Batalyon
I Brigade X Mataram Divisi III Diponegoro (Batalyon Mayor Sardjono)
Batalyon
Sardjono bermarkas berada di Wanujaya. Mayor Sardjono merupakan salah satu eks
PETA Wonosari. Dan kenapa dia juga diperhitungkan oleh musuh oleh karena selama
bergerilya beliau tidak mau menyamar dengan pakaian preman. Beliau kalau
seandainya tertangkap dan gugur ingin tetap sebagai prajurit yang menunaikan
tugas. Pada suatu hari dalam bulan Desember 1945 tiba-tiba seluruh pasukan
diperintahkan berkumpul. Setelah berkumpul, komandan mengumumkan bahwa pasukan
mendapat tugas untuk bertempur mengusir serdadu AFNEI. Dan ketika Komandan berkata : "Siapa yang tidak ikut bertempur angkat
tangan!!" namun tak ada satupun yang mengangkat tangan ,
bahkan mereka serentak menjawab : "Ikut",
akan tetapi kemudian oleh komandan ditentukan harus ada yang menunggui asrama.
Dan yang bertugas menunggui asrama rata-rata merasa kecewa.
Setelah
mendapatkan penjelasan secukupnya, pasukan dibubarkan untuk persiapan pembagian
senjata seadanya. Rata-rata satu regu (10 orang) paling banyak memiliki 3 pucuk
karabin saja, lainnya bersenjatakan bambu runcing dan sebuah granat tangan.
Sebelumnya pertempuran melawan Kido Butai yang bermarkas di kotabaru yogyakarta
(sewaktu masih BKR) untuk memperebutkan senjata. Tetapi kesatuan ini tidak
dilibatkan melainkan hanya menjaga daerah masing-masing.
Kira-kira
jam 17.00 WIB pasukan diangkut menggunakan truk menuju stasiun kereta api
Tugu. Dari stasiun Tugu KA menuju
Magelang. Turun di stasiun (entah stasiun apa namanya) pasukan berjalan kaki
menuju kota Magelang . Waktu masuk kota Magelang pada jam 11.00 WIB. Sasaran
yang dituju adalah rumah sakit (sekarang RST), sebab AFNEI bermarkas disana.
Tetapi AFNEI telah pergi mundur ke Ambarawa.
Langkah
selanjutnya , pasukan TKR mengadakan pengejaran ke Ambarawa dengan menggunakan
angkutan. Pasukan turun di
Jambon/Jambu. Dan dari Jambon/Jambu jam
03.00 malam terus berjalan kaki (sebagaimana pasukan mendekati lawan). Tiba di pinggir kota Ambarawa jam 06.30 pagi
, langsung terjadi tembak menembak dengan lawan. Bagi yang tidak membawa senjata api cukup
mengikuti gerak maju (tujuannya kalau sudah mendekati lawan , granat dan bambu
runcing langsung digunakan). Cara penyerangan ini benar-benar menggunakan teori
ajaran Jepang. Rasanya seperti latihan saja, mengikuti aba-aba, sayap kiri
maju, sayap kanan maju.
Tembak menembak terus terjadi, tak ada hentinya, Tampaknya lawan sudah mulai gentar menghadapi serangan TKR. pimpinan tertinggi seluruh TKR pada penyerangan Ambarawa ialah Bapak Soedirman.
Tembak menembak terus terjadi, tak ada hentinya, Tampaknya lawan sudah mulai gentar menghadapi serangan TKR. pimpinan tertinggi seluruh TKR pada penyerangan Ambarawa ialah Bapak Soedirman.
Kira-kira
jam 11.00 wib pasukan lawan sudah mulai mengendorkan tembakannya, tanpa diduga
serangan mereka bangkit lagi setelah mendapatkan bantuan dari Semarang berupa
bantuan tembakan senjata berat (meriam dan mortir) dan 2 buah pesawat tempur.
Pasukan TKR digempur dari darat dan udara. Namun pasukan TKR tidak mau mundur, tetap bertahan tidak bergerak maju agar tidak tampak dari udara. Dua truk pengangkut nasi bungkus (nuk) makan siang diberondong dari udara. Sebagai keterangan tambahan dua truk tersebut merupakan inventaris Kantor Kementerian Pekerjaan Umum yang ada di Temanggung. Dua buah pick-up merk Desoto beserta 2 sopirnya, untuk membawa tentara dan membantu transportasi di Ambarawa. Meskipun kedua pick up hancur terkena serangan udara AFNEI akan tetapi kedua sopir selamat meskipun salah satunya sempat terluka tangannya terkena peluru dari serangan uara AFNEI tersebut. Sedangkan nasi bungkus itu untuk membantu Kol. Sudirman, dan pasukannya, rakyat menyiapkan makanan dan membuat dapur umum, antara lain di gedung Kabupaten Temanggung. Dapur Umum adalah tempat memasak bahan makanan untuk tentara-tentara dan sukarelawan. Para ibu-ibu yang tergabung sebagai anggota Persatuan Wanita Indonesia disingkat Perwari yang bertugas memasak nasi dan lauk-pauk di dapur umum yang ada di gedung Kabupaten Temanggung tersebut.
Pasukan TKR digempur dari darat dan udara. Namun pasukan TKR tidak mau mundur, tetap bertahan tidak bergerak maju agar tidak tampak dari udara. Dua truk pengangkut nasi bungkus (nuk) makan siang diberondong dari udara. Sebagai keterangan tambahan dua truk tersebut merupakan inventaris Kantor Kementerian Pekerjaan Umum yang ada di Temanggung. Dua buah pick-up merk Desoto beserta 2 sopirnya, untuk membawa tentara dan membantu transportasi di Ambarawa. Meskipun kedua pick up hancur terkena serangan udara AFNEI akan tetapi kedua sopir selamat meskipun salah satunya sempat terluka tangannya terkena peluru dari serangan uara AFNEI tersebut. Sedangkan nasi bungkus itu untuk membantu Kol. Sudirman, dan pasukannya, rakyat menyiapkan makanan dan membuat dapur umum, antara lain di gedung Kabupaten Temanggung. Dapur Umum adalah tempat memasak bahan makanan untuk tentara-tentara dan sukarelawan. Para ibu-ibu yang tergabung sebagai anggota Persatuan Wanita Indonesia disingkat Perwari yang bertugas memasak nasi dan lauk-pauk di dapur umum yang ada di gedung Kabupaten Temanggung tersebut.
Begitu
sengitnya pertempuran pada suatu hari kami tidak merasa lapar dan lupa waktu.
Serangan dari udara tidak berlangsung lama karena pesawat tersebut kehabisan
amunisi dan menghindari tembakan balasan dari TKR.
Kurang
lebih jam 16.00 wib pasukan TKR mulai memasuki kota Ambarawa dan sudah berada
di kerkup (kuburan Belanda). Granat ditangan ku sudah siap.
Sungguh
diluar dugaan tiba-tiba terdengar suara menderu dan sekejap terlihat 2 buah
tank mondar mandir didepan pasukan TKR yang sedang steling, berlindung dibalik
pohon-pohon. Semakin lama tembakan dari musuh semakin gencar mungkin
mendapatkan bantuan lagi. Senjata yang dimiliki oleh pasukan TKR tidak
sebanding dengan senjata lawan. Oleh karena itu pasukan TKR memilih menghindar,
untuk menghindari korban yang sia-sia ,
salah satu jalan kita harus mundur, maka terdengar teriakan komandan pleton :
"Munduurrr"
Kemudian
pasukan TKR mundur dari Palagan Ambarawa dengan masih dikejar-kejar tembakan
gencar dari musuh. Mundurnya pasukan TKR
tidak bisa dilakukan secara bersama-sama, tetapi secara terpisah-pisah karena
situasi tidak memungkinkan. Ada satu
Kelompok (sebanyak satu regu) mundur kearah tenggara menjauhi dari jalan raya,
sebab jalan raya selalu dikitari oleh pesawat tempur musuh. Selain itu juga
untuk menghindari kejaran tank musuh.
Satu
kelompok pasukan ini memutuskan bahwa yang paling aman adalah mundur melewati
gunung (pegunungan). Setelah sampai di ketinggian pegunungan, hari sudah gelap,
kelompok pasukan ini tidak berani melanjutkan perjalanan karena takut
terperosok kedalam jurang. Sehingga satu kelompok pasukan ini terpaksa bermalam di atas pegunungan, satu
kelompok pasukan ini tidur dengan alas merobohkan ilalang yang sangat rimbun,
Rasa haus, lapar dan lelah baru terasa, karena satu hari tidak makan. namun
karena lelah sekali, sekelompok pasukan ini bisa tertidur juga walau tidak
nyenyak karena dingin sekali.
Pagi
harinya sekelompok pasukan ini melanjutkan perjalanan turun gunung menuju perkampungan.
Waktu melewati lereng perbukitan sekelompok pasukan ini melihat ladang rakyat.
Setelah didekati ternyata ladang kol dan
kubis, dengan lahapnya sekelompok pasukan ini memakan kol dan kubis itu secara
mentah-mentah hanya untuk sekedar mengganjal perut yang terasa sangat lapar.
Dari lereng perbukitan terlihat perkampungan, tentu saja sekelompok pasukan ini
bertambah semangat untuk turun karena pasti kami tidak kelaparan lagi.
Sesampainya
di perkampungan sekelompok pasukan TKR ini disambut baik oleh rakyat dengan
ramahnya, kalau tidak salah perkampungan itu bernama desa Ngablak. Sekelompok
pasukan TKR ini diterima oleh bapak
pamong setempat dan disediakan makan dan minum sampai kami dapat meneruskan
perjalanan.
Setelah
istirahat cukup sekelompok pasukan TKR ini melanjutkan perjalanan atas petunjuk
bapak pamong, sekelompok pasukan TKR ini melanjutkan perjalanan melewati desa
Pagergunung, terus ke Grabag. Dan sesampai di Grabag sekelompok pasukan TKR ini
naik kereta api jurusan Magelang selanjutnya menuju Yogyakarta.
Sementara
kota Ambarawa telah kosong dari pendudukan serdadu AFNEI, Markas Batalyon di
Wanujaya dipindahkan ke Tanjungtirto. Terhitung mulai tanggal 24 Januari 1946
nama TKR berubah menjadi TRI.
Selanjutnya
pasukan di bawah pimpinan Bapak Sardjono ini mendapat tugas di front Semarang
Selatan (Srondol dan sekitarnya). Di front ini batalyon pimpinan Bapak Sardjono
bertugas secara bergilir, setiap angkatan terdiri dari satu kompi. Setiap
angkatan bertugas bertempur selama kurang lebih 2 minggu. Jadi istirahat sambil
latihan dimarkas selama 2 bulan, kemudian diberangkatkan bertempur lagi. Tujuan
dari tugas secara bergiliran ini adalah untuk menjaga stabilitas moril setiap
prajurit.
Daerah pertempuran kosong dari penduduk karena mereka mengungsi ke tempat yang aman. Oleh karena itu daerah pertempuran kosong itu banyak ditumbuhi semak-semak dan semua bangunan rusak baik karena tembakan senjata maupun karena tidak terawat, bahkan pohonpun di tepi jalan tidak ada yang utuh.
Daerah pertempuran kosong dari penduduk karena mereka mengungsi ke tempat yang aman. Oleh karena itu daerah pertempuran kosong itu banyak ditumbuhi semak-semak dan semua bangunan rusak baik karena tembakan senjata maupun karena tidak terawat, bahkan pohonpun di tepi jalan tidak ada yang utuh.
Tidak
kucatat berapa kali pasukan ini bertempur di daerah Semarang ini. Setiap kali
ada prajurit yang gugur di medan bakti, ini merupakan resiko perang.
Kadang-kadang pasukan TRI ini bertugas selama 1 bulan di front ini.
Masih
dalam tugas di front pertahanan, kesatuan di bawah pimpinan Bapak Sardjono ini
dipindah tugaskan dari Semarang Selatan ke Semarang Barat (Kaliwungu, Mangkang
dan sekitarnya). Didaerah ini
tantangannya lebih berat. Daerah ini merupakan daerah pantai dan sudah menjadi
perkampungan kosong yang rimbun dan tentu saja menjadi sarang nyamuk. Kalau
malam hari pasukan tidur di medan yang
terlindung tentu saja akan menjadi mangsa nyamuk, maka dari pulang di medan
perang banyak prajurit yang terserang penyakit malaria. Kalau sedang kambuh,
badan terasa dingin dan gemetar, berselimut sampai 2 atau 3 (pada waktu itu
tentara tidur di lantai beralaskan dan berselimut tikar).
Kami
bertugas di front Semarang Barat ini cukup lama. maka selalu diadakan
pergantiian pergantian, paling lama 3 bulan di markas, kemudian setengah sampai
1 bulan di front.
Sementara
itu TRI diubah menjadi TNI. Persenjataan TNI makin lengkap, tetapi belum mampu
menandingi persenjataan lawan. Namun setiap prajurit telah memegang senjata organik.
Salah satunya ada yang mendapatkan senapan LE.
Berdasarkan
hasil perundingan Linggarjati diadakan gencatan senjata. Pada waktu itu
kebetulan pasukan dibawah pimpinan Bapak Sardjono ini sedang bertugas di front
Semarang Barat. Tak dapat digambarkan bagaimana pertempuran yang mengerikan itu
terjadi dan jiwa prajurit yang selalu terancam.
Pada suatu hari ada pengumuman bahwa diadakan gencatan senjata dan tidak boleh tembak menembak. Oleh karenanya diadakan garis demarkasi dan masing-masing pihak tidak boleh melanggar garis demarkasi tersebut. Mendengar pengumuman tersebut, hati para anggota pasukan sangat senang karena merasa aman di garis depan dan tidak ada saling serang menyerang. Kalau tidak sedang berjaga di garis depan pasukan bisa tidur nyenyak walaupun di serang oleh nyamuk, bisa makan enak juga bersama-sama. Dulu sebelum ada gencatan senjata anggota pasukan sangat jarang mandi, karena kalau mau mandi harus lihat-lihat dulu situasi, jangan-jangan nanti sedang mandi diserang oleh musuh.
Pada suatu hari ada pengumuman bahwa diadakan gencatan senjata dan tidak boleh tembak menembak. Oleh karenanya diadakan garis demarkasi dan masing-masing pihak tidak boleh melanggar garis demarkasi tersebut. Mendengar pengumuman tersebut, hati para anggota pasukan sangat senang karena merasa aman di garis depan dan tidak ada saling serang menyerang. Kalau tidak sedang berjaga di garis depan pasukan bisa tidur nyenyak walaupun di serang oleh nyamuk, bisa makan enak juga bersama-sama. Dulu sebelum ada gencatan senjata anggota pasukan sangat jarang mandi, karena kalau mau mandi harus lihat-lihat dulu situasi, jangan-jangan nanti sedang mandi diserang oleh musuh.
Walaupun
sedang gencatan senjata pasukan tidak boleh lengah, terutama di pos depan harus
selalu waspada.
Banyak
sekali suka dan duka berada di garis depan selama gencatan senjata. Dukanya,
kalau sedang giliran jaga di pos depan, baik panas maupun hujan tidak boleh
meninggalkan pos. Pada waktu itu pos yang ada bukan seperti pos penjagaan
biasa, tetapi merupakan tempat terlindung seperti di pepohonan, disemak-semak
dan tempat terlindung lainnya. Tidak boleh merokok dan bicara keras-keras.
Pokoknya ini bukan merupakan tugas yang menyenangkan, tetapi harus menjalani
karena berlandaskan kecintaan terhadap negeri ini.
Sedangkan
sukanya adalah kalau sedang giliran istirahat, bisa bersantai, mencari lele di
sawah atau menembak babi hutan. tak jarang belalangpun kami tangkap hanya
sekedar untuk menambah lauk, sebab jika hanya mengandalkan dapur umum saja,
hanya makan nasi (bercampur dengan gabah) dan lauknya lobak tua yang dibuat
sayur. Untunglah di sekitar Mangkang banyak ikan lele di sawah-sawah atau di
selokan.
Kalau
malam sebelum bisa tidur, anggota pasukan biasanya menghibur diri (rekan 1
peleton). Ada yang mendongeng, membuat teka-teki (cangkriman), menyanyi (nembang
dan lain-lain). Terkadang ada yang mendalang dengan iringan gamelan mulut
sambil tiduran. Jika ada yang menjadi
dalang, dan sedang mendalang teman-teman lainnya asyik mendengarkannnya sambil
nggamelin dengan mulut. Kebetulan komandan peleton pasukan ini ada yang sangat
senang dengan cerita wayang, sehingga kalau komandan peleton meminta salah satu
pasukannya mendalang maka orang yang
ditunjuk tersebut tidak dapat menolaknya. Dan yang ditunjuk jadi dalang tidak
boleh mendalang dengan lakon yang sama. kalau teman-teman sudah ngantuk barulah
sang dalang akan berhenti mendalang. Selama beristirahat pasukan TNI ini meggunakan
rumah penduduk yang sudah kosong dan rusak.
Demikianlah
pekerjaan di front dalam keadaan gencatan senjata. Kalau siang ada yang
ditempatkan di garis terdepan bertugas pengawasan/pengintaian dan ada yang
berpatroli.
Pada
tanggal 21 juli 1947, dengan tiba-tiba Belanda mengadakan serangan kesegala arah
jantung pertahanan TNI. Terutama kearah jurusanAmbarawa dengan tujuan menduduki
kembali Ambarawa. Karena segala matra kekuatan Belanda di kerahkan (pasukan
darat dengan pasukan dan senjata berat sedangkan pasukan udara dengan pesawat
tempur jumlahnya cukup banyak), maka perlawanan TNI tidak berarti apa-apa bagi
musuh. Dalam satu hari saja pasukan Belanda berhasil merebut kota Ambarawa.
Pertahanan
Semarang Barat tidak mampu menahan gempuran musuh yang tidak seimbang ini.
Terpaksa pasukan Batalyon pimpinan Bapak Sardjono mundur dengan tujuan untuk
menghimpun kekuatan kembali untuk mengadakan serangan balasan di kemudian hari.
Sore harinya pasukan dikumpulkan untuk konsilidasi. Selanjutnya diperintahkan untuk bergerak maju mendekati Ambarawa. Malam itu pasukan berjalan kaki bergerak kearah barat melewati Alas Roban menuju kesasaran. Perjalanan itu sungguh sangat menyiksakan, gelap gulita dan jalannya kasar/rumpil. Karena sangat lelahnya terkadang pasukan tidur sambil berjalan. Rasanya ingin menangis dan menghindari tugas yang sangat berat ini. Tetapi kembali pasukan ini tersadar bahwa tugas membela ibu pertiwi harus dijalankan, dan semua anggota pasukan rela berkorban apa saja demi membela negeri yang di cintai ini.
Sore harinya pasukan dikumpulkan untuk konsilidasi. Selanjutnya diperintahkan untuk bergerak maju mendekati Ambarawa. Malam itu pasukan berjalan kaki bergerak kearah barat melewati Alas Roban menuju kesasaran. Perjalanan itu sungguh sangat menyiksakan, gelap gulita dan jalannya kasar/rumpil. Karena sangat lelahnya terkadang pasukan tidur sambil berjalan. Rasanya ingin menangis dan menghindari tugas yang sangat berat ini. Tetapi kembali pasukan ini tersadar bahwa tugas membela ibu pertiwi harus dijalankan, dan semua anggota pasukan rela berkorban apa saja demi membela negeri yang di cintai ini.
Pasukan
berjalan dari Semarang Barat sampai ke Ambarawa. Setelah sampai ke Bantir
Sumowono (daerah yang telah diduduki oleh musuh) jam 04.00 pagi. pagi harinya
pasukan langsung menyusun serangan setelah fajar menyingsing. Tetapi tiba-tiba
2 pesawat tempur "Si cocor merah" meraung-raung dan berputar-putar
diatas pasukan, tentu saja tidak ada yang berani bergerak. Komandan
memerintahkan jika sicocor merah itu menembak dari udara, maka pasukan harus
membalas menembak secara serentak. Selama si cocor merah itu masih
berputar-putar diatas kepala pasukan, semua pasukan tetap bersembunyi dan
berlindung di kebun kopi dan semak-semak tanpa berani bergerak sedikit pun.
Karena jika mereka melihat saja ada dedaunan yang bergerak maka mereka akan
langsung menembak.
Melihat
situasi yang tidak ungkin untuk menyerang musuh , maka rencana penyerangan pun
terpaksa ditangguhkan. Pasukan musuh tampak siaga penuh dengan dikawal patroli
udara dan tank. Oleh karena itu pasukan TNI hanya mengatur untuk membuat tempat
pertahanan-pertahanan yang strategis (terutama di daerah ketinggian), dengan
maksud untuk mencegah gerakan musuh lebih meluas lagi agar dapat melakukan
serangan balasan.
Wilayah
Bantir/Sumowono yang diduduki serdadu Belanda sangat strategis. dibelakang
tangsi merupakan lereng gunung Sumowono dan didepan tangsi merupakan medan
terbuka seperti persawahan, jadi jika akan melakukan serangan secara frontal
akan sangat menyulitkan. Oleh karena itu pasukan TNI hanya melakukan serangan
yang bersifat gangguan/kekacauan saja (setengah gerilya). Disamping melakukan
serangan dan hadangan kepada musuh, pasukan TNI juga memasang ranjau di
jalan-jalan besar untuk mengahncurkan pasukan kendaraan. Tetapi usaha ini
kurang berhasil karena musuh mempunyai alat pendeteksi ranjau. Tugas diwilayah
dilakukan secara bergantian perkompi atau lebih disesuaikan dengan situasi. Pasukan
TNI bertugas secara bergiliran, mendapatkan tempat tugas yang tidak sama dengan
tempat tugas terdahulu. lamanya bertugas sekitar setengah bulan. Setiap hari,
jika tidak menyerang tentu diserang. Sialnya jika kecolongan (istilah digunting
musuh) yaitu diserang dari belakang, pasukan TNI cukup kalang kabut dalam
mengadakan perlawanan, karena harus menghindar dari kepungan musuh dan mencari
jalan keluar untuk mundur.
Setiap
hari terasa genting, maka selama berada di front, anggota pasukan TNI tidak
berani mandi, bisa dibayangkan setengah bulan tidak mandi dan mengganti
pakaian. Sering kali pasukan TNI mengalami kejadian kritis baik diserang maupun
menyerang di malam hari.
Pada suatu hari musuh mengadakan serangan besar-besaran. Selain serangan darat dengan senjata serba otomatis juga dibantu dengan 2 buah pesawat tempur "Sicocor merah", dan pesawat pengintai yang di juluki "Kinjeng" karena bentuknya mirip seperti capung. Fungsi pesawat pengintai ini adalah memberi isyarat kepada pasukan dengan senjata berat untuk menembak ke arah yang ditunjuk oleh "Kinjeng". Pada waktu itu senjata berat/meriam musuh sama pasukan TNI disebut "Kanon". Karena pasukan TNI diserang dari darat, udara dan tembakan kanon maka pasukan TNI hanya bisa mengadakan perlawanan sekedarnya sambil mundur.
Pada suatu hari musuh mengadakan serangan besar-besaran. Selain serangan darat dengan senjata serba otomatis juga dibantu dengan 2 buah pesawat tempur "Sicocor merah", dan pesawat pengintai yang di juluki "Kinjeng" karena bentuknya mirip seperti capung. Fungsi pesawat pengintai ini adalah memberi isyarat kepada pasukan dengan senjata berat untuk menembak ke arah yang ditunjuk oleh "Kinjeng". Pada waktu itu senjata berat/meriam musuh sama pasukan TNI disebut "Kanon". Karena pasukan TNI diserang dari darat, udara dan tembakan kanon maka pasukan TNI hanya bisa mengadakan perlawanan sekedarnya sambil mundur.
Pada
waktu itu ada salah satu anggota pasukan TNI bertugas sebagai penghubung peleton jadi harus selalu
mengikuti komandan peleton. Entah berapa
jauh petugas penghubung peleton itu berlari dari kejaran musuh. Lari dengan jatuh
bangun dan terus menghindari tembakan musuh. Rasanya sudah tidak kuat lagi dan
ingin sekali rasanya membuang senjata yang berat itu dan jika tertangkap musuh
setidaknya senjata kami tidak jatuh ketangan musuh. Untung penghubung peleton
itu menyadari bahwa senjata itu adalah nyawa, walaupun merasa lelah, harus
tetap membawanya.
Celakanya anggota yang bertugas menjadi penghubung peleton dan komandan peletonnya tersebut terlambat untuk mundur dan sudah ketinggalan dari kawan-kawan lainnya. Tanpa disadari bahwa keduanya telah terjepit, terkepung musuh. Oleh karena itu keduanya tidak berani bergerak. Kebetulan disana keduanya berada di tepi sungai desa Porot.
Celakanya anggota yang bertugas menjadi penghubung peleton dan komandan peletonnya tersebut terlambat untuk mundur dan sudah ketinggalan dari kawan-kawan lainnya. Tanpa disadari bahwa keduanya telah terjepit, terkepung musuh. Oleh karena itu keduanya tidak berani bergerak. Kebetulan disana keduanya berada di tepi sungai desa Porot.
Menyadari
desa itu telah dikuasai oleh serdadu Belanda, anggota pasukan yang menjadi
penghubung peleton dan komandan peletonnya terjun kesungai dan bersembunyi disemak-semak
di pinggir sungai. Kebetulan dinding sungai ada sebuah lobang kecil yang
tertutupi oleh rimbunnya semak.
Belum lama keduanya bersembunyi disana, salah satunya melihat 3 orang serdadu Belanda berpakaian loreng-loreng berdiri tepat didepan persembunyian, mereka melihat ketepi sugai (kanan dan kiri), lalu memberondong semak-semak dikanan kirinya dengan senapan. Penghubung peleton dan komandan peleton TNI tersebut hanya bisa berdoa dan diam ditempat itu.
Belum lama keduanya bersembunyi disana, salah satunya melihat 3 orang serdadu Belanda berpakaian loreng-loreng berdiri tepat didepan persembunyian, mereka melihat ketepi sugai (kanan dan kiri), lalu memberondong semak-semak dikanan kirinya dengan senapan. Penghubung peleton dan komandan peleton TNI tersebut hanya bisa berdoa dan diam ditempat itu.
Untung
saja semak-semak tempat keduanya bersembunyi tidak diberondong, mungkin ketiga
serdadu Belanda itu berpikir tidak akan ada musuh di semak-semak yang ada di
depan mereka. Setelah itu ketiga serdadu Belanda masuk kampung lagi (100 m dari
tempat keduanya bersembunyi). Keduanya
tidak tahu entah berapa jumlah serdadu Belanda, kedua anggota TNI itu hanya mendengar suara para seradu Belanda
mengobrak-abrik kampung itu.
Kemudian komandan peleton berkata : "Sangat berbahaya kalau tidak segera meninggalkan tempat ini, mumpung musuh sedang asyik mengobrak-abrik kampung mari kita pergi dari sini", Penghubung peleton dan komandan peleton kemudian terjun ke air menghanyutkan diri dengan hanya tampak kepala saja mengikuti arah aliran sungai. Alhamdulillaha arah alinran sungai itu menuju tempat yang aman. Setelah jauh dari musuh, keduanya naik ke atas dan berjalan untuk bergabung dengan induk pasukan TNI. Setelah melewati desa Jagoan, barulah keduanya bertemu dengan pasukan
Serangan musuh pada hari itu tidak hanya menggempur pertahanan TNI, Seperti daerah desa Kaloran yang biasa digunakan sebagai pangkalan TNI ikut juga di gempur. Setelah turun dari kereta api di stasiun Grabag, ikut dihujani kanon dan serangan udara. Ini sering terjadi sehingga Balai Desa Kaloran yang beratap seng, tatu arang keranjang terdapat banyak lubang bekas peluru. Bahkan pohon pun menjadi korban tembakan membabi buta musuh.
Kemudian komandan peleton berkata : "Sangat berbahaya kalau tidak segera meninggalkan tempat ini, mumpung musuh sedang asyik mengobrak-abrik kampung mari kita pergi dari sini", Penghubung peleton dan komandan peleton kemudian terjun ke air menghanyutkan diri dengan hanya tampak kepala saja mengikuti arah aliran sungai. Alhamdulillaha arah alinran sungai itu menuju tempat yang aman. Setelah jauh dari musuh, keduanya naik ke atas dan berjalan untuk bergabung dengan induk pasukan TNI. Setelah melewati desa Jagoan, barulah keduanya bertemu dengan pasukan
Serangan musuh pada hari itu tidak hanya menggempur pertahanan TNI, Seperti daerah desa Kaloran yang biasa digunakan sebagai pangkalan TNI ikut juga di gempur. Setelah turun dari kereta api di stasiun Grabag, ikut dihujani kanon dan serangan udara. Ini sering terjadi sehingga Balai Desa Kaloran yang beratap seng, tatu arang keranjang terdapat banyak lubang bekas peluru. Bahkan pohon pun menjadi korban tembakan membabi buta musuh.
Komandan
Batalyon Sardjono terlihat sangat marah, dan itu merupakan hal biasa setiap
kali kalah atau mundur. Beliau selalu
marah-marah kepada siapa saja. Jangankan di pertempuran, dikantorpun jika ada
pertandingan sepakbola dan kalah, beliau juga marah-marah kepada anak buahnya.
Ada-ada saja yang dijadikan alasan untuk marah-marah. Sebaliknya jika pasukan
bisa memukul mundur musuh, apalagi dapat merampas senjata, gembiranya bukan
main dan anak buahnya dipuji-puji.
Setelah
mengadakan konsolidasi anggota yang gugur atau terluka segera dievakuasi.
Komandan Batalyon memerintahkan kepada Komandan Kompi agar segera kembali ke
pertahanan semula
Komandan peleton yang bernama Sugiarto dengan pangkat Letda kemudian akhirnya menjadi Walikota Kotmadya Yogyakarta, Beliau meninggal setelah purna/pensiun sebagai Walikota.
Komandan peleton yang bernama Sugiarto dengan pangkat Letda kemudian akhirnya menjadi Walikota Kotmadya Yogyakarta, Beliau meninggal setelah purna/pensiun sebagai Walikota.
Bagaimanapun
gencarnya serangan serdadu Belanda terhadap TNI, akan tetapi tidak membuat TNI
gentar. Dengan segera segera kembali TNI
ke garis pertahanan semula dan terus melakukan serangan balik. Serangan
-serangan yang dilakukan TNI baik siang maupun malam tampaknya berhasil menjatuhkan
moril lawan.
Pada
suatu hari, pos depan (Steling) melihat kendaraan-kendaraan Belanda hilir mudik
antara Bantir-Ambarawa. Setelah diadakan pengintaian oleh TNI, ternyata tangsi
di Bantir telah kosong. Tentara Belanda sudah ditarik mundur ke Ambarawa.
Sementara ada beberapa pasukan ditarik ke markas Batalyon di Tanjungtirto . Dalam
operasi ini banyak anggota Batalyon Sardjono yang gugur di medan bakti.
Kekuatan
Belanda dengan sendirinya terpusat di kota Ambarawa. Pertahanan TNI maju
mendekati kota Ambarawa. Dalam kurun waktu tersebut, pasukan Batalyon Sardono
sempat menerima giliran bertugas di garis pertahanan dekat kota Ambarawa, yaitu
desa Pasekan.
Bertugas
didaerah pertempuran memang sangat berat dan berbahaya. Kalau tidak menyerang
ya diserang, baik siang maupun malam. Umumnya pasukan lebih memilih menyerang
malam hari. Sifat penyerangan hampir sama dengan Gerilya dan bukan serangan
secara frontal. Sulit diceritakan bagaimana genting dan bahayanya waktu terjadi
tembak menmbak. Kadang-kadang kalau masuk ke dalam perangkap musuh, jiwa
rasanya sangat terancam, dan bila kembali ke garis pertahanan rasanya seperti
nyawa "Saringan", peribahasa jawa : "Mrojol selaning garu".
Batalyon
Sardjono ini bertugas secara bergilir per kompi sampai dengan terjadinya
perundingan/gencatan sencata lagi.
Pertempuran-pertempuran
di seluruh wilayah indonesia sejak tahun 1945 hingga 1947 belum memperlihatkan
tanda-tanda penyelesian. Maka tanggal 17 Januari 1948 perundingan Renville
ditandatangani oleh kedua belah pihak. Masing-masing pihak mengadakan gencatan
senjata.
Pasukan dari batalyon Sardjono ditarik dari garis depan. Selanjutnya kompi 1 (Danki Kapten Widodo) bertugas di Prambanan, menghadapi Belanda apabila akan menuju Yogyakarta dari arah timur. Tugasku adalah meledakkan bom yang dipasang dibawah jembatan Kali Opak, dengan tujuan menghambat gerak pasukan Belanda. Walaupun dalam keadaan aman, tetap diadakan pengawasan di garis depan. Bagi yang giliran istirahat, dapat tidur di markas peleton masing-masing. Peletonk di bawah pimpinan Letda Sugiarto bermarkas dirumah/pendopo Bapak lurah Bogeman (sebelah barat jembatan Prambanan). Karena masih dalam situasi gencatan senjata, pasukan TNI ini mempunyai waktu santai. Banyak cara yang dilakukan anggota pasukan untuk sekedar menghibur diri, antara lain main orkes dengan alat yang dibuat sendiri dari bambu (orkes keroncong bambu). Terkadang anggota pasukan mengadakan klenengan/uyon-uyon dengan meminjam gamelan penduduk terdekat. Ada yang suka melantunkan mocopat, dan jika kawan-kawan lainnya yang mendengar sudah tertidur, masih saja salah satu anggota asyik mocopat (bukunya pinjam dari pak lurah). Tak jarang yang suka melantunkan mocopat itu didaulat menjadi dalang. Sambil tiduran mendalang dengan gamelan mulut kawan-kawan. Gaya mendalangnya senang meniru dalang Solo (cara Solo). Lama-klamaan gamelan berhenti sendiri karena kawan-kawan sudah tertidur satu persatu.
Satu hal yang menguntungkan dalam situasi pertahanan ini adalah diberi kursus bahasa inggris oleh Komandan Kompi (Kapten Widodo). Kursus ini diberikan ke anak buahnya yang mampu menerimanya. Sebagian anggota pasukan tidak melewatkan kesempatan ini, namun karena tugas yang selalu berpindah-pindah maka ada yang tidak dapat melanjutkan kursus ini.
Pasukan dari batalyon Sardjono ditarik dari garis depan. Selanjutnya kompi 1 (Danki Kapten Widodo) bertugas di Prambanan, menghadapi Belanda apabila akan menuju Yogyakarta dari arah timur. Tugasku adalah meledakkan bom yang dipasang dibawah jembatan Kali Opak, dengan tujuan menghambat gerak pasukan Belanda. Walaupun dalam keadaan aman, tetap diadakan pengawasan di garis depan. Bagi yang giliran istirahat, dapat tidur di markas peleton masing-masing. Peletonk di bawah pimpinan Letda Sugiarto bermarkas dirumah/pendopo Bapak lurah Bogeman (sebelah barat jembatan Prambanan). Karena masih dalam situasi gencatan senjata, pasukan TNI ini mempunyai waktu santai. Banyak cara yang dilakukan anggota pasukan untuk sekedar menghibur diri, antara lain main orkes dengan alat yang dibuat sendiri dari bambu (orkes keroncong bambu). Terkadang anggota pasukan mengadakan klenengan/uyon-uyon dengan meminjam gamelan penduduk terdekat. Ada yang suka melantunkan mocopat, dan jika kawan-kawan lainnya yang mendengar sudah tertidur, masih saja salah satu anggota asyik mocopat (bukunya pinjam dari pak lurah). Tak jarang yang suka melantunkan mocopat itu didaulat menjadi dalang. Sambil tiduran mendalang dengan gamelan mulut kawan-kawan. Gaya mendalangnya senang meniru dalang Solo (cara Solo). Lama-klamaan gamelan berhenti sendiri karena kawan-kawan sudah tertidur satu persatu.
Satu hal yang menguntungkan dalam situasi pertahanan ini adalah diberi kursus bahasa inggris oleh Komandan Kompi (Kapten Widodo). Kursus ini diberikan ke anak buahnya yang mampu menerimanya. Sebagian anggota pasukan tidak melewatkan kesempatan ini, namun karena tugas yang selalu berpindah-pindah maka ada yang tidak dapat melanjutkan kursus ini.
Dari
Prambanan pasukan Batalyon Sardjono ini ditarik kembali ke markas Batalyon di
Tanjungtirto. Diasrama pasukan Batalyon Sardjono hanya latihan teori maupun
praktek. Tetapi latihan tidak seberat latihan masa pendidikan.
Tak
lama kemudian, pasukan Batalyon Sardjono ikut bertugas untuk menghadapi serdadu
Belanda yang bermarkas di Gombrong. Karena
masih dalam gencatan senjata, tugas pasukan Batalyon Sardjono ini hanya
mengamankan dan mengawasi orang-orang yang keluar masuk Gombong
Pada masa gencatan senjata ini, dimanfaatkan oleh para pedagang untuk menyelundupkan bahan makanan ke Gombong dan kembalinya mereka membawa bahan-bahan sekunder (bahan pakaian, minyak rambut, sabun mandi, ikat pinggang dll). yang diwilayah RI sangat jarang sekali adanya. Menghadapi hal-hal seperti inilah yang sering merepotkan.
Pada masa gencatan senjata ini, dimanfaatkan oleh para pedagang untuk menyelundupkan bahan makanan ke Gombong dan kembalinya mereka membawa bahan-bahan sekunder (bahan pakaian, minyak rambut, sabun mandi, ikat pinggang dll). yang diwilayah RI sangat jarang sekali adanya. Menghadapi hal-hal seperti inilah yang sering merepotkan.
Tahun
1947 pasukan dari Batalyon Sardjono masih bermarkas di Tanjungtirto. Di tahun
1947 ini diadakan pemeriksaan terhadap semua anggota dalam rangka
rasionalisasi. Anggota yang kurang sehat dan tidak cakap lagi untuk menjadi
tentara, dikeluarkan dan di tampung di luar TNI, misalnya menjadi cadangan.
Bagi kondisinya masih sehat tetapi dari sisi lain tidak memenuhi syarat (kurang
pendidikan dan buta huruf) dipindahkan ke teritorial. Begitu pula bagi yang
sehat tapi dianggap mentalnya kurang kuat dipindahkan juga ke teritorial.
Bagi
yang benar-benar memenuhi syarat, dibentuk/disusun menjadi anggota Batalyon
Infanteri Mobil yang artinya tentara yang selalu bergerak. Yang masuk dalam
Batalyon ini adalah tentara pilihan, yang fisik atau mentanya telah teruji
dalam berbagai pertempuran.
Setelah
adanya Rasionalisasi dan diadakan konsolidasi secukupnya, Batalyon Sardjono
dipindahkan ke Bantul dan bermarkas di Jebugan bekas pabrik gula. Selama di
Bantul, secara bergilir (perkompi) pasukan dari Batalyon Sardjono ini bertugas
di garis depan (demarkasi) di daerah Kebumen/Karanganyar.
Saat bertugas di garis depan (pertahanan
Karanganyar, Gombong), Sekitar bulan September atau Oktober tahun 1948, di Solo
ada pertempuran karena terjadi pemberontakan PKI di Madiun. Pada waktu itu
pemberontak yang dikenal dengan nama PKI Muso (PKI Amir/Muso). Pasukan dari
Batalyon Sardjono ini ditarik ke markas di Jebugan Bantul.
Batalyon
Sardjono bertugas mengadakan pembersihan di sekitar Bantul. Ditempat-tempat
yang dicurigai, lalu dikepung dan digrebeg. Banyak PKI yang tertangkap. Setelah
mengadakan pembersihan, salah satu regu dari kompi Letda Sugiarto ditugaskan
menduduki kota kecamatan Pundong untuk menjaga keamanan kecamatan tersebut.
Pada suatu
hari ketika anggota yang bernama Wasiman dan Saido berpatroli di kampung dekat
Kecamatan Pundong, tiba-tiba bertemu seorang pemuda yang gerak-geriknya
mencurigakan. Pemuda itu lalu disuruh berhenti dan menanyakan identitasnya.
Tanpa diduga, pemuda itu tidak menjawab pertanyaanku dan langsung mencabut
pistol dari saku celananya dan mengarahkannya kepada Wasiman. Untung saja temannya
yang bernama Saido sangat tangkas, begitu pistol diangkat, Saido langsung
memukul pelipisnya. Seketika pemuda itu jatuh dan Wasiman segera mengambil
pistolnya. Selanjutnya pemuda itu oleh Wasiman diikat tangannya dan oleh
keduanya diserahkan ke markas Batalyon Sardjono.
Setelah
Kecamatan Pundong dianggap bersih, regu dari peleton Letda Sugiarto ini ditarik
kembali ke markas Batalyon Sardjono di Jebugan untuk ditugaskan ke daerah lain.
Pada
suatu hari di Asrama Jebugan, udara terasa panas sekali sehingga badan anggota
pasukan yang bernama Wasiman terus
dibasahi keringat. Hingga jam 23.00 WiB
Wasiman ini belum juga tertidur, oleh karena itu tikar alas tidur oleh Wasiman
dibawa keluar jauh dari ruang/kamar tidur kawan-kawan. Wasiman baru bisa
benar-benar tertidur nyenyak dibawah pohon talok. Esok harinya sekitar jam 05.30 WIb Wasiman
baru terbangun dan langsung menuju ruangan tempat kawan-kawannya tidur. Tetapi betapa terkejutnya Wasiman ketika
ruangan tersebut terlihat kosong. Yang ada hanya bentangan tikar di lantai. Wasiman
bingung dan bertanya ada apa ini? Kemudian Wasiman pergi ke ruangan piket dan
langsung melapor kepada Perwira Piket Batalyon yang pada waktu itu Kapten A.
Sumarmo. Dengan marah, Kapten A. Sumarno memberi penjelasan sebagai berikut :
"Kawan-kawanmu tadi malam jam 02.00 telah berangkat ke Gunung kidul untuk menggrebeg sisa-sisa PKI disana. Kamu tadi malam dicari oleh Komandan regu mu." Lalu Kapten A. Sumarno bertanya : "kamu lari kemana?" Wasiman menjawab : "Saya tidur dibawah pohon talok disana pak" Dan seterusnya terjadilah tanya jawab antara Perwira piket dengan Wasiman. Pendek kata, Wasiman dipersalahkan karena menghindari tugas. Selanjutnya Wasiman diberitahu oleh Perwira piket telah menerima kabar bahwa kawan-kawan Wasiman mengalami kecelakaan dalam perjalanan. Sebuah granat kawan yang tergantung dipinggangnya jatuh kelantai truk dan meledak. Karena waktu itu jalan sangat jelek, sehingga truk terguncang-guncang dan menyebabkan granat tersebut terjatuh dan meledak. Granat tersebut buatan pabrik mesiu di Balson Yogya dan masih belum sempurna. Kecelakaan itu menyebabkan korban jiwa dan luka-luka.
"Kawan-kawanmu tadi malam jam 02.00 telah berangkat ke Gunung kidul untuk menggrebeg sisa-sisa PKI disana. Kamu tadi malam dicari oleh Komandan regu mu." Lalu Kapten A. Sumarno bertanya : "kamu lari kemana?" Wasiman menjawab : "Saya tidur dibawah pohon talok disana pak" Dan seterusnya terjadilah tanya jawab antara Perwira piket dengan Wasiman. Pendek kata, Wasiman dipersalahkan karena menghindari tugas. Selanjutnya Wasiman diberitahu oleh Perwira piket telah menerima kabar bahwa kawan-kawan Wasiman mengalami kecelakaan dalam perjalanan. Sebuah granat kawan yang tergantung dipinggangnya jatuh kelantai truk dan meledak. Karena waktu itu jalan sangat jelek, sehingga truk terguncang-guncang dan menyebabkan granat tersebut terjatuh dan meledak. Granat tersebut buatan pabrik mesiu di Balson Yogya dan masih belum sempurna. Kecelakaan itu menyebabkan korban jiwa dan luka-luka.
Karena Wasiman
dipersalahkan menghindar dari tugas, maka Perwira piket menjatuhkan hukuman
kepada Wasiman membersihkan Wc selama 7 hari. Dalam Wasiman berkata : "Alhamdulillah, Tuhan telah menjauhi
aku dari bahaya". disamping itu juga Wasiman sangat berduka
karena banyak kawan-kawannya yang telah gugur didalam tugas.
Pemberontakan
PKI relatif tidak lama untuk dipadamkan. Hanya butuh waktu 2 bulanan, keadaan
kembali normal. Oleh karena itu perhatian kembali diarahkan sepenuhnya kepada
pertahanan dalam menghadapi serangan Belanda ke Ibukota RI Yogyakarta.
Kembali
Batalyon Sardjono ditugaskan ke pertahanan untuk manghadapi Belanda yang akan
menyerang dari arah barat (tepatnya di daerah Kuwaja, tapal batas Yogya-Kedu)
untuk menduduki ibukota
Tugas pasukan ini sehari-hari adalah menjaga di pos dan patroli, jika sedang tidak bertugas, anggota pasukan ini suka main-main ke sekitar Pertahanan atau naik ke bukit-bukit untuk melihat pemandangan dan mencari buah-buahan. Diatas bukit banyak pohon Duwet, Biasanya salah satu anggota yang bernama Wasiman memanjat pohon tersebut dan makan sekenyang-kenyangnya. Kalau sudah kenyang, baru memetik buah duwet untuk dibawa pulang. Tidak hanya itu saja yang menjadi hiburan, Wasiman sendiri mempunyai hobi berburu burung. Jenis burung yang banyak terdapat di daerah tersebut adalah burung tekukur, bahkan jika ada bajing/tupai ditembak juga. Senjata yang digunakan adalah LE karliber 7,7mm, bayangkan jika burung itu ditembak dengan peluru 7,7mm, jika kena dada atau kepalanya tentu burung tersebut akan hancur tetapi jika kena kaki atau sayapnya beruntung sekali karena masih utuh. Pada waktu itu Wasiman dijuluki penembak mahir oleh kawan-kawannya. Karena senjata yang Wasiman gunakan untuk perang itu skoknya keras sekali, tetapi Wasiman bisa menembak burung dengan senjata tersebut.
Tugas pasukan ini sehari-hari adalah menjaga di pos dan patroli, jika sedang tidak bertugas, anggota pasukan ini suka main-main ke sekitar Pertahanan atau naik ke bukit-bukit untuk melihat pemandangan dan mencari buah-buahan. Diatas bukit banyak pohon Duwet, Biasanya salah satu anggota yang bernama Wasiman memanjat pohon tersebut dan makan sekenyang-kenyangnya. Kalau sudah kenyang, baru memetik buah duwet untuk dibawa pulang. Tidak hanya itu saja yang menjadi hiburan, Wasiman sendiri mempunyai hobi berburu burung. Jenis burung yang banyak terdapat di daerah tersebut adalah burung tekukur, bahkan jika ada bajing/tupai ditembak juga. Senjata yang digunakan adalah LE karliber 7,7mm, bayangkan jika burung itu ditembak dengan peluru 7,7mm, jika kena dada atau kepalanya tentu burung tersebut akan hancur tetapi jika kena kaki atau sayapnya beruntung sekali karena masih utuh. Pada waktu itu Wasiman dijuluki penembak mahir oleh kawan-kawannya. Karena senjata yang Wasiman gunakan untuk perang itu skoknya keras sekali, tetapi Wasiman bisa menembak burung dengan senjata tersebut.
Pada
hari minggu 19 Desember 1948 Wasiman sedang tidak mendapatkan giliran tugas,
maka kesempatan itu Wasiman gunakan untuk menembak burung. Wasiman mengajak
seorang kawan dan pergi ke atas bukit. Kurang dari jam 10.00 WIB Wasiman
melihat beberpa pesawat udara dari arah barat menuju timur. Keduanya menjadi
curiga karena biasanya tidak ada pesawat udara. Namun hati Wasiman sedikit
tenang karena pesawat itu terbang tinggi dan tidak mungkin untuk menyerang keduanya.
Setelah tiba di markas, kawan-kawan tenang-tenang saja seolah-olah tidak
terjadi apa-apa. Seperti biasa Wasiman masih memanggul hasil buruannya.
Setelah
makan siang, semua pasukan diperintahkan untuk siap tempur. Diberitahukan bahwa kota Yogya telah diduduki
oleh pasukan Belanda. Pasukan Belanda menyerang dari arah timur menerjunkan
pasukan payungnya di Maguwo dan melakukan pengeboman terlebih dahulu.
Pada waktu itu masyarakat Yogya melihat pesawat di atas Yogya dan mendengar suara tembakan, namun masyarakat tetap tenang-tenang saja karena sebelumnya sudah ada pengumuman bahwa hari itu AURI sedang mengadakan latihan perang.
Pada waktu itu masyarakat Yogya melihat pesawat di atas Yogya dan mendengar suara tembakan, namun masyarakat tetap tenang-tenang saja karena sebelumnya sudah ada pengumuman bahwa hari itu AURI sedang mengadakan latihan perang.
Setelah
melihat kenyataan bahwa pasukan darat Belanda bergerak menuju kota, barulah
rakyat tersadar bahwa Belanda telah menyerang kota Yogyakarta. Dengan serangan
mendadak dan tanpa terduga, keadaan jadi sangat kacau TNI tidak dapat berbuat
banyak selain hanya menghambat gerak Belanda dengan tujuan untuk memberi
kesempatan kepada para pemimpin agar dapat merencanakan dan mengambil tindakan
lebih lanjut.
Pada
suatu hari Istana Negara sedang mengadakan rapat, mengingat situasi sudah
sangat genting, maka Presiden Soekarno mengambil keputusan:
- Ibukota RI dipindahkan ke Bukittinggi.
- Jendral Soedirman diperintahkan keluar kota dan melakukan perang gerilya.
- Bung Karno dan Bung Hatta tetap berada di istana dengan resiko ditawan oleh belanda.
- Tentara dan rakyat harus mengadakan perlawanan kepada Belanda.
Setelah
menerima berita, satu Batalyon kecuali
kompi 1 pimpinan Kapten Widodo yang berada di dalam kota, segera bergerak berjalan
kaki menuju ke Bantul melalui Brosot. Jarak dari Kuwojo ke Bantul cukup jauh.
Wasiman tidak ingat berapa jam perjalanan, yang Wasiman ingat semalaman pasukan
Batalyon Sardjono berjalan terus. Sungguh sangat melelahkan perjalanan itu,
pasukan Batalyon Sardjono hanya beristirahat secukupnya dan meminta makanan di
Sebuah kelurahan. Oleh Pak lurah kami diberi makan mie rebus sekedar untuk
penganjal perut.
Pendek
kata dalam keadaan lemah dan mengantuk pasukan tiba di luar Kota Bantul dengan
selamat. Lalu pasukan Batalyon Sardjono hanya beristirahat dan tidur
secukupnya.
Setelah
semua pasukan sudah dikoordinasikan dan tempat sudah diatur, maka pimpinan
menyusun rencana serangan balasan. Letkol Soeharto komandan Brigade X sebagai
Komandan Wehrkreis III. Kalau tidak salah pos
komando pak Soeharto pertama kali adalah di Ngotho.
Daerah
Selatan yang merupakan wilayah dari Sub-Wehrkreise (SWK) 102 Batalyon I
di bawah komandan
Mayor Sardjono. Susunan
Batalyon Mayor Sardjono saat perjuangan melawan Belanda di saat Agresi Belanda
ke II.
Kompi
1, pimpinan Kapten Widodo berada di Krapyak, Dongkelan
Untuk
peletonnya ada Peleton di bawah pimpinan Letda Sugiarto.
Kompi
2, pimpinan Kapten Soedarmo berada di Bakulan.
Kompi
3, pimpinan Kapten Ali Affandi berada di Kotagede.
Peletonnya
ada yang dibawah pimpinan Letnan Komarudin.
Kompi
4, pimpinan Kapten A. Soemarno semula di Tamanan, kemudian pindah ke Mail,
kemudian pindah lagi ke Bibis Bangunjiwo.
Kompi
Senjata Bantuan pimpinan Kapten Oesodo.
Setelah
Belanda menduduki Yogyakarta,
kemudian untuk menghambat
gerakan Belanda ke
Selatan Sie Soeradal segera
di tempatkan di selatan kota
daerah Dongkelan. Sie
I, II, dan sebagian
Cie IV dipindahkan
kembali bergerak menuju
sektor II (Bantul). Pasukan TNI
berjalan sambil menghancurkan
jembatan Winongo yang menghubungkan antara Kota Yogyakarta dan
Bantul.
Pasukan TNI Batalyon I Sardjono berangsur-angsur mulai berkumpul setelah koordinasi berjalan dengan baik. Sie Komarudin, Sie Widodo, Sie Sudarmo diberikan tugas untuk menjaga daerah perbatasan di samping Sie Soeradal. SWK 102 membuat barisan penghadangan di sekitar wilayah Sewon karena wilayah tersebut merupakan wilayah paling dekat dengan Kota Yogyakarta. Pantai selatan juga tetap diawasi ketat oleh Sie Saliman untuk mengantisipasi masuknya Belanda melalui jalur pantai.
Belanda rupanya telah merencanakan gerakan tentaranya ke Barat Kota sehingga menduduki desa Pedes kemudian sebagian menduduki jembatan Bantar di Sungai Progo. Setelah menduduki jembatan Bantar, Belanda lalu menuju ke selatan dan bermalam di Pabrik Gula Gesikan yang pada waktu itu masih utuh belum di bumi hanguskan oleh rakyat dan TNI. Belanda lalu melepaskan tembakan untuk membuat rakyat panik pada pukul 18.00. Rakyat ternyata panik dan bertanya -tanya tentang suara tembakan tersebut dari TNI atau dari Belanda.
Belanda rupanya telah merencanakan gerakan tentaranya ke Barat Kota sehingga menduduki desa Pedes kemudian sebagian menduduki jembatan Bantar di Sungai Progo. Setelah menduduki jembatan Bantar, Belanda lalu menuju ke selatan dan bermalam di Pabrik Gula Gesikan yang pada waktu itu masih utuh belum di bumi hanguskan oleh rakyat dan TNI. Belanda lalu melepaskan tembakan untuk membuat rakyat panik pada pukul 18.00. Rakyat ternyata panik dan bertanya -tanya tentang suara tembakan tersebut dari TNI atau dari Belanda.
Setelah
menyusun rencana, TNI mengadakan serangan balasan masuk kota pada malam hari.
Tentu saja ini membuat terkejut Belanda, karena Belanda menganggap TNI sudah
tidak memiliki kekuatan lagi. Tetapi TNI masih ada dan mampu mengadakan
serangan balasan dalam waktu singkat tanpa terduga.
Pemeriksaan akan dilakukan pada pagi hari dan ternyata Belanda sudah meninggalkan Pabrik Gula tersebut untuk menuju ke arah Palbapang pada pukul 05.00. Rakyat yang menjaga persimpangan Palbapang ditangkap oleh patroli Belanda kemudian di tembak mati. Pada h ari itu juga Belanda memasukki Kota Bantul tanpa adanya perlawanan dari TNI. Hal tersebut dikarenakan TNI (SWK 102) masih berada di dalam Kota Yogyakarta untuk melakukan serangan balasan.
Sedangkan menurut Mayor (Purn.) Soeyoto dan H. Sodali, Komandan Kompi ditugaskan untuk mempertahankan Pangkalan Batalyon I/X/III Jebugan Bantul. Namun karena adanya serangan Belanda secara tiba-tiba dan Kompi di Jebugan tidak mampu mempertahankan, maka pangkalan ditinggalkan menuju Imogiri dan selanjutnya bergabung dengan sebagian pasukan di Parangtritis. Setelah diyakini tidak akan terjadi pendaratan pasukan Belanda di Parangtritis dan Samas, maka Kompi menyusul Induk Pasukan di Markas Batalyon Pandak. Namun ternyata pasukan Belanda justru mengarah ke Pandak. Pasukan Belanda menyergap lewat Gunung Sepikul dan menghancurkan pertahanan gerilyawan sehingga harus mundur ke timur sampai lapangan Jodog dan ke selatan hingga desa Kadek.
Di Argomulyo, pembantaian dilakukan Belanda. Rumah-rumah dibakar dan tembakan membabi buta tak henti-hentinya menyalak. Belanda sepertinya begitu benci terhadap Argomulyo. Hal ini dikarenakan desa Kemusuk, Argomulyo merupakan tempat tinggal Letkol Suharto yang menjadi Komandan Wehrkreise dan berperan penting dalam melawan Belanda.
Belanda bertemu di tengah-tengah perjalanan dan mengadakan kontak senjata. Pasukan SWK 102 yang sedang dalam kondisi kelelahan segera menyebar dan akan berkumpul di lokasi yang sudah disepakati yaitu di Imogiri. Imogiri merupakan tempat yang mudah dijangkau dan diketahui oleh pasukan SWK 102 karena terdapat makam Raja-Raja Mataram dan Surakarta.
Sedangkan menurut Mayor (Purn.) Soeyoto dan H. Sodali, Komandan Kompi ditugaskan untuk mempertahankan Pangkalan Batalyon I/X/III Jebugan Bantul. Namun karena adanya serangan Belanda secara tiba-tiba dan Kompi di Jebugan tidak mampu mempertahankan, maka pangkalan ditinggalkan menuju Imogiri dan selanjutnya bergabung dengan sebagian pasukan di Parangtritis. Setelah diyakini tidak akan terjadi pendaratan pasukan Belanda di Parangtritis dan Samas, maka Kompi menyusul Induk Pasukan di Markas Batalyon Pandak. Namun ternyata pasukan Belanda justru mengarah ke Pandak. Pasukan Belanda menyergap lewat Gunung Sepikul dan menghancurkan pertahanan gerilyawan sehingga harus mundur ke timur sampai lapangan Jodog dan ke selatan hingga desa Kadek.
Di Argomulyo, pembantaian dilakukan Belanda. Rumah-rumah dibakar dan tembakan membabi buta tak henti-hentinya menyalak. Belanda sepertinya begitu benci terhadap Argomulyo. Hal ini dikarenakan desa Kemusuk, Argomulyo merupakan tempat tinggal Letkol Suharto yang menjadi Komandan Wehrkreise dan berperan penting dalam melawan Belanda.
Kapten
Inf. (Purn) Soewondho dalam catatan yang diberikan kepada Kapten CKU (Purn)
sebelum meninggal menceritakan mengenai perjuangan melawan Belanda Desember 1948. Ia sebagai Bintara Peralatan Batalyon Sardjono di Pos Pabrik
Jebugan dan sebagai pengawal pribadi Sardjono mendapat tugas piket Batalyon,
menerima laporan bahwa Kantor Telepon Palbapang dirusak oleh Belanda. Piket
Batalyon segera melapor ke Komandan dan diperintahkan kepada semua Dan Ki
segera menempatkan diri sesuai rute yang telah ditentukan. Batalyon Sardjono
bergerak ke Pandak untuk bermarkas di Pandak. Gerakan ini diketahui Belanda. Di
sudut desa Cengkiran terdapat banyak sekali serdadu Belanda dengan senjata
lengkap. Pada pagi harinya, Soewondho memancing tembakan. Kontak senjata pun
terjadi dan kekalahan ada di pihak Soewondho karena kekurangan senjata.
Soewondho pun lari ke selatan dengan luka tembakan di tubuhnya. Namun ia
ditolong rakyat dan dibawa ke RS Ganjuran.
Setiap
rumah yang terendus Belanda sebagai tempat berkumpulnya para anggota Tentara
Nasional Indonesia pasti akan menjadi sasaran penyerbuan Belanda, seperti yang
terjadi di Ngoto. Suatu pagi di Ngoto didatangi sepasukan Belanda yang berjalan
kaki. Hal itu dilihatnya oleh Pak Kliwon dan Pak Narsen yang ketika itu menjadi
anggota tentara pelajar. Pak Kliwon dan temannya kemudian berlari menyebrang
jalan ke timur. Ia berharap dikejar oleh musuh dengan tembakan sehingga bisa
menarik perhatian dan membangunkan warga sekitar yang masih tidur. Sekaligus
menjadi perintah siaga bagi semua tentara dan polisi yang berada di tempat itu.
Belanda pun mengejarnya dengan tembakan membabi buta. Rakyat yang terkejut
berlarian sehingga Belanda banyak yang terkena tembakan Belanda. Tercatat 21
rakyat sipil dan 9 polisi tewas dalam peristiwa tersebut.
Di dusun Ponggok (Jetis), Belanda nampaknya ingin mendirikan pos di bekas gudang tebu. Sampai menjelang sore, Belanda masih belum keluar sari kawasan itu. Akhirnya tentara RI memutuskan untuk mengepung dan pagi harinya diserang. Begitu pecah suara tembakan sehabis subuh, kendaraan patroli Belanda pun berdatangan. Dari Bulak Pacar sampai Ponggok pun berubah menjadi medan pertempuran. Pertempuran berlangsung hingga jam sepuluh malam dan berakhir setelah dibubarkan oleh pesawat cocor merah menghujani tembakan membabi buta. Korban yang terlihat saksi mata ialah para anggota APS dari kesatuan polisi pramong praja yang bergabung, diperkirakan berjumlah ratusan orang tewas menjadi tumbal perjuangan kemerdekaan di tempat itu.
Patroli Belanda melakukan penggeledahan dan membongkar toko-toko di pinggir jalan. Selain itu, patroli tersebut juga mengangkut barang -barang yang masih ada di dalamnya. Belanda juga membawa tawanan bangsa Tiong Hoa yang ada di Bantul untuk dibawa ke Kota Yogyakarta. Pasukan SWK 102 dan PatroliDi dusun Ponggok (Jetis), Belanda nampaknya ingin mendirikan pos di bekas gudang tebu. Sampai menjelang sore, Belanda masih belum keluar sari kawasan itu. Akhirnya tentara RI memutuskan untuk mengepung dan pagi harinya diserang. Begitu pecah suara tembakan sehabis subuh, kendaraan patroli Belanda pun berdatangan. Dari Bulak Pacar sampai Ponggok pun berubah menjadi medan pertempuran. Pertempuran berlangsung hingga jam sepuluh malam dan berakhir setelah dibubarkan oleh pesawat cocor merah menghujani tembakan membabi buta. Korban yang terlihat saksi mata ialah para anggota APS dari kesatuan polisi pramong praja yang bergabung, diperkirakan berjumlah ratusan orang tewas menjadi tumbal perjuangan kemerdekaan di tempat itu.
Belanda bertemu di tengah-tengah perjalanan dan mengadakan kontak senjata. Pasukan SWK 102 yang sedang dalam kondisi kelelahan segera menyebar dan akan berkumpul di lokasi yang sudah disepakati yaitu di Imogiri. Imogiri merupakan tempat yang mudah dijangkau dan diketahui oleh pasukan SWK 102 karena terdapat makam Raja-Raja Mataram dan Surakarta.
Pada tanggal 31 Desember 1948 ketika semua pasukan sudah berkumpul, komandan SWK 102 kemudian memberikan tugas. Tugas yang diberikan kepada pasukan adalah sebagai berikut.
1. Mengadakan penyerangan gerilya secara terus menerus.
2. Mengadakan penghadangan pasukan Belanda di jalan-jalan besar.
3. Mengadakan sabotase.
4. Merusak, menghancurkan jalan atau jembatan yang telah diperbaiki Belanda.
Gerakan pasukan SWK 102 harus mobil artinya harus selalu berpindah pindah dari satu desa ke desa lainnya. Taktik dan siasat gerilya sengaja dipilih karena mempunyai beberapa keuntungan sebagai berikut.
1. Pada gerilya mengenal dengan jelas keadaan geografis Bantul yang memiliki kondisi perbukitan di sisi Barat dan Timur , banyak sungai besar, masih banyak hutan, dan perkampungan yang dipenuhi pohon pohon besar.
2. Mengerti kebiasaan penduduk Bantul sehingga memudahkan kerja sama dalam melaksanakan tugas.
3. Menebalkan semangat perjuangan rakyat karena TNI masih mempunyai kekuatan serta dapat diandalkan.
4. Rakyat merasa bangga dan merasa lebih aman.
5. Kedudukan TNI sulit diketahui Belanda karena kita selalu berpindah dan rakyat selalu memberitahu jika Belanda datang.
Belanda mulai menduduki daerah Bantul pada tanggal 19 Januari 1949 dengan membawa kurang lebih 2 Kompi. Belanda bergerak melalui Imogiri kemudian menuju ke Barongan. Daerah Barongan terdapat pabrik gula yang dahulu ditinggalkan ketika Jepang datang ke RI. Setelah Barongan berhasil diduduki, Belanda kemudian bergerak ke arah Kota Bantul dan kemudian didirikan markas pusat Belanda di daerah Bantul. Belanda kemudian secara berturut mulai menduduki beberapa pabrik gula di Bantul seperti di daerah Pleret dan Padokan.
Daerah Bantul sudah diduduki oleh Belanda, kemudian seluruh pasukan SWK 102 dengan dibantu rakyat secara aktif melakukan perang gerilya. TNI dan rakyat juga secara bergotong -royong menggali lubang -lubang besar di jalan-jalan besar selain itu juga m enebangi pohon -pohon besar dengan tujuan agar menyulitkan Belanda yang melintasi jalan tersebut. Rakyat mengetahui walau jiwa dan hartanya akan terancam karena melakukan hal tersebut akan tetapi, tindakan tersebut semakin menambah semangat perjuangan.
Perlawanan yang dilakukan oleh TNI khususnya SWK 102 semakin gencar setelah Belanda menduduki daerah Bantul pada tanggal 19 Januari 1949. Setelah Komandan SWK 102 Mayor Sardjono mengumumkan bahwa perang gerilya dilakukan di daerah perlawanan masing. Berbagai daerah yang terdapat pos Belanda selalu diserang agar Belanda merasa tidak aman. Di Bantul pun terjadi pertempuran-pertempuran demi mempertahankan kemerdekaan RI. Titik pertempuran di Bantul diantaranya : Jembatan Bantar Sedayu, Nyangkringan, Niten Trirenggo, Pasar Bantul, Pleret, Jebugan, Palbapang, Ganjuran, Pandak, Gunung Sepikul, dan Ngotho. Berbagai daerah yang menjadi sasaran penyerangan SWK 102 adalah sebagai berikut.
1. Pertempuran di Jati dan Brajan
Jati dan Brajan adalah nama -nama pedukuhan yang berada di dalam Kelurahan Wonokromo, Kecamatan Pleret (pada masa perang kemerdekaan II dinamakan Kapanewon Gondowulung), Kabupaten Bantul , Daerah Istimewa Yogyakarta. Luas wilayah Desa Wonokromo adalah 4.021.485 ha, desa ini merupakan daerah yang subur karena terdapat bermacam -macam tanaman dapat tumbuh dengan baik. Desa Wonokromo juga terdapat empat aliran sungai besar yaitu sebelah timur Sung ai Gajah Wong, Sungai Belik, paling barat Sungai Code, dan paling selatan adalah Sungai Opak. Adanya sungai dan area persawahan tersebut, desa ini sangat strategis untuk perang geilya.
Pertempuran-pertempuran setiap hari terjadi antara pasukan gerilyawan dengan pasukan patroli -patroli Belanda. Setelah serangan balasan ke Kota Yogyakarta untuk yang pertama pada tanggal 29 Desember 1948, pada pagi harinya mulailah pertempuran yang hebat di jalan antara Palbapang dan Bakulan. SWK 102 yang sedang dalam kondisi kelelahan kemudian menyebar dan pada malam harinya berkumpul di Imogiri.
Sektor II sejak tanggal 31 Desember 1948 mulai diganti namanya menjadi Sub-Wehrkreise (SWK) 102 dengan komandan Batalyon I Mayor Sardjono. Daerah SWK 102 mempunyai wilayah dari Ambarukmo, Maguwo, Giwangan, Kotagede, Pleret, sampai sebelah selatan Karangsemut. Berangsur-angsur pasukan SWK 102 mulai berdatangan dan berkumpul yang kemudian diberikan tugas untuk bergerilya di selatan Kota Yogyakarta seperti Sie Soeradal, Sie Widodo, Sie Sudarmo, dan Sie Komarudin.
Daerah Wonokromo ini merupakan basis pasukan Komarudin. Komarudin sendiri sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat sekitar Wonokromo, bahkan ketenaran Komarudin melebihi dari Letkol Soeharto selaku Komandan Wehrkreise (WK) III.
Seorang Komarudin bisa terkenal karena keberanian dalam menghadapi Belanda dan juga menurut masyarakat seorang yang anti peluru.
Pos-pos pasukan Komarudin selalu berpindah-pindah meskipun hanya di dalam wilayah Wonokromo seperti di Brajan, Karanganom, Wonokromo, dan Jejeran. Daerah operasi Komarudin juga sampai jauh ke utara Desa Wonokromo seperti Sorogenen, Bulu, Gandok, Ndruwo, dan sekitarnya.
Pasukan Komarudin mendapat dukungan kuat dari rakyat Wonokromo yang membantu membuat pos -pos di rumah -rumah penduduk desa. Daerah Wonokromo merupakan daerah kewaspadaan tinggi karena desa ini dekat sekali dengan markas Belanda di Pleret. Markas Belanda di Pleret termasuk markas yang besar dan kuat selain itu di Pleret tepatnya Desa Segoroyoso juga dijadikan markas WK III. Pasukan Komarudin dan masyarakat bergotong royong untuk membuat lubang-lubang besar di jalan agar menghambat pergerakan patrol Belanda.
Rakyat yang sebagian besar sebagai petani sering membantu membawakan senjata ke garis depan selain itu juga membuat ransum atau nuk untuk diberikan kepada gerilyawan. Pasukan TNI juga tidak segan untuk meminta makanan kepada penduduk Wonokromo. Penduduk sadar jika TNI pasti kelelahan dan kelaparan setelah bertempur dengan Belanda. Pada malam hari di Desa Wonokromo juga sering disinggahi pasukan TNI untuk beristirahat dan pada siang harinya meninggalkan desa tersebut. Pergerakan pasukan TNI selalu mobil artinya tidak menetap agar sulit diketahui oleh Belanda.
a. Pertempuran Jati
Komandan Tijgerbrigade Belanda Kolonel Van Langen pada tanggal 1 Februari 1949 mengeluarkan rencana untuk mengadakan pembersihan di sekitar Sungai Opak – Jalan Yogya – Imogiri, dan Jejeran yang diperkirakan basis gerilyawan. Pada tanggal 2 Februari 1949 sekitar pukul 15.00 kapal terb ang Belanda menyambar-nyambar dengan terbang sangat rendah. Kapal terbang tersebut sedang melakukan pemantauan aktifitas penduduk maupun gerilyawan di daerah Wonokromo. Konvoi pasukan Belanda dari markas Pleret menuju Jejeran dimulai pada tanggal 3 Februari 1949 pukul 06.00. Setelah memiliki keyakinan bahwa Wonokromo merupakan basis gerilya kemudian segera bergerak. Belanda mengepung Jejeran (daerah Wonokromo) dari berbagai arah kemudian melakukan penggrebekan di rumah -rumah penduduk dan membunuh penduduk sebanyak 8 orang. Beberapa penduduk yang tampak mencurigakan langsung dibunuh oleh Belanda.
Pendudukan Belanda di Yogyakarta saat Agresi Militer II yang diincar adalah kaum laki -laki. Hal tersebut karena laki-laki biasanya ikut terlibat dalam perang gerilya baik ikut berperang di medan pertempuran ataupun sebagai pengirim ransum. Maka dari itu, ketika Belanda mendatangi sebuah perkampungan, kaum laki-laki akan bersembunyi atau berlari menuju ke tempat yang aman. Belanda sering menangkap kemudian membunuh pe nduduk laki-laki yang ditemuinya.
Keadaan rakyat yang mengetahui kedatangan Belanda segera berlari menyelematkan diri. Sebagian besar dari penduduk Jejeran berlari ke arah timur menuju ke pedukuhan Jati dengan membongkok-bongkok melewati Sungai Belik. Belanda yang mengetahui hal tersebut bergegas mengejar melalui jalan-jalan desa dan pekarangan penduduk. Pasukan gerilyawan segera menembak Belanda sehingga menimbulkan pertempuran yang sengit. Komarudin sebenarnya mempunyai basis pasukan di Jejeran, akan tetapi sedang tidak berada di tempat sehingga selamat dari operasi Belanda.
Anak buah Komarudin yang mendengar adanya operasi Belanda segera mencari posisi yang strategis untuk menyerang Belanda. Penyerangan tersebut hanya dilakukan oleh 2 orang tentara saja yaitu Jawadi dan Yudi. Keduanya berasal dari Wonokromo yang menjadi laskar Hizbullah dan bergabung dengan pasukan Komarudin. Jawadi dan Yudi sanggup mengatasi pasukan Belanda yang berjumlah 1 regu (15 orang). Keduanya menempati bekas pabrik tembakau sebagai pertahanan sementara pasukan Belanda datang dari arah Barat. Pasukan Belanda mengalami kerugian 2 orang yang terluka kemudian akan dibawa ke Tegal Gendu (daerah Kotagede) untuk diobati. Perjalanan yang lumayan jauh sehingga 2 orang yang terluka tadi meninggal. Sementara itu di Jati, Belanda masih terus menembakan pelurunya selama beberapa jam. Pasukan Belanda yang kaget karena suara tembakan dari TNI segera menceburkan diri ke dalam parit. Pasukan Belanda berjalan dengan merayap untuk mendekati pertahanan TNI, akan tetapi kedua orang tadi sudah menghilang.
Belanda kemudian me mburu kedua orang tadi sampai di pedukuhan Sareyan. Belanda yang gagal mengejar kedua orang gerilyawan segera melampiaskan kemarahannya dengan membunuh 7 orang penduduk. Setelah kembali ke markas Pleret kemudian Belanda melakukan serangan jarak jauh dengan mortir. Rumah-rumah penduduk di sekitar Wonokromo terkena serangan tersebut dan membawa kerugian yang cukup besar. Akan tetapi, peristiwa itu tidak menyurutkan semangat penduduk untuk berjuang melawan Belanda.
b. Pertempuran Brajan
Pertempuran di Brajan me letus pada tanggal 10 April 1949 sekitar pukul 13.00 dan berakhir menjelang pukul 18.00. Pertempuran dimulai ketika pasukan patroli Belanda yang berada di wilayah Wonokromo. Pasukan patroli Belanda datang dari arah timur (markas Pleret) kemudian memasuki wilayah pedukuhan Kanggotan pada sekitar pukul 04.00. Sesampainya di Kanggota Belanda mengeluarkan 2 tembakan karena melihat seorang penduduk yang hendak keluar rumah bernama Pak Sastro.
Pasukan Komarudin saat itu sedang berada tidak jauh dari rumah Pak Sastro sehingga langsung bersiap untuk menghadang Belanda di sebelah Barat Sungai Gajah Wong. Belanda ternyata tidak bergerak ke Barat (daerah Wonokromo) akan tetapi menuju ke Selatan. Pasukan Komarudin yang melihat kejadian tersebut segera melaporkan situas i kepada pimpinannya yaitu Letnan Komarudin. Komarudin kemudian mengeluarkan perintah untuk melakukan pengepungan terhadap patroli Belanda. Pasukan Komarudin yang berjumlah 3 regu (45 orang) segera melakukan pengepungan. Siasat pengepungan dilakukan dari bagian Selatan di Trimulyo agar Belanda bergerak ke Barat. Di bagian Barat sendiri, pasukan Komarudin sudah menunggu dan menembakan beberapa peluru agar patroli Belanda bergerak ke arah Utara. Patroli Belanda kemudian bergerak ke Utara melewati tengah-tengah persawahan menuju ke pedukuhan Brajan dan Jejeran. Sesampainya di Jejeran, pasukan Komarudin bergerak ke arah Barat di tepi Sungai Code untuk
menghadang pergerakan patroli. Patroli Belanda yang berada di Jejeran kemudian di giring dengan tembakan dan bergerak ke arah Selatan. Akan tetapi dari Selatan pasukan Komarudin bergerak ke Utara ditambah dengan tembakan dari arah Barat (tepi Sungai Code). Belanda yang sedang posisi terkepung kemudian berhenti di area persawahan sebelah Barat pedukuhan Brajan. Perte mpuran di area persawahan yang padinya sudah mulai menguning terjadi dengan sengit. Korban di pihak Belanda ada 5 orang dan 1 orang terluka yang akhirnya meninggal juga. Kondisi cuaca waktu itu sedang hujan lebat dan hari mulai gelap sehingga sisa 1 regu dari patroli Belanda berhasil melarikan diri . Pada malam harinya daerah yang menjadi tempat pertempuran di hujani oleh mortir dan persenjataan berat lainnya. Serangan mortir tersebut mengakibatkan kerusakan di beberapa rumah penduduk, akan tetapi, dari pihak TNI dan rakyat desa tidak ada korban jiwa satupun.
2. Pertempuran Mrisi
Pedukuhan Mrisi terletak di Kelurahan Tirtonirmolo, Kapanewon Kasihan Bantul. Daerah Pedukuhan Mrisi berbukit -bukit di bagian utara dan di bagian selatan adalah dataran. Pedukuhan Mris i ini terletak di selatan Padokan tepatnya di selatan Pabrik Gula Padokan yang digunakan sebagai markas Belanda. Sebelah Barat Pedukuhan Mrisi terdapat Sungai Bedok yang mengalir dari Utara ke Selatan. Kemudian di sebelah Timur terdapat jalan besar yang me nghubungkan antara Kota Yogyakarta menuju Bantul.
Pabrik Gula Padokan yang terletak di utara Pedukuhan Mrisi merupakan markas Belanda yang banyak digunakan untuk tempat kendaraan berat seperti Tank, Panser, dsb. Pabrik Gula Padokan adalah markas Belanda yang paling dekat dengan Kota Yogyakarta . Markas Belanda di Padokan ini sebenarnya tergolong lemah akan tetapi sangat sulit untuk ditaklukan karena lokasinya yang dekat dengan Kota Yogyakarta. Bantuan Belanda dari kota akan cepat datang untuk membantu menghadapi TNI.
Kompi II Batalyon I dibawah pimpinan Letnan Soedarmo yang mundur setelah serangan balasan I tanggal 29 Desember 1948 berhasil menghancurkan jembatan penting. Jembatan yang dihancurkan dengan Track Bom adalah Jembatan Winongo dan Jembatan Padokan. Penghancuran kedua jembatan ini dimaksudkan untuk menghambat gerakan Belanda dari Kota Yogyakarta menuju Bantul. Kompi II ini juga mendapatkan perintah untuk melakukan penghambatan dengan memasang ranjau darat dan pemasangan rintangan. Gerakan Belanda yang semula melalui kedua jembatan tersebut berpindah menjadi Padokan, Mrisi, Karangpule, Niten, dan Jalan Yogyakarta -Bantul. Oleh karena itu, pasukan Kompi II banyak melakukan penghambatan maupun penghadangan Belanda di Pedukuhan Mrisi. TNI dan penduduk P edukuhan Mrisi
bergotong royong untuk membuat penghambat pergerakan Belanda. Mereka menggunakan kreatifitas nya untuk menyamarkan tanah yang tanam ranjau maupun yang tidak ditanam ranjau. Penduduk Mrisi juga pernah menggunakan sarang lebah untuk mengelabuhi Belanda.
Jalan antara Padokan - Niten adalah “neraka” bagi musuh, tetapi tempat yang sangat menggembirakan bagi TNI. Banyak tentara Belanda yang meninggal di daerah tersebut. Begitu juga dengan kendaraan lapis baja banyak yang hancur karena terkena ranjau. Ketika ranjau tersebut mengenai sasaran rakyat bersorak sorak kegirangan disamping itu tentara Belanda juga menghamburkan pelurunya ke segala arah. Setelah tentara Belanda terkena ranjau dapat dipastikan rumah rumah penduduk di kiri dan kanan jalan akan habis dibakar, tetapi hal tersebut tidak berarti asalkan siasat tersebut berhasil.
Kompi Soedarmo juga mendapatkan bantuan dari Laskar Tirtonirmolo pimpinan Tiyoso. Pasukan Kompi Soedarmo dan Laskar Tirtonirmolo saling bahu-membahu untuk melakukan serangan terhadap Belanda. Laskar Tirtonirmolo juga mendapatkan bantuan persenjataan dari TNI berupa 1 buah Karaben Jepang, 1 buah M.P. RI, 1 buah Pistol Buldoc, 1 buah Karaben Belanda, 1 buah Vorre Kijker. Persenjataan tersebut masih kurang memadai jika dibandingkan jumlah Laskar Tirtonirmolo , akan tetapi keberanian mereka mengalahkan segalanya.
Perlawanan terhadap Belanda tentunya tidak dapat dilakukan secara frontal (berhadap-hadapan) karena persenjataan yang dimiliki kalah modern. Maka dari itu, kegiatan TNI dan Laskar Tirtonirmolo banyak difokuskan untuk menghadang konvoi Belanda dengan memasang ranjau darat ( Land Myn) atau Track Bom. Pemasangan ranjau darat merupakan cara efektif untuk menghancurkan kendaraan Belanda yang melintasi Pedukuhan Mrisi. Rakyat Mrisi telah sadar, jika pemasangan ranjau darat mengenai sasaran kendaraan Belanda maka dipastikan Belanda akan melakukan pembersihan di pedukuhan tersebut. Rakya t Mrisi juga telah tang gap ketika ranjau yang dipasang tersebut berhasil mengenai sasaran maka segera mengungsi ke daerah Bangunjiwo sebelah Barat Sungai Bedok. Pemasangan ranjau darat pertama kali dilakukan oleh anggota TNI bernama Darsi. Ranjau darat yang dipasang Darsi ternyata membawa hasil memuaskan, maka kemudian TNI dan Laskar Tirtonirmolo terus menerus melakukan pemasangan di Pedukuhan Mrisi. Belanda yang mengetahui hal tersebut sering melakukan penyisiran di lokasi penanaman ranjau darat dengan ditektor ranjau. Walaupun begitu, banyak tank maupun kendaraan Belanda lainnya terkena ranjau darat karena kecerdasan gerilyawan yang menyamarkan lokasi penanaman ranjau darat tersebut. TNI dan Laskar Tirtonirmolo melakukan pemasangan ranjau darat dan track bom dimulai pada bulan Februari 1949. Pada bulan Februari tidak kurang dari 7 ranjau darat dan track bom yang dipasang di pedukuhan Mrisi. Ranjau darat dan track bom tersebut ada 5 yang berhasil mengenai adalah sebagai berikut.
a. Tanggal 8 Februari 1949 ranjau darat berhasil mengenai sebuah traktor di desa Mrisi, tiga orang Belanda mati dan empat orang Belanda terluka.
b. Tanggal 9 Februari 1949 ranjau darat berhasil mengenai sebuah traktor di sebelah Selatan desa Mrisi, empat orang Belanda mati dan dua orang mengalami luka-luka. Pihak Laskar Tirton irmolo juga ada korban jiwa yaitu Saridjo dan melukai Tukul. Peristiwa ini bermula ketika Laskar Tirtonirmolo melakukan pengintaian Belanda yang sedang menolong rekannya terkena ranjau, akan tetapi Belanda mengetahui kemudian melepaskan tembakan.
c. Tanggal 11 Februari 1949 ranjau darat berhasil mengenai sebuah truk pengangkut bahan makanan dari Bantul ke Kota Yogyakarta di sebelah Selatan desa Mrisi, tiga orang Belanda mati dan tujuh orang luka-luka.
d. Tanggal 18 Februari 1949 ranjau darat dipasang di Selatan Pasar Niten dan tanggal 19 Februri 1949 berhasil mengenai dua traktor dan sebuah truk Rode Kruis rusak, 13 orang Belanda mati, empat orang mengalami luka luka. Belanda kemudian mengadakan operasi pembersihan dan membakar rumah sebanyak 113 buah sebagai bentuk pembalasan .
e. Tanggal 24 Februari 1949 pemasangan dua buah track bom dengan hasil 1 track bom berhasil dijinakkan Belanda dan 1 track bom mengenai tiga orang Belanda.
Pemasangan ranjau darat yang tid ak berhasil adalah:
a. Tanggal 15 Februari 1949 dikarenakan ranjau telah hilang karena diambil dua orang bernama Sugeng dan Tumidjan. Keduanya kemudian di interview tetapi karena keduanya melawan dengan menggunakan tombak dan granat tangan akhirnya keduanya terpaksa ditembak mati.
b. Tanggal 23 Februari 1949 tidak berhasil karena telah diketahui Belanda kemudian diambil.
TNI dan Laskar Tirtonirmolo juga memasang ranjau darat pada bulan Maret 1949 yaitu sebagai berikut.
a. Pada tanggal 3 Maret 1949 berhasil mengenai sebuah traktor di sebelah Timur Karang Pule, empat orang Belanda mati dan 2 orang mengalami luka-luka.
b. Pada tanggal 5 Maret 1949 berhasil mengenai sebuah truk yang banyak membawa pasukan Belanda. Korban yang jatuh tidak diketahui karena hari sudah gelap.
c. Pada tanggal 7 Maret 1949 berhasil menghancurkan sebuah traktor di sebelah Timur Karang Pule, tiga orang Belanda mati dan dua orang mengalami luka-luka.
d. Pada tanggal 14 Maret 1949 sebuah truk yang melintar di sebelah timur Karang Pule hancur terkena ranjau, enam orang Belanda mati dan tujuh mengalami luka-luka.
Pemasangan ranjau pada bulan-bulan berikutnya terkendala dengan semakin menipisnya persediaan ranjau dar at. Terkadang Laskar Tirtonirmolo dan TNI di Mrisi harus datang sendiri ke lokasi penyimpanan ranjau darat seperti di daerah Piyungan atau Demak Ijo. Ketersediaan ranjau yang semakin sedikit itu membuat Laskar Tirtonirmolo dan TNI melakukan cara lain yaitu membuat rintangan pohon -pohon yang ditebang di tengah -tengah jalan. Belanda yang melintas akan segera membersihkannya dan disaat membersihkan itulah TNI dan Laskar Tirtonirmolo akan melakukan penyerangan. Taktik yang dijalankan tersebut memang tidak efektif seperti melakukan penanaman ranjau darat. Persenjataan Belanda jelas lebih modern dan lebih banyak dibandingkan dengan TNI dan Laskar Tirtonirmolo. Walaupun begitu, usaha tersebut cukup membuat Belanda merasa tidak nyaman karena selalu diserang tiba -tiba. Serangan TNI dan Laskar Tirtonirmolo akan berhenti ketika datang bantuan Belanda dari Pabrik Gula Padokan.
Kegiatan Laskar Tirtonirmolo dan TNI pada bulan April hanya melakukan pemasangan ranjau darat sebanyak 2 buah saja yaitu sebagai berikut.
a. Pada tanggal 1 April 1949 pemasangan ranjau darat di sebelah Selatan desa Mrisi dan pada tanggal 3 April 1949 berhasil menghancurkan sebuah traktor dengan korban lima orang Belanda mati dan tiga orang mengalami luka-luka.
b. Pada tanggal 18 April 1949 pemasangan ranjau darat di sebelah Timur desa Krantil berhasil menghancurkan traktor pada tanggal 19 April 1949 dengan korban empat orang Belanda mati dan seorang mengalami luka luka.
Belanda memandang bahwa daerah Mrisi ke Selatan dampai Niten adalah daerah yang berbahaya. Padahal daerah tersebut merupakan jalur yang penting bagi transportasi Belanda menuju daerah Bantul. Belanda mengetahui bahwa di daerah Mrisi terdapat sarang dari Laskar Tirtonirmolo. Maka dari itu Belanda melakukan operasi pembersihan dan mendirik an pos di daerah Mrisi.
Kemunculan pos Belanda di daerah Mrisi dipandang TNI dan Laskar Tirtonirmolo adalah hal yang rawan. Pada malam harinya pos Belanda tersebut diserang oleh Laskar Tirtonirmolo dengan dibantu TNI dari Kompi II Sudarmo. Belanda tampaknya menderita korban yang cukup banyak karena sebagian besar pos tersebut banyak terdapat bekas darah. Peristiwa penyerangan pos tersebut membuat Belanda marah dan melampiaskannya dengan membakar desa dan rumah yang dijadikan pos pertahanan Belanda. Setelah peristiwa itu penduduk di Pedukuhan Mrisi mengungsi ke sebelah Barat Sungai Bedok.
TNI dan Laskar Tirtonirmolo juga melakukan pemantauan terhadap markas Belanda di Pabrik Gula Padokan. Pemantauan tersebut digunakan untuk mengetahui sejauh mana kekuataan Belanda di dalam Pabrik Gula Padokan. Pada bulan April diketahui kekuatan Belanda di markas Pabrik Gula Padokan adalah sebagai berikut.
a. Kekuatan Belanda keseluruhan kurang lebih sekitar 100 orang.
b. Kekuatan senjata antara l ain:
- 2 pucuk mortier.
- Bruingen GRI.
- Karabyn Belanda.
- Pistol.
c. Tempat-tempat yang berbahaya adalah:
- Sebelah Timur terdapat penanaman ranjau darat.
- Sebelah Utara terdapat banyak pecahan kaca.
d. Pos penjagaan terdiri dari dua orang piket dengan senjata Karabyn dan pistol.
e. Patroli Belanda dengan waktu yang tidak pasti mengambil rute Padokan, Mrisi, Karang Pule, Bongkotan, Kembang, Kasongan, Bulus, Tirto, Sembungan, Jagan, Kembaran, Jogonalan, dan Kweni.
Informasi penting tersebut kemudian menjadi bekal untuk serangan besar-besaran ke markas Belanda di Padokan. Serangan ini dilakukan oleh Kompi II dengan dibantu Laskar Tirtonirmolo melalui sebelah Barat dan sebelah Selatan Pabrik Gula Padokan dengan didukung serangan mortir dari desa Seyang.
Diperkirakan melalui kedua arah tersebut Belanda dapat dikalahkan, akan tetapi Belanda telah mengetahui rencana penyerangan tersebut. Belanda yang mengetahui gerakan TNI ke arah Pabrik segera melepaskan tembakan. Mortir yang semula ditujukan untuk menggempur pertahanan Belanda, malahan mengenai anggota TNI.
Pasukan bantuan Belanda datang dari arah Kota Yogyakarta semakin menambah besar kekuatan Belanda di markas Padokan. Tembakan mortir yang salah sasaran memaksa TNI untuk mundur dan membatalkan serangan ke markas Padokan. Serangan mortir juga membuat kerusakan di rumah-rumah penduduk
Mrisi. Kegagalan penyerangan ke markas Belanda membuat TNI dan Laskar Tirtonirmolo semakin mempertebal semangat perjuangan. Memasuki bulan Mei, sejumlah ranjau darat kembali di tanam di berbagai wilay ah yaitu sebagai berikut.
a. Pada tanggal 8 Mei 1949 menghancurkan sebuah panser di sebelah timur desa Karang Pule, korban sejumlah lima orang Belanda mati dan dua orang mengalami luka -luka.
b. Pada tanggal 7 Mei 1949 penanaman ranjau darat berhasil menghancurkan sebuah panser dan lima orang Belanda mati.
c. Pada tanggal 14 Mei 1949 di sebelah timur Karang Pule berhasil menghancurkan sebuah traktor, empat orang Belanda mati, dan seorang mengalami luka-luka.
d. Pada tanggal 16 Mei 1949 penanaman ranjau di se belah timur Karang Pule berhasil menghancurkan sebuah truk Belanda dan seluruh penumpang meninggal dunia.
Kegiatan Laskar Tirtonirmolo dan TNI tetap melakukan pemantauan terhadap markas Belanda di Padokan. Hasilnya selalu dilaporkan kepada Komandan Batalyon I Sardjono sehingga pergerakan Belanda di Padokan dapat selalu diketahui dan dikontrol.
Laskar Tirtonirmolo dan TNI tidak akan dapat bertahan tanpa bantuan dan dukungan dari masyarakat Mrisi. Keberhasilan TNI dalam melakukan pencegatan pasukan Belanda di Mrisi juga membawa korban jiwa. Sekitar 13 pejuang gugur saat bertempur melawan Belanda.
Pedukuhan Mrisi juga membuat dapur umum untuk memasok kebutuhan pangan para prajurit yang sedang bertempur di medan pertempuran. Kiriman nasi (nuk) sangat bermanfaat bagi prajurit TNI karena terbebas dari ancaman kelaparan. Rakyat Tirtonirmolo juga tidak segan memberikan sumbangan untuk membeli bahan-bahan kebutuhan sebagai dapur umum. Selain itu, para pamong desa juga turut terlibat dengan memberikan kas kepada dapur umum dan prajurit TNI sebagai bekal untuk berperang melawan Belanda.
1. Mengadakan penyerangan gerilya secara terus menerus.
2. Mengadakan penghadangan pasukan Belanda di jalan-jalan besar.
3. Mengadakan sabotase.
4. Merusak, menghancurkan jalan atau jembatan yang telah diperbaiki Belanda.
Gerakan pasukan SWK 102 harus mobil artinya harus selalu berpindah pindah dari satu desa ke desa lainnya. Taktik dan siasat gerilya sengaja dipilih karena mempunyai beberapa keuntungan sebagai berikut.
1. Pada gerilya mengenal dengan jelas keadaan geografis Bantul yang memiliki kondisi perbukitan di sisi Barat dan Timur , banyak sungai besar, masih banyak hutan, dan perkampungan yang dipenuhi pohon pohon besar.
2. Mengerti kebiasaan penduduk Bantul sehingga memudahkan kerja sama dalam melaksanakan tugas.
3. Menebalkan semangat perjuangan rakyat karena TNI masih mempunyai kekuatan serta dapat diandalkan.
4. Rakyat merasa bangga dan merasa lebih aman.
5. Kedudukan TNI sulit diketahui Belanda karena kita selalu berpindah dan rakyat selalu memberitahu jika Belanda datang.
Belanda mulai menduduki daerah Bantul pada tanggal 19 Januari 1949 dengan membawa kurang lebih 2 Kompi. Belanda bergerak melalui Imogiri kemudian menuju ke Barongan. Daerah Barongan terdapat pabrik gula yang dahulu ditinggalkan ketika Jepang datang ke RI. Setelah Barongan berhasil diduduki, Belanda kemudian bergerak ke arah Kota Bantul dan kemudian didirikan markas pusat Belanda di daerah Bantul. Belanda kemudian secara berturut mulai menduduki beberapa pabrik gula di Bantul seperti di daerah Pleret dan Padokan.
Daerah Bantul sudah diduduki oleh Belanda, kemudian seluruh pasukan SWK 102 dengan dibantu rakyat secara aktif melakukan perang gerilya. TNI dan rakyat juga secara bergotong -royong menggali lubang -lubang besar di jalan-jalan besar selain itu juga m enebangi pohon -pohon besar dengan tujuan agar menyulitkan Belanda yang melintasi jalan tersebut. Rakyat mengetahui walau jiwa dan hartanya akan terancam karena melakukan hal tersebut akan tetapi, tindakan tersebut semakin menambah semangat perjuangan.
Perlawanan yang dilakukan oleh TNI khususnya SWK 102 semakin gencar setelah Belanda menduduki daerah Bantul pada tanggal 19 Januari 1949. Setelah Komandan SWK 102 Mayor Sardjono mengumumkan bahwa perang gerilya dilakukan di daerah perlawanan masing. Berbagai daerah yang terdapat pos Belanda selalu diserang agar Belanda merasa tidak aman. Di Bantul pun terjadi pertempuran-pertempuran demi mempertahankan kemerdekaan RI. Titik pertempuran di Bantul diantaranya : Jembatan Bantar Sedayu, Nyangkringan, Niten Trirenggo, Pasar Bantul, Pleret, Jebugan, Palbapang, Ganjuran, Pandak, Gunung Sepikul, dan Ngotho. Berbagai daerah yang menjadi sasaran penyerangan SWK 102 adalah sebagai berikut.
1. Pertempuran di Jati dan Brajan
Jati dan Brajan adalah nama -nama pedukuhan yang berada di dalam Kelurahan Wonokromo, Kecamatan Pleret (pada masa perang kemerdekaan II dinamakan Kapanewon Gondowulung), Kabupaten Bantul , Daerah Istimewa Yogyakarta. Luas wilayah Desa Wonokromo adalah 4.021.485 ha, desa ini merupakan daerah yang subur karena terdapat bermacam -macam tanaman dapat tumbuh dengan baik. Desa Wonokromo juga terdapat empat aliran sungai besar yaitu sebelah timur Sung ai Gajah Wong, Sungai Belik, paling barat Sungai Code, dan paling selatan adalah Sungai Opak. Adanya sungai dan area persawahan tersebut, desa ini sangat strategis untuk perang geilya.
Pertempuran-pertempuran setiap hari terjadi antara pasukan gerilyawan dengan pasukan patroli -patroli Belanda. Setelah serangan balasan ke Kota Yogyakarta untuk yang pertama pada tanggal 29 Desember 1948, pada pagi harinya mulailah pertempuran yang hebat di jalan antara Palbapang dan Bakulan. SWK 102 yang sedang dalam kondisi kelelahan kemudian menyebar dan pada malam harinya berkumpul di Imogiri.
Sektor II sejak tanggal 31 Desember 1948 mulai diganti namanya menjadi Sub-Wehrkreise (SWK) 102 dengan komandan Batalyon I Mayor Sardjono. Daerah SWK 102 mempunyai wilayah dari Ambarukmo, Maguwo, Giwangan, Kotagede, Pleret, sampai sebelah selatan Karangsemut. Berangsur-angsur pasukan SWK 102 mulai berdatangan dan berkumpul yang kemudian diberikan tugas untuk bergerilya di selatan Kota Yogyakarta seperti Sie Soeradal, Sie Widodo, Sie Sudarmo, dan Sie Komarudin.
Daerah Wonokromo ini merupakan basis pasukan Komarudin. Komarudin sendiri sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat sekitar Wonokromo, bahkan ketenaran Komarudin melebihi dari Letkol Soeharto selaku Komandan Wehrkreise (WK) III.
Seorang Komarudin bisa terkenal karena keberanian dalam menghadapi Belanda dan juga menurut masyarakat seorang yang anti peluru.
Pos-pos pasukan Komarudin selalu berpindah-pindah meskipun hanya di dalam wilayah Wonokromo seperti di Brajan, Karanganom, Wonokromo, dan Jejeran. Daerah operasi Komarudin juga sampai jauh ke utara Desa Wonokromo seperti Sorogenen, Bulu, Gandok, Ndruwo, dan sekitarnya.
Pasukan Komarudin mendapat dukungan kuat dari rakyat Wonokromo yang membantu membuat pos -pos di rumah -rumah penduduk desa. Daerah Wonokromo merupakan daerah kewaspadaan tinggi karena desa ini dekat sekali dengan markas Belanda di Pleret. Markas Belanda di Pleret termasuk markas yang besar dan kuat selain itu di Pleret tepatnya Desa Segoroyoso juga dijadikan markas WK III. Pasukan Komarudin dan masyarakat bergotong royong untuk membuat lubang-lubang besar di jalan agar menghambat pergerakan patrol Belanda.
Rakyat yang sebagian besar sebagai petani sering membantu membawakan senjata ke garis depan selain itu juga membuat ransum atau nuk untuk diberikan kepada gerilyawan. Pasukan TNI juga tidak segan untuk meminta makanan kepada penduduk Wonokromo. Penduduk sadar jika TNI pasti kelelahan dan kelaparan setelah bertempur dengan Belanda. Pada malam hari di Desa Wonokromo juga sering disinggahi pasukan TNI untuk beristirahat dan pada siang harinya meninggalkan desa tersebut. Pergerakan pasukan TNI selalu mobil artinya tidak menetap agar sulit diketahui oleh Belanda.
a. Pertempuran Jati
Komandan Tijgerbrigade Belanda Kolonel Van Langen pada tanggal 1 Februari 1949 mengeluarkan rencana untuk mengadakan pembersihan di sekitar Sungai Opak – Jalan Yogya – Imogiri, dan Jejeran yang diperkirakan basis gerilyawan. Pada tanggal 2 Februari 1949 sekitar pukul 15.00 kapal terb ang Belanda menyambar-nyambar dengan terbang sangat rendah. Kapal terbang tersebut sedang melakukan pemantauan aktifitas penduduk maupun gerilyawan di daerah Wonokromo. Konvoi pasukan Belanda dari markas Pleret menuju Jejeran dimulai pada tanggal 3 Februari 1949 pukul 06.00. Setelah memiliki keyakinan bahwa Wonokromo merupakan basis gerilya kemudian segera bergerak. Belanda mengepung Jejeran (daerah Wonokromo) dari berbagai arah kemudian melakukan penggrebekan di rumah -rumah penduduk dan membunuh penduduk sebanyak 8 orang. Beberapa penduduk yang tampak mencurigakan langsung dibunuh oleh Belanda.
Pendudukan Belanda di Yogyakarta saat Agresi Militer II yang diincar adalah kaum laki -laki. Hal tersebut karena laki-laki biasanya ikut terlibat dalam perang gerilya baik ikut berperang di medan pertempuran ataupun sebagai pengirim ransum. Maka dari itu, ketika Belanda mendatangi sebuah perkampungan, kaum laki-laki akan bersembunyi atau berlari menuju ke tempat yang aman. Belanda sering menangkap kemudian membunuh pe nduduk laki-laki yang ditemuinya.
Keadaan rakyat yang mengetahui kedatangan Belanda segera berlari menyelematkan diri. Sebagian besar dari penduduk Jejeran berlari ke arah timur menuju ke pedukuhan Jati dengan membongkok-bongkok melewati Sungai Belik. Belanda yang mengetahui hal tersebut bergegas mengejar melalui jalan-jalan desa dan pekarangan penduduk. Pasukan gerilyawan segera menembak Belanda sehingga menimbulkan pertempuran yang sengit. Komarudin sebenarnya mempunyai basis pasukan di Jejeran, akan tetapi sedang tidak berada di tempat sehingga selamat dari operasi Belanda.
Anak buah Komarudin yang mendengar adanya operasi Belanda segera mencari posisi yang strategis untuk menyerang Belanda. Penyerangan tersebut hanya dilakukan oleh 2 orang tentara saja yaitu Jawadi dan Yudi. Keduanya berasal dari Wonokromo yang menjadi laskar Hizbullah dan bergabung dengan pasukan Komarudin. Jawadi dan Yudi sanggup mengatasi pasukan Belanda yang berjumlah 1 regu (15 orang). Keduanya menempati bekas pabrik tembakau sebagai pertahanan sementara pasukan Belanda datang dari arah Barat. Pasukan Belanda mengalami kerugian 2 orang yang terluka kemudian akan dibawa ke Tegal Gendu (daerah Kotagede) untuk diobati. Perjalanan yang lumayan jauh sehingga 2 orang yang terluka tadi meninggal. Sementara itu di Jati, Belanda masih terus menembakan pelurunya selama beberapa jam. Pasukan Belanda yang kaget karena suara tembakan dari TNI segera menceburkan diri ke dalam parit. Pasukan Belanda berjalan dengan merayap untuk mendekati pertahanan TNI, akan tetapi kedua orang tadi sudah menghilang.
Belanda kemudian me mburu kedua orang tadi sampai di pedukuhan Sareyan. Belanda yang gagal mengejar kedua orang gerilyawan segera melampiaskan kemarahannya dengan membunuh 7 orang penduduk. Setelah kembali ke markas Pleret kemudian Belanda melakukan serangan jarak jauh dengan mortir. Rumah-rumah penduduk di sekitar Wonokromo terkena serangan tersebut dan membawa kerugian yang cukup besar. Akan tetapi, peristiwa itu tidak menyurutkan semangat penduduk untuk berjuang melawan Belanda.
b. Pertempuran Brajan
Pertempuran di Brajan me letus pada tanggal 10 April 1949 sekitar pukul 13.00 dan berakhir menjelang pukul 18.00. Pertempuran dimulai ketika pasukan patroli Belanda yang berada di wilayah Wonokromo. Pasukan patroli Belanda datang dari arah timur (markas Pleret) kemudian memasuki wilayah pedukuhan Kanggotan pada sekitar pukul 04.00. Sesampainya di Kanggota Belanda mengeluarkan 2 tembakan karena melihat seorang penduduk yang hendak keluar rumah bernama Pak Sastro.
Pasukan Komarudin saat itu sedang berada tidak jauh dari rumah Pak Sastro sehingga langsung bersiap untuk menghadang Belanda di sebelah Barat Sungai Gajah Wong. Belanda ternyata tidak bergerak ke Barat (daerah Wonokromo) akan tetapi menuju ke Selatan. Pasukan Komarudin yang melihat kejadian tersebut segera melaporkan situas i kepada pimpinannya yaitu Letnan Komarudin. Komarudin kemudian mengeluarkan perintah untuk melakukan pengepungan terhadap patroli Belanda. Pasukan Komarudin yang berjumlah 3 regu (45 orang) segera melakukan pengepungan. Siasat pengepungan dilakukan dari bagian Selatan di Trimulyo agar Belanda bergerak ke Barat. Di bagian Barat sendiri, pasukan Komarudin sudah menunggu dan menembakan beberapa peluru agar patroli Belanda bergerak ke arah Utara. Patroli Belanda kemudian bergerak ke Utara melewati tengah-tengah persawahan menuju ke pedukuhan Brajan dan Jejeran. Sesampainya di Jejeran, pasukan Komarudin bergerak ke arah Barat di tepi Sungai Code untuk
menghadang pergerakan patroli. Patroli Belanda yang berada di Jejeran kemudian di giring dengan tembakan dan bergerak ke arah Selatan. Akan tetapi dari Selatan pasukan Komarudin bergerak ke Utara ditambah dengan tembakan dari arah Barat (tepi Sungai Code). Belanda yang sedang posisi terkepung kemudian berhenti di area persawahan sebelah Barat pedukuhan Brajan. Perte mpuran di area persawahan yang padinya sudah mulai menguning terjadi dengan sengit. Korban di pihak Belanda ada 5 orang dan 1 orang terluka yang akhirnya meninggal juga. Kondisi cuaca waktu itu sedang hujan lebat dan hari mulai gelap sehingga sisa 1 regu dari patroli Belanda berhasil melarikan diri . Pada malam harinya daerah yang menjadi tempat pertempuran di hujani oleh mortir dan persenjataan berat lainnya. Serangan mortir tersebut mengakibatkan kerusakan di beberapa rumah penduduk, akan tetapi, dari pihak TNI dan rakyat desa tidak ada korban jiwa satupun.
2. Pertempuran Mrisi
Pedukuhan Mrisi terletak di Kelurahan Tirtonirmolo, Kapanewon Kasihan Bantul. Daerah Pedukuhan Mrisi berbukit -bukit di bagian utara dan di bagian selatan adalah dataran. Pedukuhan Mris i ini terletak di selatan Padokan tepatnya di selatan Pabrik Gula Padokan yang digunakan sebagai markas Belanda. Sebelah Barat Pedukuhan Mrisi terdapat Sungai Bedok yang mengalir dari Utara ke Selatan. Kemudian di sebelah Timur terdapat jalan besar yang me nghubungkan antara Kota Yogyakarta menuju Bantul.
Pabrik Gula Padokan yang terletak di utara Pedukuhan Mrisi merupakan markas Belanda yang banyak digunakan untuk tempat kendaraan berat seperti Tank, Panser, dsb. Pabrik Gula Padokan adalah markas Belanda yang paling dekat dengan Kota Yogyakarta . Markas Belanda di Padokan ini sebenarnya tergolong lemah akan tetapi sangat sulit untuk ditaklukan karena lokasinya yang dekat dengan Kota Yogyakarta. Bantuan Belanda dari kota akan cepat datang untuk membantu menghadapi TNI.
Kompi II Batalyon I dibawah pimpinan Letnan Soedarmo yang mundur setelah serangan balasan I tanggal 29 Desember 1948 berhasil menghancurkan jembatan penting. Jembatan yang dihancurkan dengan Track Bom adalah Jembatan Winongo dan Jembatan Padokan. Penghancuran kedua jembatan ini dimaksudkan untuk menghambat gerakan Belanda dari Kota Yogyakarta menuju Bantul. Kompi II ini juga mendapatkan perintah untuk melakukan penghambatan dengan memasang ranjau darat dan pemasangan rintangan. Gerakan Belanda yang semula melalui kedua jembatan tersebut berpindah menjadi Padokan, Mrisi, Karangpule, Niten, dan Jalan Yogyakarta -Bantul. Oleh karena itu, pasukan Kompi II banyak melakukan penghambatan maupun penghadangan Belanda di Pedukuhan Mrisi. TNI dan penduduk P edukuhan Mrisi
bergotong royong untuk membuat penghambat pergerakan Belanda. Mereka menggunakan kreatifitas nya untuk menyamarkan tanah yang tanam ranjau maupun yang tidak ditanam ranjau. Penduduk Mrisi juga pernah menggunakan sarang lebah untuk mengelabuhi Belanda.
Jalan antara Padokan - Niten adalah “neraka” bagi musuh, tetapi tempat yang sangat menggembirakan bagi TNI. Banyak tentara Belanda yang meninggal di daerah tersebut. Begitu juga dengan kendaraan lapis baja banyak yang hancur karena terkena ranjau. Ketika ranjau tersebut mengenai sasaran rakyat bersorak sorak kegirangan disamping itu tentara Belanda juga menghamburkan pelurunya ke segala arah. Setelah tentara Belanda terkena ranjau dapat dipastikan rumah rumah penduduk di kiri dan kanan jalan akan habis dibakar, tetapi hal tersebut tidak berarti asalkan siasat tersebut berhasil.
Kompi Soedarmo juga mendapatkan bantuan dari Laskar Tirtonirmolo pimpinan Tiyoso. Pasukan Kompi Soedarmo dan Laskar Tirtonirmolo saling bahu-membahu untuk melakukan serangan terhadap Belanda. Laskar Tirtonirmolo juga mendapatkan bantuan persenjataan dari TNI berupa 1 buah Karaben Jepang, 1 buah M.P. RI, 1 buah Pistol Buldoc, 1 buah Karaben Belanda, 1 buah Vorre Kijker. Persenjataan tersebut masih kurang memadai jika dibandingkan jumlah Laskar Tirtonirmolo , akan tetapi keberanian mereka mengalahkan segalanya.
Perlawanan terhadap Belanda tentunya tidak dapat dilakukan secara frontal (berhadap-hadapan) karena persenjataan yang dimiliki kalah modern. Maka dari itu, kegiatan TNI dan Laskar Tirtonirmolo banyak difokuskan untuk menghadang konvoi Belanda dengan memasang ranjau darat ( Land Myn) atau Track Bom. Pemasangan ranjau darat merupakan cara efektif untuk menghancurkan kendaraan Belanda yang melintasi Pedukuhan Mrisi. Rakyat Mrisi telah sadar, jika pemasangan ranjau darat mengenai sasaran kendaraan Belanda maka dipastikan Belanda akan melakukan pembersihan di pedukuhan tersebut. Rakya t Mrisi juga telah tang gap ketika ranjau yang dipasang tersebut berhasil mengenai sasaran maka segera mengungsi ke daerah Bangunjiwo sebelah Barat Sungai Bedok. Pemasangan ranjau darat pertama kali dilakukan oleh anggota TNI bernama Darsi. Ranjau darat yang dipasang Darsi ternyata membawa hasil memuaskan, maka kemudian TNI dan Laskar Tirtonirmolo terus menerus melakukan pemasangan di Pedukuhan Mrisi. Belanda yang mengetahui hal tersebut sering melakukan penyisiran di lokasi penanaman ranjau darat dengan ditektor ranjau. Walaupun begitu, banyak tank maupun kendaraan Belanda lainnya terkena ranjau darat karena kecerdasan gerilyawan yang menyamarkan lokasi penanaman ranjau darat tersebut. TNI dan Laskar Tirtonirmolo melakukan pemasangan ranjau darat dan track bom dimulai pada bulan Februari 1949. Pada bulan Februari tidak kurang dari 7 ranjau darat dan track bom yang dipasang di pedukuhan Mrisi. Ranjau darat dan track bom tersebut ada 5 yang berhasil mengenai adalah sebagai berikut.
a. Tanggal 8 Februari 1949 ranjau darat berhasil mengenai sebuah traktor di desa Mrisi, tiga orang Belanda mati dan empat orang Belanda terluka.
b. Tanggal 9 Februari 1949 ranjau darat berhasil mengenai sebuah traktor di sebelah Selatan desa Mrisi, empat orang Belanda mati dan dua orang mengalami luka-luka. Pihak Laskar Tirton irmolo juga ada korban jiwa yaitu Saridjo dan melukai Tukul. Peristiwa ini bermula ketika Laskar Tirtonirmolo melakukan pengintaian Belanda yang sedang menolong rekannya terkena ranjau, akan tetapi Belanda mengetahui kemudian melepaskan tembakan.
c. Tanggal 11 Februari 1949 ranjau darat berhasil mengenai sebuah truk pengangkut bahan makanan dari Bantul ke Kota Yogyakarta di sebelah Selatan desa Mrisi, tiga orang Belanda mati dan tujuh orang luka-luka.
d. Tanggal 18 Februari 1949 ranjau darat dipasang di Selatan Pasar Niten dan tanggal 19 Februri 1949 berhasil mengenai dua traktor dan sebuah truk Rode Kruis rusak, 13 orang Belanda mati, empat orang mengalami luka luka. Belanda kemudian mengadakan operasi pembersihan dan membakar rumah sebanyak 113 buah sebagai bentuk pembalasan .
e. Tanggal 24 Februari 1949 pemasangan dua buah track bom dengan hasil 1 track bom berhasil dijinakkan Belanda dan 1 track bom mengenai tiga orang Belanda.
Pemasangan ranjau darat yang tid ak berhasil adalah:
a. Tanggal 15 Februari 1949 dikarenakan ranjau telah hilang karena diambil dua orang bernama Sugeng dan Tumidjan. Keduanya kemudian di interview tetapi karena keduanya melawan dengan menggunakan tombak dan granat tangan akhirnya keduanya terpaksa ditembak mati.
b. Tanggal 23 Februari 1949 tidak berhasil karena telah diketahui Belanda kemudian diambil.
TNI dan Laskar Tirtonirmolo juga memasang ranjau darat pada bulan Maret 1949 yaitu sebagai berikut.
a. Pada tanggal 3 Maret 1949 berhasil mengenai sebuah traktor di sebelah Timur Karang Pule, empat orang Belanda mati dan 2 orang mengalami luka-luka.
b. Pada tanggal 5 Maret 1949 berhasil mengenai sebuah truk yang banyak membawa pasukan Belanda. Korban yang jatuh tidak diketahui karena hari sudah gelap.
c. Pada tanggal 7 Maret 1949 berhasil menghancurkan sebuah traktor di sebelah Timur Karang Pule, tiga orang Belanda mati dan dua orang mengalami luka-luka.
d. Pada tanggal 14 Maret 1949 sebuah truk yang melintar di sebelah timur Karang Pule hancur terkena ranjau, enam orang Belanda mati dan tujuh mengalami luka-luka.
Pemasangan ranjau pada bulan-bulan berikutnya terkendala dengan semakin menipisnya persediaan ranjau dar at. Terkadang Laskar Tirtonirmolo dan TNI di Mrisi harus datang sendiri ke lokasi penyimpanan ranjau darat seperti di daerah Piyungan atau Demak Ijo. Ketersediaan ranjau yang semakin sedikit itu membuat Laskar Tirtonirmolo dan TNI melakukan cara lain yaitu membuat rintangan pohon -pohon yang ditebang di tengah -tengah jalan. Belanda yang melintas akan segera membersihkannya dan disaat membersihkan itulah TNI dan Laskar Tirtonirmolo akan melakukan penyerangan. Taktik yang dijalankan tersebut memang tidak efektif seperti melakukan penanaman ranjau darat. Persenjataan Belanda jelas lebih modern dan lebih banyak dibandingkan dengan TNI dan Laskar Tirtonirmolo. Walaupun begitu, usaha tersebut cukup membuat Belanda merasa tidak nyaman karena selalu diserang tiba -tiba. Serangan TNI dan Laskar Tirtonirmolo akan berhenti ketika datang bantuan Belanda dari Pabrik Gula Padokan.
Kegiatan Laskar Tirtonirmolo dan TNI pada bulan April hanya melakukan pemasangan ranjau darat sebanyak 2 buah saja yaitu sebagai berikut.
a. Pada tanggal 1 April 1949 pemasangan ranjau darat di sebelah Selatan desa Mrisi dan pada tanggal 3 April 1949 berhasil menghancurkan sebuah traktor dengan korban lima orang Belanda mati dan tiga orang mengalami luka-luka.
b. Pada tanggal 18 April 1949 pemasangan ranjau darat di sebelah Timur desa Krantil berhasil menghancurkan traktor pada tanggal 19 April 1949 dengan korban empat orang Belanda mati dan seorang mengalami luka luka.
Belanda memandang bahwa daerah Mrisi ke Selatan dampai Niten adalah daerah yang berbahaya. Padahal daerah tersebut merupakan jalur yang penting bagi transportasi Belanda menuju daerah Bantul. Belanda mengetahui bahwa di daerah Mrisi terdapat sarang dari Laskar Tirtonirmolo. Maka dari itu Belanda melakukan operasi pembersihan dan mendirik an pos di daerah Mrisi.
Kemunculan pos Belanda di daerah Mrisi dipandang TNI dan Laskar Tirtonirmolo adalah hal yang rawan. Pada malam harinya pos Belanda tersebut diserang oleh Laskar Tirtonirmolo dengan dibantu TNI dari Kompi II Sudarmo. Belanda tampaknya menderita korban yang cukup banyak karena sebagian besar pos tersebut banyak terdapat bekas darah. Peristiwa penyerangan pos tersebut membuat Belanda marah dan melampiaskannya dengan membakar desa dan rumah yang dijadikan pos pertahanan Belanda. Setelah peristiwa itu penduduk di Pedukuhan Mrisi mengungsi ke sebelah Barat Sungai Bedok.
TNI dan Laskar Tirtonirmolo juga melakukan pemantauan terhadap markas Belanda di Pabrik Gula Padokan. Pemantauan tersebut digunakan untuk mengetahui sejauh mana kekuataan Belanda di dalam Pabrik Gula Padokan. Pada bulan April diketahui kekuatan Belanda di markas Pabrik Gula Padokan adalah sebagai berikut.
a. Kekuatan Belanda keseluruhan kurang lebih sekitar 100 orang.
b. Kekuatan senjata antara l ain:
- 2 pucuk mortier.
- Bruingen GRI.
- Karabyn Belanda.
- Pistol.
c. Tempat-tempat yang berbahaya adalah:
- Sebelah Timur terdapat penanaman ranjau darat.
- Sebelah Utara terdapat banyak pecahan kaca.
d. Pos penjagaan terdiri dari dua orang piket dengan senjata Karabyn dan pistol.
e. Patroli Belanda dengan waktu yang tidak pasti mengambil rute Padokan, Mrisi, Karang Pule, Bongkotan, Kembang, Kasongan, Bulus, Tirto, Sembungan, Jagan, Kembaran, Jogonalan, dan Kweni.
Informasi penting tersebut kemudian menjadi bekal untuk serangan besar-besaran ke markas Belanda di Padokan. Serangan ini dilakukan oleh Kompi II dengan dibantu Laskar Tirtonirmolo melalui sebelah Barat dan sebelah Selatan Pabrik Gula Padokan dengan didukung serangan mortir dari desa Seyang.
Diperkirakan melalui kedua arah tersebut Belanda dapat dikalahkan, akan tetapi Belanda telah mengetahui rencana penyerangan tersebut. Belanda yang mengetahui gerakan TNI ke arah Pabrik segera melepaskan tembakan. Mortir yang semula ditujukan untuk menggempur pertahanan Belanda, malahan mengenai anggota TNI.
Pasukan bantuan Belanda datang dari arah Kota Yogyakarta semakin menambah besar kekuatan Belanda di markas Padokan. Tembakan mortir yang salah sasaran memaksa TNI untuk mundur dan membatalkan serangan ke markas Padokan. Serangan mortir juga membuat kerusakan di rumah-rumah penduduk
Mrisi. Kegagalan penyerangan ke markas Belanda membuat TNI dan Laskar Tirtonirmolo semakin mempertebal semangat perjuangan. Memasuki bulan Mei, sejumlah ranjau darat kembali di tanam di berbagai wilay ah yaitu sebagai berikut.
a. Pada tanggal 8 Mei 1949 menghancurkan sebuah panser di sebelah timur desa Karang Pule, korban sejumlah lima orang Belanda mati dan dua orang mengalami luka -luka.
b. Pada tanggal 7 Mei 1949 penanaman ranjau darat berhasil menghancurkan sebuah panser dan lima orang Belanda mati.
c. Pada tanggal 14 Mei 1949 di sebelah timur Karang Pule berhasil menghancurkan sebuah traktor, empat orang Belanda mati, dan seorang mengalami luka-luka.
d. Pada tanggal 16 Mei 1949 penanaman ranjau di se belah timur Karang Pule berhasil menghancurkan sebuah truk Belanda dan seluruh penumpang meninggal dunia.
Kegiatan Laskar Tirtonirmolo dan TNI tetap melakukan pemantauan terhadap markas Belanda di Padokan. Hasilnya selalu dilaporkan kepada Komandan Batalyon I Sardjono sehingga pergerakan Belanda di Padokan dapat selalu diketahui dan dikontrol.
Laskar Tirtonirmolo dan TNI tidak akan dapat bertahan tanpa bantuan dan dukungan dari masyarakat Mrisi. Keberhasilan TNI dalam melakukan pencegatan pasukan Belanda di Mrisi juga membawa korban jiwa. Sekitar 13 pejuang gugur saat bertempur melawan Belanda.
Pedukuhan Mrisi juga membuat dapur umum untuk memasok kebutuhan pangan para prajurit yang sedang bertempur di medan pertempuran. Kiriman nasi (nuk) sangat bermanfaat bagi prajurit TNI karena terbebas dari ancaman kelaparan. Rakyat Tirtonirmolo juga tidak segan memberikan sumbangan untuk membeli bahan-bahan kebutuhan sebagai dapur umum. Selain itu, para pamong desa juga turut terlibat dengan memberikan kas kepada dapur umum dan prajurit TNI sebagai bekal untuk berperang melawan Belanda.
3. Pertempuran di Sewon
Sewon merupakan kapanewon yang berbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta. Kapanewon Sewon terdapat beberapa pos pertahanan dari Batalyon I Sardjono untuk menghadang Belanda yang hendak menuju Bantul. Di samping itu, Sewon merupakan daerah yang strategis karena terdapat jalan -jalan besar yang menghubungkan Kota Yogyakarta dan Bantul. Jalan-jalan besar tersebut diantaranya adalah Jalan Parangtritis, Jalan Imogiri, dan Jalan Bantul. Jalan-jalan besar tersebut digunakan untuk menghambat laju pergerakan Belanda. Penduduk Sewon juga selalu membantu perjuangan TNI dalam menghadapi Belanda. TNI dan penduduk Sewon bergotong-royong membuat lubang-lubang besar dan rintangan-rintangan pepohonan di jalan-jalan tersebut.
Selain itu, penduduk Sewon juga sering membantu dalam penyelenggaraan dapur umum, baik sebagai juru masak ataupun sebagai pengantar makanan ( nuk). Rakyat dan Pamong Desa selalu membantu TNI dengan memberikan nasi atau bahan pangan lainnya. Penyelenggaraan dapur umum biasanya dilakukan oleh Bapak Dukuh dusun yang menjadi tempat singgah TNI. Jumlah pembuatan nasi bungkus ( nuk) tergantung dari jumlah pasukan yang singgah di desa tersebut bahkan ada yang mencapai 2.000 nasi bungkus. Penduduk dan juru masak juga ikut mendapat nasi bungkus tersebut, selain itu penduduk juga sering memberikan gethuk, tiwul, atau singkong dari hasil bumi mereka.
Sewon yang merupakan basis penghadangan laju pergerakan Belanda terdapat banyak pertempuran. Pertempuran terkadang dimenangkan oleh TNI akan tetapi terkadang dimenangkan oleh Belanda. Mata-mata Belanda adalah yang sering menjadi penyebab kekalahan TNI. Informasi dari mata-mata yang diberikan kepada Belanda membuat posisi dan gerakan TNI dapat dengan mudah diketahui oleh Belanda. Beberapa pertempuran yang terjadi di daerah Sewon adalah sebagai berikut.
a. Pertempuran Pelem Sewu
Pelem Sewu termasuk ke dalam pedukuhan yang ada di Sewon yang terletak di antara Jalan Parangtritis dan Jalan Bantul. Kompi I Kapten Widodo sering bermarkas di sekitar Pelem Sewu yaitu di desa Prancak karena letaknya yang strategis. Sebelah Barat Pelem Sewu berbatasan dengan desa Karang Nangka, sebelah Selatan berbatasan dengan desa Prancak. Setelah itu, di sebelah barat berbatasan dengan desa Ndruwo dan di sebelah Utara berbatasan dengan desa Glugo dan Krapyak. Pelem Sewu juga terdapat jalan penting yaitu jalan yang langsung mengarah ke Plengkung Gading yang selalu dijaga ketat oleh Belanda sehingga
TNI sulit untuk masuk ke Keraton melalui jalan tersebut. Desa Prancak merupakan sebuah desa yang ada di Selatan desa Pelem Sewu. Pelem Sewu dijadikan sebagai pos pertahanan karena di Prancak terdapat markas penting dari Kompi I Kapten Widodo. Kapten Widodo juga dibantu oleh pasukan dari Komarudin yang sering singgah di daerah Prancak. Keberadaan pasukan Komarudin menambah kekuatan TNI di Prancak dalam menghadapi Belanda.
Pertempuran Pelem Sewu terjadi di pertengahan bulan Januari 1949 ketika Belanda sedang melakukan patroli ke daerah Sewon. Belanda yang saat itu dari markas Padokan berjalan kaki memasukki desa Karang Nangka sebelah Barat Pelem Sewu. TNI yang sedang bertugas di daerah Prancak mengetahui kedatangan Belanda segera menuju desa Pelem Sewu, akan tetapi ternyata patroli Belanda juga ketakutan dan bersembunyi juga di Pelem Sewu.
TNI dan patroli Belanda kaget ketika ternyata saling berada di desa Pelem Sewu. Setelah saling mengetahui kedudukan musuh TNI dan patroli Belanda saling melepaskan tembakan mulai pukul 11.00. Patroli Belanda yang mempunyai senjata jauh lebih lengkap dan modern akhi rnya hampir memenangkan pertempuran. Anggota Kompi I Kapten Widodo kemudian mundur ke arah desa Ndruwo di timur Pelem Sewu kemudian menuju Prancak untuk meminta bantuan kepada pasukan Komarudin.
Komarudin yang menerima laporan keberadaan Belanda di Pelem Sewu segera bergerak menyerang. Kompi I bersama pasukan Komarudin menyerang Belanda yang masih berada di Pelem Sewu melalui arah Utara. TNI kini mempunyai kekuatan personil yang lebih besar daripada Belanda. Belanda yang terdesak akhirnya mundur ke Selatan sampai perbatasan Prancak. TNI terus mengejar hingga akhirnya dari pihak Belanda banyak berjatuhan korban. Pertempuran tersebut berhenti pada pukul 21.00 dengan k orban jiwa dari pihak Belanda ada 25 orang dan dari TNI tidak ada yang meninggal ataupun luka-luka.
b. Pertempuran Sangkal
Pedukuhan Sangkal termasuk daerah dari Kapanewon Sewon tepatnya di sebelah Selatan desa Ndruwo. Sebelah Barat Desa Sangkal ini adalah Jalan Parangtritis yaitu jalan penting yang menghubungkan Kota Yogyakarta dan Bantul. Sebelah Timur Desa Sangkal adalah Desa Tarudan dan sebelah selatannya adalah Desa Ngijo. Sangkal juga termasuk pos pertahanan terdepan yang ada di Bantul untuk menghadang pergerakan Belanda menuju Bantul dan Belanda yang akan menuju Kota Yogyakarta.
Pertempuran di bebagai daerah semakin lama semakin sengit terutama pada akhir bulan Januari 1949. Pada waktu itu Kompi I pimpinan Kapten Widodo sedang berada di Pos Sawit yaitu sebelah barat Desa Prancak . Kompi I mendapat perintah dari pimpinan Batalyon I SWK 10 2 Mayor Sardjono untuk menghadang Belanda. Belanda yang waktu itu berada di markas Barongan akan bergerak menuju Kota Yogyakarta.
Perintah penghadangan tersebut diterima Kompi I pada tengah malam dan selanjutnya Kapten Widodo segera mengumpulkan komandan-komandan peleton untuk menyiapkan pasukannya. Kapten Widodo segera membagi tugas begitu pasukannya sudah terkumpul. Kompi Polisi yang berada di Sangkal didampingi Peleton III pimpinan Soegiman, Peleton I berada di desa Ndruwo untuk menangkal bantuan yang datang dari Kota Yogyakarta, dan Peleton II berada di Sawit sebagai pasukan cadangan.
Rakyat memberikan informasi bahwa pada pukul 07.00 Belanda sudah mulai bergerak menuju Kota Yogyakarta. Soegiman tidak begitu saja percaya dengan informasi yang beredar. I nformasi kedua pukul 08.30 tentang gerakan Belanda masih belum dipercaya hingga datang informasi ketiga pada pukul 09.30. Peleton III diminta untuk bergabung dengan Peleton I yang berada di Ndruwo, akan tetapi Soegiman masih tetap berada di Sangkal.
Kompi Polisi yang melihat gerakan Belanda dari arah Selatan segera membuka dengan tembakan. Kontak senjata berlangsung dengan seru dan berbagai kendaraan Belanda melepaskan peluru sebanyak -banyaknya. Tanpa disadari, dari arah utara datang pasukan Bantuan Belanda dengan membawa mobil lapis baja dan terus mendesak ke Selatan. Kompi I yang berada di Ndruwo terdesak dan segera menuju ke Timur. Pasukan Soegiman yang mengetahui hal tersebut segera menuju ke arah timur memasukki desa Sangkal. Soegiman dan pasukannya padahal merupakan pasukan TNI yang tergolong memiliki kemampuan yang lumayan dalam bertempur. Semangat dari Soegiman dalam menghadapi tentara Belanda sangat mempengaruhi kejiwaan anggota regunya. Kemampuan bertempur Regu Soegiman tampaknya tidak berarti karena tentara Belanda tersebut memiliki persenjataan yang lebih modern. Selain itu, regu Soegiman juga dalam kondisi terdesak oleh patroli Belanda yang sedang melintas dari arah Utara dan Selatan. Soegiman dan pasukannya tidak masuk ke perumahan penduduk Sangkal dan segera berlari ke arah persawahan. Hal itu karena ketakutan TNI jika terjadi pertempuran dan berlindung di perumahan penduduk maka seluruh rumah penduduk di desa tersebut akan dibakar habis tanpa sisa. Area persawahan waktu itu sedang memasukki musim tanam sehingga Soegiman dan pasukaanya tidak dapat bersembunyi. Akhirnya, Belanda dari arah Selatan segera memberondong dengan peluru dan Soegiman beserta 13 pasukannya meninggal dunia di sawah utara desa Sangkal.
Peleton I yang terdesak segera menuju ke Desa Tarudan dan bertemu dengan pasukan Komarudin. Komarudin yang menerima Laporan tersebut segera melakukan serangan kepada Belanda. Pasukan Komarudin berhasil memukul mundur pasukan Belanda dan segera melihat keadaan jenazah pasukan Soegiman di tengah-tengah sawah. Kejadian tersebut segera dilapokan kepada Kapten Widodo, maka Kapten Widodo segera memberi perintah kepada TNI untuk menguburkan jenazah Soegiman dan pasukannya. Pertempuran Sangkal ini dimulai pada pukul 10.00 dan berakhir pada pukul 13.30.
Kekalahan yang diderita oleh TNI ini, tidak menyurutkan semangat TNI dan Rakyat RI untuk tetap melawan Belanda.
c. Pertempuran Ngoto
Ngoto merupakan salah satu pedukuhan yang ada di Kapanewon Sewon. Pedukuhan Ngoto di sebelah utara berbatasan dengan desa Tanjung dan di bagian timurnya adalah desa Pandes. Sebelah Selatan desa Ngoto berbatasan dengan desa Gandok dan Semail kemudian di sebelah Barat adalah Pedukuhan Tarudan. Sungai yang melintasi desa Ngoto adalah Sungai Code dimana di bagian Selatan desa Ngoto terdapat Jembatan Merah sebagai lalu lintas rakyat maupun gerilyawan. Selain terdapat sungai, desa Ngoto juga terdapat Jalan Imogiri dimana jalan tersebut menghubungkan Kota Yogyakarta dan Bantul.
Desa Ngoto adalah sebuah desa yang juga dijadikan sebagai pos terdepan dari SWK 102 karena letaknya dekat dengan Kota Yogyakarta . Keberadaan markas Kompi IV pimpinan Lettu Soemarmo di Tarudan membuat pos pertahanan di Ngoto selalu dijaga ketat oleh TNI. Markas Kompi IV sendiri menempati rumah seorang Kepala Dukuh Tarudan. Pos Ngoto selalu dijaga oleh satu regu sebanyak 12 orang yang dipimpin oleh Sukijo. Pertempuran di Ngoto sendiri terjadi sekitar awal bulan Februari 1949 dimana patroli Belanda sedang melakukan gerakan dari arah Kota Yogyakarta.
Patroli Belanda awal Agresi Militer II tanggal 19 Desember 1949 hanya sampai di Karangkajen atau bisa dikatakan di sekitar perbatasan Kota Yogyakarta dan Bantul. Salah seorang anggota penjaga pos bernama Juweni menunggang kuda miliki Bapak Lurah Ngoto ke arah Utara di Karangkajen untuk melakukan patroli. Juweni tampaknya tidak sadar jika setelah berkuda ke arah Utara, Pos Ngoto dimatai-matai oleh Belanda. Pos Ngoto sudah diketahui kedudukannya oleh Belanda dan keesokan harinya sekitar pukul 03.30, Belanda melakukan patroli menuju ke Bantul melalui Jalan Imogiri . Patroli Belanda tersebut menyamar di tengah -tengah pedagang yang berjalan ke Kota Yogyakarta dan para pedagang tetap disuruh berjalan seperti biasa. Penjaga pos yang mendapat giliran bernama Pak Kliwon dan seorang temannya mengetahui kedatangan Belanda ke arah Ngoto. Pak Kliwon dan Seorang temannya kemudian bermaksud melindungi rumah Pak Lurah yang berada di sebelah Barat Jalan Imogiri dengan cara menyeberang jalan ke arah Timur. Beberapa orang anggota patroli Belanda mengejar Kliwon sambil menembakkan pelurunya, sedang yang lain tetap berjalan ke arah Selatan. Sukijo dan pasukannya mendengar suara tembakan tersebut lalu segera bergegas meninggalkan rumah Pak Lurah menuju persawahan yang ditanami ubi jalar.
Rakyat yang menjadi pedagang ikut berlari bersama Regu Sukijo menuju daerah yang aman agar tidak terkena tembakan. Patroli Belanda yang mengejar Kliwon segera bersiap di Jembatan Merah Sungai Code untuk melepaskan tembakan. Ketika Belanda melihat beberapa orang memegang senjata segera melepaskan tembakan kekerumunan orang tersebut. Sukijo dan pasukannya hanya bisa melawan semampunya karena persenjataan TNI yang kurang lengkap. Akhirnya karena kalah jumlah personil dan persenjataan , Sukijo dan 8 pasukannya meninggal dunia sedang rakyat sipil sebanyak 21 orang.
Belanda kemudian segera membereskan jenazah rekannya yang meninggal dengan kantong merah. Juweni salah seorang anggota regu sebenarnya waktu itu masih hidup dan berpura -pura mati ditengah mayat TNI dan rakyat. Akan tetapi, Juweni tidak kuasa menahan batuk. Kejadian tersebut diketahui oleh seorang tentara Belanda dan kemudian mendatangi Juweni. Tentara Belanda segera membalikan badan Juweni dan menembaki dari kepada sampai kakinya. Setelah menembak Juweni, Tentara tersebut segera berlari ke arah rekannya yang hendak melanjutkan patroli ke arah timur.
Setelah patroli Belanda meninggalkan Ngoto , Sunarsen salah seorang yang selamat kemudian segera berjalan ke arah Barat. Sesampainya di Tarudan, Sunarsen lalu memberitahukan hal tersebut kepada pasukan Kompi IV . TNI dengan dibantu rakyat lalu membereskan jenazah regu Sukijo dan rakyat sipil. Kekalahan TNI di Ngoto tetap tidak menyurutkan semangat SWK 102 untuk terus berjuang melawan Belanda. Pertempuran terus menerus dilakukan agar Belanda merasa tidak aman ada di daerah Bantul.
Sewon merupakan kapanewon yang berbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta. Kapanewon Sewon terdapat beberapa pos pertahanan dari Batalyon I Sardjono untuk menghadang Belanda yang hendak menuju Bantul. Di samping itu, Sewon merupakan daerah yang strategis karena terdapat jalan -jalan besar yang menghubungkan Kota Yogyakarta dan Bantul. Jalan-jalan besar tersebut diantaranya adalah Jalan Parangtritis, Jalan Imogiri, dan Jalan Bantul. Jalan-jalan besar tersebut digunakan untuk menghambat laju pergerakan Belanda. Penduduk Sewon juga selalu membantu perjuangan TNI dalam menghadapi Belanda. TNI dan penduduk Sewon bergotong-royong membuat lubang-lubang besar dan rintangan-rintangan pepohonan di jalan-jalan tersebut.
Selain itu, penduduk Sewon juga sering membantu dalam penyelenggaraan dapur umum, baik sebagai juru masak ataupun sebagai pengantar makanan ( nuk). Rakyat dan Pamong Desa selalu membantu TNI dengan memberikan nasi atau bahan pangan lainnya. Penyelenggaraan dapur umum biasanya dilakukan oleh Bapak Dukuh dusun yang menjadi tempat singgah TNI. Jumlah pembuatan nasi bungkus ( nuk) tergantung dari jumlah pasukan yang singgah di desa tersebut bahkan ada yang mencapai 2.000 nasi bungkus. Penduduk dan juru masak juga ikut mendapat nasi bungkus tersebut, selain itu penduduk juga sering memberikan gethuk, tiwul, atau singkong dari hasil bumi mereka.
Sewon yang merupakan basis penghadangan laju pergerakan Belanda terdapat banyak pertempuran. Pertempuran terkadang dimenangkan oleh TNI akan tetapi terkadang dimenangkan oleh Belanda. Mata-mata Belanda adalah yang sering menjadi penyebab kekalahan TNI. Informasi dari mata-mata yang diberikan kepada Belanda membuat posisi dan gerakan TNI dapat dengan mudah diketahui oleh Belanda. Beberapa pertempuran yang terjadi di daerah Sewon adalah sebagai berikut.
a. Pertempuran Pelem Sewu
Pelem Sewu termasuk ke dalam pedukuhan yang ada di Sewon yang terletak di antara Jalan Parangtritis dan Jalan Bantul. Kompi I Kapten Widodo sering bermarkas di sekitar Pelem Sewu yaitu di desa Prancak karena letaknya yang strategis. Sebelah Barat Pelem Sewu berbatasan dengan desa Karang Nangka, sebelah Selatan berbatasan dengan desa Prancak. Setelah itu, di sebelah barat berbatasan dengan desa Ndruwo dan di sebelah Utara berbatasan dengan desa Glugo dan Krapyak. Pelem Sewu juga terdapat jalan penting yaitu jalan yang langsung mengarah ke Plengkung Gading yang selalu dijaga ketat oleh Belanda sehingga
TNI sulit untuk masuk ke Keraton melalui jalan tersebut. Desa Prancak merupakan sebuah desa yang ada di Selatan desa Pelem Sewu. Pelem Sewu dijadikan sebagai pos pertahanan karena di Prancak terdapat markas penting dari Kompi I Kapten Widodo. Kapten Widodo juga dibantu oleh pasukan dari Komarudin yang sering singgah di daerah Prancak. Keberadaan pasukan Komarudin menambah kekuatan TNI di Prancak dalam menghadapi Belanda.
Pertempuran Pelem Sewu terjadi di pertengahan bulan Januari 1949 ketika Belanda sedang melakukan patroli ke daerah Sewon. Belanda yang saat itu dari markas Padokan berjalan kaki memasukki desa Karang Nangka sebelah Barat Pelem Sewu. TNI yang sedang bertugas di daerah Prancak mengetahui kedatangan Belanda segera menuju desa Pelem Sewu, akan tetapi ternyata patroli Belanda juga ketakutan dan bersembunyi juga di Pelem Sewu.
TNI dan patroli Belanda kaget ketika ternyata saling berada di desa Pelem Sewu. Setelah saling mengetahui kedudukan musuh TNI dan patroli Belanda saling melepaskan tembakan mulai pukul 11.00. Patroli Belanda yang mempunyai senjata jauh lebih lengkap dan modern akhi rnya hampir memenangkan pertempuran. Anggota Kompi I Kapten Widodo kemudian mundur ke arah desa Ndruwo di timur Pelem Sewu kemudian menuju Prancak untuk meminta bantuan kepada pasukan Komarudin.
Komarudin yang menerima laporan keberadaan Belanda di Pelem Sewu segera bergerak menyerang. Kompi I bersama pasukan Komarudin menyerang Belanda yang masih berada di Pelem Sewu melalui arah Utara. TNI kini mempunyai kekuatan personil yang lebih besar daripada Belanda. Belanda yang terdesak akhirnya mundur ke Selatan sampai perbatasan Prancak. TNI terus mengejar hingga akhirnya dari pihak Belanda banyak berjatuhan korban. Pertempuran tersebut berhenti pada pukul 21.00 dengan k orban jiwa dari pihak Belanda ada 25 orang dan dari TNI tidak ada yang meninggal ataupun luka-luka.
b. Pertempuran Sangkal
Pedukuhan Sangkal termasuk daerah dari Kapanewon Sewon tepatnya di sebelah Selatan desa Ndruwo. Sebelah Barat Desa Sangkal ini adalah Jalan Parangtritis yaitu jalan penting yang menghubungkan Kota Yogyakarta dan Bantul. Sebelah Timur Desa Sangkal adalah Desa Tarudan dan sebelah selatannya adalah Desa Ngijo. Sangkal juga termasuk pos pertahanan terdepan yang ada di Bantul untuk menghadang pergerakan Belanda menuju Bantul dan Belanda yang akan menuju Kota Yogyakarta.
Pertempuran di bebagai daerah semakin lama semakin sengit terutama pada akhir bulan Januari 1949. Pada waktu itu Kompi I pimpinan Kapten Widodo sedang berada di Pos Sawit yaitu sebelah barat Desa Prancak . Kompi I mendapat perintah dari pimpinan Batalyon I SWK 10 2 Mayor Sardjono untuk menghadang Belanda. Belanda yang waktu itu berada di markas Barongan akan bergerak menuju Kota Yogyakarta.
Perintah penghadangan tersebut diterima Kompi I pada tengah malam dan selanjutnya Kapten Widodo segera mengumpulkan komandan-komandan peleton untuk menyiapkan pasukannya. Kapten Widodo segera membagi tugas begitu pasukannya sudah terkumpul. Kompi Polisi yang berada di Sangkal didampingi Peleton III pimpinan Soegiman, Peleton I berada di desa Ndruwo untuk menangkal bantuan yang datang dari Kota Yogyakarta, dan Peleton II berada di Sawit sebagai pasukan cadangan.
Rakyat memberikan informasi bahwa pada pukul 07.00 Belanda sudah mulai bergerak menuju Kota Yogyakarta. Soegiman tidak begitu saja percaya dengan informasi yang beredar. I nformasi kedua pukul 08.30 tentang gerakan Belanda masih belum dipercaya hingga datang informasi ketiga pada pukul 09.30. Peleton III diminta untuk bergabung dengan Peleton I yang berada di Ndruwo, akan tetapi Soegiman masih tetap berada di Sangkal.
Kompi Polisi yang melihat gerakan Belanda dari arah Selatan segera membuka dengan tembakan. Kontak senjata berlangsung dengan seru dan berbagai kendaraan Belanda melepaskan peluru sebanyak -banyaknya. Tanpa disadari, dari arah utara datang pasukan Bantuan Belanda dengan membawa mobil lapis baja dan terus mendesak ke Selatan. Kompi I yang berada di Ndruwo terdesak dan segera menuju ke Timur. Pasukan Soegiman yang mengetahui hal tersebut segera menuju ke arah timur memasukki desa Sangkal. Soegiman dan pasukannya padahal merupakan pasukan TNI yang tergolong memiliki kemampuan yang lumayan dalam bertempur. Semangat dari Soegiman dalam menghadapi tentara Belanda sangat mempengaruhi kejiwaan anggota regunya. Kemampuan bertempur Regu Soegiman tampaknya tidak berarti karena tentara Belanda tersebut memiliki persenjataan yang lebih modern. Selain itu, regu Soegiman juga dalam kondisi terdesak oleh patroli Belanda yang sedang melintas dari arah Utara dan Selatan. Soegiman dan pasukannya tidak masuk ke perumahan penduduk Sangkal dan segera berlari ke arah persawahan. Hal itu karena ketakutan TNI jika terjadi pertempuran dan berlindung di perumahan penduduk maka seluruh rumah penduduk di desa tersebut akan dibakar habis tanpa sisa. Area persawahan waktu itu sedang memasukki musim tanam sehingga Soegiman dan pasukaanya tidak dapat bersembunyi. Akhirnya, Belanda dari arah Selatan segera memberondong dengan peluru dan Soegiman beserta 13 pasukannya meninggal dunia di sawah utara desa Sangkal.
Peleton I yang terdesak segera menuju ke Desa Tarudan dan bertemu dengan pasukan Komarudin. Komarudin yang menerima Laporan tersebut segera melakukan serangan kepada Belanda. Pasukan Komarudin berhasil memukul mundur pasukan Belanda dan segera melihat keadaan jenazah pasukan Soegiman di tengah-tengah sawah. Kejadian tersebut segera dilapokan kepada Kapten Widodo, maka Kapten Widodo segera memberi perintah kepada TNI untuk menguburkan jenazah Soegiman dan pasukannya. Pertempuran Sangkal ini dimulai pada pukul 10.00 dan berakhir pada pukul 13.30.
Kekalahan yang diderita oleh TNI ini, tidak menyurutkan semangat TNI dan Rakyat RI untuk tetap melawan Belanda.
c. Pertempuran Ngoto
Ngoto merupakan salah satu pedukuhan yang ada di Kapanewon Sewon. Pedukuhan Ngoto di sebelah utara berbatasan dengan desa Tanjung dan di bagian timurnya adalah desa Pandes. Sebelah Selatan desa Ngoto berbatasan dengan desa Gandok dan Semail kemudian di sebelah Barat adalah Pedukuhan Tarudan. Sungai yang melintasi desa Ngoto adalah Sungai Code dimana di bagian Selatan desa Ngoto terdapat Jembatan Merah sebagai lalu lintas rakyat maupun gerilyawan. Selain terdapat sungai, desa Ngoto juga terdapat Jalan Imogiri dimana jalan tersebut menghubungkan Kota Yogyakarta dan Bantul.
Desa Ngoto adalah sebuah desa yang juga dijadikan sebagai pos terdepan dari SWK 102 karena letaknya dekat dengan Kota Yogyakarta . Keberadaan markas Kompi IV pimpinan Lettu Soemarmo di Tarudan membuat pos pertahanan di Ngoto selalu dijaga ketat oleh TNI. Markas Kompi IV sendiri menempati rumah seorang Kepala Dukuh Tarudan. Pos Ngoto selalu dijaga oleh satu regu sebanyak 12 orang yang dipimpin oleh Sukijo. Pertempuran di Ngoto sendiri terjadi sekitar awal bulan Februari 1949 dimana patroli Belanda sedang melakukan gerakan dari arah Kota Yogyakarta.
Patroli Belanda awal Agresi Militer II tanggal 19 Desember 1949 hanya sampai di Karangkajen atau bisa dikatakan di sekitar perbatasan Kota Yogyakarta dan Bantul. Salah seorang anggota penjaga pos bernama Juweni menunggang kuda miliki Bapak Lurah Ngoto ke arah Utara di Karangkajen untuk melakukan patroli. Juweni tampaknya tidak sadar jika setelah berkuda ke arah Utara, Pos Ngoto dimatai-matai oleh Belanda. Pos Ngoto sudah diketahui kedudukannya oleh Belanda dan keesokan harinya sekitar pukul 03.30, Belanda melakukan patroli menuju ke Bantul melalui Jalan Imogiri . Patroli Belanda tersebut menyamar di tengah -tengah pedagang yang berjalan ke Kota Yogyakarta dan para pedagang tetap disuruh berjalan seperti biasa. Penjaga pos yang mendapat giliran bernama Pak Kliwon dan seorang temannya mengetahui kedatangan Belanda ke arah Ngoto. Pak Kliwon dan Seorang temannya kemudian bermaksud melindungi rumah Pak Lurah yang berada di sebelah Barat Jalan Imogiri dengan cara menyeberang jalan ke arah Timur. Beberapa orang anggota patroli Belanda mengejar Kliwon sambil menembakkan pelurunya, sedang yang lain tetap berjalan ke arah Selatan. Sukijo dan pasukannya mendengar suara tembakan tersebut lalu segera bergegas meninggalkan rumah Pak Lurah menuju persawahan yang ditanami ubi jalar.
Rakyat yang menjadi pedagang ikut berlari bersama Regu Sukijo menuju daerah yang aman agar tidak terkena tembakan. Patroli Belanda yang mengejar Kliwon segera bersiap di Jembatan Merah Sungai Code untuk melepaskan tembakan. Ketika Belanda melihat beberapa orang memegang senjata segera melepaskan tembakan kekerumunan orang tersebut. Sukijo dan pasukannya hanya bisa melawan semampunya karena persenjataan TNI yang kurang lengkap. Akhirnya karena kalah jumlah personil dan persenjataan , Sukijo dan 8 pasukannya meninggal dunia sedang rakyat sipil sebanyak 21 orang.
Belanda kemudian segera membereskan jenazah rekannya yang meninggal dengan kantong merah. Juweni salah seorang anggota regu sebenarnya waktu itu masih hidup dan berpura -pura mati ditengah mayat TNI dan rakyat. Akan tetapi, Juweni tidak kuasa menahan batuk. Kejadian tersebut diketahui oleh seorang tentara Belanda dan kemudian mendatangi Juweni. Tentara Belanda segera membalikan badan Juweni dan menembaki dari kepada sampai kakinya. Setelah menembak Juweni, Tentara tersebut segera berlari ke arah rekannya yang hendak melanjutkan patroli ke arah timur.
Setelah patroli Belanda meninggalkan Ngoto , Sunarsen salah seorang yang selamat kemudian segera berjalan ke arah Barat. Sesampainya di Tarudan, Sunarsen lalu memberitahukan hal tersebut kepada pasukan Kompi IV . TNI dengan dibantu rakyat lalu membereskan jenazah regu Sukijo dan rakyat sipil. Kekalahan TNI di Ngoto tetap tidak menyurutkan semangat SWK 102 untuk terus berjuang melawan Belanda. Pertempuran terus menerus dilakukan agar Belanda merasa tidak aman ada di daerah Bantul.
Sumber
:
A. Eryono, Reuni Keluarga Bekas Resimen 22 -WK.III. Pada Tanggal 1 Maret 1980 di Yogyakarta . Jawa Tengah: Keris -22-WK.III, 1982, hlm. 93.
Catatan Bapak Wasiman, anggota Batalyon Sardjono
Mohamad Roem, dkk, Tahta Untuk Rakyat, Celah-Celah Kehidupan Sultan HB IX. Jakarta: Gramedia, 1982, hlm. 76.
Oemar Sanoesi, Replika Sejarah Perjuangan Rakyat Yogyakarta Jilid 2. Yogyakarta: Proyek Pemeliharaan Tempat Bersejarah Perjuangan Bangsa di Daerah Yogyakarta, 1983, hlm. 254.
Untung Rahardjo, dkk, Ketika Rakyat Bantul Membela Republik . Yogyakarta: Yayasan Projotamansari, 2008, hlm. 13 6
Beberapa mantan anggota SWK 102 yang bisa diwawancarai sebagai sumber informasi :
Bapak Grubi dusun Bibis Sewon Bantul.
Bapak Mardjono dusun Bibis Sewon Bantul.
Bapak Mudji Dagaran Bangunharjo Sewon Bantul Yogyakarta.
Bapak Mudjiman Dagaran Sewon Bantul.
Bapak Paimin Wojo Bangunharjo Sewon Bantul.
Bapak Sunarsen Bibis Sewon Bantul.
Bapak Tarudan Sewon Bantul.
Bapak Wagiran Bejen Bantul.
Ibu Juwariyah Pakelrejo Umbulharjo Yogyakarta.
A. Eryono, Reuni Keluarga Bekas Resimen 22 -WK.III. Pada Tanggal 1 Maret 1980 di Yogyakarta . Jawa Tengah: Keris -22-WK.III, 1982, hlm. 93.
Catatan Bapak Wasiman, anggota Batalyon Sardjono
Catatan Bapak Sardjono Angudi
Gerilya Wehrkreise III . Yogyakarta: Percetakan Keluarga, tt, hlm. 11 -12.Mohamad Roem, dkk, Tahta Untuk Rakyat, Celah-Celah Kehidupan Sultan HB IX. Jakarta: Gramedia, 1982, hlm. 76.
Oemar Sanoesi, Replika Sejarah Perjuangan Rakyat Yogyakarta Jilid 2. Yogyakarta: Proyek Pemeliharaan Tempat Bersejarah Perjuangan Bangsa di Daerah Yogyakarta, 1983, hlm. 254.
Untung Rahardjo, dkk, Ketika Rakyat Bantul Membela Republik . Yogyakarta: Yayasan Projotamansari, 2008, hlm. 13 6
Beberapa mantan anggota SWK 102 yang bisa diwawancarai sebagai sumber informasi :
Bapak Grubi dusun Bibis Sewon Bantul.
Bapak Mardjono dusun Bibis Sewon Bantul.
Bapak Mudji Dagaran Bangunharjo Sewon Bantul Yogyakarta.
Bapak Mudjiman Dagaran Sewon Bantul.
Bapak Paimin Wojo Bangunharjo Sewon Bantul.
Bapak Sunarsen Bibis Sewon Bantul.
Bapak Tarudan Sewon Bantul.
Bapak Wagiran Bejen Bantul.
Ibu Juwariyah Pakelrejo Umbulharjo Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar