Pejuang Tionghoa yang Terlupakan
Perjuangan warga
Tionghoa untuk kemerdekaan Indonesia tidak berbeda dengan perjuangan suku-suku
yang lain. Semasa perang kemerdekaan 1945-1949 banyak pejuang keturunan
Tionghoa yang terlibat dalam pertempuran melawan Belanda di garis depan, garis
belakang, ataupun di daerah pendudukan Belanda. Para veteran tersebut ditemui
di sejumlah daerah, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jakarta,
Sumatera dan daerah lain di Indonesia.
Keberadaan para
tionghoa veteran 45 juga dapat ditemui di ”Kota Pahlawan” Surabaya. Sebut saja
Liauw Thian Moek alias Leo Wenas (89) yang tinggal di Jalan Raya Gubeng. Mantan
anggota Badan Keamanan Rakyat itu bersemangat menceritakan kisah arek-arek
Suroboyo berjuang melawan Inggris-Belanda.
Para pemuda,
yang kala itu hampir menghancurkan kekuatan Inggris di Gedung Internatio, harus
mundur mengikuti perintah Soekarno yang diminta SEAC (South East Asia Command)
untuk menjadi mediator. Namun, gencatan senjata yang hanya berlangsung tiga
hari itu digunakan pihak Inggris mundur ke Tanjung Perak, memperkuat diri, dan
terjadilah pertempuran berdarah 10 November 1945 dengan korban sekitar 10.000
pemuda-pemudi Indonesia.
”Modal kami
hanya bambu runcing, tetapi kami berusaha menjebak serdadu Inggris yang lengah.
Pernah satu jip berisi tentara Gurkha terjebak lalu dikerubuti pemuda
beramai-ramai. Mereka semua tewas,” kata Liauw.
Tidak kalah seru
cerita Letnan Kolonel (Purn) Ong Tjong Bing alias Daya Sabdo Kasworo (90). Dia ikut merawat korban pertempuran 10
November 1945 yang dibawa ke Malang. Pria asal Desa Kerebet itu mengikuti
pendidikan tekniker gigi dan dokter gigi lalu bergabung dengan militer pada 1953
sebagai pegawai sipil. Dia mulai menyandang pangkat militer sebagai kapten pada
1955 di bawah Resimen Infanteri RI-18 Jawa Timur.
Oei Hok San
(86), veteran pejuang kemerdekaan 1945. Oei Hok San sekarang tinggal di rumahnya yang berada di
kawasan Kedung Waru, Tulungagung, Jawa Timur. Hok San adalah mantan tentara
pelajar di Kediri, Jawa Timur.
Dia masih
mengingat dengan jelas bagaimana 300 pejuang suku Jawa dan 50 pejuang suku
Tionghoa ditembak mati tentara Belanda. Mereka ditembak di dalam dua toko dan
sebuah gudang.
Dia pun masih
lancar bercerita tentang ayahnya, Oei Djing Swan, yang pernah memerintahkan
seorang pejuang bernama Tan Bun Yin membalas dendam kepada seorang mayor
Kerajaan Hindia Belanda (KNIL). Mayor itu telah menembak mati dokter Tan Ping
Djiang, republiken yang menentang Belanda saat Clash II pada 1949. Tan Ping
Djiang memerintahkan komandan Belanda itu agar memberitahu HJ van Mook Indonesia
dan Asia sudah merdeka. ”Kasih tahu Van Mook, Belanda silakan mundur dari
Indonesia,” kata Hok San menirukan ucapan Tan Ping Djiang.
Oei Hok San yang
kehidupannya sangat miskin tidak mengharapkan tunjangan dan hak-haknya sebagai
veteran 45 diberikan negara. ”Saya cuma berpesan agar dibangun monumen untuk
menuliskan nama teman-teman pejuang. Kasihan mereka dilupakan begitu saja,”
kata Hok San yang kini hidup menggelandang di kelenteng-kelenteng.
Sumber : Arsip
kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar