Kamis, 29 Oktober 2015

Pasukan Terate

Pasukan Terate

Satuan ini terdiri dari mahasiswa Akademi Militer Yogyakarta, yang sedang melakukan latihan lapangan. Anggota lainnya adalah sejumlah wanita pelacur, dan sejumlah pencopet dari Surabaya dan Yogyakarta, yang tugasnya menyusup ke dalam garis pertahanan Belanda di daerah Bandung, untuk mencuri senjata, pakaian, perlengapan lainnya, dan pada umumnya menimbulkan keresahan dan kekacauan di kalangan tentara Belanda.
Perekrutan pelacur dan pencopet dari Surabaya dan Yogyakarta atas ide dr. Moestopo. Dalam kancah perjuangan, dr. Moestopo memang lebih dikenal lewat keberhasilannya melucuti tentara Jepang di Surabaya dan perannya dalam memimpin rakyat-rakyat dari “dunia hitam” untuk ikut serta mempertahankan kemerdekaan. Lucunya, konon sempat terjadi penyebaran penyakit sipilis di kalangan laskar pejuang yang disebabkan tentunya oleh keberadaan pasukan eks pelacur yang dimpimpin Moestopo. Konon juga beliau pernah kehilangan beberapa harta bendanya yang dicuri oleh salah satu “copet” yang dipimpinnya. Tapi biarlah kejadian tersebut menjadi pernak-pernik yang mengisi peristiwa proklamasi. Pada kenyataannya, para mantan pelacur, copet, dan perampok yang dikoordinir Moestopo mampu membuat repot Belanda seperti diakui oleh Robert Cribb.
Dalam buku/dokumen karya dr. Moestopo yang berjudul “History dari Barisan Penggepur Terate”. Dokumen yang dibuat tahun 1984 ini tidak diterbitkan secara umum dan lebih layak disebut sebagai catatan pribadi dr. Moestopo. Di dalamnya dimuat sejarah singkat Barisan Gundul, barisan Macan Putih, Barisan Macan Hitam, Barisan Semut Ireng dan lain-lain barisan yang berjuang di bawah tanah dan menggempur musuh dengan “secret war“, perang rahasia yang :
1. Telah turut serta memenangkan pasukan sekutu, sehingga Alm. General Mallaby mengerek bendera putih/bendera menyerah kepada arek Suroboyo pada pertempuran sengit tanggal 28, 29, 30 Oktober 1945 (Jawa Timur).
2. Turut serta menggagalkan usaha serangan “General Spoor” panglima pasukan Belanda melalui darat dari Semarang dan Gombong, sehingga serangan ke Jogjakarta kedua melalui Udara (Jawa Tengah)
3. Turut serta menghancurkan mata-mata musuh yang dikendalikan oleh gembongnya Pasundan “Kartalegawa” (Jawa Barat)
4. Mendidik mereclassir teman-temannya criminalisten menjadi patriot-patriot negara, srikandi-srikandi negara di Solo, juga seluruh Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Menurut pengakuannya, Moestopo mendapatkan ilmu “secret war” dari instrukturnya semasa mengikuti pelatihan PETA. Ia menyebutkan jika frontal war dengan senjata saja tidak dapat memenangkan pasukan sekutu, namun perlu dibantu dengan “Barisan Gundul”, semut ireng yang melaksanakan secret war (Himitsu Sensosen) yang tidak dapat dimengerti Jendral Mallaby / sekutu. Dalam peperangan di Surabaya, Moestopo memperkenalkan “senjata ampuh” berupa bambu runcing yang ujungnya diberi kotoran kuda.
Barisan Terate yang dipimpin Moestopo suatu waktu diperintahkan Panglima Sudirman untuk menghambat gerakan Jenderal Spoor ke Jogjakarta. Upaya secret war yang mereka lakukan antara lain menyerang Kebumen, Karanganyar dan meledakkan jembatan di antara Kebumen dan Gombong sehigga tank-tank kavaleri Belanda tidak dapat jalan. Barisan eks pelacur dan eks copet ditugaskan untuk menjadi mata-mata, memasang pamflet-pamflet propaganda di pohon-pohon, serta mengungsikan rakyat yang lemah ke Jogjakarta.
Ketika tiba di Kebumen, Moestopo beserta barisan Terate-nya menemukan kota itu sudah dibumihanguskan. Akhirnya di sana mereka hanya bertempur dengan mata-mata pasukan Belanda (V de Coloni). Karena makanan habis, maka Moestopo memperbolehkan anak buahnya untuk memakan tikus, anjing, dan kucing. Seterusnya mereka berkamuflase menjadi rakyat sipil dan melaksanakan upacara sekatenan. Setiap hari selama sebulan, Moestopo menyamar sebagai dukun dengan dikelilingi pisau gobed dan asap kemenyan.
Anak buah Moestopo yang merupakan eks pelacur ditugaskan untuk menyebarkan gosip jika dukun itu merupakan titisan Diponegoro yang hidup lakgi dan membalas dendam terhadap musuhnya (Belanda). Pemimpin-pemimpin rakyat dan ulama-ulama yang mendatangi sang dukun (Moestopo) kemudian diberinya pisau gobed yang disertai mantra untuk digunakan melawan Belanda. “Dengan ini terbentuklah pasukan rakyat yang kompak untuk menyerang Belanda dengan caranga masing-masing,” kenang Moestopo.
Lain waktu, anak buah Moestopo baik pria maupun wanita melakukan penyerangan malam hari dengan cara yang cukup unik. Badan mereka dicat hitam serta rambut dibiarkan terurai sehingga para eks pelacur bagaikan “wewe gombel” dan “kuntilanak”, sedangkan anak-anak eks copet bagaikan “tuyul”. Pada satu waktu, setelah Moestopo memberi komando dengan suara pistol, mitraliur dibunyikan secara berpindah-pindah, seolah-olah TNI mengepung tangsi Belanda di Karanganyar. Eks Pelacur yang berdandan layaknya kolong wewe dan eks copet yang bagaikan tuyul berlari kesana kemari sehingga rakyat Karanganyar panik dan Belanda lari ke arah Gombong. Hasilnya, Moestopo berhasil menduduki Karanganyar.
Ketika menjadi Komandan Front Bandung Utara, lagi-lagi Moestopo mengandalkan jasa Eks Pelacur yang jumlahnya kurang lebih 2000 orang untuk menjadi mata-mata dan mencuri senjata Belanda. Menurutnya, ketika Moestopo bertemu Soekarno dan menceritakan kisah keberadaan 2000 eks pelacur anak buahnya itu, Soekarno tertawa terbahak-bahak serta langsung mengajak Moestopo makan bersama. Selain ini masih ada beberapa kisah menarik lagi tapi tampaknya terlalu panjang untuk diceritakan di sini.
Kisah yang lebih runtut justru disajikan oleh anak buah Moestopo yang bernama Prodjohandoko. Ia mengatakan jika pada awalnya adalah Sdr. Sundjoto, Sujitno, Sutardjo, Hadji Djen dll. yang mendapatkan mandat dari Surabaya untuk membentuk BPRI (Barisan Pemberontak Rakjat Indonesia) yang bermarkas di Jl. Hondomanan N0. 13 (sebelah selatan Kelenteng). Mereka kemudian mengumpulkan lebih banyak tokoh sehingga pada tanggal 5 Desember 1945 bertempat di Gendingan 132 (rumah R.P. Prodjohandoko) diadakan pertemuan yang menghasilkan suatu wadah organisasi bagi para “sampah masyarakat” (pencuri, pencopet, dan para pelacur) untuk bisa berbakti kepada revolusi.
Untuk keperluan itu Sdr. Atmodihardjo dan kawan-kawan disebar untuk melakukan perjalanan keliling Jawa Tengah dan Jogjakarta untuk mengumpulkan “sampah masyarakat” tersebut. Pada tanggal 25 Desember 1945 bertempat di gedung bioskop Soboharsono di alun-alun utara Jogjakarta akhirnya terkumpul ratusan tokoh dunia hitam itu. Mereka didaulat untuk mendirikan Barisan Macan Hitam Putih Indonesia (BMHPI). Dalam kesempatan itu Prodjohandoko ditunjuk sebagai ketua, sedangkan Atmodihardjo sebagai wakil ketuanya. Mereka menggunakan sebuah bangsal di timur alun-alun utara sebagai markas pasukan BMHPI.
Setelah dilatih dan digembleng lahir bathin selama sebulan, pasukan BMHPI disebar untuk ditempatkan di sekitar Bandung, Semarang, Surabaya, Sulawesi dan Maluku. Ketika berada di garis depan, entah bagaimana kisahnya mereka lebih dikenal sebagai barisan Terate.
Keberadaan barisan Terate berakhir ketika pada tanggal 5 Juli 1947 Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang bermaksud mempersatukan semua kelasykaran. Pimpinan-pimpinannya seperti Moestopo diberi pangkat Jenderal Major. Pasukan Terate merupakan momok yang ditakuti sehingga seringkali langsung dibunuh tanpa proses apabila disergap oleh Belanda.
Di bagian akhir buku ini terdapat kisah perjuangan salah seorang anggota Barisan Terate bernama Sri Alifah yang bertugas di Bandung Utara. Berdasarkan kisahnya, ternyata tidak semua anggota Barisan Terate berasal dari dunia hitam. Barisan Terate ternyata merupakan wadah bagi berbagai laskar seperti M.A. (Militer Akademi), T.R.I.P. (Tentara Republik Indonesia Pelajar), P.T.W.I (Pusat Tenaga Wanita Indonesia). dan lain-lain. Sri Alifah sendiri tadinya merupakan anggota dari P.T.W.I. Dengan demikian para eks. narapidana, eks pelacur, dan eks copet merupakan bagian kecil saja dari Barisan Terate yang dipimpin Moestopo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar