Perjuangan Rakyat Kulon Progo
"Lautan Api di Wates dan Sentolo"
Keputusan Belanda
membatalkan gencatan senjata kemudian menyerang lapangan terbang Maguwo dan
kota Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Serangan Belanda sedikit demi sedikit
merangsek ke barat mencapai daerah Demak Ijo, dengan ini rakyat menjadi yakin
bahwa Belanda tidak sedang main-main. Warga berbondong-bondong mengungsi ke
arah barat. Demak Ijo yang tak luput dari serangan Belanda (saat ini menjadi
markas Batalyon Infanteri 403/Wirasada Pratista Kompi C atau tepatnya di
perempatan ringroad jalan Godean).
Dengan sangat cepat
pada sore hari di hari yang sama kota Yogyakarta sudah dapat dikuasai Belanda.
Tidak cukup sampai disitu. Untuk benar-benar melumpuhkan Yogyakarta, Belanda
juga mengerahkan pasukannya menuju tempat-tempat yang dinilai penting di
Bantul, Sleman, Gunung Kidul dan Kulonprogo.
Kulonprogo yang menjadi
daerah dengan akses luas ke Jawa Tengah dan Jawa Barat tak luput dari perhatian
Belanda. Menurut Belanda jika Jembatan Bantar dapat dikuasai maka lambat laun
kota Wates yang saat itu masih menjadi pusat wilayah Kabupaten Adikarta dan
Sentolo yang menjadi ibukota Kabupaten Kulonprogo dapat segera dikuasai.
Hanya delapan hari
sejak Belanda menyerang lapangan udara Maguwo, Belanda telah berhasil merangsek
ke wilayah Bantul yang berbatasan dengan Kulonprogo.
Kedatangan tentara
Belanda yang semuanya berjalan kaki sebenarnya sudah dapat dilihat oleh para
pejuang di Kecamatan Sedayu, Bantul. Para pejuang yang bertugas menjaga
Jembatan Bantar mendapat tugas untuk memasang beberapa bom. Jembatan Bantar
pertama mempunyai panjang total 176 meter dengan jumlah bentang 3 buah, yakni
48 meter, 80 meter dan 48 meter. Jenis bangunan atas berupa jembatan gantung,
bangunan bawahnya pondasi sumuran dan jenis lantainya yakni balok dan papan
kayu. Kita tau saat ini Jembatan Bantar sudah berjumlah 3 buah.
Dua buah bom
digantungkan di bawah jembatan sedangkan sisanya dipasang di pondasi jembatan.
Rangkaian bom akan menjadi penyambut tentara Belanda jika tetap berjalan
melintasi Jembatan Bantar. Rakyat Sentolo bertarung dengan tentara Belanda di
Jembatan Bantar. Korban berjatuhan dari kubu republik maupun pasukan Belanda.
Darah mengalir mengucur di aliran Sungai Progo. Jembatan Bantar, salah satu
jembatan gantung menumental di Indonesia, dengan panjang 176 meter dan
menghubungkan Kabupaten Bantul serta Kabupaten Kulonprogo menjadi saksi bisu
perjuangan rakyat mempertahankan kemerdekaan yang diperoleh dengan berkorban
darah, pikiran, materi dan peluh. Belum sempat diledakan, tentara Belanda sudah
berhasil melewati Jembatan Bantar. Rencana pejuang gagal total.
Jembatan Bantar
Tepatnya pada 27
Desember 1948 Jembatan Bantar jatuh ke tangan Belanda. Setelah berhasil
menguasai Desa Bantar, Belanda membakar sejumlah rumah, membuat lubang
persembunyian dan memasang kawat tajam. Belanda menggunakan rumah salah satu
warga bantar untuk dijadikan markasnya. Dapur umum dan persenjataan begitu lengkap
diletakan di sebelah timur sungai dengan anggota sekitar 81 orang. Meskipun
demikian sudah ada tentara Belanda yang berusaha menyeberang jembatan dengan
cara merangkak, karena sebelumnya jembatan sudah sedikit dirusak oleh
gerilyawan. Di barat sungai atau di wilayah Kulonprogo hanya terdapat sekitar
30 tentara yang berjaga.
Dapur umum yang
dibangun Belanda memiliki sejumlah juru masak yang diambil dari warga sekitar.
Salah satu dari mereka menjadi informan bagi para pejuang. Sepulang bekerja di
markas Belanda, sang informan selalu memberikan informasi-informasi yang dirasa
penting bagi pergerakan pejuang dalam menentukan taktik dan strategi
perlawanan.
Sebelum tentara
menginjakan kaki ke Kulonprogo, tiap kecamatan di Kulonprogo sudah siap
menghadapi kemungkinan apapun, termasuk konfrontasi secara terbuka dengan
tentara Belanda. Semua penduduk yang sudah dewasa, baik tua maupun muda, pria
atau wanita, diwajibkan untuk mengikuti perang rakyat, sebutan untuk perang
yang dilakukan oleh masyarakat diluar militer pada saat itu.
Begitu mengetahui
tentara Belanda sudah memasuki daerah Sedayu maka pihak militer memerintahkan
untuk melakukan pembumihangusan kantor dan rumah serta penjebolan jembatan di
seputar Wates dan Sentolo. Tujuannya agar Belanda tidak memanfaatkan bangunan
dan menyulitkan tentara musuh memasuki kota Wates dan Sentolo.
Tak lama setelah
pengumuman itu akhirnya gedung kabupaten, rumah kerajinan, gedung pegadaian,
kantor pos, pasar, stasiun, rumah orang keturunan Tionghoa dan rumah wedana
tidak luput dari kobaran api. Mungkin ini sebabnya tidak banyak ditemukan
bangunan dengan arsitektur masa lalu atau bahkan bangunan yang berciri khas
Belanda di sekitar Wates dan Sentolo.
Pembumihangusan
bangunan dan penjebolan jembatan ternayata cukup efektif menahan laju tentara
Belanda memasuki Wates dan Sentolo. Berhasilnya menahan pergerakan tentara
Belanda tidak luput dari perjuangan Gerakan Pemuda Sentolo dan Pasukan Suro
Panggah. Pasukan Suro Panggah sendiri memiliki pimpinan yang berasal dari
sebuah desa bernama Salamrejo. Lokasinya kini terletak sebelum Pasar Sentolo
baru belok ke kiri jika dari arah pusat kota Jogja.
Pasukan Suro Panggah
berisikan pemuda-pemuda yang memiliki keberanian lebih, gagah berani dan
tangguh, termasuk mereka yang kala itu termasuk dalam golongan pemuda yang
nakal. Jumlahnya tak banyak, namun keberanian yang terdapat di dalam diri
setiap anggotanya tidak dapat diragukan lagi. Pasukan Suro Panggah menggunakan
senjata yang lebih modern. Kebanyakan merupakan senjata bekas tentara Belanda,
Jepang serta mendapat suplai dari militer, seperti granat dari pos militer
Demak Ijo.
Gerakan Pemuda Sentolo
dan Pasukan Suro Panggah beserta kelompok-kelompok lain sangat kompak
menggalang kekuatan untuk melemahkan bahkan menghancurkan Belanda. Mereka tidak
terima jika ada bangsa asing yang kembali ingin menjajah Indonesia setelah
Indonesia dinyatakan merdeka. Mereka ingin melindungi kedaulatan Indonesia.
Berbagi tugas dengan tujuan yang sama yakni membantu militer mempertahankan
kedaulatan Indonesia yang baru saja diproklamirkan.
Selain Gerakan Pemuda
Sentolo dan Pasukan Suro Panggah, pamong praja juga bahu-membahu menghambat
gerak Belanda menuju Wates. Caranya adalah menjebol jembatan Kali Popoh yang
terletak di sebelah barat Sentolo menuju Wates.
Proyek Kapal Selam Mini ALRI di daerah Sentolo yang
kemudian segera di bawa ke Semarang untuk dilakukan observasi/penelitian
lebih lanjut oleh pihak tentara Belanda
Selain itu juga di daerah Kulon Progo terdapat pasukan Tentara Pelajar yang mana kini diabadikan dalam bentuk monumen dengan nama-nama anggota Tentara Pelajar yang ada di daerah Kulon Progo. Adapun daftar nama-nama anggota Tentara Pelajar yang ada di Kulon Progo adalah sebagai berikut :
Soerjadi : Komandan Seksi
Abisai, Andogo, Andoko (Handoko), Asmiran Loekito, Basoeki, Djadjoeri, Djemio, Djoeworo, Doellah Sirad, Endang Tojib, Gaib, Harsono, Ignatius Sarino, Imam Toermoedi, Jazid, Kaelani, Margono, Moersahid (Joeswo Harsono), Oemar, Rasiman (Rasman Soedarto), Sajar (Sajar Soeprapto), Samsoedini, Sandijo, Sangadji, Sanoen, Sardjiman, Sewan (Sewan Soesanto), Sikar, Siman (Simanhadi), Sodjo, Soebarjo, Soedarsono, Soedibdjo, Soedijono, Soedirman, Soediro, Soehadi, Soeharto (Bambang Soeharto), Soejatno, Soejono, Soekarno Hadian, Soekirjo, Soekrosoemanto, Soelardjo, Soemadi, Soemarno, Soemedi (Poenomo Soemedi), Soeparjan, Soepono, Soeprapto, Soerasto, Soeratno, Soeselo, Soetarsono, Soetrisno, Soewarjo, Tambeh, Tito Soejadi, Wahjono, Wanitro, Waris.
Monumen untuk mengenang Tentara Pelajar di Kulon Progo
Sumber: Bappeda
Kulonprogo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar