KAUM SANTRI
MELAWAN KOLONIAL:
Dari Hizbullah hingga Angkatan
Perang Sabil (APS) di Jogjakarta
Oleh:
Ahmad Adaby Darban
Disampaikan pada Forum
Diskusi dan Pameran 60 Tahun
Indonesia Merdeka dalam
Dalam Lintasan Sejarah
DI BANDUNG, 11-12 AGUSTUS 2005
KEMENTRIAN KEBUDAYAAN & PARIWISATA
Deputi Bidang Sejarah & Purbakala
Asdep Urusan Sejarah Nasional
PENDAHULUAN
Ketika imperialisme dan kolonialisme menjajah wilayah Indonesia, penduduk
negeri ini tidak tingal diam, dan terus menerus mengadakan perlawanan. Umat
Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia, memiliki peran penting di dalam
proses yang panjang dalam perjuangan melawan penjajahan di Indonesia. Perlawanan
awal dilakukan oleh karajaan-kerajaan, dan kemudian disambung dengan perlawanan
rakyat semesta yang dipimpin oleh para ulama hampir di seluruh wilayah
Indonesia.
Ulama sebagai informal leaders yang merakyat, dekat dengan rakyat,
ditampilkan oleh umat Islam sebagai pemimpinnya dalam perang melawan
penjajahan. Selain itu, idiologi Perang Sabil sebagai penggerak umat untuk
berani melawan kolonial sebagai penjajah yang dianggap dlolim ( Sartono
kartodirdjo,Kepemimpinan dalam Sedjarah Indonesia,1974.hlm.24). Idiologi
Perang Sabil itu meliputi antara lain : Izin berperang di jalan Allah bagi yang
dijajah dan ditindas ( Al Qur’an:S.Al Haj, 39 ); Cinta tanah Air sebagian dari
Iman (ulama); Simbol kalimat yang menggerakkan rakyat (Allahu Akbar); dan Amar
ma’ruf nahi munkar (Al Qur’an S. Ali Imron, 103 dan 110). Semangat perlawanan
terhadap kolonial sebagai penjajah ini terus bergulir dari daerah satu ke
daerah lain di seluruh wilayah Indonesia, peran serta umat Islam dalam
perjuangan melawan dan mengusir penjajahan ini tidak berhenti sampai Republik
Indonesia Merdeka, bahkan diteruskan pada perjuangan mempertahankan kemerdekaan
Republik Indonesia.
(Ahmad Adaby Darban,Peranserta Islam …,1990,hlm.3.)
Pada era pendudukan Jepang di Indonesia, melalui organisasi Madjelis Sjuro
Muslimin Indonesia (MASJUMI), para ulama ber-syiyasah agar memiliki
angkatan perang yang terlatih, maka minta pada pemerintah Jepang untuk
diperkenankan membentuk pasukan Hizbullah. Agar maksud itu dikabulkan, dengan
alasan untuk membantu Bala Tentara Jepang dalam melawan Sekutu. Pihak Jepang
yang memang pada saat itu sedang banyak kekalahan di front perang, maka usul
para ulama itu dikabulkan, maka dibentuklah secara resmi Hizbullah, tangal 14
September 1944 di Jakarta ( Suara Muslimin, “Hizbullah”,No.23. 15
Desember 1944). Sebagai pasukan Lasykar Hizbullah permulaan diambil dari para
pemuda Islam dari beberapa daerah di Indonesia, kemudian dilatih kemiliteran di
Cibarusa, dan kemudian ditugasi untuk membentuk Lasykar Hizbullah di daerahnya
maning-masing, termasuk juga di daerah Jogjakarta. Lasykar Hizbullah kemudian
berkembang pesat, dan menjadi kekuatan bersenjata umat Islam bangsa Indonesia
untuk kemerdekaan & mempertahankan NKRI.
HIZBULLAH
Madjelis Sjuro Muslimin Indonesia ( Masjumi ) sebagai lembaga resmi
persaudaraan-permusyawaratan-persatuan Umat Islam, untuk memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia, yang di dalamnya terdapat kumpulan tokoh dan organisasi
Islam, seperti Muhammadiyah, Nahdlotul Ulama (NU), Persis, Al Wasliyah, dan
sebagainya. Dalam perjuangan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, selain
melalui organisasi juga diperlukan
persiapan perang pisik, sehingga telah direncanakan punya lasykar sendiri.
Terdesaknya Jepang oleh Sekutu dan kemudian membuat pernyataan membolehkan
bangsa Indonesia mempersiapkan kemerdekaannya, kesempatan ini digunakan oleh
Masjumi untuk membentuk lasykar Hizbullah, yang diharapkan untuk menghimpun
pemuda Islam yang belum terorganisir ( Kahar Moedzakir, "Hizbullah"
dalam Suara Muslimin, No.1, 1 Djanuari 1945, hlm.6). Dalam rapat Masjumi
tanggal 14 September 1945, yang dihadiri oleh antara lain : KH.Hasyim'Asj'ari,
KH. Faried Ma'ruf, Harsono Tjokroaminoto, Zainoel Arifin, KH.Wahid Hasjim, S.O.
Soemaatmadja, KH.Masjkoer, KHM. Dachlan, Mohammad Ma'some, dan Moehammad Roem.
( A. Yazid, "Susunan Pengurus Masjumi", dalam Suara Muslimin,15
Djanuari 1945, hlm.13 ), diputuskan untuk membentuk Badan Perjuangan dengan nama HIZBULLAH, yang
artinya tentara Allah swt.( Hasil wawancara Kol.
Bakri Sahid, dalam Skripsi Abdul Mutholib, "Hizbullah…,1985, hlm. 9). Adapun susunan pengurus pusat
Badan Perjuangan Hizbullah itu antara lain,
Ketua, Zainoel Arifin
Wakil Ketua Moehammad Roem
Anggota S. Soewijono, Soedjono, Anwar
Tjokroami-
noto, KH. Zarkasji, Soenarjo Mangoenpus-
pito, Masjhudi, Joesoef Wibisono, Moeham
ad Djoenaidi, R.H.O. Djoenaidi, Prawoto -
Mangkoesasmito. (G.McT.Kahin : 1952, 7)
Dalam rapat itu juga diputuskan bahwa agar di setiap daerah juga didirikan
Hizbullah, yang diharapkan dapat kerja-sama dengan kepala pemerintah sebagai
"Pernyatan pengorbanan dan kebaktian Umat Islam" ( Kahar Moedzakkir,
"Hizbullah" dalam Suara muslimin,No. 23, 15 Desember 1944,
hlm. 25). Namun secara rahasia para tokoh Islam juga mempunyai tujuan jangka
panjang yaitu untuk melawan pemerintah Jepang yang semakin lemah.(sumber Sejrah
Lisan, wawancara dengan Ngusman Nuri, pewawancara Nur’aini S. 1987).
HIZBULLAH JOGJAKARTA
Proses Berdirinya
Umat Islam Jogjakarta menyambut baik berdirinya Hizbullah, maka pada
tanggal 3 Oktober 1944 dibentuk Hizbullah Daerah Jogjakarta, dengan ketua
terpilih H. Wasir Nuri. Rekruitmen anggota Hizbullah melalui tokoh-tokoh
Muhammadiyah, NU, dan juga lembaga pendidikan yang ada, seperti Madrasan
Mu'alimin, sekolah-sekolah Muhammadiyah dan juga dari pondok pesantren di
sekitar Jogjakarta, melalui guru agama dan para muballigh dari Bantul, Sleman,
Kulon Progo, Gunung Kidul. ( Wawancara dengan Bachron Edrees, dalam Abdul
Mutholib, Hizbullah..,hlm.10).
Pelamar sebagai anggota Hizbullah Jogyakarta brasal dari berbagai
organisasi Islam, antara lain dari Muhammadiyah dan Nhdlotul Ulama (NU). Adapun
yang berasal dari Muhammadiyah antara lain ialah, Bakri Syahaid, Muhammad
Nazar, Rustam, Hajun, Hartono, Waston Sujak, Bachron Edrees, Syaifullah Asmuni,
dan para pelajar Mu’alimin Muhammadiyah Patangpuluhan serta Mu’alimin
Muhammadiyah Wal Fajri Karanganyar Jogjakarta. Pendaftar awal Hizbullah dari
kalangan NU antara lain, Mujab, Badawi dan Mardiono. Motivasi mereka memasuki
Hizbullah terekam dalam wawancara seleksi, yaitu pada umumnya adalah semangat
keagamaan Li’ilaa-I kalimatillah yang artinya menegakkan kalimah
Allah ( laa-illaha ilallah ), untuk kadilan dan kebenaran yang
diajarkan oleh para ulama mereka.( Masjumi Pendukung Republik Indonesia,Kapu
Masjumi,hlm.14). Dari wawancara terpisah terhadap Bahron Edrees, Bakri Syahid,
Kyai Mujab, Masduki Abdullah dan Jumali, terdapat pernyataan yang sama, yaitu
niat memasuki Hizbullah untuk berjihad karna Allah Swt. dalam rangka
membebaskan tanah air dari penjajahan, dengan jiwa semangat khubbul
wathon minal Iman, artinya cinta tanah air itu sebagian dari Iman(Yazid
Qosim,Himpunan Hadits … ,1979, hlm.347), jadi bukan untuk mendapatkan
status dan materi untuk hidup.
Rekruitmen anggota Hizbullah sesuai dengan keputusan Masjumi, harus melalui
tes, yaitu Pengetahuan dan Pengamalan Agama Islam, dan kesehatan serta
ketrampilan pisik. Angkatan pertama dapat lulus masuk Hizbullah Jogjakarta
sebanyak 25 pemuda, yang terdiri dari berbagai daerah, yaitu:
Dari Kota Jogjakarta 10 orang, dari Kabupaten Sleman 3 orang, dari
kabupaten Gunung Kidul 2 orang, dari Kabupaten Kulonprogo 2 orang, dari
Kabupaten Bantul 3 orang, dari Pakualaman 3 orang, serta dari Adikerta 2 orang.
Jumlah 25 orang itu, menurut organisasinya tersiri 4 orang dari NU dan 21 orang
dari Muhammadiyah.( sumber Sejarah Lisan,wawancara dengan Bachron Edrees,
pewawancara Abdul Mutholib, 1985 ).
Pada bulan Februari 1945 seluruh anggota Hizbulah Daerah Jogjakarta dikirim
ke Cibarusa, Jawa Barat, untuk mengikuti latihan kemiliteran bersama seluruh
Badan Perjuangan Hizbullah se Jawa. Biaya transportasi, perlengkapan dan
pelatihan ditanggung oleh Pimpinan Masjumi Daerah Jogjakarta. Anggota Hizbullah
yang mengikuti pelatihan di Cibarusa lebih kurang 500 orang,ditemptkan di
barak-barak bambu.Salah seorang pelatihnya adalah Syodanco Peta Zidni Nuri dari
Jogjakarta. Latihan Perang Hizbullah ini dibuka oleh pimpinan Jawa Gunseikan,
pada tanggal 28 Februari 1945, dan duhadiri oleh para tokoh Masjumi dan
pembesar militer Jepang. Pelatihan perang ini dilaksanakan selama 3 bulan, disamping
latihan kemiliteran, juga diberikan semangat Islam dalam perjuangan. Salah satu
dari ajaran semangat perjuangan Islam itu adalah jihad fi sabilillah yang diberikan oleh para ulama, antara lain
KH. Musthafa Kamil dari Singaparna.(sumber Sejarah Lisan, wawancara dengan
Badawi, di Turi Sleman, pewawancara Abdul Mutholib, 1985). Adapun secara
keseluruhan yang dilatihkan adalah:
1. Mempertebal ke-Islaman, Taukhid, Fiqih, dan Jihad.
2. Semangat Nippon dalam teknis berperang
3. Akhlak Islam beramal ikhlas dan semangat perang
4. Praktek lapangan menghadapi bahaya udara, melin-
dungi penduduk, pengerahan tenaga
rakyat, latihan
lengkap berperang, dan membasmi mata-mata.
Pada tanal 20 Mei 1945 Pelatihan militer bagi Badan Perjuangan Hizbullah di
Cibarusa ditutup oleh wakil Toomubutyoo dan dihadiri oleh K.H.A. Wahid Hasyim
mewakili pimpinan Msjumi. Semua yang ikut pelatihan di Cibarusa diwajibkan
berikrar: a. Menyerahkan dirinya secara bulat pada Masjumi; b. Harus mampu
mendirikan Hizbullah di daerah tempat tinggalnya, dan c. Selalu berhubungan
dengan dengan pemerintah dan jantor
Shuuchoo.(sumber Sejrah Lisan, wawancara dengan Bakri Syahid, pwawncara
Abdul Mutholib,1985).
Sepulangnya peserta latihan Hizbullah dari Cibarusa, di Jogjakarta tetap
dibina dan dilatih. Latihan pematangan ini dilakukan di daerah Dai-San (III)
Pingit Jogjakarta, selama 1 bulan, dipimpin oleh Syodanco Ahmad Hadiwidjojo
dari Peta. Adapun materinya adalah teknik
pengunan senjata berat di medan pertempuran.( “Hizbullah” dalam Suara
Muslimin No.6, 15 Maret 1945, hlm.25).
Dari modal 25 orang, kemudian berhasil menghimpun sampai 500 orang pada
tahap pertama. Pada tahap selanjutnya berkembang sehingga Hizbullah Daerah Jogjakarta dapat membentuk satu divisi yang diberi nama DIVISI SULTAN
AGUNG dengan komandannya H. Wasir Nuri, dan Bakri Syahid sebagai wakilnya.
Di bawah divisi dibentuk beberapa batalyon, Batalyon 25 dipimpin oleh Basuni,
Batalyon 32 dipimpin oleh Zidni Nuri, dan Batlyon 39 di bawah pimpinan H.Dawam.(
sumber Sejarah Lisan, wawancara dengan Waston Sudjak dan Bakri Syahid,
pewawancara Abdul Mutholib, 1985).
Aktivitas Hizbullah Daerah Jogjakarta
Setelah pelatihan, rekruitmen, dan berdirinya Hizbullah Daerah Jogjakarta,
aktivitas lebih dikerahkan untuk membina teritorial. Pembinaan teritorial ini
dimaksudkan untuk menjalin hubungan ukhuwah Islamiyah dengan umat
Islam di pedesaan-peesaan, dengan melalui pengajian dan penanaman semangat
perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia. Pedekatan pasukan Hizbullah dengan
tanpa seragam ini mendapat simpati masyarakat, dan memudahkan dukungan rakyat
di kemudian hari saat perang gerilya. Setelah Republik Indonesia Merdeka,
pasukan Hizbullah segera menghubungi lembaga bersenjata resmi yaitu Polisi, dan
Badan Keamanan Rakyat (BKR), untuk bekerja-sama mengamankan negara.
1. Merebut Jogjakarta dari Kekuasaan Jepang
Setelah Republik Indonesia merdeka, segera di Jogjakarta dibentuk Komite
Nasional Indonesia (KNI) Daerah diketuai oleh Muhammad Saleh, dan Badan
Keamanan Rakyat (BKR) diketuai oleh Sudarsono dari Polisi. Selain itu, sebelum
ada ketentuan resmi penataan badan perjuangan, maka BKR berperan sebagai
koordinator.(Sejarah TNI-AD Kodam VII Diponegoro:1968,hlm.25 ).
Oleh karena itu, ketika masyarakat Jogjakarta akan merebut kekuasaan dari
tangan Jepang, maka diadakan koordinasi antara KNI, BKR, Hizbullah dan lasykar
lainnya. Oleh karena usaha perundingan dengan pihak Jepang mengalami jalan
buntu, maka diputuskan untuk merebut kekuasan Jepang atas Jogjakarta dengan jalan
perang. Hizbullah Daerah Jogjakarta mengerahkan pasukannya, bergabung dengan
BKR,Polisi, dan lasykar lain, pertama kali merebut kantor KOOTI, kemudian
merebut markas dan gudang senjata Jepang Butaitjo di Kota Baru.( Sejarah
TNI-AD,
Ibid. dan sumber Sejarah Lisan,
Waston Sudjak, pewawancara Abdul Mutholib,1985). Dengan perang yang mengerahkan
masyarakat luas, akhirnya berhasil merebut markas dan gudang senjata Jepang.
Dalam pertempuran Kota Baru itu pihak Indonesia 21 orang gugur, 32 orang
luka-luka. Di antara yang gugur itu terdapat 3 orang dari Hizbullah, yaitu Abu
Bakar Ali, Wardani, dan Ahmad Djazuli.( Tiga Puluh Tahun Kemerdekaan
Republik Indonesia, Jakarta: Sek.Neg. RI,1975, hlm,14). Korban dari
Hizbullah itu dikuburkan di makam Syuhada’ barat Masjid Gedhe kauman Jogjkarta,
sedangkan sebagai Monumen Perang Kota Baru dibangun Masjid Syuhada’.( Prasasti Manumen Perang Kota
Baru, ditandatangani oleh Bung Hatta, 1952).
2. Perang Mempertahankan Kemerdekaan RI
Sebelum adanya peraturan yang melebur lasykar-lasykar dan barisan
bersenjata ke dalam TNI, Hizbullah proaktif bekerja-sama dengan BKR-TKR untuk
mempertahankan kedaulatan RI. Berikut ini kisah pasukan Hizbullah Divisi Sultan
Agung Jogjakarta dalam kancah perjuangan melawan Belanda.
a. Pertempuran Ambarawa ( Palagan Ambarawa )
Pada tangal 21 November 1945, pukul 09.00 atas desakan dan serangan pasukan
yang dipimpin oleh Jendral Sudirman, Sekutu mundur menuju ke Semarang.
Mundurnya Sekutu juga membuat onar di Ambarawa, yang kemudian meletus perang besar,
Palagan Ambarawa. Perang itu memancing hadirnya solidaritas dari berbagai
tempat, termasuk dari Jogjakarta. Pasukan TKR, Hizbullah, dan lasykar lainnya
berduyun duyun menuju Ambarawa, dan mengepung kota itu. Hizbullah Jogjakarta
mengirim Batalyon Bachron Edrees, yang ditempatkan di bagian barat Ambarawa,
tepatnya di desa Jambu dan Banyubiru. Meskipun daerah basis Hizbullah Daerah
Jogjakarta di Jambu dan Banyubiru, namun siasat dan gerakan perang gerilyanya
selalu berpindah-pindah(A.H.Nasution,Pokok – pokok Perang Gerilya dan
Pertahanan Republik Indonesia di
Masa Lalu dan yang Akan Datang,:1980, hlm. 35). Masih dalam sumber itu,
dikisahkan pengepungan Ambarawa, dari arah selatan ditempatkan pasukan gabungan
dari Surakarta dan Salatiga; dari utara pasukan dari Kedu dan Ambarawa sendiri;
dari timur dari devisi IV BKR Salatiga. Adapun pihak sekutu dan
Belanda bermarkas di Hotel Van Rheeden,
dan mendirikan pos di kompleks Gereja jalan Margo Agung, serta pos-pos militer
di perkebunan-perkebunan, untuk menahan serangan gerilya dari barat dan
selatan. Akan terapi pos-pos itu berhasil direbut para gerilyawan Indonesia,
sehingga hubungan komunikasi pihak sekutu hanya dapat lewat udara. Pasukan
Hizbullah pimpinan Bachron Edrees setelah sebulan di front Ambarawa, kemudian
ditarik mundur, digantikan oleh pasukan yang dipimpin oleh Khudhori. Dalam
pertempuran Palagan Ambarawa, meskipun pihak Indonesia berhasil mendesak Sekutu
dan Belanda hingga mundur ke Semarang, namun dalam perang itu banyak menelan
kurban. Khudhori komandan pasukan Hizbullah menderita luka-luka, sedangkan yang
gugur di pihak Hizbullah dari Jogjakarta sebanyak 2 orang, yaitu Muchammad
Asief dan Muchammad Djirhas, keduanya dimakamkan di makam Syuhada’ Kauman
Jogjakarta.(Arsip Laporan RK Kauman, 1979).
b. Pertempuran Mranggen ( Timur Semarang ).
Gerakan selanjutnya diarahkan untuk mengepung kota Semarang, sebagai front
perjuangan melawan kolonial dalam rangka mempertahankan kemerdekaan dan
kedaulatan RI. Dalam pengepungan Semarang, dari Jogjakarta dikirim pasukan
Hizbullah batalyon Basuni, untuk membatu TRI yang ditempatkan di daerah
Mranggen sebelah timur Semarang. Pasukan lainnya ditempatkan di Srondol selatan
Semarang, dan Kaliwungu di barat Semarang. Komandang Kompi Hizbullah yang
ditempatkan di Mranggen adalah Bachron Edrees, dan sebagai komandan-komandan
regunya antara lain Mohammad Diponegoro (seniman);
Masduqi, Badawi dan Rebo.( sumber Sejarah lisan, wawancara dengan Badawi,
pewawancara Abdul Mutholib,1985).
Alasan mengapa Semarang dikepung, dan selalu diadakan serangan gerilya ke
dalam kota, karena Sekutu tidak beriktiqat baik terhadap bangsa Indonesia, dan
jelas-jelas cenderung membatu Belanda untuk menguasai Indonesia kembali.
Sebagai bukti antara lain, Pertama, Pasukan KNIL Belanda difasilitasi masuk
Semarang dengan membawa persenjataan yang lengkap, pada bulan Mei 1946 seluruh
Brigade tentara NICA mendarat dan mengambil posisi menguasai Semarang. Kedua,
selanjutnya pada tangal 17 Mei 1946 telah dilangsungkan upacara serah terima
komando pendudukan dari Brigade Darling ( Inggris ) kepada Kolonel van Langen
Komandan Brigade T KNIL ( Belanda ), sehingga resmilah Semarang dikuasai oleh
Belanda.(A.H. Nasution
Tentara Nasional Indonesia II; 1963, hlm. 310.). Dengan
berkuasanya NICA di Semarang akan melancarkan jalan untuk menghancurkan
Republik Indonesia (Ibid.). Kejadian ini semakin meningkatkan semangat
bangsa Indonesia untuk mengadakan gerakan ofensif menyerang kanthong-kanthong
Belanda termasuk Semarang. Perang gerilya semakin meningkat, pada tanggal 25
Mei 1946 di sektor Jatingaleh selatan Semarang para gerilyawan gencar
menembakkan mortir. Para pejuang Indonesia juga menyerbu sektor barat Semarang,
hingga berhasil menduduki Lapangan Terbang
Kalibanteng. Pasukan Hizbullah dari daerah Jogjakarta, yang dipimpin
oleh Bachron Edrees juga berhasil mengacaukan dan menahan kedudukan Belanda di
Front Timur Semarang, sehingga tidak mngembangkan kekuasaannya. Kompi Hizbullah
Jogjkarta yang dipimpin oleh Bachron Edrees ini tugas di Mranggen selama 2 bulan,
kemudian digantikan oleh kompi Hizbullah dari Jogjakarta juga yang dipimpin
oleh Khudhori yang tiba pada tanggal 2 September 1946.
Rupanya pihak Nica setelah kuat, kemudian ingin mengembangkan kekuasaannya,
dan menembus kepungan para gerilyawan dari RI. Pada tangal 11 Oktober 1946,
pukul 16.00 pihak Nica Belanda mngadakan serbuan ke front Timur Semarang.
Serbuan ini dilawan oleh pasukan Hizbullah kompi Khudhori, terjdilah perang
frontal. Oleh karena kekuatan pasukan Belanda lebih banyak, dan memang dikerahkan
untuk menembus Timur Semarang, maka kompi Hizbullah Jogjakarta ini terpaksa
mundur.
Dalam pertempuran itu 17 anggota Hizbullah gugur, sedangkan komandannya
yaitu Khudhori luka parah tertembak dan ditusuk bayonet. Jenazah yang gugur itu
dimakamkan di makam Syuhada’
Kauman (di lingkungan Masjid Gedhe Jogjakarta ). Selain itu pasukan
Hizbullah yang pulang dari Mranggen juga ada yang sakit terkena Malaria
Tropika, diantaranya Muhammad Adnan, yang sesampainya di Jogjakarta kemudian
wafat, dan dimakamkan di tepat yang sama.( sumber Sjarah Lisan, Bachron Edrees,
pewawancara Abdul Mutholib, 1985; wawancara dengan Muhammad Darban,oleh Ahmad
Adaby, 2005).
c.Pertempuran Srondol
Hizbullah Jogjakarta juga mengirim sebagian dari kompi Rebo, untuk membantu
menahan serbuan Nica Belanda yang akan meluaskan wilayahnya ke selatan. Pada
tanggal 4 Juli 1946 terjadi pertempuran, dalam pertempuran itu pihak Nica
Belanda mengerahkan pasukan ateleri dan dibantu oleh pesawat tempur udara.
Pihak RI yang di dalamnya terdapat kompi Hizbullah Jogjakarta terpaksa mundur
ke Banyumanik.( Sejarah TNI-AD Kodam VII Diponegoro…..Op.Cit. 1968,hlm.74). Dalam
pertempuran Srondol ini anggota Hizbullah yang gugur 2 orang, yaitu Ahmad Dahlan bin Hilal (cucu
KHA Dahlan) dan Hajid bin Jalil, kduanya juga dimakamkan di makam Syuhada’
Kauman Jogjkarta.
Adanya Perundingan Lingga Jati, maka untuk sementara waktu perang
dihentikan, maka pasukan Hizbullah Jogjakarta ditarik kembali ke Jogjakarta.
Selama tidak berperang, di kalangan Hizbullah Jogjakarta terus diadakan
pembinaan Agama Islam, Mental, Akhlaq, dan latihan pisik lainnya. Anggota
Hizbullah berbaur dengan masyarakat, ada yang menjadi guru ngaji, melatih
ketrampilan para pemuda sebagai kader yang akan datang, dan juga ada yang aktif
dalam politik serta organisasi sosial-keagamaan lainnya.
Adanya Peraturan Pemerintah tanggal 3 Juni 1947, tentang peleburan seluruh
badan perjuangan, lasykar, dan kelompok bersenjata lainnya ke dalam Tentara
Nasional Indonesia (TNI) (AH Nasution, TNI Djilid II,1968, hlm. 86.),
maka sebagian anggota Hizbullah Jogjakarta masuk bergabung dalam TNI. Dalam TNI
mantan pasukan Hizbullah tetap aktif bertempur dalam skala yang lebih besar,
ukuran perang intarnasional.
Adapun sebagian mantan angota Hizbullah kembali ke masyarakat menurut
profesinya masing-masing, namun tetap dalam keadaan siaga, siap tempur membela
Republik Indonesia bila dibutuhkan. Pertemuan-pertemuan diantara mereka tetap
diadakan dalam koordinasi Masjumi. Dalam pertemuan-pertemuan itu dibicarakan
mengenai bahaya kembalinya Belanda menjajah Indonesia, bahaya provokasi PKI yang membahayakan kehidupan beragama di
Indonesia, dan juga tukar-menukar informasi.( sumber Sejarah Lisan, Muhammad
Darban, pewawancara A.Adaby, 2005 ).
Mantan Hizbullah baik yang ada di TNI maupun yang ada di masyarakat, saling
bertemu tukar-menukar informasi dan tetap membina semangat juang menghadapi
penjajahan. Menjelang Agresi Belanda I, pasukan TNI dikonsentrasikan ke
front-front garis demarkasi untuk menghadapi Belanda yang selalu tidak mentaati
perundingan. Untuk menjaga keamanan dalam negeri agar masyarakat tentram, maka
mantan pasukan Hizbullah yang di luar TNI ikut membantu polisi dalam tugas ini.
Ketika Belanda memaksakan kehendaknya untuk menguasai RI, maka situasi semakin tidak
menentu, muncul orang-orang yang mencari kesempatan antara lain, menjadi
mata-mata (spionase) Belanda, menjadi garong, dan tindakan jahat
lainnya. Melihat situasi yang sedemikian itu, maka para Ulama Jogjakarta
mengadakan musyawarah untuk membicarakan nasib masyarakat, khususnya umat Islam
yang ada di pedesaan dan perkotaan.(sumber Sejarah Lisan,KH Haiban Hajid,
pewawancara A.Adaby, 1996). Untuk sementara waktu dalam menghadapi situasi yang
tidak menentu, maka ulama Jogjakarta yang berada di Masjumi membentuk badan
pejuang Islam Sabilillah. Para ulama di Jogjakarta yang tergabung dalam
Sabilillah ini antara lain KH Mahfudz Siraj, KH Ahmad Badawi, KH Amin Bahrun,
KH Abdullah, KH Juraimi.Para ulama ini memang dahulunya sebagai penasehat
Hizbullah, yang tetap komitmen pada perjuangan bangsanya. Pada tanggal 21 Juli
1947 terjadi Agresi Belanda pertama, yang mencaplok dan menduduki beberapa
daerah di Jawa Tengah. Hal ini di mata para ulama Jogjakarta merupakan ancaman
bagi Ibukota RI Jogjakarta.Oleh karena itu, untuk lebih menggalang kekuatan
yang terkoordinasi dan eksis dalam
membela Negara Kesatuan RI, maka para ulama kembali menggelar musyawarah di
Jogjakarta. Hasil musyawarah para Ulama itu kemudian di sosialisasikan kepada
para pemuda dan mantan Hizbullah yang tidak berada di TNI. Pada tanggal 3 Juli
1947 diadakan rapat bersama antara para Ulama dan pemuda serta mantan Hizbullah
Jogjakarta, di Masjid Taqwa kampung Suronatan Jogjakarta. Dalam rapat itu hadir
antara lain : H.Ki Bagus Hadikusuma, KHA Badawi, KH Machfud Siraj, KH. Daim,
KH. Abdullah, KH.Amien Bachrun, KH.Muhammad Sarbini. Rapat yang didahului
dengan Sholat Lail dan Iktikaf serta do’a para ulama itu,
memutuskan antara lain mendirikan Lasykar Angkatan Perang Sabil (APS), untuk
melanjutkan dukungan dan bantuan secara pisik umat Islam pada pemerintah
Republik Indonesia. ( Nur’aini Setyawati,” Asykar Perang Sabil…”,Skripsi
Jur.Sejarah FS-UGM,1988, hlm.25.)
Untuk merealisasikan keputusan itu, diutus beberapa ulama menghadap Sri
Sultan Hamengku Buwana IX (sebagai Mentri Pertahanan) dan Panglima Besar
Sudirman( pimpinan TNI), untuk minta dispensasi agar diizinkan
mendirikan lasykar Angkatan Perang Sabil (APS). Mengingat Wilayah RI
semakin terdesak, dan Jogjakarta sebagai ibukota RI semakin terancam agresi
Belanda, serta dapat memahami iktikat baik umat Islam Jogjakarta, maka Sri
Sultan Hamengku Buwana IX, dengan persetujuan Panglima Besar Sudirman, mengabulkan
permohonan para ulama Jogjakarta yang disampaikan oleh H Ki Bagus
Hadikusuma itu (lihat lampiran: Serat
Kekancingan).
MARKAS ULAMA
ANGKATAN PERANG SABIL (MU-APS)
PROSES BERDIRINYA MU-APS
Situasi negara R.I. sedang mengalami tekanan dari pihak kolonial Belanda
dan sekutunya. Ibukota R.I. hijrah ke Yogyakarta, daerah-daerah R.I. pun
sedikit demi sedikit dicaplok oleh penjajah. Melihat keadaan negara R.I. yang
demikian itu, para Ulama Yogya ikut prihatin tidak tinggal diam, mereka
kemudian berbulat tekad mempertahankan Kedaulatan Negara Republik Indonesia.
Pada tanggal 23 Juli 1947 bertepatan tanggal 17 Romadlon 1367 H., para
Ulama Yogya mengadakan musyawarah dan sebelumnya diawali sholet lail &
I’tikaf bermunajah kepada Allah Swt. di Masjid Taqwa Suronatan Jogjakarta.
Hasil dari pertemuan tersebut ialah Kedaulatan Tekad para Ulama membentuk badan
perjuangan yang bernama ”MARKAS ULAMA ANGKATAN PERANG SABILILLAH (MU.
A.P.S)”,lebih lanjut disebut Angkatan Perang Sabil, yang bertujuan untuk
membantu pemerintah R.I. dalam menghadapi kesulitan menanggulangi musuh yang
akan merobohkan Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI).
Para Ulama tersebut mengutus Ki Bagus Hadi Kusuma, K.H. Mahfuds Siraj dan
K.H. Ahmad Badawi untuk menyampaikan kebulatan tekad Ulama Jogjakarta itu
kehadapan Sri Sultan Hamengku Buwono ke IX. Maksud kebulatan tekad Ulama
tersebut disambut baik oleh Sri Sultan, bahkan kemudian Sri Sultan mengeluarkan
surat keputusan persetujuan do’a restunya .
Selain itu juga dihubungkan dengan Panglima Besar Sudirman.
AKTIVITAS PERJUANGAN APS
Sebagai pusat MU- APS adalah di kompleks Masjid Agung Jogjakarta,
sedang tempat latihan juga diadakan plataran
Masjid Agung tersebut. Pak Dirman selaku pimpinan TNI dapat memaklumi
berdirinya lasykar APS tersebut, bahkan menunjuk sebagai pelatih Lasykar APS,
yaitu dari TNI yakni Bung Tomo dan Mayor Fachruddin(Abdurrahman, ”Lasykar
AngkatanPerang Sabil....1983, hlm.15). Dari sini dapat dilihat adanya
manunggalnya Angkatan Perang dengan para Ulama yang bersama-sama mempertahankan
Negara Republik Indonesia tercinta. Setelah peresmian APS, maka dilanjutkan
berlatih, dan kemudian diterjunkan ke front-front perjuangan untuk bekerja-sama
dengan TNI. Pada tahap pertama pasukan APS dikirim ke Mranggen dan Srondol
(melanjutkan kedudukan Hizbullah Jogjakarta ) dalam mengepung Belanda. Selain
dua derah itu, Pasukan APS juga dikirim ke Kebumen, untuk menghadang kedatangan
Belanda dari arah Jakarta.
a. Pengepungan Semarang
Untuk mengetahui lebih jelas peranan APS, berikut ini kita ungkapkan
selintas aktivitas perjuangannya :Di front Mranggen ditempatkan dua kompi APS
untuk membantu TNI, kompi pertama dikomandari oleh KH Juraimi dengan Imam
ruhani KHR Hajid, ( Uswatun Chasanah,Kehidupan
& Perjuangan Ayahku; Riwayat hidup KRH.Hajid.:2005, hlm.74).
Adapun kompi yang kedua pimpinan
Badri, dengan Imam ruhani KH Abdurrahman. Dua kompi ini dibagi tugas,
kompi pertama di Mranggen Timur, sedangkan kompi kedua di Mranggen
Selatan.(sumber Sejarah Lisan, wawancara denhan Ardani Zainal,
Pewawancara Nur’aini S, 1988).
Ketika pos pertehanan RI di Srondol terdesak, maka dikirimlah pasukan APS
dua kompi, untuk membantu TNI. Dua kompi itu, pertama dari APS Pusat
komandannya H.Dimyati Dahlan, dan kompi kedua dari Kulonprogo dikomandani oleh
M.Djauhar Suhaimi, sedangkan Imam Ruhaninya ada emapat yang tergabung dalam
”Barisan Jenggot”, yaitu K.Dahlan, K.Syahid, K.Bajuri, dan K.Djauhari. (sumber
lisan, Zahri Elyas, pewawancara Nur’aini S., 1987). Empat kompi APS yang
ditempatkan di Mranggen dan Srondol, meskipun sering mendapat serangan usaha
Belanda untuk mengembangkan daerahnya, namun dapat dicegah dan pasukan APS
selamat sampai ditarik kembali ke Jogjakarta.
b. Front Perjuangan Kebumen
Atas permintaan Panglima Besar Sudirman melalui surat perintah dari Jendral
Urip Somoharjo( Kepala Staf TNI), dan anjuran Sri Sultan Hamengku Buwana IX,
agar pasukan APS dikirim ke Kebumen untuk melawan Belanda. Dari markasnya di
Masjid Agung Jogjakarta diberangkatkan satu Batalyon dengan senjata lengkap
dengan kereta api menuju Kebumen. Batalyon APS dikomandani oleh Sarbini dan
wakilnya KH Juraimi, sedangkan Imam Rohaninya KH.Mahfudz Siraj dan KRH. Hajid,
pada tanggal 30 Juli 1947.( Dokumen Arsip Kantor Legiun Veteran Jogjakarta, dan
wawancara dengan Suyadi, oleh Nur’aini, 1987.). Setelah mengatur strategi
bersama dengan TNI, maka pasukan APS mulai menempati pos-pos yang telah
ditentukan. Ketika pasukan Belanda melacarkan pembersihan di daerah-daerah
dalam rangka melancarkan jalannya pasukan menju Jogjakarta, maka terjadi
benturan pisuk dengan pasukan APS. Pada pertempuran pertama, pasukan Belanda
dari barat Kebumen, dilawan dan berhasil dipukul mundur oleh pasukan APS. Pada
hari-hari berikutnya pihak Belanda mengerahkan pasukannya untuk menyerang
markas APS di sekitar Kebumen, sehingga pasukan APS melawan dengan lebih keras.
Untuk mengantisipasi semakin kuatnya tentara Belanda, maka Markas Ulama
APSJogjakarta mengirim 1kompi pasukan dipimpin oleh Bachron Edrees, didampingi
oleh Imam Ruhani KH. Amien Bachrun dan KH. Abdurrahman. Seluruh pasukan APS
dikerahkan ke Front Barat Kebumen, meliputi Petanahan, Poring, dan Karanggayam,
berhadapan langsung dengan Belanda dari arah Barat. Selama pertempuran di
Kebumen itu pihak APS gugur seorang yaitu Rudin, pada awal September 1948,
Batalyon APS dari Jogjakarta ditarik mundur untuk tugas lain yang telah
menantikan selanjutnya.( sumber Sejarah Lisan, bachron Edrees, oleh
Nur’aini,1988).
c. Penumpasan Pembrontakan PKI tahun 1948.
Pada saat bangsa Indonesia menghadapi agresi Belanda, Partai Komunis
Indonesia (PKI) menusuk dari belakang, berusaha dengan pemberontakan untuk
merebut pemerintahan yang syah Republik Indobesia. Pemberontakan PKI yang
pusatnya di Madiun
itu dipimpin oleh Muso dan Amir Syarifuddin, diproklamirkan pada tanggal 18 September
1948, mengunakan pasukan Fron Demokrasi Rakyat (FDR). Pemberontakan itu
dilakukan dengan berbagai kekerasan dengan pembantaian terhadap kaum Nasionalis
Birokrat, dan kaum Muslimiin, yaitu para kyai, santri pondok serta aktivis
muslim, sehingga ribuan korban bergelimpangan. Untuk menghadapi pemberontakan
PKI itu didatangkan Pasukan TNI dan dibantu oleh APS dari Jogjakarta. Jumlah
Pasukan APS yang dikirim untuk menghadapi pemberontakan PKI adalah 1 batalyon
dipimpin oleh Bachron Edrees didampingi oleh Imam Rohani K.H. Dalhar dan
K.H.Dimyati. Pasukan APS ini di front ini bergabung dengan batalyon Kemal Idris
dan batalyon Kusno Utomo dari TNI.(sumber Sejarah Lisan, Bachron Edrees,
Pewawancara Nur’aini,1988). Pasukan ini beroperasi menumpas pemberontakan PKI
di Purwadadi, Pati dan Kudus. Adapun
kompi yang dipimpin oleh Ir.Sofyan dan M.Djauhar Suhaimi dari markas
Kulonprogo, dikirim ke Ponorogo, bergabung dengan TNI( batalyon Darsono )
merebut tempat-tempat yang diduduki PKI, dan mempertahankan pesantren serta
kantor-kantor pemerintah. Dalam medan pertempuran melawan pembrontak komunis
PKI itu yang jumlahnya lebih besar itu ,TNI beserta APS dan pasukan masyarakat
anti komunis lainnya berhasil memukul mundur pasukan FDR-PKI. Dari Jogjakarta APS Gunung Kidul bersama TNI
dari Siliwangi brhasil memukul mundur pasukan PKI yang membuat kerusuhan. Pasukan
PKI itu mundur menuju Wonogiri, namun salah seorang tokohnya tertangkap, yaitu
Istiajid (sumber Sejarah Lisan, Moh.Hani, pewawancara Nur’aini, 1987), nama
Istiajid ini nanti muncul pula dalam pemberontakan G.30.S/PKI. Pada pertempuran
di Ponorogo dan Gunung Kidul, APS dikawal oleh Imam Rohaniyah yaitu KH. Dalhar
BKN, dan KH. Dimyati. Setelah tugas-tugas meredam dan membantas pemberontakan
PKI 1948 yang berpusat di Madiun itu dapat dituntaskan, maka pasukan APS
ditarik mundur ke Jogjakarta untuk ikut mempertahankan Ibukota RI Jogjakarta
dan sekitarnya. Adapun anggota APS yang gugur syahid dalam menumpas
pemberontakan PKI berjumlah 25 orang, dimakamkan di makam Syuhada’ Kauman
Jogjakarta.
Tugas APS selanjutnya ikut
mempertahankan dan mengamankan
Wilayah Jogjakarta. Adapun kegiatannya antara lain :
a)
Merintangi Masuknya Belanda ke
Yogyakarta
Pada tanggal 19 Desember 1948, adalah hari bersejarah dimana Kolonial
Belanda mulai menduduki Ibukota R.I. Yogyakarta. Lasykar APS ikut menghadang
mempertahankan kota Yogyakarta, dalam pertempuran ini korban yang diderita APS
5 orang menemui syahidnya. Pertahanan kota yang terakhir di daerah Karang
Kajen, dari sini dalam waktu satu minggu mengadakan penyerangan gerilya ke
kota. Namun setelah itu Belanda mengetahui markas APS di Karangkajen, kemudian
digempur sehingga terjadi pertempuran yang membawa korban syahid di pihak APS 4
orang. Markas APS kemudian bergeser ke selatan daerah Bantul, dengan markasnya
di Tegal-Layang Sanden.( A.Adaby D, Fragmenta Sejarah Islam di Indonesia,;
1984, hlm.43 ). Dari Bantul laskar APS terus mengadakan perang gerilnya melawan
patroli-patroli Belanda yang mengadakan penyerangan di desa-sesa. Selain itu
juga menjaga keamanan Bantul yang ditinggalkan mengungsi pemerintahannya.
b) Mengamankan Bantul
Setelah terjadi serangan Belanda terhadap Bantul, maka kota Bantul menjadi
kosong dari penjagaan dan pemerintahan, maka terjadilah perampokan dan
penggedoran liar terhadap rumah-rumah penduduk. Adanya situasi yang tidak sehat
ini, maka pimpinan MU-APS mengambil kebijaksanaan untuk bertindak mengamankan
dan mengatur pemerintahan darurat agar kehidupan rakyat jadi tenang dan
tentram. Setelah berhasil mengamankan kota Bantul dari kaum perusuh tersebut,
maka dalam waktu 1 minggu setelah datangnya aparat pemerintah kota Bantul,
kekuasaan darurat tersebut diserahkan kembali kepada yang bertanggung jawab
yaitu pemerintah daerah Bantul. Selama kota Bantul di bawah kekuasaan APS,
tidak kurang dari 2000 TNI dan polisi mendapat jaminan dari dapur umum MU-APS
Pusat, sampai keadaan stabil.( Wehrkreise III, 1952, hlm.27 )
c)
Menyerang Kota Yogyakarta
Pada tanggal 8 Januari 1949 atas ajakan Letnan Kolonel Suhud dari TNI, APS
menyerbu Yogyakarta bersama pasukan TNI untuk mengusir penjajah Belanda yang masih
bercokol di kota itu. Penyerbuan itu dipimpin oleh Imam besar KHA. Machfudz dan
Komandan APS Muh. Sjarbini. Serbuan tersebut membawa hasil yang baik, pasukan
Belanda dibikin kocar-kacir. Sehabis serbuan itu, kemudian pasukan APS kembali
ke markasnya, di samping itu 2 regu pasukan APS di bawah pimpinan Abdullah
Mabrur meneruskan perang gerilya di dalam kota dan ber pos di Sonosewu (barat
batas kota Yogya sekitar ½ km dari Ketanggungan). Perang gerilya APS yang 2
regu ini bertahan sampai seminggu, dan berhasil menghancurkan beberapa daerah
pokok Belanda. Pada tanggal 14 januari 1949 Belanda mengadakan serbuan
besar-besaran ke Sonosewu dengan satu Kompi serdadu dilengkapi senjata berat
ringan yang lengkap. Lasykar APS di Pos Sonosewu hanya dua regu, sedang pasukan
TNI yang bermortir sudah meninggalkan Sonosewu, beratlah tekanan yang dialami
lasykar APS. Namun semangat jihadnya tetap berkobar untuk melawan serangan
penjajah Belanda tersebut, peristiwa serbuan terhdap pos Sonosewu itu mengorbankan 12 anggota APS
gugur menemui Syahidnya. Korban tersebut merupakan korban terbanyak bagi APS
dalam pertempuran selama dua tahun. Oleh penduduk setempat, pahlawan yang gugur
itu dimakamkan di Kuburan Sonosewu, dan selalu diziarahi setiap peingatan
kemerdekaan Indonesia.( Nur’aini S.,” Askar Perang Sabil;...,Skripsi
1988,hlm.84-85.)
d) Pertempuran Wonosari
Markas APS cabang Wonosari di Kedung Pring pada tanggal 9 Maret 1949
sebagai markas Penerangan APS yang punya peranan menjembatani pasukan dengan
masyarakat, dan juga mengkomunikasikan rencana-rencana operasional. Markas itu
diketahui oleh Belanda, kemudian digempurnya. Dalam perlawanan pasukan APS
menderita korban 4 orang sebagai syahid, ialah : Al Ustadz Abdul Jabar, Ahmad
Hisyam, Muh. Bustam Syah dan Muh. Bachrom. Kesemuanya berjasa bagi penerangan
untuk mengobarkan semangat melawan penjajah Belanda. Kemudian markas APS Gunung
Kidul berpindah pindah, dari desa yang satu ke desa yang lain.
c. Mengamankan Kulonprogo
Pada waktu revolusi pisik sering terjadi pihak yang mencari keuntungan
dengan jalan menggarong dan menggedor rumah penduduk. Oleh karena itu MU-APS
cabang Kulon Progo bersama bantuan APS Yogyakarta yang dipimpin oleh seorang
mahasiswa Gadjah Mada, yaitu Muh. Harun Alrosyid, berhasil mengamankan mentertibkan
daerah Kulon Progo. Di Kulon Progo terjadi pembagian tugas, yaitu TNI yang
berhadapan di front prtempuran, sedangkan APS bertugas mengamankan
daerah-daerah, agar masyarakat tentram, terhindar dari pengarongan.
e)
Menjaga Kraton Yogyakarta dan Lingkungannya
Dalam menyiapkan pengembalian kota Yogyakarta kepada Republik Indonesia,
maka pasukan TNI dan kelasykaran disiapkan pula di sekitar Yogya. Dalam hal ini
lasykar APS mendapat tugas untuk menjaga Kraton Yogyakarta
Pada tanggal 27 Mei 1949, sekitar jam 14.00 pasukan Belanda telah siap akan
mengadakan operasi di sepanjang jalan Ngabean. Satu Jeep patroli menyusuri
jalan Grejen mengejar gerilyawan APS, sesampainya di rumah Abdul Gani ia turun
dan masuk ke lorong kampung Kauman. Di sini Belanda menemui anggota APS yang
sedang menjaga keamanan kampung, kemudian ditembaknya. Kemudian Belanda
membabibuta main tembak sehingga jatuh korban 2 orang anak kecil dan menembak
pula 2 orang yang sedang Sholat hingga gugur. Peristiwa tersebut merenggut 3
orang anggota APS yaitu H. Ilyas, H.Barozie Syafi’i dan Zaidun. Disamping itu 2
orang anak juga gugur, mereka itu ialah Fu’ad dan Sudaryo. Jenazah mereka
dimakamkan di makam Syuhada’ Barat Masjid Agung Kauman Yogyakarta. Setelah
Perundingan Roem-Royen, dan Ibukota RI Jogjakarta dikembalikan pada RI, maka
Pasukan APS dikembalikan ke masyarakat, bekerja menurut profissinya
masing-masing, dan ada pula yang meneruskan belajar, serta ada pula yang masuk
TNI.
Amatlah banyak kiranya bila kita kisahkan perjuangan Markas Ulama Angkatan
Perang Sabilillah (APS) dalam mempertahankan negara Republik Indonesia.
Kisah-kisah di atas hanyalah sebagian saja, namun cukup kiranya menjadi
perhatian kita bangsa Indonesia bahwa peranan para Ulama Yogya pada khususnya
dan kaum Santri pada umumnya tersebut
tidak dapat diabaikan begitu saja di dalam panggung sejarah perjuangan
Indonesia. Di samping itu keikhlasan Ummat Islam dalam perjuangannya, yang
sangat berharga bagi perjuangan bagi perjuangan bangsa Indonesia itu, perlu
juga diberitakan kepada generasi penerus. sehingga dapat bermanfaat menjadi
suri tauladan dan menjernihkan sejarah dari kabut hitam yang menyelimuti
peranan Ummat Islam di dalam sejarah Indonesia
Jogjakarta, 21 Juli 2005
Ahmad
Adaby Darban
Kauman Gm.I/355 Jogjakarta.
0274-373426/ Hp.08157950715
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mutholib. ” Hizbullah di Yogyakarta pada Masa Revolusi :
( 1945 – 1949 )”. Skripsi
.Yogyakarta Fakultas Sastra UGM,
1985.
Abdurrahman. ” Laskar Angkatan Perang Sabil Yogyakarta, 1947-
1949 ”.Yogyakarta: Lembaga
Survey IAIN Sunan Kalijaga,
1983.
Ahmad Adaby Darban. Fragmenta Sejarah Islam di Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Irma,
1984.
_______.Peranserta Islam dalam Perjuangan Indonesia. Yogyakarta:
Perpustakaan Fakultas Hukum
UII, 1990.
A.H. Nasution. Pokok-pokok Perang Gerilya dan Pertahanan Repu-
blik Indonesia di Masa yang
Lalu dan Masa yang Akan Da-
tang. Bandung : Angkasa, 1980.
______. T N I , djilid I dan II. Djakarta: Seruling Masa. 1968.
A.Sartono Kartodirdjo. Kepemimpinan dalam Sejarah Indonesia.
Yogyakarta: B.P.A –
Universitas Gadjah Mada, 1974.
A. Yazid Qosim K. Himpunan Hadits-Hadits Dlo’if. Surabaya: PT.
Bina Ilmu, 1979.
Benda. Harry, J. Bulan Sabit dan Matahari Terbit; Islam di Indone-
sia pada Masa Pendudukan
Jepang ( terjemahan ). Jakarta:
Pustaka Jaya, 1986.
Buku Gerilja Wehrkreise III, Jogjakarta: Perkumpulan Wehrkreise
III, 1950.
Kahin. G. McT. Nationalism and Revolution in Indonesian.New York:
Ithaca, 1952.
Masjumi Pendukung Republik Indonesia.Djakarta: KAPU, 1955.
Mohammad Roem. Pentjulikan Proklamasi dan Penilaian Sedjarah.
Djakarta: Penerbit Hudaya,
1970.
Nur’aini Setiawati. Askar Perang Sabil; Studi Sosio Religious dalam
Perjuangan Republik
Indonesia,di DIY 1945-1949.”Skripsi
Fakultas Sastra Universitas
Gadjah Mada, 1988.
Uswatun Chasanah. Kehidupan dan Perjuangan Ayahku; Riwayat
Hidup KRH.Hadjid. Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah,2005
Tiga Puluh Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Jakarta :Sek.
Negara RI, 1975.
MAJALAH DAN SURAT KABAR
Soeara MIAI, No. 4. Tahoen : I, 15 Pebroeari 2603
Soeara Moeslimin, No. 1. 1 DJanoeari 1945
Soeara Moeslimin, No. 2. 15 Djanoeari 1945
Soeara Moeslimin, No.23. 15 Djanoeari 1947
DAFTAR INFORMAN
Nama !
Jabatan/Peran ! Alamat
Ardani Zaenal ! Sekretaris APS Sleman ! Patran Moyudan Sleman
Azan Sarbini (70) !
Anggota APS Koto Jogja ! Suronatan
Ng.4/ 43 Jogja
Bachron Edrees (60) ! Komandan kompi Hizbullah ! Jl.Janti No.33 Jogjakarta
Badawi ( 61 ) ! Anggota Hizbullah ! Selobonggo,Turi Sleman
DIY
Bakri Syahid ( 65 ) ! Wakil Dan Div.Hizbullah S.Ag. ! Jl. Agus Salim 21 Jogjakarta
Danuri (62) ! Komandan Kompi APS ! Jl. Jend.Sudirman Badegan
Bantul.
Djauhar Suhaimi ( 73) ! Komandan kompi APS Kl.Progo ! Wonosidi Wates Kulon Progo
Haiban Hadjid ( 81 ) ! Staf umum APS Kota Jogja ! Kauman Jogjakarta
Juraimi ( 88 ) ! Imam APS ! Kauman Jogjakarta
HM Fadzil (68) ! Imam APS ! Temon, Kulon
Progo
M.Hani ( 73 ) ! Imam APS ! Kepek,
Wonosari
HM Darban ( 80 ) ! Penerangan APS ! Babadan Baru Depok Sleman
Zahrie Elyas ( 65 ) ! Sekretaris & bag.Asrama
APS ! Kaumn 225 Jogjakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar