Selasa, 31 Maret 2015

Perjuangan Rakyat Bantul

Perjuangan Rakyat Bantul

Perjuangan tak hanya dilakukan di dalam kota Yogyakarta, di Bantul pun terjadi pertempuran-pertempuran demi mempertahankan kemerdekaan RI. Titik pertempuran di Bantul diantaranya : Jembatan Bantar Sedayu, Nyangkringan, Niten Trirenggo, Pasar Bantul, Pleret, Jebugan, Palbapang, Ganjuran, Pandak, Gunung Sepikul, dan Ngoto.
Menurut Mayor (Purn.) Soeyoto dan H. Sodali, Komandan Kompi ditugaskan untuk mempertahankan Pangkalan Batalyon I/X/III Jebugan Bantul. Namun karena adanya serangan Belanda secara tiba-tiba dan Kompi di Jebugan tidak mampu mempertahankan, maka pangkalan ditinggalkan menuju Imogiri dan selanjutnya bergabung dengan sebagian pasukan di Parangtritis. Setelah diyakini tidak akan terjadi pendaratan pasukan Belanda di Parangtritis dan Samas, maka Kompi menyusul Induk Pasukan di Markas Batalyon Pandak. Namun ternyata pasukan Belanda justru mengarah ke Pandak. Pasukan Belanda menyergap lewat Gunung Sepikul dan menghancurkan pertahanan gerilyawan sehingga harus mundur ke timur sampai lapangan Jodog dan ke selatan hingga desa Kadek.
Di Argomulyo, pembantaian dilakukan Belanda. Rumah-rumah dibakar dan tembakan membabi buta tak henti-hentinya menyalak. Belanda sepertinya begitu benci terhadap Argomulyo. Hal ini dikarenakan desa Kemusuk, Argomulyo merupakan tempat tinggal Letkol Suharto yang menjadi Komandan Wehrkreise dan berperan penting dalam melawan Belanda.
Kapten Inf. (Purn) Soewondho dalam catatan yang diberikan kepada Kapten CKU (Purn) sebelum meninggal menceritakan mmengenai perjuangan melawan Belanda pada September 1948. Ia sebagai Bintara Peralatan Batalyon Sardjono di Pos Pabrik Jebugan dan sebagai pengawal pribadi Sardjono mendapat tugas piket Batalyon, menerima laporan bahwa Kantor Telepon Palbapang dirusak oleh Belanda. Piket Batalyon segera melapor ke Komandan dan diperintahkan kepada semua Dan Ki segera menempatkan diri sesuai rute yang telah ditentukan. Batalyon Sardjono bergerak ke Pandak untuk bermarkas di Pandak. Gerakan ini diketahui Belanda. Di sudut desa Cengkiran terdapat banyak sekali serdadu Belanda dengan senjata lengkap. Pada pagi harinya, Soewondho memancing tembakan. Kontak senjata pun terjadi dan kekalahan ada di pihak Soewondho karena kekurangan senjata. Soewondho pun lari ke selatan dengan luka tembakan di tubuhnya. Namun ia ditolong rakyat dan dibawa ke RS Ganjuran.
Setiap rumah yang terendus Belanda sebagai tempat berkumpulnya para anggota Tentara Nasional Indonesia pasti akan menjadi sasaran penyerbuan Belanda, seperti yang terjadi di Ngoto. Suatu pagi di Ngoto didatangi sepasukan Belanda yang berjalan kaki. Hal itu dilihatnya oleh Pak Kliwon dan Pak Narsen yang ketika itu menjadi anggota tentara pelajar. Pak Kliwon dan temannya kemudian berlari menyebrang jalan ke timur. Ia berharap dikejar oleh musuh dengan tembakan sehingga bisa menarik perhatian dan membangunkan warga sekitar yang masih tidur. Sekaligus menjadi perintah siaga bagi semua tentara dan polisi yang berada di tempat itu. Belanda pun mengejarnya dengan tembakan membabi buta. Rakyat yang terkejut berlarian sehingga Belanda banyak yang terkena tembakan Belanda. Tercatat 21 rakyat sipil dan 9 polisi tewas dalam peristiwa tersebut.
Di dusun Ponggok (Jetis), Belanda nampaknya ingin mendirikan pos di bekas gudang tebu. Sampai menjelang sore, Belanda masih belum keluar sari kawasan itu. Akhirnya tentara RI memutuskan untuk mengepung dan pagi harinya diserang. Begitu pecah suara tembakan sehabis subuh, kendaraan patroli Belanda pun berdatangan. Dari Bulak Pacar sampai Ponggok pun berubah menjadi medan pertempuran. Pertempuran berlangsung hingga jam sepuluh malam dan berakhir setelah dibubarkan oleh pesawat cocor merah menghujani tembakan membabi buta. Korban yang terlihat saksi mata ialah para anggota APS dari kesatuan polisi pramong praja yang bergabung, diperkirakan berjumlah ratusan orang tewas menjadi tumbal perjuangan kemerdekaan di tempat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar