Selasa, 08 September 2015

Ulasan Film Jendral Sudirman

Ulasan Film Jendral Sudirman
"Review of Soedirman General Movie"



Melihat film "Jendral Sudirman" dimana film ini dibuat untuk memperingati 70 tahun Indonesia Merdeka, maka saya bersama teman-teman komunitas Djokjakarta 1945 melihat film Jendral Sudirman. Walaupun kami tahu ada beberapa orang yang melihat film ini memberikan kritik tentang materi film ini.Tapi sebelumnya walaupun belum sempurna saya ingin memberikan gambaran tentang film Jendral Sudirman ini. Dan ulasan tentang sejarah yang terjadi sebenarnya.

 Beberapa anggota Komunitas Penggiat Sejarah Djokjakarta 1945 
melihat film Jendral Sudirman
Setelah melihat film Jendral Sudirman nampak di dalamnya ada adegan peristiwa pada tanggal 28 Juni 1946 dimana saat Sjahrir tiba di Solo para anggota polisi pengawal Sjahrir pun tak berdaya ketika komplotan PP dan regu Batalion Sastro Lawu pimpinan Letkol Suadi membawa Sjahrir tanpa perlawanan. Namun dalam film Jendral Sudirman tidak disebutkan secara detail darimana para penculik itu berasal.
Selanjutnya pada saat terjadinya Agresi Militer Belanda ke II dan Bapak Sudirman dari Bintaran ke Gedung Agung  yang jelas nampak adalah kapten Tjokropranolo. Dan untuk saat Jendral Sudirman keluar kota Yogyakarta banyak beberapa tokoh yang tidak disebutkan keberadaannya semisal penasehat politik yaitu Harsono tjokroaminoto (mantan Menteri Muda Pertahanan semasa Kabinet Sjahrir III (1946-1947)), Letnan muda Laut Heru Kesser, Vaandrig Kadet Utoyo Kolopaking. Di film ini hanya disebutkan beberapa saja semisal dr Suwondo, Kapten Tjokropranolo (Nolly) dan Kapten Supardjo Roestam (Djo), serta Kopral Aceng. Saat evakuasi Jendral Sudirman keluar kota Yogyakarta digambarkanJendal Sudirman menggunakan mobil sedan........sedangkan aslinya rombongan Pak Dirman yang menggunakan sejumlah jip sengaja berangkat sore hari. Mobil jeep Pak Dirman yang dikemudikan sopir pribadinya, Ateng, ditumpangi  Supardjo Rustam yang duduk di sebelah kanan pengemudi. Sedangkan Pak Dirman duduk di tengah diapit Dr Suwondo di sebelah kanan dan Harsono di sebelah kiri. Sedangkan Tjokropranolo yang bertugas sebagai penunjuk jalan duduk di atas spakbor. Di film tersebut malah tidak ada penampakan Kapten Tjokropranolo duduk di atas spakbor.
Dan selanjutnya di film digambarkan rombongan Jendral Sudirman bersembunyi di salah satu gua yang ada di sekitar pantai selatan tanpa menyebutkan lokasinya tepat dimana. Memang walaupun sempat terlintas dalam pikiran Kapten Tjokropranolo, jika perlu Pak Dirman dapat berlindung dalam salah satu goa yang banyak terdapat di sekitar Parangtritis. Kapten Tjokropranolo yakin Belanda tidak mungkin bisa menemukannya di situ. Akan tetapi tempat itu terlampau terjal dan sulit dicapai, sehingga rencana itu oleh Kapten Tjokropranolo lalu batalkan dan kemudian diputuskan untuk bersembunyi di kawasan Gunung Kidul.
Dan di film ini digambarkan juga adanya laporan pasukan yang melaporkan bahwa Soekarno Hatta dan beberapa pejabat penting lainnya telah ditangkap oleh Belanda tanpa menyebutkan nama pasukan tersebut. Untuk nama pasukan yang menyampaikan berita ke Jendral Sudirman yang sebenarnya adalah Letnan Dua Basuki yang menyusul rombongan Jendral Sudirman setelah sesampainya di Kretek.
Saat istirahat di Kretek ini digambarkan adanya tandu yang diperuntukkan untuk Jendral Sudirman. Di film digambarkan ketika Jendral Sudirman bertanya kepada Tjokropranolo untuk siapa tandu tersebut dibuat. Dan dijawab sama Tjokropanolo kalau tandu itu dibuat untuk Jendral Sudirman yang sedang sakit.

 Jendral Sudirman saat ditandu

Padahal di Kretek ini dalam sejarah sebenarnya Jendral Sudirman lalu dijemput lurah Mulyono Djiworedjo, dengan dokar namun tanpa kuda. Tanpa pikir panjang, Pak Dirman dipersilakan untuk naik dokar dan Tjokropranololah yang menjadi kudanya, sedangkan para pengawal lain mendorong dari belakang.  Dan Jendral Sudirman mulai ditandu sejak dari Kelurahan Grogol, Soedirman harus ditandu yang diusung oleh penduduk secara bergantian.  Bila tidak ditandu, Soedirman naik dokar, seperti dari Playen ke desa Semanu. Dari Semanu, Soedirman ditandu lagi sampai Bedoyo dan sambung lagi dengan dokar yang lengkap dengan kudanya. Bahkan, bila rutenya jalan raya, rombongan Soedirman memakai mobil, seperti dari Pracimantoro sampai Wonogiri dan Wonogiri menuju Ponorogo. Mobil itu kiriman Staf Divisi Kolonel Gatot Subroto dari Solo. Namun, bila medannya berat dan tidak bisa ditandu atau digendong, Soedirman pun jalan kaki, seperti saat menuju markas Gatot Subroto di Gunung Lawu.
Di dalam film juga digambarkan Jendral Sudirman selalu diburu oleh pasukan Belanda hanya anehnya setiap masuk daerah baru yang menemui langsung menyebutkan nama Jendral Sudirman. Padahal dalam kenyataannya karena selalu diburu oleh Belanda maka nama Soedirman harus lenyap. Sebagai gantinya dipergunakan nama Semenjak berada berada di selatan Yogyakarta, Jendral Soedirman menggunakan nama samaran Bapak Gede Abdullah Lelono Putro (Pak De).
Di film ini juga digambarkan saat Tan Malaka berada di Kediri sekitar akhir bulan Desember 1948. Hanya disini Tan Malaka di Kediri digambarkan sendiri padahal sejarah aslinya Tan Malaka berada di Kediri bersama dengan Roestam Effendi. Keberadaan Tan Malaka di Kediri ini juga digambarkan adanya pasukan yang pro Tan Malaka dengan tanda kain merah di lengannya. Tapi di film ini tidak disebutkan secara jelas dari kesatuan mana pasukan yang di lengannya ada tanda kain merah. Mungkin pasukan yang di lengan ada tanda kain merah ini untuk menggambarkan pasukan pemuda Maluku yang dahulu anggota Laskar Pattimura yang dipimpin oleh Mohamad Padang dimana pada tahun 1948 kemudian masuk TNI.  Laskar pattimura ini Roestam Effendi memiliki pengaruh juga oleh karena kedua adiknya yaitu Abidin dan Deibel berada juga di sana.
Mungkin juga pasukan berkain merah di lengannya ini adalah pasukan Mayor Sabaruddin. Mayor Sabaruddin menjalin hubungan yang lebih akrab dengan Tan Malaka, sahabat barunya yang dia kenal sewaktu mereka berdua sama-sama dipenjara di Ambarawa. Tan Malaka membutuhkan dukungan di kalangan militer sehingga mengira mampu memperoleh peluang pula melalui tokoh Mayor Sabaruddin. Begitu pula Mayor Sabaruddin, Perasaan senasib dalam penjara, menyebabkan dia dengan mudah jatuh dibawah pengaruh Tan Malaka. Sejak itu ia bukan hanya menjadi pengikut, tetapi juga menjadi pengagum Tan Malaka yang fanatik, selalu hadir disetiap pertemuan-pertemuan rahasianya, dan menjadi pengawal pribadinya.
Di film ini pada periode Agresi Militer Belanda ke II digambarkan Tan Malaka berceramah dengan latar belakang lambang partai terlarang.  Dalam kenyataannya pada saat Agresi Militer Belanda ke II Tan Malaka mencoba untuk mengambil kesempatan untuk mengambil alih pimpinan perjuangan melawan Belanda dengan mencoba menyiarkan kampanye anti Soekarno Hatta melalui radio diwaktu bergerilya bersama Mayor Sabaruddin didaerah Gunung Wilis.
Di film juga digambarkan pasukan Jendral Sudirman bertemu dengan segerombolan pasukan yang marah-marah karena kota Kediri di bom oleh Belanda gerombolan ini mencari Jendral Sudirman, namun oleh pasukan Jendal Sudirman disebutkan kalau mereka membawa orang sakit.
Dalam kisah sejarah sebenarnya Pernah suatu ketika, rombongan pasukan Jendral Sudirman bertemu dengan pasukan dan laskar rakyat lainnya di wilayah Kediri. Saat itu, pasukan Jendral Sudirman tidak bisa mengidentifikasi mana lawan dan kawan. Karena susah membedakan mana lawan dan kawan hal inilah yang menjadi pertimbangan pasukan kemudian dibagi dua. Pembelahan pasukan tersebut kemudian dilakukan dengan membuat iring-iringan Jenderal Soedirman palsu.
Selanjutnya terdapat adegan sebuah tandu yang dikawal oleh pasukan dan setelah itu seorang keluar dari tandu dan melepaskan mantelnya lalu meletakkan mantelnya dan selanjutnya masuk rumah lalu lari lewat belakang rumah. Selanjutnya datang pasukan Belanda untuk mencari Jendral Sudirman. Dan di sini tanpa disebutkan siapa nama prajurit tersebut.
Padahal menurut penuturan Tjokropranolo sendiri di dalam rombongan Jendral Sudirman ini seperti disebutkan di depan ada anggota yang bernama Letnan Muda (laut) Heru Kesser, yang wajah dan perawakannya mirip Pak Dirman. Maka Pak Dirman palsu ini kami beri mantel dan tutup kepala beliau dan tetap menempuh rute yang sudah ditentukan. Sedangkan Pak Dirman yang asli kami lewatkan ke rute lain sehingga rombongan terhindar dari sergapan tentara Belanda.
Taktik “Soedirman palsu” itu berhasil antara lain di Kediri di akhir bulan Desember 1948. Keberadaan Jenderal Soedirman di rumah Mustajab Gombloh, Dusun Karangnongko, Kediri, telah tercium mata-mata Belanda. Hingga pada pagi buta, Ahad, 26 Desember 1948, sang Jenderal terpaksa dipapah menerobos hutan. Menuju hutan, ia tidak lagi menumpang tandu. Bangku gendong itu dipakai Heru sebagai Soedirman palsu. eesokan harinya, seorang warga Karangnongko baru tahu keberadaan Soedirman. Jaminan warga Karangnongko diberi tahu bahwa Pak Dirman berada di hutan utara dusun dan membutuhkan tandu baru. Janmingan adalah mantan pembantu Kepala Dusun Karangnongko. Pria 93 tahun ini satu di antara sejumlah orang yang menyaksikan rombongan Soedirman palsu keluar dari rumah Mustajab. Rupanya, kata Jamingan, Soedirman berada di rumah Pardi, seorang penduduk di Dusun Dasun, sebelah utara Karangnongko. Ia pun menyusul ke sana. Di rumah Pardi, Jamingan merakit tandu untuk sang Jenderal. Bangkunya merupakan pinjaman dari si empunya rumah. "Karena terburu-buru, kami membuat tandu dari kursi yang diikat ke batang bambu, dari situ, Soedirman melanjutkan perjalanan ke utara dan sampai di Dusun Goliman. Di dukuh itu, ia lebih berhati-hati. Soedirman memilih tinggal di rumah terpencil dan tertutup pepohonan. Kepada warga, ia mengaku sebagai kepala sekolah yang memiliki panggilan Mantri Guru.
Di tempat lain, rombongan Soedirman palsu terus berjalan. Hingga mereka menemukan rumah di pinggir sawah dekat perbatasan antara Dusun Besuki dan Desa Joho. Layaknya Soedirman yang sedang sakit, Heru dipapah masuk ke rumah.
Kapten Tjokropranolo, sang pemapah Soedirman, mengatakan bila semua itu dilakukan untuk menyelamatkan nyawa sang Jenderal. Para pengawal menduga orang itu mata-mata karena pasukan Belanda sudah menduduki pusat Kota Kediri.
Belanda diduga sudah mengendus jejak mereka. Sebab, baru satu malam mereka tinggal di Karangnongko, seseorang tak dikenal mendatangi rumah Mustajab, tempat Soedirman menginap. Ia menanyakan keberadaan Soedirman dan ingin bertemu. Strategi itu terbukti manjur. Sore harinya, tiga pesawat pemburu Belanda mengebom rumah yang dimasuki Soedirman palsu. Rumah hancur berkeping-keping, tapi tak ada korban jiwa di sana. Tanpa pakai atribut Soedirman, Letnan Muda (Laut) Heru Kesser menyelinap ke luar rumah sebelum pesawat pemburu Belanda datang.
Di film rumah tersebut bukan di bom pesawat pemburu Belanda akan tetapi diburu oleh pasukan baret merah Belanda yang akhirnya mereka tidak menemukan Jendral Sudirman.......dengan kondisi rumah yang tetap utuh padahal aslinya rumah tersebut hancur luluh lantak dibom pesawat Belanda.
Lalu taktik ini juga dilakukan saat di Wonosari, dimana Kapten Nolly –panggilan Tjokropranolo– mengumumkan bahwa Soedirman ada di kota itu. Belanda pun menyerang besar-besaran dengan menerjunkan pasukan para di kota itu untuk menangkap Soedirman, yang ternyata palsu. Mujur, “Soedirman palsu” pun berhasil lolos. Untuk yang di Wonosari ini kemungkinan pada periode sekitar 10 Maret 1949 sd 22 Maret 1949 dimana pasukan 1e Para Cie Compagnie dan 2e Para Cie Compagnie diterjunkan di Gading untuk memburu Jendral Sudirman dan pemancar radio PC 2 di Playen. Namun usaha Belanda ini gagal total dan ditariknya kembali pasukan Para Cie Compagnie ke Bandung lagi.
Lanjut ketika pasukan Jendral Sudirman menyerap pasukan Belanda dan saat lari Kopral Aceng tertembak kakinya dan ditempatkan di rumah penduduk. Setelah beberapa lama ada penyergapan pasukan Belanda dan lagi-lagi oleh pasukan baret merah Belanda dan saat mundur Kopral Aceng disembunyikan di bawah jerami dan pasukan Belanda lalu menembak mati pemilik rumah penduduk desa. Saat pasukan Jendral Sudirman berada di atas bukit ternyata ada perbekalan berupa beras yang tertinggal di desa dan ketika Jendral Sudirman akan berganti baju baru tersadar kalau koper Jendral Sudirman juga tertinggal di rumah penduduk desa yang digambarkan tadi ditembak. Di film disebutkan meminta Mustafa (Mus) dan temannya untuk mengambil beras dan Soepardjo Roestam dan Karsani ke desa untuk mengambil koper dan sesampainya di desa Soepardjo Roestam dan Karsani bisa mengambil koper yang ditemui oleh putri pemilik rumah.
Padahal kisah sebenarnya menurut penuturan ajudan II Abu Arifin disebutkan bahwa suatu waktu ketika berada di daerah Kediri, Jawa Timur, pasukan Jenderal Soedirman terdesak masuk ke dalam hutan rotan di wilayah tersebut. Saat itu, jelasnya, pasukan mengalami kelelahan yang sangat luar biasa karena dikepung pasukan Belanda di sekitar hutan. Menurut penuturan Abu Arifin saat itu, rombongan pasukan Jendral Sudirman terdesak dan akhirnya masuk ke dalam hutan rotan yang berada di sekitar Kediri. Bahkan, logistik pasukan sudah tidak mendukung karena pasukan Jendral Sudirman tidak bisa keluar hutan. Meski berada dalam kondisi kelaparan yang luar biasa, pasukan masih tetap bertahan untuk melakukan perlawanan. Hingga akhirnya di suatu malam, Ajudan I Jenderal Soedirman, Soepardjo Rustam menembus barikade tentara Belanda menuju desa terdekat di kawasan hutan rotan. Abu Arifin ingat waktu itu, Soepardjo Rustam membawa sarung dan baju bekas menembus barikade pasukan Belanda yang mengepung pasukan Jendral Sudirman. Pardjo saat itu menembus sendiri barikade pasukan Belanda, tujuannya ternyata ingin menukar sarung dan baju bekas dengan makanan, Dalam kegelapan malam tersebut, Supardjo Rustam menembus barikade pasukan Belanda yang lengah. Hingga akhirnya, Supardjo Rustam berhasil kembali membawa bahan makanan untuk pasukan yang dipimpin Jenderal Soedirman saat melakukan perang gerilya. Parjo (Suparjo Rustam) ternyata berhasil menembus barikade dan membawa pulang logistik berupa makanan. Namun, logistik yang didapat ternyata terbatas. Saat itu, pasukan Jendral Sudirman kira membawa nasi tapi ternyata yang didapat adalah nasi oyek. Dan pasukan Jendral Sudirman tetap membaginya untuk menambah energi pasukan.
Lalu setelah tertembaknya seorang mata-mata Belanda, rombongan Jendral Sudirman lalu sampai di Sobo Pacitan Jawa Timur dan menjadikan Sobo sebagai basis gerilya. Memang Sobo ini menjadi tempat Soedirman memimpin gerilya paling lama (1 April-7 Juli 1949).
Selanjutnya di film ini juga ada adegan tentang perintah Jendral Sudirman kepada Kapten Tjokropranolo untuk mengamati keadaan di Yogyakarta bersama juga dengan dr. Suwondo, serta adik iparnya Jendral Sudirman yaitu Hanung. 

 Saat Nolly dan dr Suwondo diperintah bersama Hanum ke Yogyakarta. Nampak adegan ketika tokoh Karsani gugur karena ditembak oleh Belanda

Padahal dalam catatan sejarah memang benar Jendral Sudirman dalam mencermati keadaan, tak jarang memerintahkan ajudan I Kapten Soepardjo Roestam, untuk terus mencari informasi tentang keadaan di Yogyakarta.  Jendral Sudirman sering menyuruh ajudan pribadinya, Pak Soepardjo Roestam, mencari info untuk masuk Yogya, sekalian minta laporan kondisi tiap front dari komandan brigadenya.
Sedangkan Hanung juga sering diminta oleh Jendral Sudirman untuk menemui kakaknya yang nota bene istrinya Jendral Sudirman yaitu Siti Alfiah. Jika mereka kekurangan makanan. Untuk menutupinya, Soedirman mengirim sang adik ipar, Hanung Faeni, kembali ke Yogyakarta. Ditemani sopir pribadi Soedirman, Hainun Suhada, Hanung berjalan kaki untuk menyampaikan pesan sang Jenderal ke istrinya, Siti Alfiah.
Dalam amanat itu, Soedirman meminta perhiasan Alfiah untuk membiayai perang. Kata anak bungsu Soedirman, Teguh Bambang Tjahjadi, ayahnya sudah berpesan bila ia akan meminta perhiasan itu jika dibutuhkan. “Perhiasan dibarter ayam dan beras,” kata Teguh.
Dan yang penting lagi dr W Hutagalung dimana beliau sekitar awal Februari 1948 di perbatasan Jawa Timur, Letkol. dr. Wiliater Hutagalung - yang sejak September 1948 diangkat menjadi Perwira Teritorial dan ditugaskan untuk membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III - bertemu dengan Panglima Besar Sudirman guna melaporkan mengenai resolusi Dewan Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut dan melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Melalui Radio Rimba Raya, Panglima Besar Sudirman juga telah mendengar berita tersebut. Panglima Besar Sudirman menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil guna meng-counter propaganda Belanda. Dan sebagai dokter spesialis paru, setiap ada kesempatan, dr W Hutagalung juga ikut merawat Pangsar yang saat itu menderita penyakit paru. Selain sebagai dokter Hutagalung, yang membentuk jaringan di wilayah Divisi II dan III, dapat selalu berhubungan dengan Panglima Besar, dan menjadi penghubung antara Panglima Besar dengan Panglima Divisi II, Kolonel Gatot Subroto dan Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng. Pemikiran yang dikembangkan oleh Hutagalung adalah, perlu meyakinkan dunia internasional terutama Amerika Serikat dan Inggris, bahwa Negara Republiok Indonesia masih kuat, ada pemerintahan (Pemerintah Darurat Republik Indonesia – PDRI), ada organisasi TNI dan ada tentaranya. Untuk membuktikan hal ini, maka untuk menembus isolasi, harus diadakan serangan spektakuler, yang tidak bisa disembunyikan oleh Belanda, dan harus diketahui oleh UNCI (United Nations Commission for Indonesia) dan wartawan-wartawan asing untuk disebarluaskan ke seluruh dunia.
Untuk menyampaikan kepada UNCI dan para wartawan asing bahwa Negara Republik Indonesia masih ada, diperlukan pemuda-pemuda berseragam Tentara Nasional Indonesia, yang dapat berbahasa Inggris, Belanda atau Perancis. Pangsar menyetujui gagasan tersebut dan menginstruksikan Hutagalung agar mengkoordinasikan pelaksanaan gagasan tersebut dengan Panglima Divisi II dan III.
Letkol dr. Hutagalung masih tinggal beberapa hari guna membantu merawat Panglima Besar, sebelum kembali ke markas di Gunung Sumbing. Sesuai tugas yang diberikan oleh Panglima Besar, dalam rapat pimpinan tertinggi militer dan sipil di wilayah Gubernur Militer III, yang dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 1949 di markas yang terletak di lereng Gunung Sumbing.
Selain Gubernur Militer/Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng, dan Letkol dr. Wiliater Hutagalung, juga hadir Komandan Wehrkreis II, Letkol. Sarbini Martodiharjo, dan pucuk pimpinan pemerintahan sipil, yaitu Gubernur Sipil, Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro, Residen Banyumas R. Budiono, Residen Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking dan Bupati Sangidi.
Letkol dr. Wiliater Hutagalung yang pada waktu itu juga sebagai penasihat Gubernur Militer III menyampaikan gagasan yang telah disetujui oleh Pangsar, dan kemudian dibahas bersama-sama.
Tapi sayangnya sosok seorang Hutagalung di film ini tidak dimunculkan malah perannya sepertinya tergantikan oleh dr Suwondo.
Di bagian akhir nampak digambarkan kejadian dimana Tan Malaka ditangkap dan ditembak mati oleh tentara Militer Divisi I Jawa Timur. Hanya saja dalam film ini tidak disebutkan secara detail tanggal dan dimana Tan Malaka ditangkap dan dieksekusi dan siapa yang melakukan eksekusi terhadap Tan Malaka.  Sebagai catatan Tan Malaka ditangkap bersama Sabaruddin oleh pasukan kompi 45 Macan Kerah dibawah pimpinan Kapten Sampoerno pada tanggal 19 Februari 1949. Sabaruddin ini ditangkap karena dianggap tidak loyal terhadap pimpinan TNI.  Kapten Sampurno mengepung markas Mayor Sabaruddin di Belimbing, Kediri arah utara, dari 4 penjuru. Pengepungan mendadak itu berhasil mengunci dan menjebak pasukan Mayor Sabaruddin. Tan Malaka dan sekitar kurang lebih 100 pasukannya berhasil dilucuti.
Dalam perjalanan menggiring para tawanan, Kompi 45 mendadak diserang oleh pasukan Mayor Sabaruddin yang lain, pimpinan Kapten Achmad Ismail didaerah Nganjuk. Akibat serangan itu, para tawanan berhasil meloloskan diri, mereka terbagi dalam 3 rombongan, dua rombongan bersama Mayor Sabaruddin bergerak ke timur menyeberangi Kali Brantas, sedang rombongan yang lain termasuk Tan Malaka bergerak ke selatan menuju ke Trenggalek. Waktu rombongan Tan Malaka tiba di desa Mojo, kurang lebih 10 km di selatan Kediri di tepi Kali Brantas, mereka kepergok pasukan TNI dan di tempat inilah Tan Malaka ditembak hingga tewas. Rombongan Mayor Sabaruddin di sebelah timur Kali Brantas bertemu dengan Mayor Banuredjo, komandan Batalyon 22 beserta dua perwira stafnya Kapten Rustamandji dan Letnan Pamudji. Mayor Sabaruddin menangkap dan menawan ketiga perwira tersebut dan selanjutnya membunuhnya di Malang Selatan.
Kematian Banuredjo menambah murka Surachmad dan para komandan brigade di Jawa Timur lainnya. Dan Mayor Sabaruddin, meski berhasil meloloskan diri, makin terdesak oleh tentara yang terus mengejarnya. November 1949 pasukannya terjepit di Kawi Selatan, Malang. Kolonel Soengkono, panglima dan gubernur militer di Jawa Timur, membujuk Mayor Sabaruddin lewat surat. Isi surat tersebut ialah perintah supaya Mayor Sabaruddin menghadap Soengkono di Surabaya, hendak diajak membahas upaya perundingan gencatan senjata antara TNI-Belanda. Kali ini Mayor Sabaruddin melunak. Dengan menunggang kuda, Mayor Sabaruddin turun gunung menuju Surabaya. Tapi sesampainya di Surabaya, Soengkono sudah bertolak ke Nganjuk, tempat dilangsungkannya perundingan gencatan senjata itu.
Mayor Sabaruddin bertemu dengan tentara-tentara Belanda yang juga akan berangkat ke Nganjuk untuk perundingan. Mengingat pangkatnya yang lumayan tinggi, dia diperlakukan dengan hormat oleh Belanda. Bahkan dia difasilitasi mobil dan berbarengan dengan delegasi Belanda berangkat ke Nganjuk.
Di Nganjuk, pada saat para komandan sedang rapat, tiba-tiba datang Mayor Mayor Sabaruddin hendak turut serta menghadiri rapat tersebut. Kehadiran Mayor Sabaruddin yang tak diundang itu cukup mengejutkan dan menggelisahkan para perwira yang hadir, terutama bagi perwira pasukan yang pernah ditugaskan menangkap, bertempur melawannya. Mayor Sabaruddin yang berkali-kali telah bikin onar dan bertanggung jawab atas tewasnya sejumlah orang, dinilai tidak bisa lagi diampuni.
Usai perundingan, Kolonel Soengkono mengajak Mayor Sabaruddin menuju markasnya di Ngluyu, juga di kabupaten yang sama. Pada kesempatan itu beberapa pengikutnya yang masih bersimpati turut memohon kepada Soengkono supaya Mayor Sabaruddin dimaafkan. Namun, Soengkono sudah mengambil keputusan. Mayor Sabaruddin ditahan.
Surachmad yang masih menyimpan dendam kepada Mayor Sabaruddin turut mendengar bahwa Mayor Sabaruddin hendak dihukum tahanan. Dia menganggap hukuman itu tak tak cukup setimpal. Ketika Letkol Surachmad mendengar kejadian tersebut, ia memerintahkan CPM (Corps Polisi Militer) yang di bawah komandonya untuk mengambil Mayor Sabaruddin dan membawanya ke Madiun untuk diadili.
Sekitar 24 November 1949, sesuai kehendak Surachmad, anggota CPM menyeret Mayor Sabaruddin ke Madiun. Dalam perjalanan menuju Madiun, di Wilangan, Mayor Sabaruddin dieksekusi sesudah pengadilan militer di medan perang menjatuhkan hukuman mati. Berakhirlah petualangan Mayor Sabaruddin.
Di film ini digambarkan datangnya utusan yang menemui Jendral Sudirman namun di film ini tidak disebutkan secara detail siapa utusan yang menemui Jendral Sudirman serta lokasi dimana pertemuan ini dilakukanpun tidak disebutkan. Padahal aslinya pada tanggal 8 Juli 1949 Letkol Suharto dari Yogya ke Wonosari kami naik jip milik UNCI (United Nations Commission on Indonesia) yang disetir sendiri oleh Letkol Soeharto, yang baru berusia 28 tahun, berpakaian seragam putih dengan syal leher serta peci bivak warna hitam. Dari Wonosari naik sepeda menyisir Gunung Kendeng, lalu berjalan kaki hingga tiba pukul 20.00 di Desa Ponjong, markas Sudirman. Tujuan dari menjemput Jenderal Sudirman agar dunia internasional diberi tahu tidak ada perbedaan antara Soekarno-Hatta dan Sudirman (tentara) dalam pelaksanaan persetujuan Roem-Royen mengenai penyerahan kedaulatan melalui Konferensi Meja Bundar di Den Haag.
Lalu digambarkan juga adanya surat dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang disampaikan kepada Jendral Sudirman dan surat dari Sultan HB IX yang membuat luluh hati Jendral Sudirman.  Padahal baik surat pemanggilan dari sang proklamator pun belum bisa membujuk Pangsar Soedirman dengan segera kembali, begitu pun surat-surat lain dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Kolonel Gatot Soebroto pun nihil hasilnya.


 Gambaran Jendral Sudirman di Gedung Agung bersama
Presiden Ir. Soekarno dan Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta 

Dan di bagian akhir film ini digambarkan kejadian tanggal 10 Juli 1949 dimana Jendral Sudirman diantarkan ke Gedung Agung dan menemui Presiden Sukarno dan Muh Hatta lalu Jendral Sudirman dipeluk oleh Presiden Sukarno yang mana adegan ini sampai diulang 2 kali untuk tujuan pendokumentasian. Hanya saja peran Letkol Suharto dalam mendampingi Jendral Sudirman saat masuk ke Yogyakarta hingga diantar ke Gedung Agung tidak digambarkan dalam film ini. Dan juga tidak digambarkan peran TB Simatupang yang mana beliaulah yang menyarankan agar Jendral Sudirman menemui Presiden Sukarno dan wakil Presiden Muhammad Hatta sebelum menginspeksi pasukannya di alun-alun.
Dan juga dalam film ini tidak pernah digambarkan adanya sosok Letkol Suadi yang selalu menggunaan baret hitam (gelap) dan membawa senapan M1 Carabine dimana beliau ini yang sejak Maret 1949 selalu mengawal Jendral Sudirman termasuk saat Jendral Sudirman akan masuk dan sesaat memasuki Yogyakarta dan menginspeksi pasukannya di alun-alun utara Yogyakarta banyak dokumentasi foto yang memperlihatkan adanya Letkol Suadi saat mengawal Jendal Sudirman.

Seperti yang teruraikan di atas tokoh-tokoh kunci seperti Letnan Muda (Laut) Heru Kesser, Letkol Suadi, dr. W Hutagalung tidak dimunculkan dalam film ini dan di film ini lebih banyak menceritakan tentang Kopral Aceng. Kopral Aceng ini memang salah satu pengawal Jendral Sudirman akan tetapi perannya dalam sejarah tidak sebanyak tokoh Letnan Muda (Laut) Heru Kesser. Letnan Muda (Laut) Heru Kesser ini merupakan tokoh kunci dalam gerakan gerilya Jendral Sudirman karena Letnan Muda (Laut) Heru Kesser ini menurut penuturan ajudan II Abu Arifin kemudian menjadi "Jendral Sudirman" palsu yang mana kemudian rombongan Jendral Sudirman dipecah menjadi 2 yaitu rombongan Jendral Sudirman asli dan rombongan Jendral Sudirman palsu. Di rombongan Jendral Sudirman palsu ini pada akhirnya mereka bertemu kembali banyak anggotanya yang gugur. Dan juga di film ini dimunculkan adanya tokoh semacam Karsani yang di film ini digambarkan lalu gugur sebagai kusuma bangsa. Saya melihat tokoh Karsani ini sebagai penggambaran para pahlawan tidak dikenal yang merupakan para pengawal Jendral Sudirman.
Kemudian di film ini penggambaran pasukan Belanda yang selalu nampak pasukan KST dan semua menggunakan baret merah dan baju doreng frogskin. Padahal aslinya pasukan ini selain baret merah juga ada yang baret hijau serta bajunya campur aduk ada yang doreng frogskin ada yang baju hijau-hijau. Dan persenjataan yang digunakan oleh para pasukan KST ini kebanyakan M1 Garrand. Padahal aslinya pasukan KST ini kebanyakan menggunakan senapan sub machine gun Owen Gun dan ada beberapa yang menggunakan senapan laras panjang Lee Enfield atau lebih dikenal dengan senapan LE. Dan di film ini juga ada penampakan mobil jeep dengan stir kanan padahal di masa itu seluruh mobil jeep ang digunakan adalah stir kiri. Selain itu juga ada penampakan mobil jeep dengan snorkel untuk knalpotnya.......serta ada jeep yang ada lambang bintangnya malah di jeep tidak ada penampakan lambang bendera Belanda dan no seri yang umum terlihat di foto dokumentasi tentang kendaraan jeep yang digunakan oleh pasukan Belanda di Indonesia di masa itu.
Sebagai film untuk tontonan termasuk bagus, tapi untuk film yang digunakan untuk edukasi mengenai sejarah sangat disayangkan kurang pas karena banyak kejadian yang tidak seperti aslinya. Dan ini jika film ini dilihat para pelajar atau orang yang ingin tahu mengenai sejarah sangat kurang baik. 
Seperti diulas beberapa pihak lain film ini juga sedikit meremehkan peran Presiden Sukarno yang digambarkan menolak untuk ikut berjang. Meskipun memang dalam kenyataannya Presiden Sukarno menolak untuk bergerilya tapi penggambaran dalam film ini saat bercakap-cakap dengan Jendral Sudirman agak kurang pas.
Memang saya akui sulit membuat film yang berhubungan dengan sejarah masa lalu. Serta ini memang bukan film dokumenter akan tetapi alangkah baiknya jika film dibuat sesuai dengan fakta sejarah serta per adegan yang menyangkut kejadian nyata disertakan lokasi dan tanggal kejadian sehingga penonton film bisa dapat informasi yang tepat serta bisa memahami setiap kejadian secara runut dan menarik.
Semoga saja kelemahan-kelemahan yang ada di film ini bisa diperbaiki oleh sineas-sineas di Indonesia.
Dan sebagai penutup saya tekankan saya bukan bermaksud memojokkan film ini hanya ingin memberikan ulasan demi kemajuan perfilman khususnya perfilman tentang perjuangan agar menarik dan disukai penonton film yang ada di Indonesia.
Kalau ada yang kurang berkenan dengan tulisan saya ini saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.

3 komentar:

  1. Halo, nama saya Nona. Dwiokta Septiani Saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati karena ada penipuan di mana-mana. Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial, dan putus asa, saya scammed oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai seorang teman saya merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Anita Charles pemberi pinjaman cepat, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 430 juta dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres pada tingkat bunga hanya 2%. Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah i diterapkan untuk dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan. Jadi saya berjanji saya akan berbagi kabar baik, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda membutuhkan semacam pinjaman, hubungi Ibu Anita melalui email: anitacharlesqualityloanfirm@mail.com.
    Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: septianidwiokta@gmail.com
    Sekarang, semua saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman yang saya kirim langsung ke rekening mereka.

    BalasHapus
  2. produksi film ini lebih kepada penyelesaian project event 17 an saja,tanpa riset yg cukup,karena biaya riset mahal and ga cukup buat bagi2 para petinggi di republik ini,jadi yg terpenting filmnya udah jadi,project berhasil "bapak senang" fulus pun cair...beres dah...sementara yg ditampilkan ga sesuai fakta sejarah dah.

    BalasHapus
  3. Simpel aja.. aku butuh keteladanan visual.. dan film ini memberikannya

    BalasHapus