Jumat, 02 Oktober 2015

Batalyon I Brigade X Mataram Divisi III Diponegoro (Batalyon Mayor Sardjono)



Batalyon I Brigade X Mataram Divisi III Diponegoro (Batalyon Mayor Sardjono)

Batalyon Sardjono bermarkas berada di Wanujaya. Mayor Sardjono merupakan salah satu eks PETA Wonosari. Dan kenapa dia juga diperhitungkan oleh musuh oleh karena selama bergerilya beliau tidak mau menyamar dengan pakaian preman. Beliau kalau seandainya tertangkap dan gugur ingin tetap sebagai prajurit yang menunaikan tugas. Pada suatu hari dalam bulan Desember 1945 tiba-tiba seluruh pasukan diperintahkan berkumpul. Setelah berkumpul, komandan mengumumkan bahwa pasukan mendapat tugas untuk bertempur mengusir serdadu AFNEI. Dan ketika  Komandan berkata : "Siapa yang tidak ikut bertempur angkat tangan!!" namun tak ada satupun yang mengangkat tangan , bahkan mereka serentak menjawab : "Ikut", akan tetapi kemudian oleh komandan ditentukan harus ada yang menunggui asrama. Dan yang bertugas menunggui asrama rata-rata merasa kecewa.
Setelah mendapatkan penjelasan secukupnya, pasukan dibubarkan untuk persiapan pembagian senjata seadanya. Rata-rata satu regu (10 orang) paling banyak memiliki 3 pucuk karabin saja, lainnya bersenjatakan bambu runcing dan sebuah granat tangan. Sebelumnya pertempuran melawan Kido Butai yang bermarkas di kotabaru yogyakarta (sewaktu masih BKR) untuk memperebutkan senjata. Tetapi kesatuan ini tidak dilibatkan melainkan hanya menjaga daerah masing-masing.
Kira-kira jam 17.00 WIB pasukan diangkut menggunakan truk menuju stasiun kereta api Tugu.  Dari stasiun Tugu KA menuju Magelang. Turun di stasiun (entah stasiun apa namanya) pasukan berjalan kaki menuju kota Magelang . Waktu masuk kota Magelang pada jam 11.00 WIB. Sasaran yang dituju adalah rumah sakit (sekarang RST), sebab AFNEI bermarkas disana. Tetapi AFNEI telah pergi mundur ke Ambarawa.
Langkah selanjutnya , pasukan TKR mengadakan pengejaran ke Ambarawa dengan menggunakan angkutan.  Pasukan turun di Jambon/Jambu.  Dan dari Jambon/Jambu jam 03.00 malam terus berjalan kaki (sebagaimana pasukan mendekati lawan).  Tiba di pinggir kota Ambarawa jam 06.30 pagi , langsung terjadi tembak menembak dengan lawan.  Bagi yang tidak membawa senjata api cukup mengikuti gerak maju (tujuannya kalau sudah mendekati lawan , granat dan bambu runcing langsung digunakan). Cara penyerangan ini benar-benar menggunakan teori ajaran Jepang. Rasanya seperti latihan saja, mengikuti aba-aba, sayap kiri maju, sayap kanan maju.
Tembak menembak terus terjadi, tak ada hentinya, Tampaknya lawan sudah mulai gentar menghadapi serangan TKR. pimpinan tertinggi seluruh TKR pada penyerangan Ambarawa ialah Bapak Soedirman.
Kira-kira jam 11.00 wib pasukan lawan sudah mulai mengendorkan tembakannya, tanpa diduga serangan mereka bangkit lagi setelah mendapatkan bantuan dari Semarang berupa bantuan tembakan senjata berat (meriam dan mortir) dan 2 buah pesawat tempur.
Pasukan TKR digempur dari darat dan udara. Namun pasukan TKR tidak mau mundur, tetap bertahan tidak bergerak maju agar tidak tampak dari udara. Dua truk pengangkut nasi bungkus (nuk) makan siang diberondong dari udara. Sebagai keterangan tambahan dua truk tersebut merupakan inventaris Kantor Kementerian Pekerjaan Umum yang ada di Temanggung. Dua buah pick-up merk Desoto beserta 2 sopirnya, untuk membawa tentara dan membantu transportasi di Ambarawa. Meskipun kedua pick up hancur terkena serangan udara AFNEI akan tetapi kedua sopir selamat meskipun salah satunya sempat terluka tangannya terkena peluru dari serangan uara AFNEI tersebut. Sedangkan nasi bungkus itu untuk membantu Kol. Sudirman, dan pasukannya, rakyat menyiapkan makanan dan membuat dapur umum, antara lain di gedung Kabupaten Temanggung. Dapur Umum adalah tempat memasak bahan makanan untuk tentara-tentara dan sukarelawan.  Para ibu-ibu yang tergabung sebagai anggota Persatuan Wanita Indonesia disingkat Perwari yang bertugas memasak nasi dan lauk-pauk di dapur umum yang ada di gedung Kabupaten Temanggung tersebut.
Begitu sengitnya pertempuran pada suatu hari kami tidak merasa lapar dan lupa waktu. Serangan dari udara tidak berlangsung lama karena pesawat tersebut kehabisan amunisi dan menghindari tembakan balasan dari TKR.
Kurang lebih jam 16.00 wib pasukan TKR mulai memasuki kota Ambarawa dan sudah berada di kerkup (kuburan Belanda). Granat ditangan ku sudah siap.
Sungguh diluar dugaan tiba-tiba terdengar suara menderu dan sekejap terlihat 2 buah tank mondar mandir didepan pasukan TKR yang sedang steling, berlindung dibalik pohon-pohon. Semakin lama tembakan dari musuh semakin gencar mungkin mendapatkan bantuan lagi. Senjata yang dimiliki oleh pasukan TKR tidak sebanding dengan senjata lawan. Oleh karena itu pasukan TKR memilih menghindar,  untuk menghindari korban yang sia-sia , salah satu jalan kita harus mundur, maka terdengar teriakan komandan pleton : "Munduurrr"
Kemudian pasukan TKR mundur dari Palagan Ambarawa dengan masih dikejar-kejar tembakan gencar dari musuh.  Mundurnya pasukan TKR tidak bisa dilakukan secara bersama-sama, tetapi secara terpisah-pisah karena situasi tidak memungkinkan.  Ada satu Kelompok (sebanyak satu regu) mundur kearah tenggara menjauhi dari jalan raya, sebab jalan raya selalu dikitari oleh pesawat tempur musuh. Selain itu juga untuk menghindari kejaran tank musuh.
Satu kelompok pasukan ini memutuskan bahwa yang paling aman adalah mundur melewati gunung (pegunungan). Setelah sampai di ketinggian pegunungan, hari sudah gelap, kelompok pasukan ini tidak berani melanjutkan perjalanan karena takut terperosok kedalam jurang. Sehingga satu kelompok pasukan ini  terpaksa bermalam di atas pegunungan, satu kelompok pasukan ini tidur dengan alas merobohkan ilalang yang sangat rimbun, Rasa haus, lapar dan lelah baru terasa, karena satu hari tidak makan. namun karena lelah sekali, sekelompok pasukan ini bisa tertidur juga walau tidak nyenyak karena dingin sekali.
Pagi harinya sekelompok pasukan ini  melanjutkan perjalanan turun gunung menuju perkampungan. Waktu melewati lereng perbukitan sekelompok pasukan ini melihat ladang rakyat. Setelah  didekati ternyata ladang kol dan kubis, dengan lahapnya sekelompok pasukan ini memakan kol dan kubis itu secara mentah-mentah hanya untuk sekedar mengganjal perut yang terasa sangat lapar. Dari lereng perbukitan terlihat perkampungan, tentu saja sekelompok pasukan ini bertambah semangat untuk turun karena pasti kami tidak kelaparan lagi.
Sesampainya di perkampungan sekelompok pasukan TKR ini disambut baik oleh rakyat dengan ramahnya, kalau tidak salah perkampungan itu bernama desa Ngablak. Sekelompok pasukan TKR ini  diterima oleh bapak pamong setempat dan disediakan makan dan minum sampai kami dapat meneruskan perjalanan.
Setelah istirahat cukup sekelompok pasukan TKR ini melanjutkan perjalanan atas petunjuk bapak pamong, sekelompok pasukan TKR ini melanjutkan perjalanan melewati desa Pagergunung, terus ke Grabag. Dan sesampai di Grabag sekelompok pasukan TKR ini naik kereta api jurusan Magelang selanjutnya menuju Yogyakarta.
Sementara kota Ambarawa telah kosong dari pendudukan serdadu AFNEI, Markas Batalyon di Wanujaya dipindahkan ke Tanjungtirto. Terhitung mulai tanggal 24 Januari 1946 nama TKR berubah menjadi TRI.
Selanjutnya pasukan di bawah pimpinan Bapak Sardjono ini mendapat tugas di front Semarang Selatan (Srondol dan sekitarnya). Di front ini batalyon pimpinan Bapak Sardjono bertugas secara bergilir, setiap angkatan terdiri dari satu kompi. Setiap angkatan bertugas bertempur selama kurang lebih 2 minggu. Jadi istirahat sambil latihan dimarkas selama 2 bulan, kemudian diberangkatkan bertempur lagi. Tujuan dari tugas secara bergiliran ini adalah untuk menjaga stabilitas moril setiap prajurit.
Daerah pertempuran kosong dari penduduk karena mereka mengungsi ke tempat yang aman. Oleh karena itu daerah pertempuran kosong itu banyak ditumbuhi semak-semak dan semua bangunan rusak baik karena tembakan senjata maupun karena tidak terawat, bahkan pohonpun di tepi jalan tidak ada yang utuh.
Tidak kucatat berapa kali pasukan ini bertempur di daerah Semarang ini. Setiap kali ada prajurit yang gugur di medan bakti, ini merupakan resiko perang. Kadang-kadang pasukan TRI ini bertugas selama 1 bulan di front ini.
Masih dalam tugas di front pertahanan, kesatuan di bawah pimpinan Bapak Sardjono ini dipindah tugaskan dari Semarang Selatan ke Semarang Barat (Kaliwungu, Mangkang dan sekitarnya).  Didaerah ini tantangannya lebih berat. Daerah ini merupakan daerah pantai dan sudah menjadi perkampungan kosong yang rimbun dan tentu saja menjadi sarang nyamuk. Kalau malam hari pasukan  tidur di medan yang terlindung tentu saja akan menjadi mangsa nyamuk, maka dari pulang di medan perang banyak prajurit yang terserang penyakit malaria. Kalau sedang kambuh, badan terasa dingin dan gemetar, berselimut sampai 2 atau 3 (pada waktu itu tentara tidur di lantai beralaskan dan berselimut tikar).
Kami bertugas di front Semarang Barat ini cukup lama. maka selalu diadakan pergantiian pergantian, paling lama 3 bulan di markas, kemudian setengah sampai 1 bulan di front.
Sementara itu TRI diubah menjadi TNI. Persenjataan TNI makin lengkap, tetapi belum mampu menandingi persenjataan lawan. Namun setiap prajurit telah memegang senjata organik. Salah satunya ada yang mendapatkan senapan LE.
Berdasarkan hasil perundingan Linggarjati diadakan gencatan senjata. Pada waktu itu kebetulan pasukan dibawah pimpinan Bapak Sardjono ini sedang bertugas di front Semarang Barat. Tak dapat digambarkan bagaimana pertempuran yang mengerikan itu terjadi dan jiwa prajurit yang selalu terancam.
Pada suatu hari ada pengumuman bahwa diadakan gencatan senjata dan tidak boleh tembak menembak. Oleh karenanya diadakan garis demarkasi dan masing-masing pihak tidak boleh melanggar garis demarkasi tersebut. Mendengar pengumuman tersebut, hati para anggota pasukan  sangat senang karena merasa aman di garis depan dan tidak ada saling serang menyerang. Kalau tidak sedang berjaga di garis depan pasukan bisa tidur nyenyak walaupun di serang oleh nyamuk, bisa makan enak juga bersama-sama. Dulu sebelum ada gencatan senjata anggota pasukan sangat jarang mandi, karena kalau mau mandi harus lihat-lihat dulu situasi, jangan-jangan nanti sedang mandi diserang oleh musuh.
Walaupun sedang gencatan senjata pasukan tidak boleh lengah, terutama di pos depan harus selalu waspada.
Banyak sekali suka dan duka berada di garis depan selama gencatan senjata. Dukanya, kalau sedang giliran jaga di pos depan, baik panas maupun hujan tidak boleh meninggalkan pos. Pada waktu itu pos yang ada bukan seperti pos penjagaan biasa, tetapi merupakan tempat terlindung seperti di pepohonan, disemak-semak dan tempat terlindung lainnya. Tidak boleh merokok dan bicara keras-keras. Pokoknya ini bukan merupakan tugas yang menyenangkan, tetapi harus menjalani karena berlandaskan kecintaan terhadap negeri ini.
Sedangkan sukanya adalah kalau sedang giliran istirahat, bisa bersantai, mencari lele di sawah atau menembak babi hutan. tak jarang belalangpun kami tangkap hanya sekedar untuk menambah lauk, sebab jika hanya mengandalkan dapur umum saja, hanya makan nasi (bercampur dengan gabah) dan lauknya lobak tua yang dibuat sayur. Untunglah di sekitar Mangkang banyak ikan lele di sawah-sawah atau di selokan.
Kalau malam sebelum bisa tidur, anggota pasukan biasanya menghibur diri (rekan 1 peleton). Ada yang mendongeng, membuat teka-teki (cangkriman), menyanyi (nembang dan lain-lain). Terkadang ada yang mendalang dengan iringan gamelan mulut sambil tiduran. Jika ada yang  menjadi dalang, dan sedang mendalang teman-teman lainnya asyik mendengarkannnya sambil nggamelin dengan mulut. Kebetulan komandan peleton pasukan ini ada yang sangat senang dengan cerita wayang, sehingga kalau komandan peleton meminta salah satu pasukannya  mendalang maka orang yang ditunjuk tersebut tidak dapat menolaknya. Dan yang ditunjuk jadi dalang tidak boleh mendalang dengan lakon yang sama. kalau teman-teman sudah ngantuk barulah sang dalang akan berhenti mendalang. Selama beristirahat pasukan TNI ini meggunakan rumah penduduk yang sudah kosong dan rusak.
Demikianlah pekerjaan di front dalam keadaan gencatan senjata. Kalau siang ada yang ditempatkan di garis terdepan bertugas pengawasan/pengintaian dan ada yang berpatroli.
Pada tanggal 21 juli 1947, dengan tiba-tiba Belanda mengadakan serangan kesegala arah jantung pertahanan TNI. Terutama kearah jurusanAmbarawa dengan tujuan menduduki kembali Ambarawa. Karena segala matra kekuatan Belanda di kerahkan (pasukan darat dengan pasukan dan senjata berat sedangkan pasukan udara dengan pesawat tempur jumlahnya cukup banyak), maka perlawanan TNI tidak berarti apa-apa bagi musuh. Dalam satu hari saja pasukan Belanda berhasil merebut kota Ambarawa.
Pertahanan Semarang Barat tidak mampu menahan gempuran musuh yang tidak seimbang ini. Terpaksa pasukan Batalyon pimpinan Bapak Sardjono mundur dengan tujuan untuk menghimpun kekuatan kembali untuk mengadakan serangan balasan di kemudian hari.
Sore harinya pasukan dikumpulkan untuk konsilidasi. Selanjutnya diperintahkan untuk bergerak maju mendekati Ambarawa. Malam itu pasukan berjalan kaki bergerak kearah barat melewati Alas Roban menuju kesasaran. Perjalanan itu sungguh sangat menyiksakan, gelap gulita dan jalannya kasar/rumpil. Karena sangat lelahnya terkadang pasukan tidur sambil berjalan. Rasanya ingin menangis dan menghindari tugas yang sangat berat ini. Tetapi kembali pasukan ini tersadar bahwa tugas membela ibu pertiwi harus dijalankan, dan semua anggota pasukan rela berkorban apa saja demi membela negeri yang di cintai ini.
Pasukan berjalan dari Semarang Barat sampai ke Ambarawa. Setelah sampai ke Bantir Sumowono (daerah yang telah diduduki oleh musuh) jam 04.00 pagi. pagi harinya pasukan langsung menyusun serangan setelah fajar menyingsing. Tetapi tiba-tiba 2 pesawat tempur "Si cocor merah" meraung-raung dan berputar-putar diatas pasukan, tentu saja tidak ada yang berani bergerak. Komandan memerintahkan jika sicocor merah itu menembak dari udara, maka pasukan harus membalas menembak secara serentak. Selama si cocor merah itu masih berputar-putar diatas kepala pasukan, semua pasukan tetap bersembunyi dan berlindung di kebun kopi dan semak-semak tanpa berani bergerak sedikit pun. Karena jika mereka melihat saja ada dedaunan yang bergerak maka mereka akan langsung menembak.
Melihat situasi yang tidak ungkin untuk menyerang musuh , maka rencana penyerangan pun terpaksa ditangguhkan. Pasukan musuh tampak siaga penuh dengan dikawal patroli udara dan tank. Oleh karena itu pasukan TNI hanya mengatur untuk membuat tempat pertahanan-pertahanan yang strategis (terutama di daerah ketinggian), dengan maksud untuk mencegah gerakan musuh lebih meluas lagi agar dapat melakukan serangan balasan.
Wilayah Bantir/Sumowono yang diduduki serdadu Belanda sangat strategis. dibelakang tangsi merupakan lereng gunung Sumowono dan didepan tangsi merupakan medan terbuka seperti persawahan, jadi jika akan melakukan serangan secara frontal akan sangat menyulitkan. Oleh karena itu pasukan TNI hanya melakukan serangan yang bersifat gangguan/kekacauan saja (setengah gerilya). Disamping melakukan serangan dan hadangan kepada musuh, pasukan TNI juga memasang ranjau di jalan-jalan besar untuk mengahncurkan pasukan kendaraan. Tetapi usaha ini kurang berhasil karena musuh mempunyai alat pendeteksi ranjau. Tugas diwilayah dilakukan secara bergantian perkompi atau lebih disesuaikan dengan situasi. Pasukan TNI bertugas secara bergiliran, mendapatkan tempat tugas yang tidak sama dengan tempat tugas terdahulu. lamanya bertugas sekitar setengah bulan. Setiap hari, jika tidak menyerang tentu diserang. Sialnya jika kecolongan (istilah digunting musuh) yaitu diserang dari belakang, pasukan TNI cukup kalang kabut dalam mengadakan perlawanan, karena harus menghindar dari kepungan musuh dan mencari jalan keluar untuk mundur.
Setiap hari terasa genting, maka selama berada di front, anggota pasukan TNI tidak berani mandi, bisa dibayangkan setengah bulan tidak mandi dan mengganti pakaian. Sering kali pasukan TNI mengalami kejadian kritis baik diserang maupun menyerang di malam hari.
Pada suatu hari musuh mengadakan serangan besar-besaran. Selain serangan darat dengan senjata serba otomatis juga dibantu dengan 2 buah pesawat tempur "Sicocor merah", dan pesawat pengintai  yang di juluki "Kinjeng" karena bentuknya mirip seperti capung. Fungsi pesawat pengintai ini adalah memberi isyarat kepada pasukan dengan senjata berat untuk menembak ke arah yang ditunjuk oleh "Kinjeng". Pada waktu itu senjata berat/meriam musuh sama pasukan TNI disebut "Kanon". Karena pasukan TNI diserang dari darat, udara dan tembakan kanon maka pasukan TNI hanya bisa mengadakan perlawanan sekedarnya sambil mundur.
Pada waktu itu ada salah satu anggota pasukan TNI bertugas  sebagai penghubung peleton jadi harus selalu mengikuti komandan peleton.  Entah berapa jauh petugas penghubung peleton itu  berlari dari kejaran musuh. Lari dengan jatuh bangun dan terus menghindari tembakan musuh. Rasanya sudah tidak kuat lagi dan ingin sekali rasanya membuang senjata yang berat itu dan jika tertangkap musuh setidaknya senjata kami tidak jatuh ketangan musuh. Untung penghubung peleton itu menyadari bahwa senjata itu adalah nyawa, walaupun merasa lelah, harus tetap membawanya.
Celakanya anggota yang bertugas menjadi penghubung peleton dan komandan peletonnya tersebut terlambat untuk mundur dan sudah ketinggalan dari kawan-kawan lainnya. Tanpa disadari bahwa keduanya telah terjepit, terkepung musuh. Oleh karena itu keduanya tidak berani bergerak. Kebetulan disana keduanya berada di tepi sungai desa Porot.
Menyadari desa itu telah dikuasai oleh serdadu Belanda, anggota pasukan yang menjadi penghubung peleton dan komandan peletonnya  terjun kesungai dan bersembunyi disemak-semak di pinggir sungai. Kebetulan dinding sungai ada sebuah lobang kecil yang tertutupi oleh rimbunnya semak.
Belum lama keduanya  bersembunyi disana, salah satunya melihat 3 orang serdadu Belanda berpakaian loreng-loreng berdiri tepat didepan persembunyian, mereka melihat ketepi sugai (kanan dan kiri), lalu memberondong semak-semak dikanan kirinya dengan senapan. Penghubung peleton dan komandan peleton TNI tersebut hanya bisa berdoa dan diam ditempat itu.
Untung saja semak-semak tempat keduanya bersembunyi tidak diberondong, mungkin ketiga serdadu Belanda itu berpikir tidak akan ada musuh di semak-semak yang ada di depan mereka. Setelah itu ketiga serdadu Belanda masuk kampung lagi (100 m dari tempat keduanya  bersembunyi). Keduanya tidak tahu entah berapa jumlah serdadu Belanda, kedua anggota TNI itu  hanya mendengar suara para seradu Belanda mengobrak-abrik kampung itu.
Kemudian komandan peleton berkata : "Sangat berbahaya kalau tidak segera meninggalkan tempat ini, mumpung musuh sedang asyik mengobrak-abrik kampung mari kita pergi dari sini", Penghubung peleton dan komandan peleton  kemudian terjun ke air menghanyutkan diri dengan hanya tampak kepala saja mengikuti arah aliran sungai. Alhamdulillaha arah alinran sungai itu menuju tempat yang aman. Setelah jauh dari musuh, keduanya naik ke atas dan berjalan untuk bergabung dengan induk pasukan TNI. Setelah melewati desa Jagoan, barulah keduanya bertemu dengan pasukan
Serangan musuh pada hari itu tidak hanya menggempur pertahanan TNI, Seperti daerah desa Kaloran yang biasa digunakan sebagai pangkalan TNI ikut juga di gempur. Setelah turun dari kereta api di stasiun Grabag, ikut dihujani kanon dan serangan udara. Ini sering terjadi sehingga Balai Desa Kaloran yang beratap seng, tatu arang keranjang terdapat banyak lubang bekas peluru. Bahkan pohon pun menjadi korban tembakan membabi buta musuh.
Komandan Batalyon Sardjono terlihat sangat marah, dan itu merupakan hal biasa setiap kali kalah atau mundur.  Beliau selalu marah-marah kepada siapa saja. Jangankan di pertempuran, dikantorpun jika ada pertandingan sepakbola dan kalah, beliau juga marah-marah kepada anak buahnya. Ada-ada saja yang dijadikan alasan untuk marah-marah. Sebaliknya jika pasukan bisa memukul mundur musuh, apalagi dapat merampas senjata, gembiranya bukan main dan anak buahnya dipuji-puji.
Setelah mengadakan konsolidasi anggota yang gugur atau terluka segera dievakuasi. Komandan Batalyon memerintahkan kepada Komandan Kompi agar segera kembali ke pertahanan semula
Komandan peleton yang bernama Sugiarto dengan pangkat Letda kemudian akhirnya menjadi Walikota Kotmadya Yogyakarta, Beliau meninggal setelah purna/pensiun sebagai Walikota.
Bagaimanapun gencarnya serangan serdadu Belanda terhadap TNI, akan tetapi tidak membuat TNI gentar.  Dengan segera segera kembali TNI ke garis pertahanan semula dan terus melakukan serangan balik. Serangan -serangan yang dilakukan TNI baik siang maupun malam tampaknya berhasil menjatuhkan moril lawan.
Pada suatu hari, pos depan (Steling) melihat kendaraan-kendaraan Belanda hilir mudik antara Bantir-Ambarawa. Setelah diadakan pengintaian oleh TNI, ternyata tangsi di Bantir telah kosong. Tentara Belanda sudah ditarik mundur ke Ambarawa. Sementara ada beberapa pasukan ditarik ke markas Batalyon di Tanjungtirto . Dalam operasi ini banyak anggota Batalyon Sardjono yang gugur di medan bakti.
Kekuatan Belanda dengan sendirinya terpusat di kota Ambarawa. Pertahanan TNI maju mendekati kota Ambarawa. Dalam kurun waktu tersebut, pasukan Batalyon Sardono sempat menerima giliran bertugas di garis pertahanan dekat kota Ambarawa, yaitu desa Pasekan.
Bertugas didaerah pertempuran memang sangat berat dan berbahaya. Kalau tidak menyerang ya diserang, baik siang maupun malam. Umumnya pasukan lebih memilih menyerang malam hari. Sifat penyerangan hampir sama dengan Gerilya dan bukan serangan secara frontal. Sulit diceritakan bagaimana genting dan bahayanya waktu terjadi tembak menmbak. Kadang-kadang kalau masuk ke dalam perangkap musuh, jiwa rasanya sangat terancam, dan bila kembali ke garis pertahanan rasanya seperti nyawa "Saringan", peribahasa jawa : "Mrojol selaning garu".
Batalyon Sardjono ini bertugas secara bergilir per kompi sampai dengan terjadinya perundingan/gencatan sencata lagi.
Pertempuran-pertempuran di seluruh wilayah indonesia sejak tahun 1945 hingga 1947 belum memperlihatkan tanda-tanda penyelesian. Maka tanggal 17 Januari 1948 perundingan Renville ditandatangani oleh kedua belah pihak. Masing-masing pihak mengadakan gencatan senjata.
Pasukan dari batalyon Sardjono ditarik dari garis depan. Selanjutnya kompi 1 (Danki Kapten Widodo) bertugas di Prambanan, menghadapi Belanda apabila akan menuju Yogyakarta dari arah timur. Tugasku adalah meledakkan bom yang dipasang dibawah jembatan Kali Opak, dengan tujuan menghambat gerak pasukan Belanda. Walaupun dalam keadaan aman, tetap diadakan pengawasan di garis depan. Bagi yang giliran istirahat, dapat tidur di markas peleton masing-masing. Peletonk di bawah pimpinan Letda Sugiarto bermarkas dirumah/pendopo Bapak lurah Bogeman (sebelah barat jembatan Prambanan).  Karena masih dalam situasi gencatan senjata, pasukan TNI ini mempunyai waktu santai. Banyak cara yang dilakukan anggota pasukan untuk sekedar menghibur diri, antara lain main orkes dengan alat yang dibuat sendiri dari bambu (orkes keroncong bambu). Terkadang anggota pasukan mengadakan klenengan/uyon-uyon dengan meminjam gamelan penduduk terdekat.  Ada yang suka melantunkan  mocopat, dan jika kawan-kawan lainnya yang mendengar sudah tertidur, masih saja salah satu anggota asyik mocopat (bukunya pinjam dari pak lurah). Tak jarang yang suka melantunkan mocopat itu didaulat menjadi dalang. Sambil tiduran mendalang dengan gamelan mulut kawan-kawan. Gaya mendalangnya senang meniru dalang Solo (cara Solo). Lama-klamaan gamelan berhenti sendiri karena kawan-kawan sudah tertidur satu persatu.
Satu hal yang menguntungkan dalam situasi pertahanan ini adalah diberi kursus bahasa inggris oleh Komandan Kompi (Kapten Widodo). Kursus ini diberikan ke anak buahnya yang mampu menerimanya. Sebagian anggota pasukan tidak melewatkan kesempatan ini, namun karena tugas yang selalu berpindah-pindah maka ada yang tidak dapat melanjutkan kursus ini.
Dari Prambanan pasukan Batalyon Sardjono ini ditarik kembali ke markas Batalyon di Tanjungtirto. Diasrama pasukan Batalyon Sardjono hanya latihan teori maupun praktek. Tetapi latihan tidak seberat latihan masa pendidikan.
Tak lama kemudian, pasukan Batalyon Sardjono ikut bertugas untuk menghadapi serdadu Belanda yang bermarkas di Gombrong.  Karena masih dalam gencatan senjata, tugas pasukan Batalyon Sardjono ini hanya mengamankan dan mengawasi orang-orang yang keluar masuk Gombong
Pada masa gencatan senjata ini, dimanfaatkan oleh para pedagang untuk menyelundupkan bahan makanan ke Gombong dan kembalinya mereka membawa bahan-bahan sekunder (bahan pakaian, minyak rambut, sabun mandi, ikat pinggang dll). yang diwilayah RI sangat jarang sekali adanya. Menghadapi hal-hal seperti inilah yang sering merepotkan.
Tahun 1947 pasukan dari Batalyon Sardjono masih bermarkas di Tanjungtirto. Di tahun 1947 ini diadakan pemeriksaan terhadap semua anggota dalam rangka rasionalisasi. Anggota yang kurang sehat dan tidak cakap lagi untuk menjadi tentara, dikeluarkan dan di tampung di luar TNI, misalnya menjadi cadangan. Bagi kondisinya masih sehat tetapi dari sisi lain tidak memenuhi syarat (kurang pendidikan dan buta huruf) dipindahkan ke teritorial. Begitu pula bagi yang sehat tapi dianggap mentalnya kurang kuat dipindahkan juga ke teritorial.
Bagi yang benar-benar memenuhi syarat, dibentuk/disusun menjadi anggota Batalyon Infanteri Mobil yang artinya tentara yang selalu bergerak. Yang masuk dalam Batalyon ini adalah tentara pilihan, yang fisik atau mentanya telah teruji dalam berbagai pertempuran.
Setelah adanya Rasionalisasi dan diadakan konsolidasi secukupnya, Batalyon Sardjono dipindahkan ke Bantul dan bermarkas di Jebugan bekas pabrik gula. Selama di Bantul, secara bergilir (perkompi) pasukan dari Batalyon Sardjono ini bertugas di garis depan (demarkasi) di daerah Kebumen/Karanganyar.
Saat  bertugas di garis depan (pertahanan Karanganyar, Gombong), Sekitar bulan September atau Oktober tahun 1948, di Solo ada pertempuran karena terjadi pemberontakan PKI di Madiun. Pada waktu itu pemberontak yang dikenal dengan nama PKI Muso (PKI Amir/Muso). Pasukan dari Batalyon Sardjono ini ditarik ke markas di Jebugan Bantul.
Batalyon Sardjono bertugas mengadakan pembersihan di sekitar Bantul. Ditempat-tempat yang dicurigai, lalu dikepung dan digrebeg. Banyak PKI yang tertangkap. Setelah mengadakan pembersihan, salah satu regu dari kompi Letda Sugiarto ditugaskan menduduki kota kecamatan Pundong untuk menjaga keamanan kecamatan tersebut.
Pada suatu hari ketika anggota yang bernama Wasiman dan Saido berpatroli di kampung dekat Kecamatan Pundong, tiba-tiba bertemu seorang pemuda yang gerak-geriknya mencurigakan. Pemuda itu lalu disuruh berhenti dan menanyakan identitasnya. Tanpa diduga, pemuda itu tidak menjawab pertanyaanku dan langsung mencabut pistol dari saku celananya dan mengarahkannya kepada Wasiman. Untung saja temannya yang bernama Saido sangat tangkas, begitu pistol diangkat, Saido langsung memukul pelipisnya. Seketika pemuda itu jatuh dan Wasiman segera mengambil pistolnya. Selanjutnya pemuda itu oleh Wasiman diikat tangannya dan oleh keduanya diserahkan ke markas Batalyon Sardjono.
Setelah Kecamatan Pundong dianggap bersih, regu dari peleton Letda Sugiarto ini ditarik kembali ke markas Batalyon Sardjono di Jebugan untuk ditugaskan ke daerah lain.
Pada suatu hari di Asrama Jebugan, udara terasa panas sekali sehingga badan anggota pasukan yang bernama Wasiman  terus dibasahi keringat.  Hingga jam 23.00 WiB Wasiman ini belum juga tertidur, oleh karena itu tikar alas tidur oleh Wasiman dibawa keluar jauh dari ruang/kamar tidur kawan-kawan. Wasiman baru bisa benar-benar tertidur nyenyak dibawah pohon talok.  Esok harinya sekitar jam 05.30 WIb Wasiman baru terbangun dan langsung menuju ruangan tempat kawan-kawannya tidur.  Tetapi betapa terkejutnya Wasiman ketika ruangan tersebut terlihat kosong. Yang ada hanya bentangan tikar di lantai. Wasiman bingung dan bertanya ada apa ini? Kemudian Wasiman pergi ke ruangan piket dan langsung melapor kepada Perwira Piket Batalyon yang pada waktu itu Kapten A. Sumarmo. Dengan marah, Kapten A. Sumarno memberi penjelasan sebagai berikut :
"Kawan-kawanmu tadi malam jam 02.00 telah berangkat ke Gunung kidul untuk menggrebeg sisa-sisa PKI disana. Kamu tadi malam dicari oleh Komandan regu mu." Lalu Kapten A. Sumarno bertanya : "kamu lari kemana?" Wasiman menjawab : "Saya tidur dibawah pohon talok disana pak" Dan seterusnya terjadilah tanya jawab antara Perwira piket dengan Wasiman. Pendek kata, Wasiman dipersalahkan karena menghindari tugas.  Selanjutnya Wasiman diberitahu oleh Perwira piket telah menerima kabar bahwa kawan-kawan Wasiman mengalami kecelakaan dalam perjalanan. Sebuah granat kawan yang tergantung dipinggangnya jatuh kelantai truk dan meledak. Karena waktu itu jalan sangat jelek,  sehingga truk terguncang-guncang dan menyebabkan granat tersebut terjatuh dan meledak.  Granat tersebut buatan pabrik mesiu di Balson Yogya dan masih belum sempurna. Kecelakaan itu menyebabkan korban jiwa dan luka-luka.
  Karena Wasiman dipersalahkan menghindar dari tugas, maka Perwira piket menjatuhkan hukuman kepada Wasiman membersihkan Wc selama 7 hari. Dalam Wasiman berkata : "Alhamdulillah, Tuhan telah menjauhi aku dari bahaya". disamping itu juga Wasiman sangat berduka karena banyak kawan-kawannya yang telah gugur didalam tugas.
Pemberontakan PKI relatif tidak lama untuk dipadamkan. Hanya butuh waktu 2 bulanan, keadaan kembali normal. Oleh karena itu perhatian kembali diarahkan sepenuhnya kepada pertahanan dalam menghadapi serangan Belanda ke Ibukota RI Yogyakarta.
Kembali Batalyon Sardjono ditugaskan ke pertahanan untuk manghadapi Belanda yang akan menyerang dari arah barat (tepatnya di daerah Kuwaja, tapal batas Yogya-Kedu) untuk menduduki ibukota
Tugas pasukan ini sehari-hari adalah menjaga di pos dan patroli, jika sedang tidak bertugas, anggota pasukan ini suka main-main ke sekitar Pertahanan atau naik ke bukit-bukit untuk melihat pemandangan dan mencari buah-buahan. Diatas bukit banyak pohon Duwet, Biasanya salah satu anggota yang bernama Wasiman memanjat pohon tersebut dan makan sekenyang-kenyangnya. Kalau sudah kenyang, baru memetik buah duwet untuk dibawa pulang. Tidak hanya itu saja yang menjadi hiburan, Wasiman sendiri mempunyai hobi berburu burung. Jenis burung yang banyak terdapat di daerah tersebut adalah burung tekukur, bahkan jika ada bajing/tupai ditembak juga. Senjata yang digunakan adalah LE karliber 7,7mm, bayangkan jika burung itu ditembak dengan peluru 7,7mm, jika kena dada atau kepalanya tentu burung tersebut akan hancur tetapi jika kena kaki atau sayapnya beruntung sekali karena masih utuh. Pada waktu itu Wasiman dijuluki penembak mahir oleh kawan-kawannya. Karena senjata yang Wasiman  gunakan untuk perang itu skoknya keras sekali, tetapi Wasiman bisa menembak burung dengan senjata tersebut.
Pada hari minggu 19 Desember 1948 Wasiman sedang tidak mendapatkan giliran tugas, maka kesempatan itu Wasiman gunakan untuk menembak burung. Wasiman mengajak seorang kawan dan pergi ke atas bukit. Kurang dari jam 10.00 WIB Wasiman melihat beberpa pesawat udara dari arah barat menuju timur. Keduanya menjadi curiga karena biasanya tidak ada pesawat udara. Namun hati Wasiman sedikit tenang karena pesawat itu terbang tinggi dan tidak mungkin untuk menyerang keduanya. Setelah tiba di markas, kawan-kawan tenang-tenang saja seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Seperti biasa Wasiman masih memanggul hasil buruannya.
Setelah makan siang, semua pasukan diperintahkan untuk siap tempur.  Diberitahukan bahwa kota Yogya telah diduduki oleh pasukan Belanda. Pasukan Belanda menyerang dari arah timur menerjunkan pasukan payungnya di Maguwo dan melakukan pengeboman terlebih dahulu.
Pada waktu itu masyarakat Yogya melihat pesawat di atas Yogya dan mendengar suara tembakan, namun masyarakat tetap tenang-tenang saja karena sebelumnya sudah ada pengumuman bahwa hari itu AURI sedang mengadakan latihan perang.
Setelah melihat kenyataan bahwa pasukan darat Belanda bergerak menuju kota, barulah rakyat tersadar bahwa Belanda telah menyerang kota Yogyakarta. Dengan serangan mendadak dan tanpa terduga, keadaan jadi sangat kacau TNI tidak dapat berbuat banyak selain hanya menghambat gerak Belanda dengan tujuan untuk memberi kesempatan kepada para pemimpin agar dapat merencanakan dan mengambil tindakan lebih lanjut.
Pada suatu hari Istana Negara sedang mengadakan rapat, mengingat situasi sudah sangat genting, maka Presiden Soekarno mengambil keputusan:
  1. Ibukota RI dipindahkan ke Bukittinggi.
  2. Jendral Soedirman diperintahkan keluar kota dan melakukan perang gerilya.
  3. Bung Karno dan Bung Hatta tetap berada di istana dengan resiko ditawan oleh belanda.
  4. Tentara dan rakyat harus mengadakan perlawanan kepada Belanda.
Setelah menerima berita,  satu Batalyon kecuali kompi 1 pimpinan Kapten Widodo yang berada di dalam kota, segera bergerak berjalan kaki menuju ke Bantul melalui Brosot. Jarak dari Kuwojo ke Bantul cukup jauh. Wasiman tidak ingat berapa jam perjalanan, yang Wasiman ingat semalaman pasukan Batalyon Sardjono berjalan terus. Sungguh sangat melelahkan perjalanan itu, pasukan Batalyon Sardjono hanya beristirahat secukupnya dan meminta makanan di Sebuah kelurahan. Oleh Pak lurah kami diberi makan mie rebus sekedar untuk penganjal perut.
Pendek kata dalam keadaan lemah dan mengantuk pasukan tiba di luar Kota Bantul dengan selamat. Lalu pasukan Batalyon Sardjono hanya beristirahat dan tidur secukupnya.
Setelah semua pasukan sudah dikoordinasikan dan tempat sudah diatur, maka pimpinan menyusun rencana serangan balasan. Letkol Soeharto komandan Brigade X sebagai Komandan Wehrkreis III. Kalau tidak salah pos komando pak Soeharto pertama kali adalah di Ngotho.
Daerah Selatan yang merupakan wilayah dari Sub-Wehrkreise (SWK) 102 Batalyon  I  di  bawah  komandan  Mayor  Sardjono. Susunan Batalyon Mayor Sardjono saat perjuangan melawan Belanda di saat Agresi Belanda ke II.
Kompi 1, pimpinan Kapten Widodo berada di Krapyak, Dongkelan
Untuk peletonnya ada Peleton di bawah pimpinan Letda Sugiarto.
Kompi 2, pimpinan Kapten Soedarmo berada di Bakulan.
Kompi 3, pimpinan Kapten Ali Affandi berada di Kotagede.
Peletonnya ada yang dibawah pimpinan Letnan Komarudin.
Kompi 4, pimpinan Kapten A. Soemarno semula di Tamanan, kemudian pindah ke Mail, kemudian pindah lagi ke Bibis Bangunjiwo.
Kompi Senjata Bantuan pimpinan Kapten Oesodo.
Setelah  Belanda  menduduki Yogyakarta, kemudian  untuk  menghambat  gerakan  Belanda  ke  Selatan  Sie Soeradal  segera  di tempatkan di  selatan  kota  daerah  Dongkelan.  Sie  I,  II,  dan sebagian  Cie  IV  dipindahkan  kembali  bergerak  menuju  sektor  II  (Bantul). Pasukan  TNI  berjalan  sambil  menghancurkan  jembatan  Winongo  yang menghubungkan antara Kota Yogyakarta dan Bantul.
Pasukan  TNI  Batalyon  I  Sardjono  berangsur-angsur  mulai  berkumpul setelah  koordinasi  berjalan  dengan  baik.  Sie  Komarudin,  Sie  Widodo,  Sie Sudarmo diberikan  tugas  untuk  menjaga  daerah  perbatasan  di  samping  Sie Soeradal.  SWK  102  membuat  barisan  penghadangan  di  sekitar  wilayah  Sewon karena  wilayah  tersebut  merupakan  wilayah  paling  dekat  dengan  Kota Yogyakarta. Pantai  selatan  juga  tetap  diawasi  ketat  oleh  Sie  Saliman  untuk mengantisipasi masuknya Belanda melalui jalur pantai.
Belanda rupanya  telah  merencanakan  gerakan  tentaranya  ke  Barat  Kota sehingga menduduki desa Pedes kemudian sebagian menduduki jembatan Bantar di  Sungai  Progo.  Setelah  menduduki  jembatan  Bantar,  Belanda  lalu  menuju  ke selatan  dan  bermalam  di  Pabrik  Gula  Gesikan yang  pada  waktu  itu  masih  utuh belum  di  bumi  hanguskan  oleh  rakyat  dan  TNI.  Belanda  lalu  melepaskan tembakan untuk membuat rakyat panik pada pukul 18.00. Rakyat ternyata panik dan bertanya -tanya tentang suara tembakan tersebut dari TNI atau dari Belanda.
Setelah menyusun rencana, TNI mengadakan serangan balasan masuk kota pada malam hari. Tentu saja ini membuat terkejut Belanda, karena Belanda menganggap TNI sudah tidak memiliki kekuatan lagi. Tetapi TNI masih ada dan mampu mengadakan serangan balasan dalam waktu singkat tanpa terduga. 
Pemeriksaan  akan  dilakukan  pada  pagi  hari  dan  ternyata  Belanda  sudah meninggalkan Pabrik Gula tersebut untuk menuju ke arah Palbapang pada pukul 05.00.  Rakyat  yang  menjaga  persimpangan  Palbapang  ditangkap  oleh  patroli Belanda kemudian di tembak mati. Pada h ari itu juga Belanda memasukki Kota Bantul tanpa adanya perlawanan dari TNI. Hal tersebut dikarenakan TNI (SWK 102) masih berada di dalam Kota Yogyakarta untuk melakukan serangan balasan.
Sedangkan menurut Mayor (Purn.) Soeyoto dan H. Sodali, Komandan Kompi ditugaskan untuk mempertahankan Pangkalan Batalyon I/X/III Jebugan Bantul. Namun karena adanya serangan Belanda secara tiba-tiba dan Kompi di Jebugan tidak mampu mempertahankan, maka pangkalan ditinggalkan menuju Imogiri dan selanjutnya bergabung dengan sebagian pasukan di Parangtritis. Setelah diyakini tidak akan terjadi pendaratan pasukan Belanda di Parangtritis dan Samas, maka Kompi menyusul Induk Pasukan di Markas Batalyon Pandak. Namun ternyata pasukan Belanda justru mengarah ke Pandak. Pasukan Belanda menyergap lewat Gunung Sepikul dan menghancurkan pertahanan gerilyawan sehingga harus mundur ke timur sampai lapangan Jodog dan ke selatan hingga desa Kadek.
Di Argomulyo, pembantaian dilakukan Belanda. Rumah-rumah dibakar dan tembakan membabi buta tak henti-hentinya menyalak. Belanda sepertinya begitu benci terhadap Argomulyo. Hal ini dikarenakan desa Kemusuk, Argomulyo merupakan tempat tinggal Letkol Suharto yang menjadi Komandan Wehrkreise dan berperan penting dalam melawan Belanda.

Kapten Inf. (Purn) Soewondho dalam catatan yang diberikan kepada Kapten CKU (Purn) sebelum meninggal menceritakan mengenai perjuangan melawan Belanda Desember 1948. Ia sebagai Bintara Peralatan Batalyon Sardjono di Pos Pabrik Jebugan dan sebagai pengawal pribadi Sardjono mendapat tugas piket Batalyon, menerima laporan bahwa Kantor Telepon Palbapang dirusak oleh Belanda. Piket Batalyon segera melapor ke Komandan dan diperintahkan kepada semua Dan Ki segera menempatkan diri sesuai rute yang telah ditentukan. Batalyon Sardjono bergerak ke Pandak untuk bermarkas di Pandak. Gerakan ini diketahui Belanda. Di sudut desa Cengkiran terdapat banyak sekali serdadu Belanda dengan senjata lengkap. Pada pagi harinya, Soewondho memancing tembakan. Kontak senjata pun terjadi dan kekalahan ada di pihak Soewondho karena kekurangan senjata. Soewondho pun lari ke selatan dengan luka tembakan di tubuhnya. Namun ia ditolong rakyat dan dibawa ke RS Ganjuran.
Setiap rumah yang terendus Belanda sebagai tempat berkumpulnya para anggota Tentara Nasional Indonesia pasti akan menjadi sasaran penyerbuan Belanda, seperti yang terjadi di Ngoto. Suatu pagi di Ngoto didatangi sepasukan Belanda yang berjalan kaki. Hal itu dilihatnya oleh Pak Kliwon dan Pak Narsen yang ketika itu menjadi anggota tentara pelajar. Pak Kliwon dan temannya kemudian berlari menyebrang jalan ke timur. Ia berharap dikejar oleh musuh dengan tembakan sehingga bisa menarik perhatian dan membangunkan warga sekitar yang masih tidur. Sekaligus menjadi perintah siaga bagi semua tentara dan polisi yang berada di tempat itu. Belanda pun mengejarnya dengan tembakan membabi buta. Rakyat yang terkejut berlarian sehingga Belanda banyak yang terkena tembakan Belanda. Tercatat 21 rakyat sipil dan 9 polisi tewas dalam peristiwa tersebut.
Di dusun Ponggok (Jetis), Belanda nampaknya ingin mendirikan pos di bekas gudang tebu. Sampai menjelang sore, Belanda masih belum keluar sari kawasan itu. Akhirnya tentara RI memutuskan untuk mengepung dan pagi harinya diserang. Begitu pecah suara tembakan sehabis subuh, kendaraan patroli Belanda pun berdatangan. Dari Bulak Pacar sampai Ponggok pun berubah menjadi medan pertempuran. Pertempuran berlangsung hingga jam sepuluh malam dan berakhir setelah dibubarkan oleh pesawat cocor merah menghujani tembakan membabi buta. Korban yang terlihat saksi mata ialah para anggota APS dari kesatuan polisi pramong praja yang bergabung, diperkirakan berjumlah ratusan orang tewas menjadi tumbal perjuangan kemerdekaan di tempat itu.
Patroli Belanda melakukan penggeledahan dan membongkar toko-toko di pinggir  jalan.  Selain  itu,  patroli  tersebut  juga  mengangkut  barang -barang  yang masih ada di dalamnya. Belanda juga membawa tawanan bangsa Tiong Hoa yang ada di Bantul untuk dibawa ke Kota Yogyakarta. Pasukan SWK 102 dan Patroli
Belanda  bertemu  di  tengah-tengah  perjalanan  dan  mengadakan  kontak  senjata.  Pasukan  SWK  102  yang  sedang  dalam  kondisi  kelelahan  segera  menyebar  dan akan berkumpul di lokasi yang sudah disepakati yaitu di Imogiri. Imogiri  merupakan  tempat  yang  mudah  dijangkau  dan  diketahui  oleh pasukan  SWK  102  karena  terdapat  makam  Raja-Raja  Mataram  dan  Surakarta.
Pada  tanggal  31  Desember  1948  ketika  semua  pasukan  sudah  berkumpul, komandan SWK 102 kemudian memberikan tugas. Tugas yang diberikan kepada pasukan adalah sebagai berikut.
1. Mengadakan penyerangan gerilya secara terus menerus.
2. Mengadakan penghadangan pasukan Belanda di jalan-jalan besar.
3. Mengadakan sabotase.
4. Merusak,  menghancurkan  jalan  atau  jembatan  yang  telah  diperbaiki Belanda.
Gerakan  pasukan  SWK  102  harus  mobil  artinya  harus  selalu  berpindah pindah  dari  satu  desa  ke  desa  lainnya.  Taktik  dan  siasat  gerilya  sengaja  dipilih karena mempunyai beberapa keuntungan sebagai berikut.
1. Pada  gerilya  mengenal  dengan  jelas  keadaan  geografis  Bantul  yang memiliki  kondisi  perbukitan  di  sisi  Barat  dan  Timur ,  banyak sungai besar,  masih  banyak  hutan,  dan  perkampungan  yang  dipenuhi  pohon pohon besar.
2. Mengerti kebiasaan penduduk Bantul sehingga memudahkan kerja sama dalam melaksanakan tugas.
3. Menebalkan semangat perjuangan rakyat karena TNI masih mempunyai kekuatan serta dapat diandalkan.
4. Rakyat merasa bangga dan merasa lebih aman.
5. Kedudukan TNI sulit diketahui Belanda karena kita selalu berpindah dan rakyat selalu memberitahu jika Belanda datang.
Belanda  mulai  menduduki  daerah  Bantul  pada  tanggal  19  Januari  1949 dengan  membawa  kurang  lebih  2  Kompi.  Belanda  bergerak  melalui  Imogiri kemudian  menuju  ke  Barongan.  Daerah  Barongan  terdapat  pabrik  gula  yang dahulu ditinggalkan  ketika  Jepang  datang  ke  RI. Setelah  Barongan  berhasil diduduki,  Belanda  kemudian  bergerak  ke  arah  Kota  Bantul  dan  kemudian didirikan  markas  pusat  Belanda  di  daerah  Bantul. Belanda  kemudian  secara berturut mulai menduduki beberapa pabrik gula di Bantul seperti di daerah Pleret dan Padokan.
Daerah  Bantul  sudah  diduduki  oleh  Belanda,  kemudian  seluruh  pasukan SWK 102 dengan dibantu rakyat secara aktif melakukan perang gerilya. TNI dan rakyat juga secara bergotong -royong menggali lubang -lubang besar di jalan-jalan besar  selain  itu  juga  m enebangi  pohon -pohon  besar  dengan  tujuan  agar menyulitkan  Belanda  yang  melintasi  jalan  tersebut.  Rakyat  mengetahui  walau jiwa  dan  hartanya  akan  terancam  karena  melakukan  hal  tersebut  akan  tetapi, tindakan tersebut semakin menambah semangat perjuangan.

Perlawanan  yang  dilakukan  oleh  TNI  khususnya  SWK  102  semakin gencar setelah Belanda menduduki daerah Bantul pada tanggal 19 Januari 1949. Setelah  Komandan  SWK  102  Mayor  Sardjono  mengumumkan  bahwa  perang gerilya dilakukan  di  daerah perlawanan  masing.  Berbagai  daerah  yang  terdapat pos  Belanda  selalu  diserang  agar  Belanda  merasa  tidak  aman.  Di Bantul pun terjadi pertempuran-pertempuran demi mempertahankan kemerdekaan RI. Titik pertempuran di Bantul diantaranya : Jembatan Bantar Sedayu, Nyangkringan, Niten Trirenggo, Pasar Bantul, Pleret, Jebugan, Palbapang, Ganjuran, Pandak, Gunung Sepikul, dan Ngotho. Berbagai  daerah yang menjadi sasaran penyerangan SWK 102 adalah sebagai berikut.
1. Pertempuran di Jati dan Brajan
Jati dan  Brajan adalah  nama -nama  pedukuhan  yang  berada  di  dalam Kelurahan  Wonokromo,  Kecamatan  Pleret  (pada  masa  perang  kemerdekaan  II dinamakan  Kapanewon Gondowulung),  Kabupaten  Bantul  ,  Daerah  Istimewa Yogyakarta.  Luas  wilayah  Desa  Wonokromo  adalah  4.021.485 ha,  desa  ini merupakan daerah yang  subur karena terdapat bermacam -macam tanaman dapat tumbuh dengan baik. Desa Wonokromo juga terdapat empat aliran sungai besar yaitu sebelah timur Sung ai Gajah Wong, Sungai Belik, paling barat Sungai Code, dan  paling  selatan  adalah  Sungai  Opak. Adanya  sungai  dan  area  persawahan tersebut, desa ini sangat strategis untuk perang geilya.
Pertempuran-pertempuran  setiap  hari  terjadi  antara  pasukan  gerilyawan dengan  pasukan  patroli -patroli  Belanda.  Setelah  serangan  balasan ke  Kota Yogyakarta  untuk yang pertama  pada  tanggal  29  Desember  1948,  pada  pagi harinya mulailah pertempuran yang hebat di jalan antara Palbapang dan Bakulan. SWK  102  yang  sedang  dalam  kondisi  kelelahan  kemudian  menyebar  dan  pada malam harinya berkumpul di Imogiri.
Sektor II sejak tanggal 31 Desember 1948 mulai diganti namanya menjadi Sub-Wehrkreise (SWK)  102  dengan  komandan  Batalyon  I  Mayor  Sardjono. Daerah  SWK  102  mempunyai  wilayah  dari  Ambarukmo,  Maguwo,  Giwangan, Kotagede, Pleret, sampai sebelah selatan Karangsemut. Berangsur-angsur pasukan SWK  102  mulai  berdatangan  dan  berkumpul  yang  kemudian  diberikan  tugas untuk bergerilya di selatan Kota Yogyakarta seperti Sie Soeradal, Sie Widodo, Sie Sudarmo, dan Sie Komarudin.
Daerah Wonokromo ini merupakan basis pasukan Komarudin. Komarudin sendiri sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat sekitar Wonokromo, bahkan ketenaran Komarudin melebihi dari Letkol Soeharto selaku Komandan Wehrkreise (WK)  III.
Seorang  Komarudin  bisa  terkenal  karena keberanian  dalam  menghadapi  Belanda dan juga menurut  masyarakat  seorang yang anti  peluru.
Pos-pos  pasukan  Komarudin  selalu  berpindah-pindah meskipun  hanya  di  dalam  wilayah  Wonokromo  seperti  di  Brajan,  Karanganom, Wonokromo, dan Jejeran. Daerah operasi Komarudin juga sampai jauh ke utara Desa Wonokromo seperti Sorogenen, Bulu, Gandok, Ndruwo, dan sekitarnya.
Pasukan  Komarudin  mendapat  dukungan  kuat  dari  rakyat  Wonokromo yang  membantu  membuat  pos -pos  di  rumah -rumah  penduduk  desa.  Daerah Wonokromo merupakan daerah kewaspadaan tinggi karena desa ini dekat sekali dengan markas Belanda di Pleret. Markas Belanda di Pleret termasuk markas yang besar  dan  kuat  selain  itu  di  Pleret  tepatnya  Desa  Segoroyoso  juga  dijadikan markas  WK  III. Pasukan  Komarudin  dan  masyarakat  bergotong  royong  untuk membuat  lubang-lubang  besar  di  jalan  agar  menghambat  pergerakan patrol Belanda.
Rakyat yang sebagian besar sebagai petani sering membantu membawakan senjata ke garis depan selain itu juga membuat ransum atau nuk untuk diberikan kepada  gerilyawan.  Pasukan  TNI  juga  tidak  segan untuk  meminta  makanan kepada  penduduk  Wonokromo.  Penduduk  sadar  jika  TNI  pasti  kelelahan  dan kelaparan  setelah  bertempur  dengan  Belanda.  Pada  malam  hari  di  Desa Wonokromo juga sering disinggahi pasukan TNI untuk beristirahat dan pada siang harinya meninggalkan desa tersebut. Pergerakan pasukan TNI selalu mobil artinya tidak menetap agar sulit diketahui oleh Belanda.

a. Pertempuran Jati
Komandan Tijgerbrigade Belanda  Kolonel  Van  Langen  pada  tanggal  1 Februari  1949  mengeluarkan  rencana  untuk  mengadakan  pembersihan  di  sekitar Sungai  Opak – Jalan  Yogya – Imogiri,  dan  Jejeran  yang  diperkirakan  basis gerilyawan. Pada  tanggal  2  Februari  1949 sekitar  pukul  15.00  kapal  terb ang  Belanda menyambar-nyambar  dengan  terbang  sangat  rendah.  Kapal  terbang  tersebut sedang melakukan pemantauan aktifitas penduduk maupun gerilyawan di daerah Wonokromo. Konvoi pasukan Belanda dari markas Pleret menuju Jejeran dimulai pada tanggal  3  Februari  1949 pukul  06.00. Setelah  memiliki  keyakinan  bahwa Wonokromo  merupakan  basis  gerilya  kemudian  segera  bergerak. Belanda mengepung Jejeran (daerah Wonokromo) dari berbagai arah kemudian melakukan penggrebekan  di  rumah -rumah  penduduk dan  membunuh  penduduk  sebanyak  8 orang.  Beberapa  penduduk  yang  tampak  mencurigakan  langsung  dibunuh  oleh Belanda.
Pendudukan  Belanda  di  Yogyakarta  saat  Agresi  Militer  II  yang  diincar adalah kaum laki -laki. Hal tersebut karena laki-laki biasanya ikut terlibat dalam perang  gerilya  baik  ikut  berperang  di  medan  pertempuran ataupun  sebagai pengirim  ransum.  Maka  dari  itu,  ketika  Belanda  mendatangi  sebuah perkampungan, kaum laki-laki akan bersembunyi atau berlari menuju ke tempat yang aman. Belanda sering menangkap kemudian membunuh pe nduduk laki-laki yang ditemuinya.
Keadaan  rakyat  yang  mengetahui  kedatangan  Belanda  segera  berlari menyelematkan diri. Sebagian besar dari penduduk Jejeran berlari ke arah timur menuju ke pedukuhan Jati dengan membongkok-bongkok melewati Sungai Belik. Belanda yang mengetahui hal tersebut bergegas mengejar melalui jalan-jalan desa dan  pekarangan  penduduk.  Pasukan  gerilyawan  segera  menembak  Belanda sehingga  menimbulkan  pertempuran  yang  sengit. Komarudin  sebenarnya mempunyai  basis  pasukan  di  Jejeran, akan tetapi  sedang  tidak  berada  di  tempat sehingga selamat dari operasi Belanda.
Anak  buah  Komarudin  yang  mendengar  adanya  operasi  Belanda  segera mencari  posisi  yang  strategis  untuk  menyerang  Belanda.  Penyerangan  tersebut hanya  dilakukan  oleh  2  orang  tentara  saja  yaitu  Jawadi  dan  Yudi.  Keduanya berasal  dari  Wonokromo  yang  menjadi  laskar  Hizbullah  dan  bergabung  dengan pasukan Komarudin. Jawadi dan Yudi sanggup mengatasi pasukan Belanda yang berjumlah  1  regu  (15  orang).  Keduanya  menempati  bekas  pabrik  tembakau sebagai pertahanan sementara pasukan Belanda datang dari arah Barat. Pasukan  Belanda  mengalami  kerugian  2  orang  yang  terluka  kemudian akan  dibawa  ke  Tegal  Gendu  (daerah  Kotagede)  untuk  diobati.  Perjalanan  yang lumayan jauh sehingga 2 orang yang terluka tadi meninggal. Sementara itu di Jati, Belanda  masih  terus  menembakan  pelurunya  selama  beberapa  jam. Pasukan Belanda yang kaget karena suara tembakan dari TNI segera menceburkan diri ke dalam  parit.  Pasukan  Belanda  berjalan  dengan  merayap  untuk  mendekati pertahanan TNI, akan tetapi kedua orang tadi sudah menghilang.
Belanda  kemudian  me mburu  kedua  orang  tadi  sampai  di  pedukuhan Sareyan.  Belanda  yang  gagal  mengejar  kedua  orang  gerilyawan  segera melampiaskan  kemarahannya  dengan  membunuh  7  orang  penduduk.  Setelah kembali  ke  markas  Pleret  kemudian  Belanda  melakukan  serangan  jarak  jauh dengan mortir. Rumah-rumah penduduk di sekitar Wonokromo terkena serangan tersebut dan  membawa  kerugian  yang  cukup  besar.  Akan  tetapi,  peristiwa  itu tidak menyurutkan semangat penduduk untuk berjuang melawan Belanda.

b. Pertempuran Brajan
Pertempuran di Brajan me letus pada tanggal 10 April 1949 sekitar pukul 13.00 dan berakhir menjelang pukul 18.00. Pertempuran dimulai ketika pasukan patroli  Belanda  yang  berada  di  wilayah  Wonokromo.  Pasukan  patroli  Belanda datang  dari  arah  timur  (markas  Pleret)  kemudian  memasuki  wilayah  pedukuhan Kanggotan  pada  sekitar  pukul  04.00.  Sesampainya  di  Kanggota  Belanda mengeluarkan 2 tembakan karena melihat seorang penduduk yang hendak keluar rumah bernama Pak Sastro.
Pasukan  Komarudin  saat  itu  sedang  berada  tidak  jauh  dari  rumah  Pak Sastro  sehingga  langsung  bersiap  untuk  menghadang  Belanda  di  sebelah  Barat Sungai  Gajah  Wong.  Belanda  ternyata  tidak  bergerak  ke  Barat  (daerah Wonokromo)  akan  tetapi  menuju  ke  Selatan.  Pasukan  Komarudin  yang  melihat kejadian  tersebut  segera  melaporkan  situas i  kepada  pimpinannya  yaitu  Letnan Komarudin. Komarudin  kemudian  mengeluarkan  perintah  untuk  melakukan pengepungan terhadap patroli Belanda. Pasukan Komarudin yang berjumlah 3 regu (45 orang) segera melakukan pengepungan. Siasat pengepungan dilakukan dari bagian Selatan di Trimulyo agar Belanda  bergerak  ke  Barat.  Di  bagian  Barat  sendiri,  pasukan  Komarudin  sudah menunggu  dan  menembakan  beberapa  peluru  agar  patroli  Belanda  bergerak  ke arah Utara. Patroli Belanda kemudian bergerak ke Utara melewati tengah-tengah persawahan  menuju  ke  pedukuhan  Brajan dan  Jejeran.  Sesampainya  di  Jejeran, pasukan  Komarudin  bergerak  ke  arah  Barat  di  tepi  Sungai  Code  untuk
menghadang pergerakan patroli. Patroli  Belanda  yang  berada  di  Jejeran  kemudian  di  giring  dengan tembakan  dan  bergerak  ke  arah  Selatan.  Akan  tetapi  dari  Selatan  pasukan Komarudin  bergerak  ke  Utara  ditambah  dengan  tembakan  dari arah  Barat  (tepi Sungai Code). Belanda yang sedang posisi terkepung kemudian berhenti di area persawahan  sebelah  Barat  pedukuhan  Brajan.  Perte mpuran di  area  persawahan yang  padinya  sudah  mulai  menguning  terjadi  dengan  sengit.  Korban  di  pihak Belanda ada 5 orang dan 1 orang terluka yang akhirnya meninggal juga. Kondisi cuaca waktu itu sedang hujan lebat dan hari mulai gelap sehingga sisa  1  regu dari  patroli  Belanda  berhasil  melarikan  diri .  Pada  malam  harinya daerah yang menjadi tempat pertempuran di hujani oleh mortir dan persenjataan berat  lainnya. Serangan  mortir  tersebut  mengakibatkan  kerusakan  di  beberapa rumah  penduduk,  akan  tetapi,  dari  pihak  TNI  dan  rakyat  desa  tidak  ada  korban jiwa satupun.

2. Pertempuran Mrisi
Pedukuhan Mrisi terletak di Kelurahan Tirtonirmolo, Kapanewon Kasihan Bantul.  Daerah  Pedukuhan  Mrisi  berbukit -bukit di  bagian  utara  dan  di  bagian selatan adalah dataran. Pedukuhan Mris i ini terletak di selatan Padokan tepatnya di selatan Pabrik Gula Padokan yang digunakan sebagai markas Belanda. Sebelah Barat  Pedukuhan  Mrisi  terdapat  Sungai  Bedok  yang  mengalir  dari Utara  ke Selatan. Kemudian  di  sebelah  Timur  terdapat  jalan  besar  yang  me nghubungkan antara Kota Yogyakarta menuju Bantul.
Pabrik Gula Padokan yang terletak di utara Pedukuhan Mrisi merupakan markas  Belanda  yang  banyak  digunakan  untuk  tempat  kendaraan  berat  seperti Tank, Panser, dsb. Pabrik Gula Padokan adalah markas Belanda yang paling dekat dengan  Kota  Yogyakarta . Markas  Belanda  di  Padokan  ini sebenarnya tergolong lemah  akan  tetapi  sangat  sulit  untuk  ditaklukan  karena  lokasinya  yang  dekat dengan  Kota  Yogyakarta.  Bantuan  Belanda  dari  kota  akan  cepat  datang  untuk membantu menghadapi TNI.
Kompi  II  Batalyon  I  dibawah  pimpinan  Letnan  Soedarmo  yang  mundur setelah  serangan  balasan  I  tanggal  29  Desember  1948  berhasil  menghancurkan jembatan  penting.  Jembatan  yang  dihancurkan  dengan Track Bom  adalah Jembatan  Winongo  dan  Jembatan  Padokan. Penghancuran  kedua  jembatan  ini dimaksudkan untuk menghambat gerakan Belanda dari Kota Yogyakarta menuju Bantul. Kompi II ini juga mendapatkan perintah untuk melakukan penghambatan dengan memasang ranjau darat dan pemasangan rintangan. Gerakan Belanda yang semula melalui kedua jembatan tersebut berpindah menjadi Padokan, Mrisi,  Karangpule, Niten, dan Jalan Yogyakarta -Bantul. Oleh karena  itu,  pasukan  Kompi  II  banyak  melakukan  penghambatan  maupun penghadangan Belanda di Pedukuhan Mrisi. TNI dan penduduk P edukuhan Mrisi
bergotong  royong  untuk  membuat  penghambat pergerakan Belanda.  Mereka menggunakan  kreatifitas nya untuk  menyamarkan  tanah  yang tanam ranjau maupun  yang  tidak ditanam ranjau. Penduduk  Mrisi  juga  pernah  menggunakan sarang lebah untuk mengelabuhi Belanda.
Jalan  antara  Padokan - Niten  adalah  “neraka”  bagi  musuh,  tetapi  tempat yang sangat menggembirakan bagi TNI. Banyak tentara Belanda yang meninggal di daerah tersebut. Begitu juga dengan kendaraan lapis baja banyak yang hancur karena terkena ranjau. Ketika ranjau tersebut mengenai sasaran rakyat bersorak sorak kegirangan disamping itu tentara Belanda juga menghamburkan pelurunya ke  segala  arah.  Setelah  tentara  Belanda  terkena  ranjau  dapat  dipastikan  rumah rumah  penduduk  di  kiri  dan  kanan  jalan  akan  habis  dibakar,  tetapi  hal  tersebut tidak berarti asalkan siasat tersebut berhasil.

Kompi  Soedarmo  juga  mendapatkan  bantuan  dari  Laskar  Tirtonirmolo pimpinan  Tiyoso.  Pasukan  Kompi  Soedarmo  dan  Laskar  Tirtonirmolo  saling bahu-membahu untuk melakukan serangan terhadap Belanda. Laskar Tirtonirmolo juga mendapatkan bantuan persenjataan dari TNI berupa 1 buah Karaben Jepang, 1  buah  M.P. RI,  1  buah  Pistol Buldoc,  1  buah Karaben Belanda,  1  buah Vorre Kijker. Persenjataan  tersebut  masih  kurang  memadai  jika  dibandingkan  jumlah Laskar Tirtonirmolo , akan tetapi keberanian mereka mengalahkan segalanya.
Perlawanan  terhadap  Belanda  tentunya  tidak  dapat  dilakukan  secara frontal (berhadap-hadapan)  karena  persenjataan  yang  dimiliki  kalah  modern. Maka  dari  itu,  kegiatan  TNI  dan  Laskar  Tirtonirmolo banyak difokuskan  untuk menghadang  konvoi  Belanda  dengan  memasang  ranjau  darat  ( Land  Myn) atau Track Bom. Pemasangan  ranjau  darat merupakan  cara  efektif  untuk menghancurkan kendaraan Belanda yang melintasi Pedukuhan Mrisi. Rakyat Mrisi telah sadar, jika pemasangan ranjau darat mengenai sasaran kendaraan  Belanda  maka  dipastikan  Belanda  akan  melakukan  pembersihan  di pedukuhan tersebut. Rakya t Mrisi juga telah tang gap ketika ranjau yang dipasang tersebut berhasil mengenai sasaran maka segera mengungsi ke daerah Bangunjiwo sebelah  Barat  Sungai  Bedok.  Pemasangan  ranjau  darat pertama  kali dilakukan oleh anggota TNI bernama Darsi. Ranjau  darat  yang  dipasang  Darsi  ternyata  membawa  hasil  memuaskan, maka  kemudian  TNI  dan  Laskar Tirtonirmolo  terus  menerus  melakukan pemasangan  di Pedukuhan  Mrisi.  Belanda  yang  mengetahui  hal  tersebut sering melakukan  penyisiran  di lokasi  penanaman ranjau  darat dengan  ditektor ranjau. Walaupun begitu, banyak tank maupun kendaraan Belanda lainnya terkena ranjau darat karena kecerdasan gerilyawan yang menyamarkan lokasi penanaman ranjau darat tersebut. TNI  dan  Laskar  Tirtonirmolo  melakukan  pemasangan  ranjau  darat dan track bom dimulai pada bulan Februari 1949. Pada bulan Februari tidak kurang dari 7 ranjau darat dan track bom yang dipasang di pedukuhan Mrisi. Ranjau darat dan track bom tersebut ada 5 yang berhasil mengenai adalah sebagai berikut.
a. Tanggal 8 Februari 1949 ranjau darat berhasil mengenai sebuah traktor di desa Mrisi, tiga orang Belanda mati dan empat orang Belanda terluka.
b. Tanggal 9 Februari 1949 ranjau darat berhasil mengenai sebuah traktor di sebelah  Selatan  desa  Mrisi,  empat  orang  Belanda  mati  dan  dua  orang mengalami  luka-luka.  Pihak  Laskar  Tirton irmolo  juga  ada  korban  jiwa yaitu Saridjo  dan  melukai  Tukul.  Peristiwa  ini  bermula  ketika  Laskar Tirtonirmolo  melakukan  pengintaian  Belanda  yang  sedang  menolong rekannya  terkena  ranjau,  akan  tetapi  Belanda  mengetahui  kemudian melepaskan tembakan.
c. Tanggal  11  Februari  1949  ranjau  darat  berhasil  mengenai  sebuah  truk pengangkut  bahan  makanan  dari  Bantul  ke  Kota  Yogyakarta  di  sebelah Selatan desa Mrisi, tiga orang Belanda mati dan tujuh orang luka-luka.
d. Tanggal 18 Februari 1949 ranjau darat dipasang di Selatan Pasar Niten dan tanggal  19  Februri  1949  berhasil  mengenai  dua  traktor  dan  sebuah  truk Rode Kruis rusak, 13 orang Belanda mati, empat orang mengalami luka luka. Belanda kemudian mengadakan operasi pembersihan dan membakar rumah sebanyak 113 buah sebagai bentuk pembalasan .
e. Tanggal 24 Februari 1949 pemasangan dua buah track bom dengan hasil 1 track bom  berhasil  dijinakkan  Belanda  dan  1 track bom  mengenai  tiga orang Belanda.
Pemasangan ranjau darat yang tid ak berhasil adalah:
a. Tanggal 15 Februari 1949 dikarenakan ranjau telah hilang karena diambil dua  orang  bernama  Sugeng  dan  Tumidjan.  Keduanya  kemudian  di interview tetapi karena keduanya melawan dengan menggunakan tombak dan granat tangan akhirnya keduanya terpaksa ditembak mati.
b. Tanggal  23  Februari  1949  tidak  berhasil  karena  telah  diketahui  Belanda kemudian diambil.
TNI dan Laskar Tirtonirmolo juga memasang ranjau darat pada bulan Maret 1949 yaitu sebagai berikut.
a. Pada  tanggal  3 Maret  1949  berhasil  mengenai  sebuah  traktor  di  sebelah Timur  Karang  Pule,  empat  orang  Belanda  mati  dan  2  orang  mengalami luka-luka.
b. Pada  tanggal  5 Maret  1949  berhasil  mengenai  sebuah  truk  yang  banyak membawa pasukan Belanda. Korban yang jatuh tidak diketahui karena hari sudah gelap.

c. Pada  tanggal  7  Maret  1949  berhasil  menghancurkan  sebuah  traktor  di sebelah  Timur  Karang  Pule,  tiga  orang  Belanda  mati  dan  dua  orang mengalami luka-luka.
d. Pada  tanggal  14  Maret  1949  sebuah  truk  yang  melintar  di  sebelah  timur Karang  Pule  hancur  terkena  ranjau,  enam  orang  Belanda  mati  dan  tujuh mengalami luka-luka.
Pemasangan  ranjau  pada  bulan-bulan berikutnya  terkendala  dengan semakin menipisnya persediaan ranjau dar at. Terkadang Laskar Tirtonirmolo dan TNI di Mrisi harus datang sendiri ke lokasi penyimpanan ranjau darat seperti di daerah  Piyungan  atau  Demak  Ijo.  Ketersediaan  ranjau  yang  semakin  sedikit  itu membuat  Laskar  Tirtonirmolo  dan  TNI  melakukan  cara  lain  yaitu membuat rintangan  pohon -pohon  yang  ditebang  di  tengah -tengah  jalan.  Belanda  yang melintas akan segera membersihkannya dan disaat membersihkan itulah TNI dan Laskar Tirtonirmolo akan melakukan penyerangan. Taktik  yang  dijalankan tersebut memang  tidak  efektif  seperti  melakukan penanaman  ranjau  darat.  Persenjataan  Belanda  jelas  lebih  modern  dan  lebih banyak  dibandingkan  dengan  TNI  dan  Laskar  Tirtonirmolo.  Walaupun  begitu, usaha  tersebut  cukup  membuat  Belanda  merasa  tidak  nyaman  karena  selalu diserang  tiba -tiba.  Serangan  TNI  dan  Laskar  Tirtonirmolo  akan  berhenti  ketika datang bantuan Belanda dari Pabrik Gula Padokan.
Kegiatan Laskar Tirtonirmolo dan TNI pada bulan April hanya melakukan pemasangan ranjau darat sebanyak 2 buah saja yaitu sebagai berikut.

a. Pada tanggal  1  April  1949  pemasangan  ranjau  darat  di  sebelah  Selatan desa Mrisi dan pada tanggal 3 April 1949 berhasil menghancurkan sebuah traktor dengan korban lima orang Belanda mati dan tiga orang mengalami luka-luka.
b. Pada  tanggal  18  April  1949  pemasangan ranjau  darat  di  sebelah  Timur desa Krantil berhasil menghancurkan traktor pada tanggal 19 April 1949 dengan  korban  empat  orang  Belanda  mati  dan  seorang  mengalami  luka luka. 

Belanda memandang bahwa daerah Mrisi ke Selatan dampai Niten adalah daerah  yang  berbahaya.  Padahal  daerah  tersebut  merupakan  jalur  yang  penting bagi  transportasi  Belanda  menuju  daerah  Bantul.  Belanda  mengetahui  bahwa  di daerah  Mrisi  terdapat  sarang  dari  Laskar  Tirtonirmolo.  Maka  dari  itu  Belanda melakukan operasi pembersihan dan mendirik an pos di daerah Mrisi.
Kemunculan  pos  Belanda  di  daerah  Mrisi  dipandang  TNI  dan  Laskar Tirtonirmolo  adalah  hal  yang  rawan.  Pada  malam  harinya  pos  Belanda  tersebut diserang oleh Laskar Tirtonirmolo dengan dibantu TNI dari Kompi II Sudarmo. Belanda tampaknya menderita korban yang cukup banyak karena sebagian besar pos  tersebut  banyak  terdapat  bekas  darah. Peristiwa  penyerangan  pos  tersebut membuat  Belanda  marah  dan  melampiaskannya  dengan  membakar  desa  dan rumah yang dijadikan pos pertahanan Belanda. Setelah peristiwa itu penduduk di Pedukuhan Mrisi mengungsi ke sebelah Barat Sungai Bedok.
TNI  dan  Laskar  Tirtonirmolo  juga  melakukan  pemantauan  terhadap markas  Belanda  di  Pabrik  Gula  Padokan.  Pemantauan  tersebut  digunakan  untuk
mengetahui sejauh mana kekuataan Belanda di dalam Pabrik Gula Padokan. Pada bulan  April  diketahui  kekuatan  Belanda  di  markas  Pabrik  Gula  Padokan  adalah sebagai berikut.
a. Kekuatan Belanda keseluruhan kurang lebih sekitar 100 orang.
b. Kekuatan senjata antara l ain:
- 2 pucuk mortier.
- Bruingen GRI.
- Karabyn Belanda.
- Pistol.
c. Tempat-tempat yang berbahaya adalah:
- Sebelah Timur terdapat penanaman ranjau darat.
- Sebelah Utara terdapat banyak pecahan kaca.
d. Pos  penjagaan  terdiri  dari  dua  orang  piket  dengan  senjata Karabyn dan pistol.
e. Patroli Belanda dengan waktu yang tidak pasti mengambil rute Padokan, Mrisi,  Karang  Pule,  Bongkotan,  Kembang,  Kasongan,  Bulus,  Tirto, Sembungan, Jagan, Kembaran, Jogonalan, dan Kweni.
Informasi penting tersebut kemudian menjadi bekal untuk serangan besar-besaran  ke  markas  Belanda  di  Padokan.  Serangan  ini  dilakukan  oleh Kompi  II dengan  dibantu  Laskar  Tirtonirmolo  melalui  sebelah  Barat  dan  sebelah  Selatan Pabrik  Gula  Padokan  dengan  didukung  serangan  mortir  dari  desa  Seyang.
Diperkirakan melalui kedua arah tersebut Belanda dapat dikalahkan, akan tetapi Belanda  telah  mengetahui  rencana  penyerangan  tersebut.  Belanda  yang mengetahui  gerakan  TNI  ke  arah  Pabrik  segera  melepaskan  tembakan. Mortir yang  semula  ditujukan  untuk  menggempur  pertahanan  Belanda,  malahan mengenai anggota TNI.
Pasukan  bantuan  Belanda  datang  dari  arah  Kota  Yogyakarta  semakin menambah  besar  kekuatan  Belanda  di  markas  Padokan.  Tembakan  mortir  yang salah sasaran memaksa TNI untuk mundur dan membatalkan serangan ke markas Padokan.  Serangan  mortir  juga  membuat  kerusakan  di  rumah-rumah  penduduk
Mrisi.  Kegagalan  penyerangan  ke  markas  Belanda  membuat  TNI  dan  Laskar Tirtonirmolo semakin mempertebal semangat perjuangan. Memasuki bulan Mei, sejumlah  ranjau  darat  kembali  di tanam  di  berbagai  wilay ah  yaitu  sebagai berikut.
a. Pada tanggal 8 Mei 1949 menghancurkan sebuah panser di sebelah timur desa  Karang  Pule,  korban  sejumlah  lima  orang  Belanda  mati  dan  dua orang mengalami luka -luka.
b. Pada tanggal 7 Mei 1949 penanaman ranjau darat berhasil menghancurkan sebuah panser dan lima orang Belanda mati.
c. Pada  tanggal  14  Mei  1949  di  sebelah  timur  Karang  Pule  berhasil menghancurkan  sebuah  traktor,  empat  orang  Belanda  mati,  dan  seorang mengalami luka-luka.

d. Pada tanggal 16 Mei 1949 penanaman ranjau di se belah timur Karang Pule berhasil  menghancurkan  sebuah  truk Belanda dan  seluruh  penumpang meninggal dunia.
Kegiatan  Laskar  Tirtonirmolo  dan  TNI  tetap  melakukan  pemantauan terhadap  markas  Belanda  di  Padokan. Hasilnya selalu  dilaporkan  kepada Komandan  Batalyon  I  Sardjono  sehingga  pergerakan  Belanda  di  Padokan  dapat selalu  diketahui  dan  dikontrol.  

Laskar  Tirtonirmolo  dan  TNI  tidak  akan  dapat bertahan  tanpa  bantuan dan  dukungan  dari masyarakat Mrisi. Keberhasilan  TNI dalam  melakukan  pencegatan  pasukan  Belanda  di Mrisi  juga  membawa  korban jiwa. Sekitar 13 pejuang gugur saat bertempur melawan Belanda.
Pedukuhan Mrisi juga membuat dapur umum untuk memasok kebutuhan pangan para prajurit yang sedang bertempur di medan pertempuran. Kiriman nasi (nuk)  sangat  bermanfaat bagi  prajurit  TNI  karena  terbebas  dari  ancaman kelaparan.  Rakyat  Tirtonirmolo  juga  tidak  segan  memberikan  sumbangan  untuk membeli  bahan-bahan  kebutuhan  sebagai  dapur  umum.  Selain  itu,  para  pamong desa juga turut terlibat dengan memberikan kas kepada dapur umum dan prajurit TNI sebagai bekal untuk berperang melawan Belanda.
3. Pertempuran di Sewon
Sewon  merupakan  kapanewon  yang  berbatasan  langsung  dengan  Kota Yogyakarta. Kapanewon Sewon terdapat beberapa pos pertahanan dari Batalyon I Sardjono  untuk  menghadang  Belanda  yang  hendak  menuju  Bantul.  Di samping itu, Sewon merupakan daerah yang strategis karena terdapat jalan -jalan besar yang menghubungkan  Kota  Yogyakarta  dan  Bantul.  Jalan-jalan  besar  tersebut diantaranya adalah Jalan Parangtritis, Jalan Imogiri, dan Jalan Bantul. Jalan-jalan  besar  tersebut digunakan  untuk  menghambat  laju  pergerakan Belanda.  Penduduk  Sewon  juga  selalu  membantu  perjuangan  TNI  dalam menghadapi  Belanda.  TNI  dan  penduduk  Sewon  bergotong-royong  membuat lubang-lubang  besar  dan  rintangan-rintangan  pepohonan  di  jalan-jalan  tersebut.
Selain itu, penduduk Sewon juga sering membantu dalam penyelenggaraan dapur umum, baik sebagai juru masak ataupun sebagai pengantar makanan ( nuk). Rakyat dan Pamong Desa selalu membantu TNI dengan memberikan nasi atau  bahan  pangan  lainnya.  Penyelenggaraan  dapur  umum  biasanya  dilakukan oleh Bapak Dukuh dusun yang menjadi tempat singgah TNI. Jumlah pembuatan nasi bungkus ( nuk) tergantung dari jumlah pasukan yang singgah di desa tersebut bahkan ada yang mencapai 2.000 nasi bungkus. Penduduk dan juru masak juga ikut mendapat nasi bungkus tersebut, selain itu penduduk juga sering memberikan gethuk, tiwul, atau singkong dari hasil bumi mereka.
Sewon  yang  merupakan  basis  penghadangan  laju  pergerakan  Belanda terdapat  banyak  pertempuran.  Pertempuran  terkadang  dimenangkan  oleh  TNI akan  tetapi  terkadang  dimenangkan oleh  Belanda.  Mata-mata  Belanda  adalah yang  sering  menjadi  penyebab  kekalahan  TNI. Informasi  dari  mata-mata  yang diberikan kepada Belanda membuat posisi dan gerakan TNI dapat dengan mudah diketahui  oleh  Belanda.  Beberapa  pertempuran  yang  terjadi  di  daerah Sewon adalah sebagai berikut.
a. Pertempuran Pelem Sewu
Pelem  Sewu  termasuk  ke  dalam  pedukuhan  yang  ada  di  Sewon  yang terletak  di antara  Jalan  Parangtritis  dan  Jalan  Bantul.  Kompi  I  Kapten  Widodo sering  bermarkas  di  sekitar  Pelem  Sewu  yaitu  di desa Prancak  karena  letaknya yang  strategis. Sebelah  Barat  Pelem  Sewu  berbatasan  dengan  desa  Karang Nangka, sebelah Selatan berbatasan dengan desa Prancak. Setelah itu, di sebelah barat  berbatasan  dengan  desa  Ndruwo  dan  di  sebelah  Utara  berbatasan  dengan desa Glugo dan Krapyak. Pelem  Sewu  juga  terdapat  jalan  penting  yaitu  jalan  yang  langsung mengarah ke Plengkung Gading yang selalu dijaga ketat oleh Belanda sehingga
TNI  sulit  untuk  masuk  ke  Keraton  melalui  jalan  tersebut. Desa  Prancak merupakan  sebuah  desa  yang ada  di  Selatan  desa  Pelem  Sewu.  Pelem  Sewu dijadikan sebagai pos pertahanan karena di Prancak terdapat markas penting dari Kompi  I  Kapten  Widodo. Kapten  Widodo  juga  dibantu  oleh  pasukan  dari Komarudin  yang  sering  singgah  di  daerah  Prancak. Keberadaan  pasukan Komarudin menambah kekuatan TNI di Prancak dalam menghadapi Belanda.
Pertempuran Pelem Sewu terjadi di pertengahan bulan Januari 1949 ketika Belanda sedang melakukan patroli ke daerah Sewon. Belanda yang saat itu dari markas  Padokan  berjalan  kaki memasukki  desa  Karang  Nangka  sebelah  Barat Pelem  Sewu.  TNI  yang  sedang  bertugas  di  daerah  Prancak  mengetahui kedatangan Belanda segera menuju desa Pelem Sewu, akan tetapi ternyata patroli Belanda juga ketakutan dan bersembunyi juga di Pelem Sewu.
TNI dan patroli Belanda kaget ketika ternyata saling berada di desa Pelem Sewu.  Setelah  saling  mengetahui  kedudukan  musuh  TNI  dan  patroli  Belanda saling melepaskan tembakan mulai pukul 11.00. Patroli Belanda yang mempunyai senjata  jauh  lebih  lengkap  dan  modern  akhi rnya  hampir  memenangkan pertempuran. Anggota Kompi I Kapten Widodo kemudian mundur ke arah desa Ndruwo di timur Pelem Sewu kemudian menuju Prancak untuk meminta bantuan kepada pasukan Komarudin.
Komarudin  yang  menerima  laporan  keberadaan  Belanda  di  Pelem Sewu segera  bergerak  menyerang.  Kompi  I  bersama  pasukan  Komarudin  menyerang Belanda  yang  masih  berada  di  Pelem  Sewu  melalui  arah  Utara.  TNI  kini mempunyai kekuatan personil yang lebih besar daripada Belanda. Belanda yang terdesak  akhirnya  mundur  ke  Selatan sampai  perbatasan  Prancak.  TNI  terus mengejar  hingga  akhirnya  dari  pihak  Belanda  banyak  berjatuhan  korban. Pertempuran  tersebut  berhenti  pada  pukul  21.00  dengan  k orban  jiwa  dari  pihak Belanda ada 25 orang dan dari TNI tidak ada yang meninggal ataupun luka-luka.

b. Pertempuran Sangkal
Pedukuhan Sangkal termasuk daerah dari Kapanewon Sewon tepatnya di sebelah  Selatan  desa  Ndruwo.  Sebelah  Barat  Desa  Sangkal  ini  adalah  Jalan Parangtritis  yaitu  jalan  penting  yang  menghubungkan  Kota  Yogyakarta  dan Bantul. Sebelah Timur Desa Sangkal adalah Desa Tarudan dan sebelah selatannya adalah Desa Ngijo. Sangkal juga termasuk pos pertahanan terdepan yang ada di Bantul untuk menghadang pergerakan Belanda menuju Bantul dan Belanda yang akan menuju Kota Yogyakarta.
Pertempuran  di  bebagai  daerah  semakin  lama  semakin  sengit  terutama pada akhir bulan Januari 1949. Pada waktu itu Kompi I pimpinan Kapten Widodo sedang berada di Pos Sawit yaitu sebelah barat Desa Prancak . Kompi I mendapat perintah dari pimpinan Batalyon I SWK 10 2 Mayor Sardjono untuk menghadang Belanda.  Belanda  yang  waktu  itu  berada  di  markas  Barongan  akan  bergerak menuju Kota Yogyakarta.
Perintah penghadangan tersebut diterima Kompi I pada tengah malam dan selanjutnya Kapten Widodo segera mengumpulkan komandan-komandan peleton untuk  menyiapkan  pasukannya.  Kapten  Widodo  segera  membagi  tugas  begitu pasukannya  sudah  terkumpul.  Kompi  Polisi  yang  berada  di  Sangkal  didampingi Peleton  III  pimpinan  Soegiman,  Peleton  I  berada  di  desa  Ndruwo  untuk menangkal bantuan yang datang dari Kota Yogyakarta, dan Peleton II berada di Sawit sebagai pasukan cadangan.

Rakyat  memberikan  informasi  bahwa  pada  pukul  07.00  Belanda  sudah mulai  bergerak  menuju  Kota  Yogyakarta. Soegiman  tidak  begitu  saja  percaya dengan  informasi  yang  beredar.  I nformasi  kedua  pukul  08.30  tentang  gerakan Belanda masih belum dipercaya hingga datang informasi ketiga pada pukul 09.30. Peleton  III  diminta  untuk  bergabung  dengan  Peleton  I  yang  berada  di  Ndruwo, akan tetapi Soegiman masih tetap berada di Sangkal.
Kompi Polisi  yang  melihat  gerakan  Belanda  dari  arah  Selatan  segera membuka  dengan  tembakan.  Kontak  senjata  berlangsung  dengan  seru  dan berbagai  kendaraan  Belanda  melepaskan  peluru  sebanyak -banyaknya.  Tanpa disadari,  dari  arah  utara  datang  pasukan  Bantuan  Belanda dengan  membawa mobil lapis baja dan terus mendesak ke Selatan. Kompi I yang berada di Ndruwo terdesak  dan  segera  menuju  ke  Timur. Pasukan  Soegiman  yang  mengetahui  hal tersebut segera menuju ke arah timur memasukki desa Sangkal. Soegiman  dan  pasukannya  padahal  merupakan  pasukan  TNI  yang tergolong  memiliki  kemampuan  yang  lumayan  dalam  bertempur.  Semangat  dari Soegiman  dalam  menghadapi  tentara  Belanda  sangat  mempengaruhi  kejiwaan anggota  regunya. Kemampuan  bertempur Regu  Soegiman  tampaknya  tidak berarti karena tentara Belanda tersebut memiliki persenjataan yang lebih modern. Selain itu, regu Soegiman juga dalam kondisi terdesak oleh patroli Belanda yang sedang melintas dari arah Utara dan Selatan. Soegiman dan pasukannya tidak masuk ke perumahan penduduk Sangkal dan segera berlari ke arah persawahan. Hal itu karena ketakutan TNI jika terjadi pertempuran  dan  berlindung  di  perumahan  penduduk  maka  seluruh  rumah penduduk  di  desa  tersebut  akan  dibakar  habis  tanpa  sisa. Area  persawahan waktu itu sedang memasukki musim tanam sehingga Soegiman dan pasukaanya tidak  dapat  bersembunyi.  Akhirnya,  Belanda  dari  arah  Selatan  segera memberondong  dengan  peluru  dan  Soegiman  beserta  13  pasukannya  meninggal dunia di sawah utara desa Sangkal.
Peleton  I  yang  terdesak  segera  menuju  ke  Desa  Tarudan  dan  bertemu dengan pasukan Komarudin. Komarudin yang menerima Laporan tersebut segera melakukan  serangan  kepada  Belanda.  Pasukan  Komarudin  berhasil  memukul mundur pasukan Belanda dan segera melihat keadaan jenazah pasukan Soegiman di  tengah-tengah  sawah.  Kejadian  tersebut  segera  dilapokan  kepada Kapten Widodo,  maka  Kapten  Widodo  segera  memberi perintah  kepada TNI  untuk menguburkan jenazah  Soegiman  dan  pasukannya.  Pertempuran  Sangkal  ini dimulai  pada  pukul  10.00  dan  berakhir  pada  pukul  13.30.
Kekalahan  yang diderita oleh TNI ini, tidak menyurutkan semangat TNI dan Rakyat RI untuk tetap melawan Belanda.

c. Pertempuran Ngoto
Ngoto merupakan salah satu pedukuhan yang ada di Kapanewon Sewon. Pedukuhan Ngoto di sebelah utara berbatasan dengan desa Tanjung dan di bagian timurnya adalah desa Pandes. Sebelah Selatan desa Ngoto berbatasan dengan desa Gandok  dan  Semail  kemudian  di  sebelah  Barat  adalah  Pedukuhan  Tarudan. Sungai yang melintasi desa Ngoto adalah Sungai Code dimana di bagian Selatan desa  Ngoto  terdapat  Jembatan Merah sebagai  lalu  lintas  rakyat  maupun gerilyawan. Selain terdapat sungai, desa Ngoto juga terdapat Jalan Imogiri dimana jalan tersebut menghubungkan Kota Yogyakarta dan Bantul.
Desa Ngoto adalah sebuah desa yang juga dijadikan sebagai pos terdepan dari  SWK  102  karena  letaknya dekat  dengan  Kota  Yogyakarta .  Keberadaan markas Kompi IV pimpinan Lettu Soemarmo di Tarudan membuat pos pertahanan di  Ngoto  selalu  dijaga  ketat  oleh  TNI.  Markas  Kompi  IV  sendiri  menempati rumah seorang Kepala Dukuh Tarudan. Pos Ngoto selalu dijaga oleh satu regu sebanyak  12  orang yang  dipimpin  oleh  Sukijo. Pertempuran  di  Ngoto  sendiri terjadi  sekitar  awal  bulan  Februari  1949  dimana  patroli  Belanda  sedang melakukan gerakan dari arah Kota Yogyakarta.
Patroli  Belanda  awal  Agresi  Militer  II  tanggal  19  Desember  1949  hanya sampai di Karangkajen atau bisa dikatakan di sekitar perbatasan Kota Yogyakarta dan Bantul.  Salah  seorang  anggota penjaga  pos bernama  Juweni menunggang kuda miliki Bapak Lurah Ngoto ke arah Utara di Karangkajen untuk melakukan patroli. Juweni  tampaknya  tidak  sadar  jika  setelah  berkuda  ke  arah  Utara,  Pos Ngoto dimatai-matai oleh Belanda. Pos  Ngoto  sudah  diketahui  kedudukannya  oleh  Belanda  dan keesokan harinya sekitar pukul 03.30, Belanda melakukan patroli menuju ke Bantul melalui Jalan  Imogiri . Patroli Belanda tersebut menyamar  di  tengah -tengah  pedagang yang  berjalan  ke  Kota  Yogyakarta dan  para  pedagang  tetap  disuruh  berjalan seperti  biasa. Penjaga  pos  yang  mendapat  giliran bernama  Pak  Kliwon  dan seorang temannya mengetahui kedatangan Belanda ke arah Ngoto. Pak  Kliwon  dan  Seorang  temannya  kemudian  bermaksud  melindungi rumah  Pak  Lurah  yang  berada  di  sebelah  Barat  Jalan  Imogiri  dengan  cara menyeberang  jalan  ke  arah  Timur. Beberapa  orang  anggota  patroli  Belanda mengejar  Kliwon  sambil  menembakkan  pelurunya,  sedang  yang  lain  tetap berjalan  ke  arah  Selatan.  Sukijo  dan  pasukannya  mendengar  suara  tembakan tersebut lalu segera bergegas meninggalkan rumah Pak Lurah menuju persawahan yang ditanami ubi jalar.
Rakyat yang menjadi pedagang ikut berlari bersama Regu Sukijo menuju daerah  yang  aman  agar  tidak  terkena  tembakan. Patroli  Belanda yang  mengejar Kliwon segera  bersiap  di  Jembatan Merah Sungai  Code   untuk  melepaskan tembakan.  Ketika Belanda  melihat  beberapa  orang  memegang  senjata  segera melepaskan tembakan kekerumunan orang tersebut. Sukijo dan pasukannya hanya bisa  melawan  semampunya karena  persenjataan  TNI  yang  kurang  lengkap. Akhirnya karena  kalah  jumlah  personil  dan  persenjataan , Sukijo  dan 8 pasukannya meninggal dunia sedang rakyat sipil sebanyak 21 orang.

Belanda kemudian segera membereskan jenazah rekannya yang meninggal dengan kantong merah. Juweni salah seorang anggota regu sebenarnya waktu itu masih hidup dan berpura -pura mati ditengah mayat TNI dan rakyat. Akan tetapi, Juweni  tidak  kuasa  menahan  batuk.  Kejadian  tersebut  diketahui  oleh  seorang tentara  Belanda dan kemudian  mendatangi  Juweni.  Tentara  Belanda  segera membalikan badan Juweni dan menembaki dari kepada sampai kakinya. Setelah menembak Juweni, Tentara tersebut segera berlari ke arah rekannya yang hendak melanjutkan patroli ke arah timur.
Setelah patroli Belanda meninggalkan Ngoto , Sunarsen salah seorang yang selamat  kemudian  segera  berjalan  ke  arah  Barat.  Sesampainya  di  Tarudan, Sunarsen  lalu  memberitahukan  hal  tersebut  kepada pasukan  Kompi  IV . TNI dengan dibantu rakyat lalu membereskan jenazah regu Sukijo dan rakyat sipil. Kekalahan TNI di Ngoto tetap tidak menyurutkan semangat SWK 102 untuk terus berjuang  melawan  Belanda. Pertempuran  terus  menerus  dilakukan agar  Belanda merasa tidak aman ada di daerah Bantul.
Sumber :
A. Eryono, Reuni Keluarga Bekas Resimen 22 -WK.III. Pada Tanggal 1 Maret 1980 di Yogyakarta . Jawa Tengah: Keris -22-WK.III, 1982, hlm. 93.
Catatan Bapak Wasiman, anggota Batalyon Sardjono
Catatan Bapak Sardjono Angudi
Gerilya Wehrkreise III . Yogyakarta: Percetakan Keluarga, tt, hlm. 11 -12.
Mohamad  Roem,  dkk, Tahta  Untuk  Rakyat,  Celah-Celah  Kehidupan Sultan HB IX. Jakarta: Gramedia, 1982, hlm. 76.
Oemar Sanoesi, Replika Sejarah Perjuangan Rakyat Yogyakarta Jilid 2. Yogyakarta:  Proyek  Pemeliharaan  Tempat  Bersejarah  Perjuangan  Bangsa  di Daerah Yogyakarta, 1983, hlm. 254.
Untung  Rahardjo,  dkk, Ketika  Rakyat  Bantul  Membela  Republik . Yogyakarta: Yayasan Projotamansari, 2008, hlm. 13 6

Beberapa mantan anggota SWK 102 yang bisa diwawancarai sebagai sumber informasi :
Bapak Grubi dusun Bibis Sewon Bantul.
Bapak Mardjono dusun Bibis Sewon Bantul.
Bapak Mudji Dagaran Bangunharjo Sewon Bantul Yogyakarta.
Bapak Mudjiman Dagaran Sewon Bantul.
Bapak Paimin Wojo Bangunharjo Sewon Bantul.
Bapak Sunarsen Bibis Sewon Bantul.
Bapak Tarudan Sewon Bantul.
Bapak Wagiran Bejen Bantul.
Ibu Juwariyah Pakelrejo Umbulharjo Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar