Kamis, 24 Maret 2016

Palagan Jumerto di Jember

 Palagan Jumerto di Jember
 
Desa Jumerto, Patrang, Jember, menyimpan sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan NKRI. Tiga belas anggota Brimob dan 20 warga setempat tewas karena ditembus peluru pasukan Cakra dari KNIL Belanda yang berniat menduduki Indonesia.
Peristiwa Palagan Jumerto.
Kejadian tersebut bermula dari pelanggaran Belanda atas poin-poin Renville. Lapangan Maguwo --Adisucipto-- diserbu, terus ke pusat pemerintahan yang berkedudukan di Jogjakarta. Demikianlah kota demi kota diserbu dari udara dan darat serta diduduki. Dalam hal ini tidak terkecuali kota Madiun.
Komandan MBB mengundurkan diri ke Willis Kompleks dengan pengawalan Batalyon I dan II. Sedang MBK Madiun ke sebelah Barat, Batalyon III yang berasal dari Besuki yang hijrah karena persetujuan Renville, dipimpin PIP II M. Soekari tetap berada di daerah Ponorogo dan sekitarnya, hingga kota ini jatuh ke tangan Belanda setelah dipertahankan dengan gigih selama dua jam. Tepatnya tanggal 2 Januari 1949, jam 15.30.
Kompol I M. Jassin di samping jabatan tetapnya dan memimpin langsung serangan gerilya, diangkat sebagai Kepala Staf Gubernur Militer Jawa Timur, merangkap Komandan Keamanan yang markasnya berpindah pindahdi Sektor Madiun Timur. Batalyon I Pimpinan PIP II Wirato ditugaskan ke daerah operasi Madiun - Nganjuk. Madiun -- Pagotan dan Madiun -- Panggung serta Kempo. Sedang Batalyon II Pimpinan PIP II Lasiyono mempunyai daerah operasi gerilya batas Madiun -- Trenggalek. MBK Madiun di batas Madiun ke barat sampai Magetan.
Mengingat pertimbangan keadaan supaya POLRI berjuang merata di daerah Jawa Timur, 1 (satu) kompi dari Yon I pimpinan APP.I Paimo (Sekarang Letkolpol. Purn. Ex Danres 1052 Madiun), menyusup ke daerah Malang, bahkan sampai ke kota Malang dan memperkuat MBK Malang pimpinan IP. II. S. Samsoeri Mertojoso (Sekarang Majenpol. Purn. Jabatan terakhir Kadapol X Jatim). Sementara Yon III pimpinan PIP. II Soekari diperintahkan menyusup ke daerah Besuki daerah asalnya.
Setelah Ponorogo diduduki Belanda, Batalyon III masih dipimpin PIP. II Soekari mengundurkan diri arah selatan. Dan di Kawedanan Jetis Kompi I Yon III dipimpin Komandan Polisi Sudarlan, sekitar jam 17.00 mengadakan serangan mendadak atas pos Belanda di Pasar. Dan mengakibatkan banyak korban di pihak Belanda. Namun ketika hendak mengambil bren dari seorang serdadu Belanda yang mati terkena tembakan, Komandan Polisi Sudarlan ditembak dan pejuang asal Temanggung Magelang ini gugur. Bersamaan dengan itu gugur pula (23). AP. III KACUNG (asal Kecamatan Besuki - Bondowoso) (24) AP. III. Sutono. B (asal Kecamatan Balung - Jember).
Sesampai di desa Jarak (8 km sebelah timur Ponorogo) mengadakan konsolidasi. Dan dengan adanya perintah penyusupan ke daerah Bondowoso, maka tanggal 10 Januari 1949 dimulailah wingate Ponorogo - Bondowoso. Jumlah kekuatan 1 batalyon (terdiri dari 450 anggota berikut anggota Bhayangkarinya yang berpakaian seragam dan bersenjata. Di samping itu terdapat dua orang anggota Akademi Militer Yogyakarta, masing-masing Muhamad dan Sudaryono yang telah menggabungkan diri dalam pasukan Yon III MBK Besuki dan terus mengikuti wingate serta bersama-sama bergerilya di daerah Maesan - Bondowoso.
Dengan bantuan penduduk sebagai petunjuk jalan, pasukan bergerak dari desa Jarak menuju perbatasan Kabupaten Trenggalek melalui desa Rokem, Bandrang, Ngrundeng, Sawo (Kota Kecamatan) memotong medan berat menuju desa Tumpakpelem, Temon dan Tugu (Kota Kecamatan Kabupaten Trenggalek). Karena pada waktu itu daerah Trenggalek belum diduduki Belanda, maka gerakan mulai dari desa Temon/Tugu melalui jalan besar melintas kota Trenggalek, menuju desa Durenan, ke Kota Kecamatan Campurdarat. Di desa Pelem bertemu dengan rombongan Panglima Besar Soedirman minta agar sepucuk senapan Mesin cal 77 milik pengawal Panglima Besar ditukar dengan senjata ringan sejumlah 12 pucuk, dan dengan rela permintaan Panglima Besar tersebut kita cukupi karena senjata kita cukup banyak sebagai hasil rampasan dari PKI di Ponorogo.
Dari Campurdarat, wingate mengarah ke timur menuju Blitar melalui desa Kalidawir - Ngubalan - Ketanen - dan Maron. Dari Maron menuju Ludoyo Selatan melalui Pakishaji - Surowadang - Gunung Gede - Ngeni - Kaligambang - Panggungrejo - Binangun - sampai desa Wates perbatasan Kabupaten Malang.
Perjalanan melintasi Blitar Selatan, tercatat yang paling berat. Karena selain medan yang tidak rata, pegunungan yang tandus, menerobos hutan dan perkebunan, selama dua hari tidak menjumpai sesuap nasi maupun jagung, kecuali tebu dan buah kelapa. Bahkan air yang bersih sulit dicari. Barulah memasuki daerah Malang menuju desa Purworejo melintasi Kecamatan Donomulyo. Dilanjutkan ke Tempursari, Sumbermanjing Kulon - Bantur - Sumbermanjing Wetan, dan desa Klepu. Di desa inilah disambut Komandan PDM Mayor Abd. Kahar dan diberi tempat untuk istirahat, serta bekal makanan untuk beberapa hari. Dan secara kebetulan Mayor Abd. Kahar (sekarang Letkol. Purn. TNI/AD) sewaktu clash ke I bergerilya bersama di daerah Jember. Dari Klepu melanjutkan perjalanan ke Semeru Selatan melewati perkebunan Kalibokor dan Sumber Urip.
Di Perkebunan Sumber Urip, bertemu kembali dengan pejuang-pejuang Tentara Pelajar (TRIP) Besuki, yang ketika clash ke I bahu membahu dalam satu front di daerah Panduman - Jember Utara. Mereka antara lain, Aris Moenandar dan Moedjoko. Kini sudah menjadi alumni PTIK dengan pangkat Kolonel Polisi.
Sejumlah 22 orang rekan-rekan TRIP menggabungkan diri dan dipersenjatai kembali, lalu bersama-sama melanjutkan penyusupan ke daerah Besuki, di daerah basis gerilya semula sebelum hijrah.
Daerah Malang Selatan dan Semeru Selatan walau pada umumnya diduduki Belanda, tetapi de Facto masih di tangan kita. Oleh karenanya maka di daerah ini kita bisa mendapatkan istirahat serta makan yang cukup atas bantuan rakyat setempat. Demikian juga koordinasi dengan angkatan darat sangat erat tanpa membedakan daerah maupun kesatuan asal.
Wingate dilanjutkan melalui Purwojiwo yang telah berhasil direbut pasukan-pasukan bersenjata kita. Kemudian menuju desa Penanggal - Kertosari - Tumpeng - Jokarto, memotong jalan besar Lumajang, Pasirian. Di desa Tempeh Lor menuju desa Kaliwungu - Wonokerto - Genteng - Wotgalih - dan desa Tujungrejo Kecamatan Yosowilangun.
Kesulitan besar menghadang ketika sampai desa Wotgalih. Sungai Bondoyudo yang merupakan perbatasan dengan Karesidenan Besuki sedang banjir besar. Sedang desa Meleman satu-satunya jalan penyeberangan para gerilya dijaga Cakra dan Polisi Federal. Hampir saja keputusan menghancurkan jembatan dilakukan, tetapi kepala desa Tunjung Rejo memberi uluran tangan dengan menampung pasukan dan melindungi hingga tiba saatnya untuk melakukan penyeberangan. Dan atas usaha kepala desa tersebut para penjaga terutama Cakra yang bertugas menjaga satu-satunya jembatan Yosowilangun bisa dibujuk sehingga semua pasukan dapat dengan selamat melewati jembatan masuk wilayah Besuki.
Rute gerilya daerah Besuki diarahkan ke utara melalui desa Gadumasan - Sariyono - Rowotengah - memotong jalan besar Sukokulon - Manggisan - Darungan - Selodakon - Badean - Suci - Banjarsengon dan Jumerto, dengan maksud untuk langsung memasuki daerah basis gerilya yaitu daerah Maesan. Rupanya, penyeberangan kita di jembatan Yosowilangun telah diketahui Belanda, sehingga rute perjalanan pasukan terus diikuti, dan di desa Jumerto pasukan kita dicegat.
Saat pagi dini hari masyarakat Jumerto kedatangan tamu besar, yaitu sejumlah tiga pleton pasukan Mobrig / Brimob. Ketika tiga pleton pasukan Mobrig / Brimob sampai di Desa Jumerto, mereka bertemu Pak Yakub (salah satu warga Jumerto). Saat ketemu Pak Yakub, salah seorang anggota Brimob memin­ta ditunjukkan rumah kepala de­sa. Memang, selama perja­lanan, mereka pasti mampir di rumah perangkat desa setempat. Termasuk saat datang ke Desa Jumerto. Oleh Pak Yakub, mere­ka diajak ke rumah sesepuh desa bernama Pak Asmar. Karena prajurit Kepolisian tersebut kelelahan mereka memutuskan bermalam di Desa Jumerto. Tak menunggu waktu lama bagi mereka untuk merebahkan diri untuk kemudian memejamkan mata. Sementara di sudut yang lain di desa Jumerto.. Sekumpulan pasukan Belanda juga ada di sana. Pasukan Belanda ini sedang merebut hati rakyat Jember, dan tersebar di beberapa titik. Mereka melakukan bermacam-macam cara. Dan cara yang mereka lakukan di Jumerto adalah dengan membagi-bagikan gula.
Tentu saja pihak Belanda mengetahui perihal kedatangan prajurit Kepolisian Indonesia. Karena disinyalir, mereka datang lebih awal. Hal yang sama tidak terjadi pada ketiga pleton prajurit Brimob. Mereka kelelahan dan tidak menyadari adanya bahaya yang mengintai.
Pagi-pagi buta sekitar jam 05.00 11 Februari 1949 pasukan Belanda mengadakan operasi di desa Jumerto. Batalyon III MMB Jawa Timur beserta TRIP dalam keadaan lelah namun senantiasa siaga untuk menghadapi setiap kemungkinan, dengan maksud untuk beristirahat di desa Jumerto. Tiba-tiba Belanda melakukan serangan dan pertempuran di jantung desa menjadi semakin seru. Bahkan pertempuran jarak dekat tak bisa dihindarkan lagi. Hal ini menyebabkan korban di kedua belah pihak sangat besar.
Ratusan warga yang berniat me­­nolong akhirnya juga menjadi korban. Setidaknya 20 warga Desa Jumerto tewas karena di­tembus peluru tentara KNIL. Abdurra, anak Pak Asmar yang mengantarkan anggota Brimob, juga tertembak. Padahal, saat itu Abdurra berniat merawat anggota Brimob yang gugur. Ditambah lagi masih ada juga rakyat Jumerto yang menjadi korban penganiayaan dan perkosaan.
Di pihak Belanda juga banyak yang tewas karena pada saat itu ada seorang warga yang ditanya oleh pasukan Belanda dimana tempat persembunyian pasukan Brimob, mereka menunjukan ke arah tentara Belanda sehingga terjadi tembak menembak sesama pasukan Belanda dari kesalah pahaman ini, banyak pasukan Belanda yang tewas tetapi jumlahnya tidak diketahui dengan pasti sampai sekarang.
Belanda merasa terdesak dan mundur. Namun beberapa saat kemudian dengan dukungan pasukan dari Jember maupun Pos di Kecamatan Panti dan Perkebunan Rayap. Pertempuran yang berlangsung sampai jam 11.00 menghantar gugurnya 9 orang pahlawan lagi, masing-masing (1) AP. I Soradji, (2) AP. I Surono, (3) AP. III Sasono, (4) AP. III Achmad, (5) AP. III Soebari, (6) AP. III Soewito, (7) AP. III Soeroso (8) AP. Moedjasmidi, (9) AP. III Maslich dan seorang rekan dari TRIP Sarwono.
Di desa Klungkung diadakan konsolidasi karena beberapa anggota belum nampak hadir, maka inspektur Polisi Tk. II Koesnadi (asal gabungan) dan AP. II Kasim yang mengenal daerah Jember Utara berusaha mencari teman-teman yang belum berkumpul. Di desa Karang Pring, keduanya kepergok patroli Belanda yang langsung menembak di tempat itu juga, dan gugurlah kedua pahlawan tersebut.
Pasukan segera melanjutkan gerakan menuju desa Socah Cangkring perbatasan Kabupaten Jember - Bondowoso sebagai markas gerilya semasa clash I dengan melewati Slawu - Bintoro - Langsat, Penduman (markas TRIP) - Cangkring, Socah sebagai tujuan akhir. Setelah istirahat sejenak PIP. II Soekari melaporkan diri kepada Mayor E.J. Magenda (kini telah almarhum dengan pangkat Mayjen TNI/AD) yang semasa clash ke I bergerilya bersama-sama di daerah Kabupaten Bondowoso.
Langkah berikutnya menempatkan team-team gerilya di desa-desa yang pernah ditempati sebelumnya. Sebaliknya Belanda dengan kaki tangannya juga gencar melaksanakan operasi ke sarang-sarang gerilya. Beberapa anggota masyarakat tak jarang menjadi sasaran tembakan ataupun penangkapan dan penganiayaan karena dianggap melindungi para gerilyawan. Pasukan musik tradisional Patrol (ronda malam di daerah tersebut, terkenal indah lagu-lagunya) merupakan sarana yang paling penting untuk mengetahui setiap gerakan musuh pada malam hari.
Dengan tercapainya pengakuan kedaulatan Kemerdekaan, Batalyon III MBB mengadakan konsolidasi di Kecamatan Arjasa dan Kalisat Kabupaten Jember untuk persiapan pasukan memasuki Bondowoso.
Komandan Yon III menuju Madiun untuk menyampaikan laporan kepada Komandan MBB Jawa Timur. Kemudian diakui dan ditetapkan kembali pada status semula sebelum perang kemerdekaan I dan II menjadi Mobile Brigade Karesidenan Besuki.
Setelah memasuki Bondowoso, atas perintah Kepala Polisi Karesidenan Besuki Kompol I Suhud (Almarhum Brigjenpol. Purn. jabatan terakhir Kadapol VII Metro Jaya), membentuk detasemen di masing-masing ibu kota dalam jajaran Karesidenan Besuki dalam rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada aparat keamanan, yang pada waktu itu anggota-anggota kepolisiannya adalah bekas-bekas anggota Polisi Belanda.
Kini untuk mengenang gugurnya ke tigabelas anggota Mobil Brigade di Jumerto didirikan sebuah monumen dan ika berminat mengunjungi monumen ini, bisa ke perempatan Slawu, terus ke timur arah Jumerto. Kira-kira 4 km sampai ke depan Monumen yang berdekatan dengan Balai Desa Jumerto dan Masjid Syuhada.

Sumber:
Rizal, 2011, "Palagan Jumerto, Saksi Perjuangan Rakyat Jember", http://sma1jember.info/2011/01/palagan-jumerto-saksi-perjuangan-rakyat-jember/
RZ Hakim, 2015, "Palagan Jumerto", http://www.rzhakim.net/2015/02/palagan-jumerto.html

2 komentar:

  1. sejarah yg blm banyak diketahui warga Jember, salut... ditunggu lagi sejarah perjuangan rakyat jember lainnya

    BalasHapus