Ulasan Film Jendral Sudirman
"Review of Soedirman General Movie"
"Review of Soedirman General Movie"
Melihat film "Jendral Sudirman" dimana film ini dibuat untuk
memperingati 70 tahun Indonesia Merdeka, maka saya bersama teman-teman
komunitas Djokjakarta 1945 melihat film Jendral Sudirman. Walaupun kami
tahu ada beberapa orang yang melihat film ini memberikan kritik tentang
materi film ini.Tapi sebelumnya walaupun belum sempurna saya ingin
memberikan gambaran tentang film Jendral Sudirman ini. Dan ulasan
tentang sejarah yang terjadi sebenarnya.
Beberapa anggota Komunitas Penggiat Sejarah Djokjakarta 1945
melihat film Jendral Sudirman
Setelah melihat film
Jendral Sudirman nampak di dalamnya ada adegan peristiwa pada tanggal 28
Juni 1946 dimana saat Sjahrir tiba di Solo para anggota polisi pengawal
Sjahrir pun tak berdaya ketika komplotan PP dan regu Batalion Sastro
Lawu pimpinan Letkol Suadi membawa Sjahrir tanpa perlawanan. Namun dalam
film Jendral Sudirman tidak disebutkan secara detail darimana para
penculik itu berasal.
Selanjutnya pada saat terjadinya Agresi
Militer Belanda ke II dan Bapak Sudirman dari Bintaran ke Gedung Agung
yang jelas nampak adalah kapten Tjokropranolo. Dan untuk saat Jendral
Sudirman keluar kota Yogyakarta banyak beberapa tokoh yang tidak
disebutkan keberadaannya semisal penasehat politik yaitu Harsono
tjokroaminoto (mantan Menteri Muda Pertahanan semasa Kabinet Sjahrir III
(1946-1947)), Letnan muda Laut Heru Kesser, Vaandrig Kadet Utoyo
Kolopaking. Di film ini hanya disebutkan beberapa saja semisal dr
Suwondo, Kapten Tjokropranolo (Nolly) dan Kapten Supardjo Roestam (Djo),
serta Kopral Aceng. Saat evakuasi Jendral Sudirman keluar kota
Yogyakarta digambarkanJendal Sudirman menggunakan mobil
sedan........sedangkan aslinya rombongan Pak Dirman yang menggunakan
sejumlah jip sengaja berangkat sore hari. Mobil jeep Pak Dirman
yang dikemudikan sopir pribadinya, Ateng, ditumpangi Supardjo Rustam
yang duduk di sebelah kanan pengemudi. Sedangkan Pak Dirman duduk di
tengah diapit Dr Suwondo di sebelah kanan dan Harsono di sebelah kiri.
Sedangkan Tjokropranolo yang bertugas sebagai penunjuk jalan duduk di
atas spakbor. Di film tersebut malah tidak ada penampakan Kapten
Tjokropranolo duduk di atas spakbor.
Dan selanjutnya di film
digambarkan rombongan Jendral Sudirman bersembunyi di salah satu gua
yang ada di sekitar pantai selatan tanpa menyebutkan lokasinya tepat
dimana. Memang walaupun sempat terlintas dalam pikiran Kapten
Tjokropranolo, jika perlu Pak Dirman dapat berlindung dalam salah satu
goa yang banyak terdapat di sekitar Parangtritis. Kapten Tjokropranolo
yakin Belanda tidak mungkin bisa menemukannya di situ. Akan tetapi
tempat itu terlampau terjal dan sulit dicapai, sehingga rencana itu oleh
Kapten Tjokropranolo lalu batalkan dan kemudian diputuskan untuk
bersembunyi di kawasan Gunung Kidul.
Dan di film ini digambarkan
juga adanya laporan pasukan yang melaporkan bahwa Soekarno Hatta dan
beberapa pejabat penting lainnya telah ditangkap oleh Belanda tanpa
menyebutkan nama pasukan tersebut. Untuk nama pasukan yang menyampaikan
berita ke Jendral Sudirman yang sebenarnya adalah Letnan Dua Basuki yang
menyusul rombongan Jendral Sudirman setelah sesampainya di Kretek.
Saat
istirahat di Kretek ini digambarkan adanya tandu yang diperuntukkan
untuk Jendral Sudirman. Di film digambarkan ketika Jendral Sudirman
bertanya kepada Tjokropranolo untuk siapa tandu tersebut dibuat. Dan
dijawab sama Tjokropanolo kalau tandu itu dibuat untuk Jendral Sudirman
yang sedang sakit.
Jendral Sudirman saat ditandu
Padahal di Kretek ini dalam sejarah sebenarnya
Jendral Sudirman lalu dijemput lurah Mulyono Djiworedjo, dengan dokar
namun tanpa kuda. Tanpa pikir panjang, Pak Dirman dipersilakan untuk
naik dokar dan Tjokropranololah yang menjadi kudanya, sedangkan para
pengawal lain mendorong dari belakang. Dan Jendral Sudirman mulai
ditandu sejak dari Kelurahan Grogol, Soedirman harus ditandu yang
diusung oleh penduduk secara bergantian. Bila tidak ditandu, Soedirman
naik dokar, seperti dari Playen ke desa Semanu. Dari Semanu, Soedirman
ditandu lagi sampai Bedoyo dan sambung lagi dengan dokar yang lengkap
dengan kudanya. Bahkan, bila rutenya jalan raya, rombongan Soedirman
memakai mobil, seperti dari Pracimantoro sampai Wonogiri dan Wonogiri
menuju Ponorogo. Mobil itu kiriman Staf Divisi Kolonel Gatot Subroto
dari Solo. Namun, bila medannya berat dan tidak bisa ditandu atau
digendong, Soedirman pun jalan kaki, seperti saat menuju markas Gatot
Subroto di Gunung Lawu.
Di dalam film juga digambarkan Jendral
Sudirman selalu diburu oleh pasukan Belanda hanya anehnya setiap masuk
daerah baru yang menemui langsung menyebutkan nama Jendral Sudirman.
Padahal dalam kenyataannya karena selalu diburu oleh Belanda maka nama
Soedirman harus lenyap. Sebagai gantinya dipergunakan nama Semenjak
berada berada di selatan Yogyakarta, Jendral Soedirman menggunakan nama
samaran Bapak Gede Abdullah Lelono Putro (Pak De).
Di film ini
juga digambarkan saat Tan Malaka berada di Kediri sekitar akhir bulan
Desember 1948. Hanya disini Tan Malaka di Kediri digambarkan sendiri
padahal sejarah aslinya Tan Malaka berada di Kediri bersama dengan
Roestam Effendi. Keberadaan Tan Malaka di Kediri ini juga digambarkan
adanya pasukan yang pro Tan Malaka dengan tanda kain merah di lengannya.
Tapi di film ini tidak disebutkan secara jelas dari kesatuan mana
pasukan yang di lengannya ada tanda kain merah. Mungkin pasukan yang di
lengan ada tanda kain merah ini untuk menggambarkan pasukan pemuda
Maluku yang dahulu anggota Laskar Pattimura yang dipimpin oleh Mohamad
Padang dimana pada tahun 1948 kemudian masuk TNI. Laskar pattimura ini
Roestam Effendi memiliki pengaruh juga oleh karena kedua adiknya yaitu
Abidin dan Deibel berada juga di sana.
Mungkin juga pasukan
berkain merah di lengannya ini adalah pasukan Mayor Sabaruddin. Mayor
Sabaruddin menjalin hubungan yang lebih akrab dengan Tan Malaka, sahabat
barunya yang dia kenal sewaktu mereka berdua sama-sama dipenjara di
Ambarawa. Tan Malaka membutuhkan dukungan di kalangan militer sehingga
mengira mampu memperoleh peluang pula melalui tokoh Mayor Sabaruddin.
Begitu pula Mayor Sabaruddin, Perasaan senasib dalam penjara,
menyebabkan dia dengan mudah jatuh dibawah pengaruh Tan Malaka. Sejak
itu ia bukan hanya menjadi pengikut, tetapi juga menjadi pengagum Tan
Malaka yang fanatik, selalu hadir disetiap pertemuan-pertemuan
rahasianya, dan menjadi pengawal pribadinya.
Di film ini pada
periode Agresi Militer Belanda ke II digambarkan Tan Malaka berceramah
dengan latar belakang lambang partai terlarang. Dalam kenyataannya pada
saat Agresi Militer Belanda ke II Tan Malaka mencoba untuk mengambil
kesempatan untuk mengambil alih pimpinan perjuangan melawan Belanda
dengan mencoba menyiarkan kampanye anti Soekarno Hatta melalui radio
diwaktu bergerilya bersama Mayor Sabaruddin didaerah Gunung Wilis.
Di
film juga digambarkan pasukan Jendral Sudirman bertemu dengan
segerombolan pasukan yang marah-marah karena kota Kediri di bom oleh
Belanda gerombolan ini mencari Jendral Sudirman, namun oleh pasukan
Jendal Sudirman disebutkan kalau mereka membawa orang sakit.
Dalam
kisah sejarah sebenarnya Pernah suatu ketika, rombongan pasukan Jendral
Sudirman bertemu dengan pasukan dan laskar rakyat lainnya di wilayah
Kediri. Saat itu, pasukan Jendral Sudirman tidak bisa mengidentifikasi
mana lawan dan kawan. Karena susah membedakan mana lawan dan kawan hal
inilah yang menjadi pertimbangan pasukan kemudian dibagi dua. Pembelahan
pasukan tersebut kemudian dilakukan dengan membuat iring-iringan
Jenderal Soedirman palsu.
Selanjutnya terdapat adegan sebuah tandu
yang dikawal oleh pasukan dan setelah itu seorang keluar dari tandu dan
melepaskan mantelnya lalu meletakkan mantelnya dan selanjutnya masuk
rumah lalu lari lewat belakang rumah. Selanjutnya datang pasukan Belanda
untuk mencari Jendral Sudirman. Dan di sini tanpa disebutkan siapa nama
prajurit tersebut.
Padahal menurut penuturan Tjokropranolo
sendiri di dalam rombongan Jendral Sudirman ini seperti disebutkan di
depan ada anggota yang bernama Letnan Muda (laut) Heru Kesser, yang
wajah dan perawakannya mirip Pak Dirman. Maka Pak Dirman palsu ini kami
beri mantel dan tutup kepala beliau dan tetap menempuh rute yang sudah
ditentukan. Sedangkan Pak Dirman yang asli kami lewatkan ke rute lain
sehingga rombongan terhindar dari sergapan tentara Belanda.
Taktik
“Soedirman palsu” itu berhasil antara lain di Kediri di akhir bulan
Desember 1948. Keberadaan Jenderal Soedirman di rumah Mustajab Gombloh,
Dusun Karangnongko, Kediri, telah tercium mata-mata Belanda. Hingga pada
pagi buta, Ahad, 26 Desember 1948, sang Jenderal terpaksa dipapah
menerobos hutan. Menuju hutan, ia tidak lagi menumpang tandu. Bangku
gendong itu dipakai Heru sebagai Soedirman palsu. eesokan harinya,
seorang warga Karangnongko baru tahu keberadaan Soedirman. Jaminan warga
Karangnongko diberi tahu bahwa Pak Dirman berada di hutan utara dusun
dan membutuhkan tandu baru. Janmingan adalah mantan pembantu Kepala
Dusun Karangnongko. Pria 93 tahun ini satu di antara sejumlah orang yang
menyaksikan rombongan Soedirman palsu keluar dari rumah Mustajab.
Rupanya, kata Jamingan, Soedirman berada di rumah Pardi, seorang
penduduk di Dusun Dasun, sebelah utara Karangnongko. Ia pun menyusul ke
sana. Di rumah Pardi, Jamingan merakit tandu untuk sang Jenderal.
Bangkunya merupakan pinjaman dari si empunya rumah. "Karena
terburu-buru, kami membuat tandu dari kursi yang diikat ke batang bambu,
dari situ, Soedirman melanjutkan perjalanan ke utara dan sampai di
Dusun Goliman. Di dukuh itu, ia lebih berhati-hati. Soedirman memilih
tinggal di rumah terpencil dan tertutup pepohonan. Kepada warga, ia
mengaku sebagai kepala sekolah yang memiliki panggilan Mantri Guru.
Di
tempat lain, rombongan Soedirman palsu terus berjalan. Hingga mereka
menemukan rumah di pinggir sawah dekat perbatasan antara Dusun Besuki
dan Desa Joho. Layaknya Soedirman yang sedang sakit, Heru dipapah masuk
ke rumah.
Kapten Tjokropranolo, sang pemapah Soedirman, mengatakan
bila semua itu dilakukan untuk menyelamatkan nyawa sang Jenderal. Para
pengawal menduga orang itu mata-mata karena pasukan Belanda sudah
menduduki pusat Kota Kediri.
Belanda diduga sudah mengendus jejak
mereka. Sebab, baru satu malam mereka tinggal di Karangnongko, seseorang
tak dikenal mendatangi rumah Mustajab, tempat Soedirman menginap. Ia
menanyakan keberadaan Soedirman dan ingin bertemu. Strategi itu terbukti
manjur. Sore harinya, tiga pesawat pemburu Belanda mengebom rumah yang
dimasuki Soedirman palsu. Rumah hancur berkeping-keping, tapi tak ada
korban jiwa di sana. Tanpa pakai atribut Soedirman, Letnan Muda (Laut)
Heru Kesser menyelinap ke luar rumah sebelum pesawat pemburu Belanda
datang.
Di film rumah tersebut bukan di bom pesawat pemburu
Belanda akan tetapi diburu oleh pasukan baret merah Belanda yang
akhirnya mereka tidak menemukan Jendral Sudirman.......dengan kondisi
rumah yang tetap utuh padahal aslinya rumah tersebut hancur luluh lantak
dibom pesawat Belanda.
Lalu taktik ini juga dilakukan saat di
Wonosari, dimana Kapten Nolly –panggilan Tjokropranolo– mengumumkan
bahwa Soedirman ada di kota itu. Belanda pun menyerang besar-besaran
dengan menerjunkan pasukan para di kota itu untuk menangkap Soedirman,
yang ternyata palsu. Mujur, “Soedirman palsu” pun berhasil lolos. Untuk
yang di Wonosari ini kemungkinan pada periode sekitar 10 Maret 1949 sd
22 Maret 1949 dimana pasukan 1e Para Cie Compagnie dan 2e Para Cie
Compagnie diterjunkan di Gading untuk memburu Jendral Sudirman dan
pemancar radio PC 2 di Playen. Namun usaha Belanda ini gagal total dan
ditariknya kembali pasukan Para Cie Compagnie ke Bandung lagi.
Lanjut
ketika pasukan Jendral Sudirman menyerap pasukan Belanda dan saat lari
Kopral Aceng tertembak kakinya dan ditempatkan di rumah penduduk.
Setelah beberapa lama ada penyergapan pasukan Belanda dan lagi-lagi oleh
pasukan baret merah Belanda dan saat mundur Kopral Aceng disembunyikan
di bawah jerami dan pasukan Belanda lalu menembak mati pemilik rumah
penduduk desa. Saat pasukan Jendral Sudirman berada di atas bukit
ternyata ada perbekalan berupa beras yang tertinggal di desa dan ketika
Jendral Sudirman akan berganti baju baru tersadar kalau koper Jendral
Sudirman juga tertinggal di rumah penduduk desa yang digambarkan tadi
ditembak. Di film disebutkan meminta Mustafa (Mus) dan temannya untuk
mengambil beras dan Soepardjo Roestam dan Karsani ke desa untuk
mengambil koper dan sesampainya di desa Soepardjo Roestam dan Karsani
bisa mengambil koper yang ditemui oleh putri pemilik rumah.
Padahal
kisah sebenarnya menurut penuturan ajudan II Abu Arifin disebutkan
bahwa suatu waktu ketika berada di daerah Kediri, Jawa Timur, pasukan
Jenderal Soedirman terdesak masuk ke dalam hutan rotan di wilayah
tersebut. Saat itu, jelasnya, pasukan mengalami kelelahan yang sangat
luar biasa karena dikepung pasukan Belanda di sekitar hutan. Menurut
penuturan Abu Arifin saat itu, rombongan pasukan Jendral Sudirman
terdesak dan akhirnya masuk ke dalam hutan rotan yang berada di sekitar
Kediri. Bahkan, logistik pasukan sudah tidak mendukung karena pasukan
Jendral Sudirman tidak bisa keluar hutan. Meski berada dalam kondisi
kelaparan yang luar biasa, pasukan masih tetap bertahan untuk melakukan
perlawanan. Hingga akhirnya di suatu malam, Ajudan I Jenderal Soedirman,
Soepardjo Rustam menembus barikade tentara Belanda menuju desa terdekat
di kawasan hutan rotan. Abu Arifin ingat waktu itu, Soepardjo Rustam
membawa sarung dan baju bekas menembus barikade pasukan Belanda yang
mengepung pasukan Jendral Sudirman. Pardjo saat itu menembus sendiri
barikade pasukan Belanda, tujuannya ternyata ingin menukar sarung dan
baju bekas dengan makanan, Dalam kegelapan malam tersebut, Supardjo
Rustam menembus barikade pasukan Belanda yang lengah. Hingga akhirnya,
Supardjo Rustam berhasil kembali membawa bahan makanan untuk pasukan
yang dipimpin Jenderal Soedirman saat melakukan perang gerilya. Parjo
(Suparjo Rustam) ternyata berhasil menembus barikade dan membawa pulang
logistik berupa makanan. Namun, logistik yang didapat ternyata terbatas.
Saat itu, pasukan Jendral Sudirman kira membawa nasi tapi ternyata yang
didapat adalah nasi oyek. Dan pasukan Jendral Sudirman tetap membaginya
untuk menambah energi pasukan.
Lalu setelah tertembaknya seorang
mata-mata Belanda, rombongan Jendral Sudirman lalu sampai di Sobo
Pacitan Jawa Timur dan menjadikan Sobo sebagai basis gerilya. Memang
Sobo ini menjadi tempat Soedirman memimpin gerilya paling lama (1
April-7 Juli 1949).
Selanjutnya di film ini juga ada adegan
tentang perintah Jendral Sudirman kepada Kapten Tjokropranolo untuk
mengamati keadaan di Yogyakarta bersama juga dengan dr. Suwondo, serta adik iparnya Jendral Sudirman yaitu Hanung.
Saat Nolly dan dr Suwondo diperintah bersama Hanum ke Yogyakarta. Nampak adegan ketika tokoh Karsani gugur karena ditembak oleh Belanda
Padahal
dalam catatan sejarah memang benar Jendral Sudirman dalam mencermati
keadaan, tak jarang memerintahkan ajudan I Kapten Soepardjo Roestam,
untuk terus mencari informasi tentang keadaan di Yogyakarta. Jendral
Sudirman sering menyuruh ajudan pribadinya, Pak Soepardjo Roestam,
mencari info untuk masuk Yogya, sekalian minta laporan kondisi tiap front dari komandan brigadenya.
Sedangkan Hanung juga sering diminta oleh Jendral Sudirman untuk menemui kakaknya yang nota bene istrinya Jendral Sudirman yaitu Siti Alfiah. Jika mereka kekurangan makanan. Untuk menutupinya, Soedirman mengirim sang adik ipar, Hanung Faeni, kembali ke Yogyakarta. Ditemani sopir pribadi Soedirman, Hainun Suhada, Hanung berjalan kaki untuk menyampaikan pesan sang Jenderal ke istrinya, Siti Alfiah.
Sedangkan Hanung juga sering diminta oleh Jendral Sudirman untuk menemui kakaknya yang nota bene istrinya Jendral Sudirman yaitu Siti Alfiah. Jika mereka kekurangan makanan. Untuk menutupinya, Soedirman mengirim sang adik ipar, Hanung Faeni, kembali ke Yogyakarta. Ditemani sopir pribadi Soedirman, Hainun Suhada, Hanung berjalan kaki untuk menyampaikan pesan sang Jenderal ke istrinya, Siti Alfiah.
Dalam
amanat itu, Soedirman meminta perhiasan Alfiah untuk membiayai perang.
Kata anak bungsu Soedirman, Teguh Bambang Tjahjadi, ayahnya sudah
berpesan bila ia akan meminta perhiasan itu jika dibutuhkan. “Perhiasan
dibarter ayam dan beras,” kata Teguh.
Dan
yang penting lagi dr W Hutagalung dimana beliau sekitar awal Februari
1948 di perbatasan Jawa Timur, Letkol. dr. Wiliater Hutagalung - yang
sejak September 1948 diangkat menjadi Perwira Teritorial dan ditugaskan
untuk membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III -
bertemu dengan Panglima Besar Sudirman guna melaporkan mengenai
resolusi Dewan Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi
tersebut dan melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik
Indonesia sudah tidak ada lagi. Melalui Radio Rimba Raya, Panglima Besar
Sudirman juga telah mendengar berita tersebut. Panglima Besar Sudirman
menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil
guna meng-counter propaganda Belanda. Dan sebagai dokter spesialis paru,
setiap ada kesempatan, dr W Hutagalung juga ikut merawat Pangsar yang
saat itu menderita penyakit paru. Selain sebagai dokter Hutagalung, yang
membentuk jaringan di wilayah Divisi II dan III, dapat selalu
berhubungan dengan Panglima Besar, dan menjadi penghubung antara
Panglima Besar dengan Panglima Divisi II, Kolonel Gatot Subroto dan
Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng. Pemikiran yang dikembangkan
oleh Hutagalung adalah, perlu meyakinkan dunia internasional terutama
Amerika Serikat dan Inggris, bahwa Negara Republiok Indonesia masih
kuat, ada pemerintahan (Pemerintah Darurat Republik Indonesia – PDRI),
ada organisasi TNI dan ada tentaranya. Untuk membuktikan hal ini, maka
untuk menembus isolasi, harus diadakan serangan spektakuler, yang tidak
bisa disembunyikan oleh Belanda, dan harus diketahui oleh UNCI (United Nations Commission for Indonesia) dan wartawan-wartawan asing untuk disebarluaskan ke seluruh dunia.
Untuk
menyampaikan kepada UNCI dan para wartawan asing bahwa Negara Republik
Indonesia masih ada, diperlukan pemuda-pemuda berseragam Tentara
Nasional Indonesia, yang dapat berbahasa Inggris, Belanda atau Perancis.
Pangsar menyetujui gagasan tersebut dan menginstruksikan Hutagalung
agar mengkoordinasikan pelaksanaan gagasan tersebut dengan Panglima
Divisi II dan III.
Letkol dr. Hutagalung masih tinggal beberapa
hari guna membantu merawat Panglima Besar, sebelum kembali ke markas di
Gunung Sumbing. Sesuai tugas yang diberikan oleh Panglima Besar, dalam
rapat pimpinan tertinggi militer dan sipil di wilayah Gubernur Militer
III, yang dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 1949 di markas yang
terletak di lereng Gunung Sumbing.
Selain Gubernur
Militer/Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng, dan Letkol dr. Wiliater
Hutagalung, juga hadir Komandan Wehrkreis II, Letkol. Sarbini
Martodiharjo, dan pucuk pimpinan pemerintahan sipil, yaitu Gubernur
Sipil, Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro, Residen Banyumas R. Budiono, Residen
Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking dan Bupati
Sangidi.
Letkol dr. Wiliater Hutagalung yang pada waktu itu juga
sebagai penasihat Gubernur Militer III menyampaikan gagasan yang telah
disetujui oleh Pangsar, dan kemudian dibahas bersama-sama.
Tapi sayangnya sosok seorang Hutagalung di film ini tidak dimunculkan malah perannya sepertinya tergantikan oleh dr Suwondo.
Di
bagian akhir nampak digambarkan kejadian dimana Tan Malaka ditangkap
dan ditembak mati oleh tentara Militer Divisi I Jawa Timur. Hanya saja
dalam film ini tidak disebutkan secara detail tanggal dan dimana Tan
Malaka ditangkap dan dieksekusi dan siapa yang melakukan eksekusi
terhadap Tan Malaka. Sebagai catatan Tan Malaka ditangkap bersama
Sabaruddin oleh pasukan kompi 45 Macan Kerah dibawah pimpinan Kapten
Sampoerno pada tanggal 19 Februari 1949. Sabaruddin ini ditangkap karena
dianggap tidak loyal terhadap pimpinan TNI. Kapten Sampurno mengepung
markas Mayor Sabaruddin di Belimbing, Kediri arah utara, dari 4 penjuru.
Pengepungan mendadak itu berhasil mengunci dan menjebak pasukan Mayor
Sabaruddin. Tan Malaka dan sekitar kurang lebih 100 pasukannya berhasil
dilucuti.
Dalam perjalanan menggiring para tawanan, Kompi 45
mendadak diserang oleh pasukan Mayor Sabaruddin yang lain, pimpinan
Kapten Achmad Ismail didaerah Nganjuk. Akibat serangan itu, para tawanan
berhasil meloloskan diri, mereka terbagi dalam 3 rombongan, dua
rombongan bersama Mayor Sabaruddin bergerak ke timur menyeberangi Kali
Brantas, sedang rombongan yang lain termasuk Tan Malaka bergerak ke
selatan menuju ke Trenggalek. Waktu rombongan Tan Malaka tiba di desa
Mojo, kurang lebih 10 km di selatan Kediri di tepi Kali Brantas, mereka
kepergok pasukan TNI dan di tempat inilah Tan Malaka ditembak hingga
tewas. Rombongan Mayor Sabaruddin di sebelah timur Kali Brantas bertemu
dengan Mayor Banuredjo, komandan Batalyon 22 beserta dua perwira stafnya
Kapten Rustamandji dan Letnan Pamudji. Mayor Sabaruddin menangkap dan
menawan ketiga perwira tersebut dan selanjutnya membunuhnya di Malang
Selatan.
Kematian Banuredjo menambah murka Surachmad dan para
komandan brigade di Jawa Timur lainnya. Dan Mayor Sabaruddin, meski
berhasil meloloskan diri, makin terdesak oleh tentara yang terus
mengejarnya. November 1949 pasukannya terjepit di Kawi Selatan, Malang.
Kolonel Soengkono, panglima dan gubernur militer di Jawa Timur, membujuk
Mayor Sabaruddin lewat surat. Isi surat tersebut ialah perintah supaya
Mayor Sabaruddin menghadap Soengkono di Surabaya, hendak diajak membahas
upaya perundingan gencatan senjata antara TNI-Belanda. Kali ini Mayor
Sabaruddin melunak. Dengan menunggang kuda, Mayor Sabaruddin turun
gunung menuju Surabaya. Tapi sesampainya di Surabaya, Soengkono sudah
bertolak ke Nganjuk, tempat dilangsungkannya perundingan gencatan
senjata itu.
Mayor Sabaruddin bertemu dengan tentara-tentara
Belanda yang juga akan berangkat ke Nganjuk untuk perundingan. Mengingat
pangkatnya yang lumayan tinggi, dia diperlakukan dengan hormat oleh
Belanda. Bahkan dia difasilitasi mobil dan berbarengan dengan delegasi
Belanda berangkat ke Nganjuk.
Di Nganjuk, pada saat para komandan
sedang rapat, tiba-tiba datang Mayor Mayor Sabaruddin hendak turut serta
menghadiri rapat tersebut. Kehadiran Mayor Sabaruddin yang tak diundang
itu cukup mengejutkan dan menggelisahkan para perwira yang hadir,
terutama bagi perwira pasukan yang pernah ditugaskan menangkap,
bertempur melawannya. Mayor Sabaruddin yang berkali-kali telah bikin
onar dan bertanggung jawab atas tewasnya sejumlah orang, dinilai tidak
bisa lagi diampuni.
Usai perundingan, Kolonel Soengkono mengajak
Mayor Sabaruddin menuju markasnya di Ngluyu, juga di kabupaten yang
sama. Pada kesempatan itu beberapa pengikutnya yang masih bersimpati
turut memohon kepada Soengkono supaya Mayor Sabaruddin dimaafkan. Namun,
Soengkono sudah mengambil keputusan. Mayor Sabaruddin ditahan.
Surachmad
yang masih menyimpan dendam kepada Mayor Sabaruddin turut mendengar
bahwa Mayor Sabaruddin hendak dihukum tahanan. Dia menganggap hukuman
itu tak tak cukup setimpal. Ketika Letkol Surachmad mendengar kejadian
tersebut, ia memerintahkan CPM (Corps Polisi Militer) yang di bawah
komandonya untuk mengambil Mayor Sabaruddin dan membawanya ke Madiun
untuk diadili.
Sekitar 24 November 1949, sesuai kehendak
Surachmad, anggota CPM menyeret Mayor Sabaruddin ke Madiun. Dalam
perjalanan menuju Madiun, di Wilangan, Mayor Sabaruddin dieksekusi
sesudah pengadilan militer di medan perang menjatuhkan hukuman mati.
Berakhirlah petualangan Mayor Sabaruddin.
Di film ini digambarkan
datangnya utusan yang menemui Jendral Sudirman namun di film ini tidak
disebutkan secara detail siapa utusan yang menemui Jendral Sudirman
serta lokasi dimana pertemuan ini dilakukanpun tidak disebutkan. Padahal
aslinya pada tanggal 8 Juli 1949 Letkol Suharto dari Yogya ke Wonosari
kami naik jip milik UNCI (United Nations Commission on Indonesia) yang
disetir sendiri oleh Letkol Soeharto, yang baru berusia 28 tahun,
berpakaian seragam putih dengan syal leher serta peci bivak warna hitam.
Dari Wonosari naik sepeda menyisir Gunung Kendeng, lalu berjalan kaki
hingga tiba pukul 20.00 di Desa Ponjong, markas Sudirman. Tujuan dari
menjemput Jenderal Sudirman agar dunia internasional diberi tahu tidak
ada perbedaan antara Soekarno-Hatta dan Sudirman (tentara) dalam
pelaksanaan persetujuan Roem-Royen mengenai penyerahan kedaulatan
melalui Konferensi Meja Bundar di Den Haag.
Lalu digambarkan juga
adanya surat dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang disampaikan kepada
Jendral Sudirman dan surat dari Sultan HB IX yang membuat luluh hati
Jendral Sudirman. Padahal baik surat pemanggilan dari sang proklamator
pun belum bisa membujuk Pangsar Soedirman dengan segera kembali, begitu
pun surat-surat lain dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Kolonel
Gatot Soebroto pun nihil hasilnya.
Gambaran Jendral Sudirman di Gedung Agung bersama
Presiden Ir. Soekarno dan Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta
Dan di bagian akhir film ini
digambarkan kejadian tanggal 10 Juli 1949 dimana Jendral Sudirman
diantarkan ke Gedung Agung dan menemui Presiden Sukarno dan Muh Hatta
lalu Jendral Sudirman dipeluk oleh Presiden Sukarno yang mana adegan ini
sampai diulang 2 kali untuk tujuan pendokumentasian. Hanya saja peran
Letkol Suharto dalam mendampingi Jendral Sudirman saat masuk ke
Yogyakarta hingga diantar ke Gedung Agung tidak digambarkan dalam film
ini. Dan juga tidak digambarkan peran TB Simatupang yang mana beliaulah
yang menyarankan agar Jendral Sudirman menemui Presiden Sukarno dan
wakil Presiden Muhammad Hatta sebelum menginspeksi pasukannya di
alun-alun.
Dan juga dalam film ini tidak pernah digambarkan adanya
sosok Letkol Suadi yang selalu menggunaan baret hitam (gelap) dan
membawa senapan M1 Carabine dimana beliau ini yang sejak Maret 1949
selalu mengawal Jendral Sudirman termasuk saat Jendral Sudirman akan
masuk dan sesaat memasuki Yogyakarta dan menginspeksi pasukannya di
alun-alun utara Yogyakarta banyak dokumentasi foto yang memperlihatkan
adanya Letkol Suadi saat mengawal Jendal Sudirman.
Seperti
yang teruraikan di atas tokoh-tokoh kunci seperti Letnan Muda (Laut)
Heru Kesser, Letkol Suadi, dr. W Hutagalung tidak dimunculkan dalam film
ini dan di film ini lebih banyak menceritakan tentang Kopral Aceng.
Kopral Aceng ini memang salah satu pengawal Jendral Sudirman akan tetapi
perannya dalam sejarah tidak sebanyak tokoh Letnan Muda (Laut) Heru
Kesser. Letnan Muda (Laut) Heru Kesser ini merupakan tokoh kunci dalam
gerakan gerilya Jendral Sudirman karena Letnan Muda (Laut) Heru Kesser
ini menurut penuturan ajudan II Abu Arifin kemudian menjadi "Jendral
Sudirman" palsu yang mana kemudian rombongan Jendral Sudirman dipecah
menjadi 2 yaitu rombongan Jendral Sudirman asli dan rombongan Jendral
Sudirman palsu. Di rombongan Jendral Sudirman palsu ini pada akhirnya
mereka bertemu kembali banyak anggotanya yang gugur. Dan juga di film
ini dimunculkan adanya tokoh semacam Karsani yang di film ini
digambarkan lalu gugur sebagai kusuma bangsa. Saya melihat tokoh Karsani
ini sebagai penggambaran para pahlawan tidak dikenal yang merupakan
para pengawal Jendral Sudirman.
Kemudian di film ini penggambaran
pasukan Belanda yang selalu nampak pasukan KST dan semua menggunakan
baret merah dan baju doreng frogskin. Padahal aslinya pasukan ini selain
baret merah juga ada yang baret hijau serta bajunya campur aduk ada
yang doreng frogskin ada yang baju hijau-hijau. Dan persenjataan yang
digunakan oleh para pasukan KST ini kebanyakan M1 Garrand. Padahal
aslinya pasukan KST ini kebanyakan menggunakan senapan sub machine gun
Owen Gun dan ada beberapa yang menggunakan senapan laras panjang Lee
Enfield atau lebih dikenal dengan senapan LE. Dan di film ini juga ada
penampakan mobil jeep dengan stir kanan padahal di masa itu seluruh
mobil jeep ang digunakan adalah stir kiri. Selain itu juga ada
penampakan mobil jeep dengan snorkel untuk knalpotnya.......serta ada
jeep yang ada lambang bintangnya malah di jeep tidak ada penampakan
lambang bendera Belanda dan no seri yang umum terlihat di foto
dokumentasi tentang kendaraan jeep yang digunakan oleh pasukan Belanda
di Indonesia di masa itu.
Sebagai film untuk tontonan termasuk
bagus, tapi untuk film yang digunakan untuk edukasi mengenai sejarah
sangat disayangkan kurang pas karena banyak kejadian yang tidak seperti
aslinya. Dan ini jika film ini dilihat para pelajar atau orang yang
ingin tahu mengenai sejarah sangat kurang baik.
Seperti diulas
beberapa pihak lain film ini juga sedikit meremehkan peran Presiden
Sukarno yang digambarkan menolak untuk ikut berjang. Meskipun memang
dalam kenyataannya Presiden Sukarno menolak untuk bergerilya tapi
penggambaran dalam film ini saat bercakap-cakap dengan Jendral Sudirman
agak kurang pas.
Memang saya akui sulit membuat film yang
berhubungan dengan sejarah masa lalu. Serta ini memang bukan film
dokumenter akan tetapi alangkah baiknya jika film dibuat sesuai dengan
fakta sejarah serta per adegan yang menyangkut kejadian nyata disertakan
lokasi dan tanggal kejadian sehingga penonton film bisa dapat informasi
yang tepat serta bisa memahami setiap kejadian secara runut dan
menarik.
Semoga saja kelemahan-kelemahan yang ada di film ini bisa diperbaiki oleh sineas-sineas di Indonesia.
Dan
sebagai penutup saya tekankan saya bukan bermaksud memojokkan film ini
hanya ingin memberikan ulasan demi kemajuan perfilman khususnya
perfilman tentang perjuangan agar menarik dan disukai penonton film yang
ada di Indonesia.
Kalau ada yang kurang berkenan dengan tulisan saya ini saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Halo, nama saya Nona. Dwiokta Septiani Saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati karena ada penipuan di mana-mana. Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial, dan putus asa, saya scammed oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai seorang teman saya merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Anita Charles pemberi pinjaman cepat, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 430 juta dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres pada tingkat bunga hanya 2%. Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah i diterapkan untuk dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan. Jadi saya berjanji saya akan berbagi kabar baik, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda membutuhkan semacam pinjaman, hubungi Ibu Anita melalui email: anitacharlesqualityloanfirm@mail.com.
BalasHapusAnda juga dapat menghubungi saya di email saya: septianidwiokta@gmail.com
Sekarang, semua saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman yang saya kirim langsung ke rekening mereka.
produksi film ini lebih kepada penyelesaian project event 17 an saja,tanpa riset yg cukup,karena biaya riset mahal and ga cukup buat bagi2 para petinggi di republik ini,jadi yg terpenting filmnya udah jadi,project berhasil "bapak senang" fulus pun cair...beres dah...sementara yg ditampilkan ga sesuai fakta sejarah dah.
BalasHapusSimpel aja.. aku butuh keteladanan visual.. dan film ini memberikannya
BalasHapus