Sejarah Badan Inteljen di Indonesia tahun 1945 - 1950
Pendidikan dasar
untuk calon Perwira Komandan Peleton (DanTon), tidak sederhana. Tetapi serius, tekun,
keras, penuh disiplin! Pendidikan ini mengutamakan perombakan mental dan fisik.
Targetnya untuk dicetak menjadi prajurit yang tangguh, tanggap, trengginas dan tanggon, dengan standard
militer Jepang. Instruktur yang melatih pun bukan orang sembarangan. Mereka
para prajurit lapangan dan professional, para prajurit Jepang lulusan Akademi
Militer. Bahkan umumnya telah berpengalaman tempur di palagan perang besar, di
Asia Selatan dan Asia Tenggara. Misalnya di daratan China melawan tentara
China. Di Asteng bertempur menghadang pasukan Sekutu, gabungan
pasukan Inggris, Amerika, dan Belanda.
Satu sisi penguasa
militer Jepang menyengsarakan rakyat Indonesia, di sisi lain mereka mencetak
ratusan pemuda Indonesia untuk dijadikan militer professional. Dan tentunya,
itu sangat menguntungkan buat perjuangan mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia.
PETA, adalah salah asset mahal harganya bagi bangsa Indonesia saat itu.
Sebagian para
prajurit pribumi yang tangguh tersebut, di kemudian hari, dimanfaatkan menjadi
instruktur pada Badan Intelijen Indonesia yang pertama.
Ide pembentukan Badan Intelijen Indonesia digagas oleh Zoelkifli Loebis, siswa Seinen Dojo Tangerang.
Kebetulan, dalam pendidikan pemuda di Tangerang, dialah siswa yang meraih ranking pertama. Bangun
tubuhnya tidak besar tinggi, bahkan cenderung “kecil”, namun otaknya cerdas,
brilian.
Salah satu cara
membangkitkan semangat bertempur adalah: berani menyerang musuh! Bukan
menunggu musuh bertindak. Istilah dalam main bola: jemput bola. Dalam jarak 200
meter dari posisi lawan, prajurit Jepang harus berani menyerang musuh.
Cepat bergerak, dengan sangkur terhunus, dia harus berteriak sekeras mungkin! …
Caaattt! ….
Biar badan lelah,
tetapi dengan teriakan yang keras sekali, serangan mendadak sering kali
berhasil. Pihak lawan saat mendengar teriakan keras, sering miris, gemetar, dan turun
morilnya. Jika dalam latihan seorang siswa tidak berteriak keras, dia harus
mengulang lagi, mengulang lagi, mengulangi lagi! …
Selain sifat berani
dan gerak cepat, diajarkan pula sifat hemat, improvisasi, dan sederhana.
Improvisasi di sini, dengan pengertian, mencari solusi alternatif untuk
menyelesaikan masalah dalam waktu cepat. Sifat-sifat yang unggul, brilian, dan
cerdas itu amat penting. Itu harus dikuasai oleh setiap prajurit. Ilmu-ilmu
kemiliteran semacam itu yang kemudian disebar-luaskan oleh Zoelkifli Loebis,
kepada para pemuda Indonesia. Dan mereka yang berani dan cerdas, nantinya
dimanfaatkan untuk membentuk Prajurit
Perang Fikiran, suatu istilah pada zaman itu, yang saat ini dikenal
dengan nama Anggota Intelijen Negara.
Sejumlah siswa Pusat Latihan Pemuda (Seinen Dojo) Tangerang, tidak diperbantukan menjadi asisten instruktur pada Pusat
Latihan calon sukarelawan Pembela Tanah Air (PETA)
di Bogor, tetapi diperbantukan pada Markas Besar “Perang Rahasia Jepang” di
Gambir, Jakarta. Mereka itu antara lain adalah Zoelkifli Loebis, Daan Mogot,
dan Kemal Idris.
Masyarakat Indonesia
pada masa pendudukan penguasa militer Jepang, pada tahun akhir 1943, mulai tahu
bahwa, Pusat Latihan Pemuda (Seinen
Dojo) di Tangerang sebenarnya adalah Sekolah Calon Intelijen Jepang
khusus buat pribumi. Sedang istilah “Perang Rahasia Jepang” sebenarnya adalah
identik dengan Intelijen.
Ketika mengikuti
pendidikan di Seinen Dojo
di Tangerang, Zoelkifli tinggal di barak pertama (nihan), bersama-sama dengan Kemal Idris,
Yonosewoyo, Soeprijadi dan Amir Sjamsoedin. Kelompok lain berada di barak kedua
(ichihan). Mereka
antara lain adalah Daan Mogot, Soeprapto Soekawati, dan Moefreni.
Para siswa Seinen Dojo Tangerang yang
lain diperbantukan atau ditempatkan di daidan-daidan
( bataliyon) sebagai Shodancho
I (DanTon). Tugas mereka menyusun dan mengatur program latihan (kyoiku gakari) perang
gerilya. Mereka juga di tempatkan di daidan-daidan,
yang teritorialnya memiliki daerah pantai yang strategis. Tugas mereka adalah
memimpin dan menyusun program pertahanan pantai.
Medio tahun 1944
Zoekifli dikirim ke semenanjung Malaya. Saat itu Negara Malaysia dan Negara
Singapura belum lahir. Dia dikirim ke Malaya untuk mengikuti Letnan Rokugawa,
mantan Komandan Sekolah Seinen
Dojo Tangerang, yang sebenarnya adalah sekolah intelijen buat
pribumi. Di negeri jiran tersebut Zoelkifli banyak menimba ilmu intelijen dari
Letnan Rokugawa.
Saat menuju ke
Singapura, keduanya menumpang pesawat pemburu Angkatan Udara Militer Jepang. Di
kota niaga tersebut, Zoelkifli bertemu dengan Mayor Ogi, serdadu Jepang
berwajah Eropa, serta pandai berbahasa Perancis. Selama di Kota Singa tersebut
Zoelkifli tidur satu kamar dengan Mayor Ogi. Dari dia jugalah putra Tapanuli
Selatan kelahiran Aceh tersebut banyak belajar ilmu intelijen. Harap diketahui,
akhir 1944 – awal 1945, semenanjung Malaya masih dalam kekuasaan penguasa
militer Jepang.
Bagaimana kehebatan
Mayor Ogi dalam soal intelijen? Menurut cerita Zoelkifli pada Amir Sjamsoedin,
sesama siswa Seien Dojo
Tangerang, hanya dengan psy
war, alias tanpa perang, pasukan tentara Perancis yang menduduki
Vietnam, dapat ditundukkan!
Markas Besar Tentara
Kekaisan Jepang di Jawa telah menyetujui dibentuknya pasukan gerilya (yugekitai).
Untuk keperluan tersebut harus dididik dulu para DanTon Infanteri biasa menjadi
DanTon Yugekitai (Shodancho Yugekitai).
Pendidikan para calon
DanTon Yugekitai
untuk pertama kali diadakan di Lembang, Bandung. Kepala Pendidikan buat para calon DanTon Yugekitai adalah Kapten
Yanagawa Motosige. Beberapa waktu kemudian pusat pendidikan dipecah ketiga
tempat, Lembang (Jabar), Salatiga (Jateng) dan Malang (Jatim).
Ketiga kota tempat
tersebut Lembang, Salatiga, Malang, berada di daerah pegunungan berhawa
sejuk. Tempat semacam itu cocok digunakan sebagai tempat pendidikan militer,
lebih-lebih buat latihan perang gerilya.
Lulusan pendidikan ini,
para DanTon Yugekitai (Shodancho Yugekitai) di
ketiga kota tersebut kemudian disebar ke daerah-daerah untuk dijadikan
instruktur di Pusat Latihan Pemuda (Seinen
Dojo) . Lulusan Salatiga misalnya dikirim ke kota-kota Pekalongan,
Tegal, Semarang, Jepara, dan di kota-kota lain di Jateng. Shodancho Yugekitai
lulusan Malang disebar di kota-kota Jatim, terutama di kota-kota di sepanjang
pantai utara Jawa. Shodancho Yugekitai lulusan Lembang juga disebar ke
kota-kota di Jabar. Demikianlah akhirnya seluruh kota-kota besar di pulau Jawa
memiliki pasukan gerilya. Mereka tetap pendukung dan bagian dari PETA, tentara sukarela Pembela Tanah Air. Harap dicatat,
namanya tentara sukarela! Jadi ya nggak
ada gaji … tapi kalau nasi bungkus,… iya laahhh! Dalam keadaan darurat,
seringkali nasi bungkus disediakan oleh dapur umum. Dananya dari masyarakat!
Penguasa militer Jepang mana punya fulus
…Kalau nasi bungkus Padang, nyaman man! Tapi itu nasi bungkus dengan lauk-pauk
seadanya. Bungkusnya pun bukan daun pisang, tapi daun pohon kayu jati, yang
kasar, diambil dari hutan di batas desa.
Jadi para Shodancho Yugekitai (PETA) akhirnya tersebar ke seluruh Jawa. Mereka itulah cikal-bakal militer
Indonesia.
Sejarah terus
bergulir memasuki babak baru. Jepang bertekuk lutut pada pasukan Sekutu
pimpinan Jendral Mac Arthur dari AS pada tanggal 15 Agustus 1945 pukul 12.00
waktu Tokyo. Saat itu Kaisar Jepang Tenno Heika mengucapkan pidato yang
intinya: Jepang menyerah kepada Sekutu tanpa syarat. Pengakuan secara lisan kemudian
disusul dan diperkuat pada upacara penandatangan dokumen Instrument of Surrender di kapal perang
Amerika Serikat Missouri yang
merapat di Teluk Tokyo pada tanggal 2 September 1945 (Soebagio IN/Sudiro, Pejuang Tanpa
Henti/ PT Inti Idayu Press Jakarta1981/hal 134). Perang Dunia II
berakhir.
Saat-saat menjelang
masa peralihan kekuasaan dari Jepang ke Sekutu, awal Agustus 1945, Zoelkifli
menyusup dari Malaya kembali ke Indonesia. Untuk beberapa waktu Zoelkifli
tinggal di Palembang.
Setelah mendengar
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, Zoelkifli segera
mengumpulkan kawan-kawan seperjuangannya. Mereka membahas dan menyusun program
untuk mendirikan badan intelijen. Sebab dia yakin, negara tanpa intelijen,
adalah mustahil. Dari Palembang mereka berangkat ke Jakarta untuk bergabung
dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR), yang para
anggotanya campuran, para anggota Laskar Rakyat dan para mantan pasukan PETA.
Untuk mendirikan badan intelijen Indonesia, Zoelkifli cs berintegrasi dan
bersinergi pada BKR, suatu cikal-bakal TNI.
Dari Palembang
Zoelkifli ke Jakarta sekitar medio Agustus 1945. Sebetulnya Zoelkifli diberi
nasehat oleh salah seorang perintis kemerdekaan Indonesia, AK Gani, putra
kelahiran Sumatra Barat, agar Zoelkifli jangan ke Jakarta dulu. Alasannya,
negara masih dalam situasi kritis dan tak menentu. Namun Zoelkifli tetap pada
pendiriannya: Ke Jakarta … aku kan kembali!
Dari Palembang ke
Jakarta Zoelkifli cs lewat darat, kemudian menyeberang Selat Sunda dan masuk
Banten. Di daerah ini Zoelkifli cs bertemu dengan sejumlah pemuda mantan PETA,
antara lain bernama Ateng Djauhari.
Di Jakarta dia sempat
bertemu dengan Yanagawa dan Yamazuki, kedua serdadu Jepang tersebut, bekas
instrukturnya. Keduanya pendukung perjuangan bangsa Indonesia, merebut
kemerdekaannya.
Rekan-rekannya yang
diajak untuk mendirikan Badan Intelijen Pertama, sejak dari Palembang, adalah
para mantan anggota “Perang Rahasia Jepang” (Beppan). Mereka
antara lain Soetjarno, Jahja Jasin, dan mantan PETA, Soerjadi. Orang yang disebut terakhir, sampai awal Mei
2011, masih hidup dan tinggal di Jakarta. Terakhir menjabat Redaktur Pelaksana
Buletin Akrab, majalah format buku
dan bersifat non-profit. Media massa cetak tersebut terbit di Jakarta. Pada Mei
2011 beliau berusia sekitar 85 tahun, dalam keadaan “sakit tua”.
Di Jakarta, Zoelkifli
cs mengumpulkan semua rekan-rekannya, antara lain mantan siswa Seinen Dojo Tangerang.
Mereka itu adalah Daan Mogot, Kemal Idris, dan Amir Sjamsoedin.
Ketika PETA
dibubarkan, pimpinan militer Jepang memerintahkan agar semua persenjataan
mantan anggota Peta diserahkan dan dikumpulkan di markas daidan-daidan (bataliyon) dan
para anggota Peta diminta pulang ke rumah masing-masing. Tetapi tidak semua
mantan anggota PETA mematuhi perintah militer Jepang. Oleh sebab itu para
mantan anggota Peta masih banyak yang memiliki persenjataan milik militer
Jepang dan milik militer Belanda. Mereka itulah yang kemudian menjadi anggota
Badan Keamanan Rakyat (BKR), yang
sifatnya bukan pasukan militer resmi. Personil BKR juga banyak yang berasal dari
Laskar Rakyat.
Pada saat masa peralihan
kekuasaan dari kekuasaan
militer Jepang ke masa Indonesia merdeka, PETA harus bertempur
melawan sisa-sisa serdadu Jepang yang terpencil, buta situasi, dan bandel.
Mereka tak kenal menyerah kepada Sekutu dan … kepada siapa saja!
“Dalam
keadaan apa pun, intelijen itu penting, dan harus ada”, ucapan Zoelkifli yang
selalu terngiang-ngiang di telinga rekan-rekanya, cerita Amir Sjamsoedin. Badan
itu harus segera dibentuk. Maka lahirlah cikal-bakal Badan
Intelijen Indonesia, walaupun saat itu Tentara Keamanan Rakyat (TKR), militer Indonesia resmi yang pertama, belum lahir!
Badan intelijen Indonesia yang pertama tersebut dinamakan “Badan Istimewa” dan
menjadi bagian dari Badan Keamanan Rakyat (BKR) Pusat. Badan
Istimewa (BI) yang dapat dikatakan sebagai organisasi intelijen pertama di
Indonesia.
BKR Pusat berkedudukan di
Jakarta dipimpin oleh Kafrawi, mantan Daidancho (DanYon) PETA Jakarta, dan
dibantu oleh Sutalaksana (Ketua I), Latief Hendraningrat (Ketua II), Arifin
Abdurrachman dan Machmud serta Zulkifli Lubis dipercayakan sebagai pimpinan
pusat Badan Keamanan Rakyat. BKR Pusat
dibentuk oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Saat itu KNIP dipimpin
oleh Kasman Singodimedjo, dan wakilnya Latuharhary. Disinilah Zulkifli Lubis
mulai mempersiapkan pembentukan badan intelijen yang diberi nama Badan
Istimewa. Zulkifli Lubis, Sunarjo, Juwahir dan GPH Djatikusumo membidani
lahirnya badan itu. “Badan
Istimewa”, atau Badan Intelijen Indonesia pertama ini, berkantor di Pejambon,
Jakarta Pusat.
Kegiatan pendidikan
intelijen telah dimulai sejak awal revolusi fisik pada tahun 1945. Pendidikan
intelijen tersebut telah dilaksanakan oleh berbagai instansi dan kesatuan yang
membutuhkan perlunya fungsi intelijen di dalamnya. Adapun wadah bagi pendidikan
intelijen pada waktu revolusi fisik 1945 berada di dalam wewenang Kementerian
Pertahanan RI dan badan yang mengelola pendidikan intelijen tersebut adalah
Staf Pendidikan “A” Kementerian Pertahanan.
Karena
didorong oleh kebutuhan yang mendesak maka segera dibentuk “kursus kilat”
intelijen pertama di Indonesia. Lokasi kursus meminjam gedung Sekolah Pelayaran
di daerah Pasar Ikan, Jakarta Utara. Pimpinan Sekolah Pelayaran Pasar Ikan
mengijinkan, berkat usaha anggota PETA Oentoro Koesmardjo dan Soerjadi. Para
siswanya diambil dari giyugun,
atau mantan anggota PETA dari seluruh Jawa serta bekas informan Jepang di Indonesia.
Jumlah siswa 40
orang. Lama pendidikan hanya seminggu! Pelajaran yang diberikan antara lain
adalah: aplikasi intelijen, informasi, sabotase, dan psywar. Penyelenggaraan
kursus intel pertama ini, Zoelkifli dibantu oleh Soenarjo, Djatikoesoemo dan
Joewahir, para cendekiawan dan perwira muda. Kapan “kursus kilat” intel itu
terjadi? Zoelkifli lupa! Tetapi menurut perkiraan dia, antara antara 17 Agustus
1945 – 5 Oktober 1945 (Tempo/29
Juli 1989).
Ke-40 pemuda mantan
anggota PETA yang mendapat “kursus kilat” intel tersebut dipanggil lewat BKR
Pusat. Alamat-alamat mereka telah lama disimpan oleh Zoelkifli, yang adalah,
siswa terbaik jebolan Seinen
Dojo Tangerang.
Dengan bekal
pengetahuan intelijen yang terbatas para agen BI kemudian disebar ke berbagai
wilayah di Jawa dengan tugas pertama untuk menggalang dukungan terhadap
kemerdekaan RI sekaligus mendapatkan informasi mengenai akitivas musuh.
Organisasi ini bertugas mendapatkan sebanyak mungkin informasi yang diperlukan
oleh tentara nasional dalam menghadapi pasukan Belanda yang mencoba kembali
menduduki Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia II.
Organisasi
intelijen lain yang dibentuk pada periode ini merupakan bagian dari Tentara
Keamanan Rakyat (TKR). Organisasi ini dibentuk di bulan Oktober 1945 dan
dipimpin oleh Dr. Soetjipto, seorang dokter yang menerima pelatihan kemiliteran
PETA, dan kemudian bekerja sebagai pegawai kesehatan PETA di Jakarta. Namun
organiasi ini hanya bertahan dalam waktu yang singkat; salah satunya karena
tidak efektif dalam menjalankan fungsinya, selain juga karena Soetjipto sendiri
ditahan pada bulan Juli akibat diduga terlibat dalam kasus kudeta 3 Juli 1946.
Badan
Intelijen Indonesia tahun 1945 – 1949 memang selalu berganti nama. Hal itu
disebabkan karena situasi dan kondisi negara yang terus bergerak cepat dan serba
darurat. Pembentukan bidang aparatur negara yang lain juga demikian, serba
darurat dan cepat, dengan anggaran yang nyaris nol!
Berikutnya pendidikan
intelijen dimulai sejak tanggal 29 Nopember 1945 dengan mengambil tempat di
Rowo Seneng ( ± 14 Km dari Temanggung) Jawa Tengah dengan menunjuk Kapten
Harwoko sebagai Komandan yang pertama. Untuk selanjutnya dengan melihat kondisi
dan perkembangan serta situasi keamanan pada waktu itu, maka akhir Januari
1946, tempat pendidikan dipindahkan dari daerah Rowo Seneng ke daerah Plaosan
(± 4 Km sebelum Sarangan dari arah Magetan) Jawa Timur.
Di
akhir tahun 1945 lalu terdapat pula pendidikan intelijen sebagai kelanjutannya
yaitu PMC (Penyelidik Militer Khusus) yang terletak di Desa Pingit
Yogyakarta. Penyelidik Militer
Khusus di bawah pimpinan Kolonel
Zulkifli Lubis, dimana Sutopo Yuwono termasuk di dalamnya. Selama
beberapa saat, fungsi Penyelidik Militer Khusus ini sempat tumpang tindih dengan
lembaga bentukan Soetjipto sebelum ia ditahan. Penahanan Soetjipto menyebabkan
kendali operasional untuk kegiatan intelijen di masa revolusi lebih banyak dijalankan
oleh Lubis.
PMC
bertanggung jawab langsung kepada Presiden Soekarno. Sesudah TKR dibentuk oleh Pemerintah
RI yang pertama, menggantikan BKR, maka PMC dimasukkan ke dalam formasi Markas
Besar Tentara (MBT).
Selain PMC
masih ada lembaga intelijen militer, namanya Bagian I MBT. Selanjutnya PMC diganti menjadi FP (Field
Preparation). Tugas khusus FP di daerah-daerah.
Zulkifli
Lubis juga merekrut sejumlah pemimpin lascar sebagai agennya di daerah-daerah.
Bahan Zulkifli Lubis melakukan banyak manuver intelijen militer dan politik.
Salah satunya adalah menggalang dan merekrut penjahat yang ada di Nusakambangan
untuk keperluan organisasi intelijen.
Karya besar Kolonel Zoelkifli
Loebis sebagai seorang intelijen antara lain dibuktikan dengan dilancarkannya
sejumlah ekspedisi atau operasi intelijen pada akhir tahun 1945 ke Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali dan Nusa Tenggara. Bahkan juga ke luar
negeri, antara lain ke Singapura. Tujuan operasi adalah mengabarkan dan
menyadarkan penduduk di daerah dan masyarakat dunia bahwa, Indonesia sudah
merdeka 100 persen. Oleh sebab itu masyarakat Indonesia harus mendukung,
mempertahankan, dan membela tegak-kuatnya Negara Republik Indonesia.
Kolonel
Zoelkifli Loebis sebagai seorang intelijen antara lain dibuktikan dengan
dilancarkannya sejumlah ekspedisi atau operasi intelijen pada akhir tahun 1945
ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali dan Nusa Tenggara. Bahkan juga
ke luar negeri, antara lain ke Singapura. Tujuan operasi adalah mengabarkan dan
menyadarkan penduduk di daerah dan masyarakat dunia bahwa, Indonesia sudah
merdeka 100 persen. Oleh sebab itu masyarakat Indonesia harus mendukung,
mempertahankan, dan membela tegak-kuatnya Negara Republik Indonesia.
Operasi
tersebut mempunyai nilai strategis dan taktis, karena pada saat itu, pasukan
militer Belanda telah menduduki kembali sejumlah daerah Indonesia, dan berniat
mendirikan negara-negara separatis. Operasi Militer I Intelijen tersebut:
- Ke Sumatera dilakukan a.l. oleh MS Rasjid
- Ke Kalimantan dilakukan a.l. oleh Muljono dan Cilik Riwut
- Ke Sulawesi dilakukan a.l. oleh Warsito dan Wolter Monginsidi
- Ke Maluku dilakukan a.l. oleh Ibrahim Saleh, Yos Sudarso, Muljadi, Moerwanto (semua dari BKR Laut Semarang), Isbianto, Anton Papilaya.
- Ke Nusa Tenggara dilakukan a.l. oleh Soerjadi alias Paiman
- Ke Bali dilakukan a.l. oleh Bambang Soenarjo dan Jahja Jasin.
Penyelundupan
senjata dari Singapura pun dilakukan. Kegiatan ini dilakukan PMC di Sumatra dan
Kuala Enoch atau Kuala Tungkal. Penyelundupan itu juga dilakukan untuk membantu
operasi di Kalimantan
di bawah pimpinan Muljono dan Tjilik Riwut.
Dengan
segala kekurangannya, antara lain logistik dan persenjataan, juga banyaknya
hambatan dan penderitaan, kenyataannya, operasi intelijen pertama tersebut bisa
dibilang sukses. Para PPF berhasil mengobrak-abrik rencana pasukan militer
Belanda yang berniat mendirikan negara-negara boneka di wilayah negara Republik
Indonesia. Memang harus diakui, dengan segala kekurangannya, sejumlah operasi
intelijen tempur tersebut kurang berhasil. Namun secara umum, operasi-operasi
“di bawah tanah” tersebut sangat membantu mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Lebih dari itu operasi tersebut berhasil membina ribuan pemuda patriotis dan
militan. Mereka adalah kader-kader penerus perjuangan bangsa yang tersebar di
seluruh Indonesia.
Tugas para
Penyelidik Militer Chusus (PMC) dan Field Preparation (FP) memang luas dan dalam. Artinya, tugas
PMC/FP tidak hanya bertempur melawan musuh, terbatas pada sektor hankamnas,
tetapi juga meliputi pembinaan, penjagaan, dan kemajuan perikehidupan
masyarakat luas. Jadi tugas mereka bisa meluas ke sektor-sektor politik,
ekonomi, sosial, dan budaya. Inilah ciri khas militer Indonesia yang lahir dari
rakyat untuk rakyat. Oleh sebab itu jiwa militer Indonesia tidak sama dengan
jiwa militer negara lain. Itulah fakta sejarah yang tak terbantahkan.
Maka pada
tahun-tahun berikutnya muncul tokoh-tokoh seperti Frans Seda dan El Tari.
Intelijen Lewat Seni Budaya.
Salah satu
tugas PMC/FP yang tidak banyak diketahui masyarakat luas adalah, tugas
propaganda dan penerangan. Untuk tugas itu sejumlah anggota PMC/FP “ditanam” di
sejumlah media masa cetak dan stasiun radio. Ketika itu belum ada televisi.
Sebagai contoh, Mayor Usmar Ismail
pernah menjadi pengasuh Mingguan
Patriot dan Majalah Arena.
Sampai sekarang publik mengenal Usmar Ismail sebagai “orang film”. Pemancar
Radio di daerah banyak pula ditempatkan tenaga PMC/FP. Kemudian media masa
tradisional, antara lain grup Dagelan Mataram, Kethoprak, dan Sandiwara
Keliling juga ditempatkan sejumlah tenaga PMC/FP.
FP 0017 yang
berpusat di Yogyakarta pernah mendirikan grup Dagelan Mataram. Para pelawaknya
yang populer antara lain terdapat nama Sujadi, Siwi, Sarpin, dan Jayengdikoro.
FP 003 yang berkedudukan di Garut Jawa Barat juga pernah mendirikan sandiwara,
dipimpin oleh Letnan Hasan, dan salah seorang primadonanya adalah Sofia yang kemudian menjadi
isteri bintang film WD Mochtar.
Bintang ayu
dan pemain watak itu kemudian bersama-sama Kapten Suryo Sumanto mendirikan
Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi).
Sementara itu anggota PPF yang lain, Djamaludin Malik pernah mendirikan
sandiwara keliling Pancawarna.
Djamaludin Malik memimpin sandiwara keliling tersebut sebenarnya hanya sebagai
“kamuflase” saja atau sebagai “cover”. Tugas sebenarnya adalah intelijen.
Kemudian hari publik mengenalnya juga sebagai “orang film”.
Selama
memimpin sandiwara keliling Pancawara, Djamaludin bersama rombongan
sandiwaranya berhasil menyusup ke daerah-daerah yang masih diduduki pasukan
mililter Belanda/NICA, mulai dari Surabaya sampai ke Jakarta. Itu terjadi pada
periode 1946 – 1948.
Markas para
anggota FP yang seniman itu, pada tahun 1946-1947 pernah berkantor di Jl
Sumbing No. 5 Yogyakarta. Itulah bukti bahwa tugas-tugas para FP/PPF tidak
hanya bertempur, namun juga bergiat di berbagai lapangan kehidupan masyarakat.
Dan itulah makna kata ” dalam dan luas”
istilah Intelijen.
Dengan berperpindahnya ibukota Negara Republik Indonesia dari
Jakarta ke Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946 berdampak pada pindahnya
segala kegiatan di berbagai Kementerian ke Yogyakarta, termasuk Kementerian
Pertahanan. Salah satu bagian pada Kementerian Pertahanan yang memiliki tugas
membuat laporan kritis mengenai sesuatu keadaan dan analisisnya yang tepat
untuk keberhasilan operasi intelijen adalah Bagian B (bagian intelijen).
Pada tanggal 4 April
1946 pukul 10.00 WIB, Menteri Pertahanan, Mr. Amir Sjarifuddin, memerintahkan
dr. Roebiono, seorang dokter di Kementerian Pertahanan Bagian B untuk membentuk
badan pemberitaaan rahasia yang disebut Dinas Code. Untuk mendukung pelaksanaan
Dinas Code dalam mengkomunikasikan berita rahasia, pada saat yang sama dibangun
sarana telekomunikasi berupa pemancar radio telegrafi. Saat itu, operasional
Dinas Code menggunakan suatu sistem yang sangat sederhana dalam bentuk buku
kode yang dikenal “Buku Code C” terdiri dari 10.000 kata (dibuat sebanyak 6
rangkap) diawali untuk hubungan komunikasi pemberitaan rahasia antara
Pemerintah RI di Yogyakarta dengan para pimpinan nasional di Jawa Barat
(Tasikmalaya, Garut, Karawang, Banten dan Cirebon), Jawa Timur (Jember,
Jombang, Kediri dan Mojokerto), Jawa Tengah (Solo, Purwokerto, Tegal) dan
Sumatera (Pematang Siantar dan Bukit Tinggi) dan Jakarta.
Pada saat itu,
beberapa instansi Pemerintah RI selain Kementerian Pertahanan yang menggunakan
jasa Dinas Code adalah Markas Besar Tentara (M.B.T), Tentara Rakyat Indonesia
(T.R.I) Sumatera, Panitya Oeroesan Pengembalian Orang Djepang Dan Asing
(P.O.P.D.A), Panitya Gentjatan Senjata, Divisi I, Gubernur Sumatera. Selain
melaksanakan tugas pengamanan berita rahasia, Dinas Code juga bertugas
melakukan pemantauan terhadap berita-berita dalam negeri dan luar negeri yang
diperlukan oleh Kementerian Pertahanan Bagian B.
Pada bulan April 1946, cabang PMC di
Purwakarta mendapat reaksi yang sengit dari pihak tentara, karena dianggap
melakukan serangkaian penangkapan dan penyitaan yang semena-mena. Keberatan itu
muncul pula di berbagai daerah lain dan menyebabkan PMC dibubarkan oleh Markas
Besar Tentara Keamanan Rakyat pada tanggal 3 Mei
1946.
Pendidikan intelijen
yang dimulai sejak tanggal 29 Nopember 1945 seperti telah disebutkan di bagian
depan, telah berlangsung selama ± 6 (enam) bulan dan ditutup dengan melalui
suatu upacara resmi dengan melantik 45 orang siswa menjadi letnan dua.
Pelaksanaan upacara pelantikan dilaksanakan pada tanggal 10 Juni 1946 bertempat
di lapangan Kridosono Yogyakarta yang dipimpin oleh Menteri Muda Pertahanan RI
Bapak Arudji Kartawinata dengan memberikan surat pengangkatan kepada semua
siswa, yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertahanan RI. Selanjutnya para
perwira intelijen yang telah diangkat sebanyak 45 orang tersebut, di dalam
sejarah perjuangan bangsa dan negara, merupakan modal utama di dalam
pelaksanaan pengisian jabatan-jabatan penting baik di lingkungan TNI AD, ABRI maupun
negara yang memerlukan adanya fungsi intelijen di dalam lingkungannya.
Kemudian beberapa
bulan berikutnya, Zulkifli dan Sutjipto (pemimpin Penyelidik Umum Militer)
terlibat dalam Peristiwa 3 Juli 1946, yaitu percobaan
perebutan kekuasaan yang dimotori oleh Mayor Jenderal Sudarsono, Kepala Divisi
III Yogyakarta. Sutjipto tertangkap, akan tetapi sebaliknya Zulkifli Lubis
berhasil lolos.
Akibat kecerdikan
Zulkifli Lubis, ia bisa menghapus jejak setelah melakukan aksi dan mendapat
pemberian grasi Presiden Sukarno atas keterlibatannya dalam Peristiwa 3 Juli
1946.
Sesuai sikon, semua
tatanan aparatur negara terus disempurnakan. Maka atas persetujuan Presiden
Soekarno, Perdana Menteri Amir Sjarifuddin dan Panglima Besar Sudirman, status
FP ditingkatkan peranannya dan diintegrasikan ke satu badan intelijen negara.
Badan tersebut bernama Badan
Rahasia Negara Indonesia disingkat Brani, Zulkifli Lubis kemudian mendapat kepercayaan
membentuk Badan Rahasia Negara Indonesia (Brani) dan menjadi ketuanya di bulan Juli
1946. Sejak itu maka FP menjadi bagian dari Brani.
Untuk
merekut anggota Brani dan, Zulkifli menggunakan sekitar 36 pemuda dari
berbagai latar belakang etnik lulusan Pendidikan intelijen pertama ini
lalu menjadi anggota Badan Rahasia Negara Indonesia (Brani). Selain itu juga
direkrut sebagian besar pelajar, bekas Seinen Dojo maupun Yugeki diantaranya
Bambang Supeno, Kusno Wiwoho, Dirgo, Sakri, Suparto dan Tjokropranolo.
Lembaga Badan Rahasia Negara Indonesia (Brani) lalu ini menjadi payung gerakan
intelijen dengan beberapa unit ad hoc, bahkan operasi luar negeri. Brani
sendiri merupakan semacam payung bagi unit-unit khusus yang ada pada divisi
tentara di berbagai wilayah di Jawa, seperti Kontra Intelijen di Jawa Timur dan
Penyiapan Lapangan (Field Preparation). Field Preparation bertujuan untuk melakukan
penyusupan ke wilayah-wilayah yang dikuasai Belanda. Mereka menjalankan fungsi
intelijen tempur sekaligus intelijen teritorial.
Selain di
Jawa, Penyiapan Lapangan juga dikirim ke daerah-daerah lain di luar Jawa. Salah
satu grup dalam Brani secara khusus bertugas melakukan operasi ke luar negeri.
Target utama adalah Singapura dalam rangka mendapatkan senjata dan obat-obatan.
Lubis mendapatkan dana untuk membiayai operasi dan mendapatkan barang-barang
tersebut antara lain dari pengusaha Tegal yang diberi hak ekspor ke Singapura, selain
juga dari hasil menjual opium yang dititipkan Belanda ke orang-orang China di
Jakarta. Meskipun dana tersebut tidak mencukupi, kontribusi agen-agen intelijen
tersebut cukup berarti bagi usaha mempertahankan kemerdekaan.
Khusus
Operasi Militer I ke Nusa Tenggara yang antara lain dilakukan oleh Soerjadi
awal tahun 1947, telah berhasil membina ratusan pemuda penerus perjuangan
bangsa menegakkan dan membela Negara RI. Selain itu juga pada tahun 1947,
agen-agen intel tersebut juga beroperasi ke wilayah-wilayah lain seperti
Hongkong, Thailand, dan Burma.
Komunisme Menyusup ke Brani
Dalam
perkembangannya, Kabinet Presidensiil di dalam mana kedudukan Presiden RI
langsung memimpin kabinet, digeser oleh kekuatan politik. Pemimpin pemerintahan
bukan lagi Presiden RI tetapi dipimpin oleh Perdana Menteri. Ini artinya,
kekuasaan Presiden Soekarno dipretheli atau dikurangi. Presiden RI bukan
lagi Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, tetapi hanya menjadi Kepala Negara,
alias hanya “tukang stempel”. Perdana Menteri (PM) Amir Sjarifuddin akhirnya
yang memimpin negara. Saat itulah situasi dan kondisi negara mulai retak, tidak
lagi kompak. Karena sejumlah partai politik mulai menunjukkan nafsunya untuk
bisa menguasai kabinet atau pemerintahan.
Selain
sebagai PM, Amir Sjarifuddin juga merangkap sebagai Menteri Partahanan. Maka
Amir Sjarifuddin yang berhaluan kiri (komunisme) tersebut mulai ancang-ancang
untuk merebut kekuasaan di Indonesia.
Pada saat
Lubis berusaha mendapatkan pengaruh dan kepercayaan sebagai pemimpin intelijen,
Menteri Pertahanan Amir Syarifudin –seorang sosialis kiri— berambisi untuk
mengambil alih kontrol intelijen dan menempatkan intelijen di bawah struktur
Kementerian Pertahanan. Ambisi ini memperkuat pola Interaksi Intelijen-Negara
yang berkarakter Militerisasi Intelijen. Syarifudin kemudian membentuk Badan
Pertahanan B yang dipimpin oleh seorang komisaris polisi.
Akibatnya
mudah ditebak. Tidak ada kekompakan antara Sjarifuddin dengan Zoelkifli sebagai
Pimpinan Brani. Pada tanggal 30 April 1947 Sukarno setuju untuk menyatukan
semua unit intelijen di bawah Kementerian Pertahanan berdasarkan SK.
Menteri Pertahanan No. A/126/1947. Akibatnya beberapa
hari kemudian Brani dan Badan Pertahanan B dibubarkan dan sebagai gantinya
dibentuk lembaga bernama Bagian V di bawah Kementerian Pertahanan yang
menjalankan fungsi sebagai koordinator lembaga intelijen. Lembaga ini sering
disebut sebagai KP V. Dengan adanya Brani difusikan dengan Bagian B menjadi Kementerian
Pertahanan KP (Kementerian Pertahanan) V otomatis berada di bawah kendali
Sjarifuddin. Siapa Kepala KP V? Dia adalah kader komunis yang ditunjuk langsung
oleh Amir Syarifudin, bernama Abdulrachman, mantan Letnan I Angkatan Laut
Kerajaan Belanda. Dan Zoelkifli? Menjadi wakilnya! Saat itu intelijen mulai
berada di tangan Amir Sjarifudin. Politik komunisme mulai bisa berkiprah di
badan intelijen Indonesia.
Struktur KP
V relatif sederhana— terdiri dari tiga unit yang disebut Grup A, Grup B, dan
Grup C, dan memiliki lima belas staf yang dibagi dalam desk militer, politik,
dan ekonomi. Namun, dengan sumber daya dan kapasitas yang terbatas, tidak
banyak yang dapat dilakukan oleh lembaga intelijen ini.
Group A
adalah unit yang memiliki fungsi paling signifikan, dipimpin langsung oleh
Abdurahman. Sebagian besar anggotanya pernah mendapat pelatihan dari tentara
dan intelijen Jepang. Kelompok ini dianggap lebih berorientasi pada tindakan
(action-oriented) dibanding yang lain.
Grup B
terdiri dari kaum nasional yang berlatar belakang polisi, jaksa, maupun pangreh
praja (aparat pemerintahan kolonial). Beberapa diantaranya adalah mantan
anggota dinas intelijen politik Belanda (PID).
Grup C
beranggotakan aktivis intelijen yang cenderung beraliran kiri dan berafiliasi
pada Amir Syarifuddin dan PKI. Kelompok ini cenderung tertutup sehingga tidak
banyak yang diketahui mengenai kelompok ini. Ketiga kelompok ini cenderung
bersifat konspiratorial dan tertutup satu sama lain. Meskipun berada di bawah
Departemen Pertahanan, tidak cukup jelas diferensiasi fungsi antara setiap
group, dan nantinya justru muncul ketegangan-ketegangan politik antara
ketiganya.
Dengan terbentuknya Kementerian Pertaanan KP V ini
selanjutnya Dinas Code diubah menjadi Bagian Code KP-V. Bagian code KP-V semula
berkantor di dua tempat (Jalan Gondokusuman dan Jalan Batonowarso 4) kemudian
menyatu dalam satu kantor yang beralamat di Jalan Batonowarso 32 yang cukup
memadai dalam pelaksanaan tugasnya. Dan setelah fusi kelembagaan Bagian Code KP
V jumlahnya menjadi 34 orang, karena ada tambahan tenaga dari Badan Rahasia
Negara Indonesia (B.R.A.N.I).
Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melakukan Agresi Belanda I yang
menimbulkan banyak pengorbanan, baik fisik maupun non fisik termasuk
terganggunya hubungan dengan luar negeri. Untuk menjaga agar hubungan RI
dengan luar negeri tidak terputus, maka diutus Duta Besar pertama kali
untuk India beserta staf Dinas Code untuk menangani pengamanan berita
rahasia. Pada tanggal 15 Agustus 1947 untuk pertama kalinya diterima
berita dari Perwakilan RI di New Delhi dan sejak itulah hubungan
komunikasi berita rahasia antara Perwakilan RI di New Delhi dan
Pemerintah RI di Yogyakarta berjalan dengan baik melalui PTT dan RRI
yang kemudian meluas dengan Perwakilan RI di Singapura, London, Cairo,
dan PBB (Lake Success).
Pada masa revolusi
ini, Militerisasi Intelijen juga ditopang oleh proses pelatihan intelijen.
Pelatihan di Kaliurang. Pendidikan AP (Aanvullings
Paedagogie Intelijen) dan WP (Wordings
Paedagogie Intelijen) yang bertempat di Kaliurang Yogyakarta,
misalnya, memberikan dasar-dasar mengenai intelijen tempur, penyiapan medan,
kontraintelijen, intelijen teknis, dan intelijen domestik.
Departemen
Pertahanan mengadakan pelatihan intelijen di Yogyakarta untuk waktu tiga tahun;
namun hanya terdapat satu angkatan dengan 40-50 anggota yang mengikuti kursus
ini.
Sementara
itu, kursus intelijen yang diselenggarakan oleh Departemen Pertahanan di
Sarangan memberikan pelatihan khusus mengenai masalah-masalah internasional dan
operasi luar negeri, terutama bagi mereka yang akan bekerja di Kementerian Luar
Negeri.
Zoelkifli
tidak tinggal diam. Dengan caranya sendiri, dia menghimpun semua FP dan
memperluas wilayah operasi kerja mereka. Terutama daerah-daerah yang strategis.
Tentu saja semua operasi kerja FP tetap di bawah kendali Zoelkifli.
Tahun
1947-1948 pergolakan politik meningkat dan panas. Untuk memenangkan
ideologinya, orang-orang politik mulai mengambil cara kekerasan. Mereka saling
menculik lawan politiknya. Pertarungan politik tidak terbatas hanya di ruang
DPR, tetapi sampai di luar gedung DPR. Setelah diculik banyak pula yang
dihabisi riwayatnya.
Pada saat Perjanjian Renville (Kapal USS Renville, 8 Desember 1947 – 17 Januari 1948) untuk memfasilitasi komunikasi rahasia
antara Delegasi RI dengan Pemerintah Pusat, Yogyakarta, selama
perundingan RI-Belanda di Kapal USS Renville ditugaskan 2 (dua) orang
Code Officer (CDO)/Petugas Sandi yaitu Letnan II Marjono IS dan Letnan
II Padmowirjono. Sedangkan 2 (dua) orang CDO, Letnan II Oetoro
Kolopaking dan Letnan II Parhadi Utomo, bekerja di darat (Jakarta) yang
berkantor di bekas Gedung Proklamasi Jl. Pegangsaan Timur no.56. Sistem
sandi yang digunakan 3 (tiga) jenis yaitu Buku C (Besar), Sistem
Transposisi, dan One Time Pad (OTP).
Jatuhnya
kabinet Amir Syarifuddin pasca perundingan Renville pada bulan Februari 1948
yang diikuti dengan pembubaran KP V, memperkuat interaksi Militerisasi
Intelijen.
Setelah
peristiwa Pemberontakan Komunis di Madiun, atau sering disebut Madiun Affair
meledak, dan Amir Sjarifudin, hilang dari peredaran ranah politik.
Dengan
dibubarkannya KP V setelah itu Zulkifli Lubis mengambil alih kepemimpinan
intelijen, namun bukannya mengembangkan unit intelijen dalam struktur
Departemen Pertahanan, ia justru mengembangkan kemampuan intelijen taktis dalam
militer. Di tahun yang sama Zulkifli Lubis menjabat sebagai Kepala Intelijen
Militer, meskipun pada saat itu struktur intelijen dalam militer tidak jelas.
Pada masa ini, tiap-tiap kesatuan tentara yang cukup besar memiliki unit dan
organisasi intelijen masing-masing.
Para FP kemudian ditempatkan pada Staf I Markas
Besar Komando Djawa (MBKD) sampai datangnya agresi Belanda ke Yogyakarta
tanggal 19 Desember 1948.
Sebelum mengawali Agresi Militer Kedua pada tanggal 19 Desember 1948, Spoor sudah mengumpulkan
informasi mengenai kekuatan militer Indonesia, strategi serta rencana
diplomatik yang akan dilakukan oleh para pemimpin Republik. Sebagaimana
dituturkan George McTurnan Kahin dalam Southeast Asia: A Testament,
karena keterbatasan CDO dan kurangnya kesadaran beberapa pemimpin
politik dan militer untuk mengamankan komunikasinya, maka beberapa
komunikasi strategis perjuangan Indonesia berhasil disadap oleh Belanda.
Sebelum Penyerangan Belanda ke Kota Yogyakarta pada tanggal 19 Desember
1948, di pihak Republik Indonesia Presiden Soekarno memerintahkan 2 (dua) pengiriman kawat. Satu
kawat dikirimkan ke Bukittinggi yang isinya memerintahkan Mr.
Sjarifoeddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia di Sumatera. Sedangkan kawat kedua dikirimkan kepada Mr. A.A.
Maramis di New Delhi yang memerintahkan Pembentukan Exit Government di
New Delhi jika Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Sumatera tidak
berhasil.
Pada Clash II, dimana perang antara militer
Indonesia melawan militer Belanda untuk yang kedua kalinya. Atau juga dikenal
sebagai Perang Kemerdekaan ke-2. Serangan
mendadak pasukan militer Belanda ke Yogya, membuat kacau-balau Staf I MBKD
Pusat di Yogya.
Pada Agresi Militer II yang terjadi pada tanggal 19 Desember 1948, Pihak
Belanda mendahulukan serangan atas sasaran komunikasi dalam
pendudukannya di Yogyakarta sehingga para CDO menghancurkan seluruh
dokumen termasuk arsip-arsip sejak Bagian Code berdiri 4 April 1946 agar
tidak sampai jatuh ke tangan Belanda sebelum meninggalkan tempat
tugasnya. Semua anggota dan pimpinan Staf I MBKD mengungsi ke luar kota,
yaitu ke Desa Sruggo, masuk wilayah Imogiri, Yogya Selatan. Sebagian para FP
menggabung ke Imogiri, tetapi para anggota FP yang lain, yang tidak tahu ke mana
pergi “boss-nya”, segera bergabung ke pasukan TNI. Pada waktu itu pasukan TNI
dikenal dengan nama Wehr Kreise
(WK). Di kala itu pasukan TNI/WK terbagi menjadi beberapa Sub Wehr Kreise (SWK). Sedangkan para CDO menyebar ke berbagai daerah dr. Roebiono bersama
seorang CDO ke Jawa Barat, beberapa orang CDO pindah ke sebuah desa
kecil di tepi barat Kali Progo di kaki Pegunungan Menoreh yang bernama
Dekso dan berusaha untuk bergabung dengan salah satu kesatuan yang
mempunyai hubungan kode, setidaknya pemancar radio (PHB). Ternyata tidak
jauh dari Dekso, di desa Banaran, terdapat Wakil Kepala Staf Angkatan
Perang Kolonel TB. Simatupang.
Perang
Kemerdekaan ke-2 terus bergolak, sejak akhir 1948 sampai tengah tahun 1949.
Bung Karno dan Bung Hatta beserta sejumlah pemimpin negara Indonesia -- yang
baru merdeka -- ditangkap dan ditahan di luar kota Yogya.
Selama di Dekso, Letnan II Soemarkidjo dan Letnan Md. Soedijatmo
membentuk Bagian Code yang berkedudukan dibawah PHB Angkatan Perang
dipimpin oleh Mayor Dartodjo. Pengiriman salinan kawat dilakukan
menggunakan jasa kurir dari Dukuh ke Banaran. Bagian Code di Dekso
mempunyai hubungan komunikasi dengan PDRI (Sumatera), Jawa Barat dan
Playen (Gunung Kidul) dengan menggunakan sitem sandi transposisi,
koordinat dan matriks. Sementara 2 (dua) orang CDO lainnya sampai di
daerah Gringging, Jawa Timur.
Perlawanan
pasukan militer Indonesia, tidak kenal menyerah. Bahkan mereka berani melakukan
serangan balik, serang fajar, menggempur pasukan militer Belanda yang telah
menguasai kota Yogya. Perang terus berkobar, dengan segala dinamika, romantika,
dan suka-dukanya.
Akhirnya
penyelesaian konflik Indonesia – Belanda dapat diselesaikan di meja perundingan.
Pada tanggal 3 Agustus 1949, Presiden RI/Panglima Tinggi Angkatan Perang RI
Soekarno di Yogyakarta mengeluarkan Perintah Penghentian Permusuhan (genjatan
senjata). Perintah Presiden RI tersebut antara lain berbunyi (ejaan lama):
Segala anak
buah dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan semua penganut Republik lainnja
jang bersendjata, diperintahkan supaja moelai 10/11 Agoestoes 1949 tengah malam
mengenai Djawa, 14/15 Agoestoes 1949 tengah malam mengenai Sumatera, mereka
menghentikan peperangan gerilja.
Penandatanganan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) merupakan titik
pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda dan berakhirnya
periode perjuangan bersenjata untuk menegakkan dan mempertahankan
kemerdekaan. Setelah persetujuan KMB tersebut, Pasukan Pemerintah/TNI
yang berada di sekitar kota diperintahkan untuk masuk ke kota Yogyakarta
termasuk Bagian Code yang sebelumnya bertempat di Dekso. Bagian Kode di Dekso di bawah pimpinan Letnan II Soemarkidjo beserta semua personilnya masuk kota Yogyakarta pada tanggal 11 Juli 1949. .Bagian Code
menempati sebuah gedung sekolah di dekat Stadion Kridosono yang
merupakan juga Markas PHB Angkatan Perang. Sebagai kelanjutan Bagian Kode sewaktu di Dekso, setelah kembali ke
Yogyakarta menjadi Bagian Kode MBKD yang berkedudukan di Yogya dengan
pimpinannya Letnan II Soemarkidjo. Sambil menunggu kedatangan dr.
Roebiono dari Jawa Barat, para pejabat CDO dua kali mengadakan pertemuan
untuk membicarakan tindakan-tindakan selanjutnya. Karena tempat Bagian
Kode sempit maka pertemuan-pertemuan diadakan berturut-turut di rumah
Mayor Soebeno dan Letkol. CFM. Soenarjo.
Setelah pengakuan kedaulatan inilah Dinas Kode mengenal penggunaan mesin-mesin sandi untuk mendukung kegiatan komunikasi rahasia. Kemudian pada bulan Desember 1949 dikirimlah 3 (tiga) orang CDO, Munarjo, Sumarkidjo dan Maryono Idris Sunarmo, untuk memperdalam ilmu kriptologi di Belanda.
Konferensi Meja Bundar telah menghasilkan kesepakatan antara lain pemindahan ibu kota dari Yogyakarta ke Jakarta. Berkaitan dengan kepindahan seluruh aparat pemerintah, kepindahan kementrian pertahanan dan staf angkatan perang dilaksanakan sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pertahanan RI tanggal 16 Januari 1950, sesuai dengan lampiran Surat Keputusan tersebut Bagian Kode dimasukkan dalam staf G Angkatan Darat bersama Militair Security (G-I), yang selanjutnya Bagian Kode berubah nama menjadi Jawatan Sandi.
Sejak tanggal 14 Februari 1950 sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat Nomor 65 Tahun 1950, Jawatan Sandi dipindahkan dari Kementrian Pertahanan dan ditempatkan langsung di bawah Perdana Menteri dan untuk urusan personil secara administratif tetap di bawah Kementrian Pertahanan. Setelah berada di bawah Perdana Menteri maka Jawatan Sandi menjadi lebih berkembang tidak hanya untuk kepentingan pertahanan namun untuk seluruh pemerintahan.
Dengan keluarnya Keputusan Presiden tersebut maka Jawatan Sandi sudah mulai menapak menyusuri kemandirian dirinya sebagai suatu organisasi melalui penataan organisasi, kebijakan persandian, penambahan dan penataan personil, dan penempatan gedung tersendiri yaitu di Jalan Tosari Jakarta.
Kebijakan persandian yang ditata adalah :
Setelah pengakuan kedaulatan inilah Dinas Kode mengenal penggunaan mesin-mesin sandi untuk mendukung kegiatan komunikasi rahasia. Kemudian pada bulan Desember 1949 dikirimlah 3 (tiga) orang CDO, Munarjo, Sumarkidjo dan Maryono Idris Sunarmo, untuk memperdalam ilmu kriptologi di Belanda.
Konferensi Meja Bundar telah menghasilkan kesepakatan antara lain pemindahan ibu kota dari Yogyakarta ke Jakarta. Berkaitan dengan kepindahan seluruh aparat pemerintah, kepindahan kementrian pertahanan dan staf angkatan perang dilaksanakan sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pertahanan RI tanggal 16 Januari 1950, sesuai dengan lampiran Surat Keputusan tersebut Bagian Kode dimasukkan dalam staf G Angkatan Darat bersama Militair Security (G-I), yang selanjutnya Bagian Kode berubah nama menjadi Jawatan Sandi.
Sejak tanggal 14 Februari 1950 sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat Nomor 65 Tahun 1950, Jawatan Sandi dipindahkan dari Kementrian Pertahanan dan ditempatkan langsung di bawah Perdana Menteri dan untuk urusan personil secara administratif tetap di bawah Kementrian Pertahanan. Setelah berada di bawah Perdana Menteri maka Jawatan Sandi menjadi lebih berkembang tidak hanya untuk kepentingan pertahanan namun untuk seluruh pemerintahan.
Dengan keluarnya Keputusan Presiden tersebut maka Jawatan Sandi sudah mulai menapak menyusuri kemandirian dirinya sebagai suatu organisasi melalui penataan organisasi, kebijakan persandian, penambahan dan penataan personil, dan penempatan gedung tersendiri yaitu di Jalan Tosari Jakarta.
Kebijakan persandian yang ditata adalah :
- Penyediaan sistem-sistem penyandian yang dapat dipertanggungjawabkan secara kriptografis,
- Melaksanakan sendiri kegiatan komunikasi rahasia dari berbagai instansi dan secara kuantitas berita-berita rahasia tersebut datang dari Kementrian Pertahanan dan Kementrian Luar Negeri.
- Mengeluarkan crypto clearence secara selektif dan ketat bagi personil yang akan menangani kegiatan persandian pada instansi pemerintah.
Para mantan anggota
PMC/FP di kemudian hari, tahun 1950-an, berhasil memotori bangkitnya dunia
perfilman di Indonesia. Mereka adalah Mayor Usmar Ismail, Kapten Suryo Sumanto,
D. Djajakusuma, Djamaludin Malik, Sofia WD, dan Soemardjono.
Sumber:
Andi
Widjajanto, Artanti Wardhani, 2008, “Hubungan Inteljen – Negara 1945 – 2004”, PACIVIS
UI, Friedrich Ebert Stiftung, Jakarta, hal : 65 – 68.
http://www.lemsaneg.go.id/?page_id=143
http://www.koderepublik.com/book-page/
http://www.lemsaneg.go.id/?page_id=143
http://www.koderepublik.com/book-page/
http://www.kompasiana.com/eyangwid/kisah-perjuangan-12-lahirnya-badan-intelijen-indonesia
http://www.pusdikintel-kodiklat-tniad.mil.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar