Jumat, 11 Maret 2016

Letnan Satu Zahid Hussein

 Letnan Satu Zahid Hussein

Zahid Hussein (tengah) bersama teman-teman Tentara Keamanan Rakyat 
di Kaliurang, Yogyakarta, tahun 1946.
Sumber: Repro Iman Membekali Perjuangan.

Setelah Perjanjian Renville disepakati pada 17 Januari 1948, garis Van Mook disetujui sebagai garis demarkasi. Kantong-kantong TNI di belakang garis harus dikosongkan. Gencatan senjata diberlakukan. Baik TNI maupun tentara Belanda tidak boleh melanggar garis batas demarkasi. Di Jawa Tengah sebelah barat, TNI tidak boleh melewati Kebumen sebab sudah di bawah kekuasaan Belanda. Di timur sampai batas Jombang. Ambarawa juga dikuasai Belanda. Republik hanya tinggal sedikit.
Saat itu, Letnan Dua Zahid Hussein ditugaskan menjaga demarkasi di sebelah barat. Menjaga emosi, rasanya lebih sulit daripada menjaga demarkasi. Nafsu tempur selalu membara. Karenanya, kadang terjadi insiden. Di garis yang meskipun sudah disepakati, kadang terjadi saling memasuki wilayah masing-masing. Maka tak terelakkan, terjadilah pertempuran.
Kesepakatan garis demarkasi juga berlaku bagi kegiatan ekonomi masyarakat. Penduduk tidak boleh menyeberangi garis demarkasi membawa dagangannya. Namun, pedagang kadang tidak mematuhinya. Mereka diam-diam menyelundup. Mereka membawa telur masuk ke daerah Kebumen untuk dijual kepada Belanda. Pulangnya membawa barang-barang lain untuk dijual. Rokok Escort, minyak rambut Vaseline, atau kacamata plastik, merupakan komoditas yang laku.
Bagi masyarakat terutama kaum muda, mengenakan kaca mata plastik, rambut tersisir rapi dengan menggunakan minyak rambut sudah merupakan kebanggaan.
Zahid berpikir, jika pedagang dibiarkan menjual telur kepada tentara Belanda, maka mereka jadi semakin kuat. Pedagang itu harus diberi pelajaran. “Yo, wis ndoge direbut ae. Ning ojo rame-rame. Ngko didol maneh (Ya, sudah telurnya direbut saja. Jangan ramai-ramai. Nanti dijual lagi),” perintah Zahid kepada anak buahnya.
Perang telur dimulai. Ketika para pedagang itu bermunculan membawa dagangannya langsung dicegat. “He, kalian bawa apa itu?” Mereka gemeteran. Telur-telur yang mereka bawa disita. Sampai berpikul-pikul. Zahid kemudian menyuruh anak buahnya menjual telur-telur itu kepada pedagang telur yang lain.
“Tukang telur itupun berangkat lagi menuju Kebumen. Membawa telur yang dibeli dari kami,” kata Zahid. Sampai di perbatasan, sebelum memasuki wilayah yang dikusai Belanda, telur mereka dirampas lagi oleh tentara Belanda. Demikian seterusnya.
“Tapi pedagang telur itu tak pernah jera,” kata Zahid. “Maka perang telur pun terus berlangsung.”
Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk Komite Tiga Negara (Australia, Belgia, dan Amerika Serikat) untuk menengahi konflik Indonesia dan Belanda. Perundingan pertama KTN dengan delegasi Belanda dan Indonesia diadakan di Kaliurang, Yogyakarta, pada 21 Februari 1948. Ketua delegasi Indonesia adalah Mr. Muhammad Roem. Perundingan berlangsung, perang jalan terus.
Letnan Zahid Hussein, komandan kompi dalam Batalion 10, memberitahu Roem bahwa Belanda sudah masuk kota Yogyakarta.
“Wah, lalu bagaimana Bung Karno?” tanya Roem agak bingung.
“Waktu saya lewat Gedung Agung, beliau masih sidang kabinet,” kata Zahid.
Setelah Belanda mendarat di Yogyakarta, Kabinet Mohammad Hatta dan Presiden Sukarno masih sempat bersidang.
Roem kembali bertanya, “Lalu Pak Dirman, bagaimana?”
“Saya dengar tadi sudah keluar kota,” jawab Zahid.
Roem mengangguk. Zahid kemudian mengutarakan rencana strateginya. “Sekarang, Kaliurang mau saya bakar, Pak.”
Mendengar rencana bumi hangus itu, Dr. Nasution, penasihat sekretaris wakil presiden, yang memiliki buku satu kamar langsung terhenyak. “Waduh. Bagaimana buku saya?” katanya khawatir.
“Lho, iki piye,” kata Zahid dalam hati, “Ini peperangan. Kami mau bakar rumah. Lha, wong pinter ini malah mikirin buku.”
“Tolonglah, dik. Amankan buku kami,” pinta Nasution.
Esok pagi pukul 06.30 tanggal 20 Desember 1948, Zahid dan pasukannya langsung kontak senjata dengan pasukan Belanda. Zahid menempatkan pasukannya sebagian di timur sungai dan sebagian lagi di barat. Anak buahnya, Kopral Slamet, tertembak dan gugur.
Siangnya Belanda kembali ke Kaliurang lewat Pakem. Zahid berada di sebelah barat. “Tak kuurusi tentang Dr. Nasution maupun bukunya. Akhirnya Dr. Nasution tertangkap Belanda dan salah seorang stafnya terbunuh,” kata Zahid.
Dua hari kemudian, Zahid berkumpul kembali dengan pasukannya dan meninggalkan Kaliurang menuju Getan untuk mendekati daerah kota. Di Getan, mereka menginap di rumah kiai-kiai dan dapat menyusun kembali kekuatan karena di sana cukup aman dan makanannya cukup terjamin. “Kami dijamu makan nasi dengan lauk pauk ayam,” kenang Zahid.
Zahid Hussein, waktu itu letnan dua dengan jabatan Komandan Seksi di Bantul, oleh Letnan Kolonel Soeharto ditugasi tetap bertahan bersama 40 anak buahnya di kota, sementara pasukan lain menyingkir ke daerah gerilya.
Tugas sesudah serangan dan pendudukan selama enam jam itu justru riskan. Belanda, seusai serangan tersebut, mengadakan pembersihan gencar di dalam kota. Dalam penyamaran selama dua bulan, Zahid dan anak buahnya menyimpan senjata di pelbagai tempat terpisah. Tak seorang pun yang tertangkap.
Nama :
Zahid Hussein 
Lahir :
Yogyakarta, 19 Mei 1925
Agama :
Islam
Pendidikan :
-SMA, Yogyakarta Pendidikan Militer dalam Angkatan Darat
-Pendidikan Inteligen
Karir :
-Guru SD Muhammadiyah (1942-1943)
-Budanco Tentara Pembela Tanah Air (1943-1945)
-Komandan Seksi BKR-TKR (1945-1950)
-Komandan Kie TNI BKR/TKR (1950-1957)
-Dan Dhima Pelatih/Guru SIAD (1958-1964)
-Dan Yon, Infanteri Lombok DIPIAD/Pus Intel Strad (1965)
-Kepala Biro Bantuan Presiden (1970-sekarang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar