkan crypto clearence secara selektif dan ketat bagi personil yang akan menangani kegiatan persandian pada instansi pemerintah.
Para mantan anggota PMC/FP di kemudian hari, tahun 1950-an, berhasil memotori bangkitnya dunia perfilman di Indonesia. Mereka adalah Mayor Usmar Ismail, Kapten Suryo Sumanto, D. Djajakusuma, Djamaludin Malik, Sofia WD, dan Soemardjono.

Sumber:
Andi Widjajanto, Artanti Wardhani, 2008, “Hubungan Inteljen – Negara 1945 – 2004”, PACIVIS UI, Friedrich Ebert Stiftung, Jakarta, hal : 65 – 68.
http://www.lemsaneg.go.id/?page_id=143
http://www.koderepublik.com/book-page/
http://www.kompasiana.com/eyangwid/kisah-perjuangan-12-lahirnya-badan-intelijen-indonesia
http://www.pusdikintel-kodiklat-tniad.mil.id