Perjuangan TRIP di Jawa Timur
Seperti diketahui gema proklamasi kemerdekaan yang diumumkan pada
tanggal 17 Agustus 1945 disambut gembira rakyat Jawa Timur,terutama di
kota Surabaya. Semangat untuk mempertahankan kemerdekaan itu disambut
oleh seluruh rakyat baik tua atau muda, laki-laki dan perempuan tak
ketinggalan para pemuda yang di dalamnya termasuk para pelajar. Mereka
tak mau ketinggalan dalam mengambil peran tersebut.
Para pelajar yang pada umumnya terdiri dari tiga golongan yaitu :
1. Anak para priyayi atau ningrat, pelajar dari anak priyayi atau ningrat ini merupakan anak para pegawai pemerintah yang sekolahnya di HIS atau ELS yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya. Tentusaja pendidikannya ala Belanda yaitu menjauhi rakyat kecil.
2. Anak golongan orang "Menengah" atau anak golongan kaum pedagang, perangkat desa seperti lurah, carik, jagabaya dan lain sebagainya yang sederajat dengan itu. Para anak dari golongan ini sekolah di Taman Siswa atau Muhammadiyah yang memiliki jiwa nasionalisme yang sangat besar.
3. Anak dari golongan petani atau rakyat kecil yang sekolahnya ada di Sekolah Rakyat atau Sekolah Ongko Loro.
Ketiga pelajar dari golongan yang berbeda ini kemudian menjadi satu setelah Jepang masuk menduduki Indonesia dan menjajah Indonesia dengan kejam. Para pelajar yang usianya sekitar umur 15 tahun sampai dengan 20 tahun tersebut merasakan sekali beratnya dijajah oleh bangsa lain.
Para pelajar yang dari Surabaya sudah menunjukkan keberaniannya menentang penjajah Jepang dengan tidak mau dipotong rambut plonthos seperti bala tentara Jepang. Dengan memiliki rasa keberanian yang seperti itu pada waktu zaman itu sungguh sangat luar biasa. Akan tetapi mereka tunduk dan menurut saat dibentuknya Gakutotai (Barisan Pelajar).
Lalu setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 Gakutotai-gakutotai di Surabaya kemudian dibagi menjadi empat daerah yaitu :
1. Darmo
2. Praban
3. Sawahan
4. Herenstraat
Maka dari itu setelah diproklamasikannya kemerdekaan Republik Indonesia oleh Ir. Sukarno dan Muhammad Hatta para pelajar ini memiliki satu tekad "Lebih baik mati daripada dijajah kembali". Maka dari itu sejak tahun 1945 mereka tidak ragu lagi untuk memanggul senjata melawan penjajah yang berusaha ingin masuk ke Indonesia. Mereka ini pada umumnya masih sekolah di Sekolah Menengah Pertama. Yang sekolah setingkat SMA kurang lebih berjumlah 30 orang. Dan uniknya lagi organisasi pelajar pejuang bersenjata ini dipimpin sendiri oleh mereka tanpa adanya ikut campur dari pihak tentara.
Insiden bendera di
hotel Yamato/L.M.S. (sekarang hotel Majapahit) di jalan Tunjungan
membuktikan semangat rakyat yang sangat menggelora dalam mencapai
kemerdekaan. Dimana-mana terjadi pengambilan kekuasaan dan perebutan
senjata dari tentara pendudukan Jepang baik melalui perundingan ataupun
dengan jalan kekerasan. Semua elemen masyarakat berjuang bahu membahu,
dalam hal ini para pemuda/pelajar dan mahasiswa memegang peranan
penting. Menyadari hal tersebut para pelajar segera membentuk organisasi
agar perjuangan lebih terkoordinasi. Selanjutnya Gakutotai-gakutotai yang terbagi menjadi 4 wilayah tadi selanjutnya pada tanggal 22 Agustus
1945 dibentuklah Barisan Keamanan Rakyat-Pelajar ( BKR Pelajar ). Pendaftaran dilakukan pada 22 September 1945, persyaratannya harus berumur 17 tahun. Pasukan ini terdiri atas 4 staff yang terdiri dari :
Staff I terdiri dari para pelajar SMT jalan Darmo 49,
pelajar SMP II Ketabang di bawah pimpinan pemuda Isman, Wardojo dan
Moeljosoedjono
Staff II terdiri dari para pelajar SMTT dan STM di Sawahan pimpinan pemuda Soenarto
Staff III terdiri dari para pelajar SMP I jalan Praban, ST Benteng Miring, SPRI dan sekola Dagang pimpinan pemuda Nono Sanjoto dan Anirun
Staff IV terdiri dari para pelajar yang bersekolah di Herenstraat pimpinan pemuda Soekotjo.
Tanggal 5 Oktober 1945 BKR berubah menjadi TKR (tentara Keamanan Rakyat)
maka dengan sendirinya BKR Pelajar berubah nama menjadi TKR Pelajar
pada tanggal 19 Oktober 1945 yang diresmikan oleh komandan TKR Kota
Surabaya Bapak Soengkono. Barisan Pelajar ini akif terjun dalam
pertempuran pertempuran di Surabaya baik dalam kota ataupun di luar kota
antara lain :
- melakukan pelucutan senjata milik bala tentara Jepang yang berada di gedung Don Bosco dan selanjutnya senjata rampasan dari bala tentara Jepang ini digunakan untuk melawan pasukan Sekutu yang terdiri dari pasukan Gurkha ketika rakyat Surabaya menolak ultimatum tentara Sekutu.
-penghadangan penaratan musuh di Kaliwaron tanggal 26 Oktober 1945
-penyerangan pertahanan sekutu di gedung H.B.S tanggal 28 Oktober yang
mengakibatkan gugurnya pelajar Doemadioadi dari Staff I dan pelajar
Soeparto dari Staff IV
-Pertempuran di Kaliasin tanggal 24 Nopember dan lain lain seperti di
jalan Ambengan, jalan Jimerto, Gedung Don Bosco, Viaduct Pasar Besar,
Viaduct Gembong, Gedung Kempetai, gedung Internatio, jalan Ngagel,
Wonokromo dan lain-lain.
-tanggal 28 Nopember 1945 pertempuran mempertahankan Gunungsari dari
serangan Inggris beberapa pelajar gugur dalam pertempuran itu antara
lain ; Soetojo, Samsudin, Soewondo, Soewardjo dan Soepangat.
Selama waktu pertahanan di dalam kota Surabaya, mas TRIP/TKRP
pernah menyerang kedudukan musuh seperti di gedung HBS, Stasiun ,Sernut,
Keputran,
Wonokromo dan Gunung Sari. Boleh dikatakan setiap jengkal tanah
dipertahankan dari serangan tentara Inggris, Gurkha dan NICA secara
mati-matian. Selama pertempuran melawan Sekutu selama bulan Oktober hingga November 1945 ini ada beberapa anggota yang gugur diantaranya :
1. Dumadioadi,
2. Supangkat,
3. Muljono,
4. Suparto,
5. Sukirman,
6. Sumartono,
7. Aris Munandar.
Karena kekuatan yang tak seimbang maka pasukan TKR pelajar terpaksa
meninggalkan Surabaya menuju ke barat melewati Kedurus untuk menahan
serangan Inggris yang menuju Sidoarjo, maka pasukan pelajar inipun
akhirnya bermarkas di Pabrik gula Candi. Saat mereka setelah mundur dari Surabaya karena Surabaya telah diduduki oleh Sekutu para pelajar yang ikut berperang ini lalu didatangi oleh para guru mereka untuk meminta mereka kembali lagi ke bangku sekolah karena kasihan masih kecil sudah ikut berperang. Ada sebagian dari mereka yang mengikuti anjuran guru mereka untuk kembali ke sekolah dan ada juga yang terus berjuang untuk mengusir penjajah. Yang meneruskan kembali ke sekolah akhirnya mereka bergabung kembali setelah dibentuknya TRIP di Malang pada tanggal 21 Juni 1946.
Tahun 1946 TKR berubah menjadi TRI (tentara Republik Indonesia) maka TKR
pelajarpun berubah nama menjadi TRI Pelajar tepatnya pada tanggal 26
Januari 1946 yang kemudian dikenal sampai sekarang dengan sebutan TRIP
(tentara Republik Indonesia Pelajar). Pemusatan pasukan kemudian
ditempatkan di desa Parengan Jetis, sebelah Barat dayanya Wringin anom sebelah timur Mojokerto dimana tempat tersebut
merupakan basis perjuangan pelajar-pelajar yang akan menuju garis depan
yang datang dari daerah-daerah seperti: Kediri,Blitar, Malang, Jember,
Madiun, Solo, Jogya, Bojonegoro dan tempat tempat lain. Dari desa Parengan Jetis pasukan TRIP diberangkatkan dan di pulangkan menuju ke tiap-tiap garis pertahanan kota secara bergiliran dalam rangka mempertahankan dan membendung arus serangan tentara Inggris, Gurkha dan NICA.
Pada Februari 1946 TRIP memperluas sayapnya dengan mengadakan latihan
kader, meminta setiap sekolah di seluruh Jawa Timur mengirim dua
wakilnya.
sramanya mas TRIP ada di Parengan Jetis, sebelah Barat dayanya Wringin anom. Pertempuran di desa Lebaksari pada tanggal 14 Februari 1946 merupakan medan pertempuran dahsyat yang pernah dipertahankan oleh kesatuan Mas TRIP, setelah mundurnya pertahanan di dalam kota Surabaya.Demikian juga pertempuran di Desa Lebaksari, pada waktu itu pasukan TRIP satu seksi di pimpin oleh mas Pansa Tampobolon. Dengan kekuatan senapan-senapan karabyn panjang Belanda dan Jepang. Senjata berat satu-satunya adalah mitraliyur watermantel.
Pasukan mas TRIP ini merupakan baru saja ngaplosi pasukan mas TRIP yang lainnya yang sudah beberapa waktu yang lalu mempertahankan desa Lebaksari. Jadi pasukan tentara pelajarnya mas Pansa ini baru datang pada malam harinya dari Parengan Jetis (Asrama TRIP setelah mundur dari Surabaya).
Pada malam itu juga pasukan TRIP dapat perintah harus menempati stelling di desa Lebaksari. Pertahanan desa Lebaksari ini, letaknya tidak jauh. dari pertahanan bukit Kedamean 1 km jaraknya.
Pada malam itu juga berangkat dari Karangasem ke desa Lebaksari dengan melewati jalan-jalan sempit penuh lumpur berjalan secara gremet di dalam gelap gulita dengan tidak ada yang membawa lampu senterpun malam-malam itu sampai di tempat stelling. Keadaan medan di pegunungan penuh dengan rerumpunan bambu yang memanjang agak ketinggian dan merupakan suatu pertahanan yang baik. Selama dipertahanan pasukan TRIP selalu siap berjaga-jaga dalam stelling, jadi hidup di udara terbuka siang dan malam sampai ada aplosan (bergantian) ± 2 minggu.
Di depan pertahanan adalah suatu desa dengan ada satu jalan besar, jalan inilah sering dilewati tentara Inggris, Gurkha dan NICA berpatroli. Persis di depan agak ke bawah ada ladang jagung yang pohon-pohonnya sudah tinggi-tinggi. Untuk mengisi perut yang kosong pasukan TRIP bergiliran turun dari perbukitan masuk ke Desa mencari makan, sesudah itu kami kembali lagi ke tempat stelling. Pada waktu itu jam 10 pagi, bersama-sama teman yang lainnya masih didesa untuk makan pagi, tetapi belum selesai makan ± 2/3 suap tiba-tiba dikejutkan oleh orang-orang desa yang berlari-lari kian kemari sambil meneriakkan bahwa musuh memasuki desa.
Inggris, Gurkha yang diboncengi tentara NICA Belanda yang sangat terkenal kekejamannya muncul. Kalau mereka berpatroli kesuatu desa mereka bukannya hanya merampok tetapi juga memperkosa dan membunuh pemuda-pemuda desa tersebut.
Kendatipun. pasukan TRIP pada saat itu makan belum kenyang, segera meninggalkan desa tersebut menuju kembali tempat stelling dibawah rerumpunan bambu dan jagung. Dari jauh sudah melihat penduduk yang pada lari membawa bungkusan yang sempat dibawanya dan menuntun ternaknya dan terus dihalau keluar desanya, mereka segera mengungsi keluar desa untuk mencari selamat.
Tidak jauh dibelakang mereka terlihat barisan teratur beratus- ratus manusia yang beruniform hijau sedang dalam formasi tempur melewati galeng-galengan sawah ladang jagung. Dengan seksama pasukan TRIP mengawasi dengan berdebar-debar menunggu mereka mendekat sampai jarak tembak.
Suasana sunyi senyap pasukan TRIP tiarap merapat tanah dibelakang tanah gundukan di bawah rumpun bambu dengan senapan yang sudah terisi peluru siap menembak.
Tiba-tiba dari belakang stelling pasukan TRIP datanglah serombongan pasukan Polisi Istimewa (anak buahnya Pak Jasin) yang mau stelling maju lagi dari stelling pasukan TRIP. Mereka penuh keberanian menyongsong datangnya musuh dan mereka terdiri dari satu regu dan salah satu diantara mereka membawa tekidanto (pelempar granat) mereka langsung membuat stelling di muka pasukan TRIP dan agak ke bawah (lebih rendah). Rupanya musuh mengetahui gerakan-gerakan ini, dan musuh tiba-tiba merebahkan badannya langsung bertiarap di bawah rerumpunan bambu dan pepohonan jagung sehingga mereka menghilang dari pandangan mata. Keadaan kembali sunyi senyap dan musuh bersembunyi diantara pepohonan jagung dan mereka telah mengetahui lokasi stelling pasukan TRIP di dalam rumpun bambu.
Beberapa orang anggota Polisi Istimewa tidak sabar lagi, keadaan tunggu menunggu ini sangat mengejutkan kami, sekonyong-konyong Polisi Istimewa menembakkan tekidantonya dan pelurunya jatuh ditengah-tengah ladang jagung dan meledaklah ditengah-tengah musuh yang tersembunyi. Kemudian menyusul peluru kedua, ketiga dan seterusnya. Segera musuh berpuluh-puluh jumlahnya bangkit dengan mengundurkan diri sambil membalas tembakan bertubi-tubi kearah kami. Tembakan-tembakan mereka segera kami balas dengan tembakan gencar baik dengan senapan maupun mitraliur, semua rekan-rekan mas TRIP menembak. Musuh melompat berlari-lari mundur bagaikan burung-burung berterbangan yang diusik oleh petani dari ladang padinya.
Keadaan ini tidak berlangsung lama sebab tak lama kemudian sepanjang stelling pasukan TRIP dihujani peluru-peluru senapan mesin tidak henti-hentinya yang diselingi jatuhnya bom dari kapal terbang yang mendengung di udara dan jatuhnya kiriman mereka peluru mortir. Pasukan TRIP terlibat dalam perang yang sangat seru, sebab yang dihadapi bukan saja infanteri yang di depan stelling juga peluru-peluru artelerinya yang ditembakkan dari kejauhan desa Bambe, maupun bom-bom yang dijatuhkan dari pesawat udaranya.
Dengan melihat serangan-serangan yang demikian dahsyatnya dan tepatnya tembakan-tembakan itu, kita perkirakan bahwa musuh sudah jauh mengetahui kedudukan pertahanan TRIP Tambaksari, karena dua hari sebelumnya pertempuran mereka telah mempersiapkannya hendak menggempur pertahanan TRIP dan sekitarnya, hal ini dapat dibuktikan bahwa 2 hari sebelumnya ada aplosan, seorang mata-mata musuh tertangkap oleh pasukan Polisi istimewa.
Pada saat-saatnya pasukan TRIP sedang asyiknya membidik dan menembak kesasaran musuh jauh di depan, menghebatlah hujan peluru dan ledakan-ledakan peluru mortir, kanon dan bom-bom yang berjatuhan ke kanan kiri pertahanan Tambaksari. Telinga terasa pekak dan penglihatan mulai kabur, karena debu yang berterbangan dan asap bau mesiu mulai menutup udara menjadi gelap di seluruh pertahanan pasukan TRIP. Karena keadaan yang demikian pasukan TRIP mengambil keputusan untuk memindahkan stelling mundur guna menghindari sasaran tembakan-tembakan dan mortir-mortir yang hampir selalu tepat mengenai pasukan TRIP.
Begitu hebatnya serangan musuh sampai debu tanah yang bongkah beterbangan mengepul mengotori udara. Bongkah-bongkahan tanah terbongkar karena ledakan-ledakan peluru meriam dan mortir sangat membisingkan telinga. Setyo Kasnan bangkit dan mau pindah ke belakang, tetapi dicegah oleh mas Pansa Tampobolon alm. yang mengeram setengah marah sambil menodongkan pistolnya parabellem Jepang ke Setyo Kasnan dengan berteriak jangan mundur tetap bertahan sampai titik darah penghabisan !.Sebentar-sebentar dia membantu menembakkan mitraliyur water mantel yang sudah panas loopnya.
Mendadak Setyo Kasnan dengar teriakan-teriakan teman saudara Fakihudin lengannya kena peluru dengan cepat sekali saudara Taslim Umar alm. menolongnya dan membalut lukanya dengan stiwel dan darahnya mengalir ditanah dengan derasnya. Musuh makin ganas dengan tembakan meriam dan mortir makin gencar menembaki stelling pasukan TRIP. Desingan peluru-peluru senapan mesin berseliweran diatas kepala pasukan TRIP saudara Fakihudin di tolong dan dibopong oleh mas Taslim alm. ke belakang ke tempat yang lebih aman untuk diberikan pertolongan.
Namun sial juga saudara Taslim Umar alm. yang sedang menggendong Fakihudin kena peluru dan jatuh juga, lalu di tolong saudara Soedjadi alm. dan saudara Soepardi alm., rupa-rupanya mereka dikejar dan dibuntuti peluru-peluru musuh.
Sementara pasukan TRIP terus bertahan sampai hari sudah menunjukkan sore suara tembak-tembakan sudah mulai jarang dan mereda, namun ledakan mortir dan meriam masih berjatuhan di kanan-kiri pertahanan mas TRIP dan kami belum berani keluar dari stelling, baru setelah keadaan sepi dan hari sudah mulai petang pasukan TRIP berkumpul dan baru diketahui teman-teman yang jatuh korban yaitu saudara Soewandi (pengarang Syair “Temanku Pahlawan”) gugur dan jenasahnya diangkat ke pos Palang Merah dan yang luka-luka saudara Basmarrachman, Mommy, Kosim, Koento, dan Taslim.
Mereka yang gugur dan luka-luka di baringkan di balai¬balai yang di buat dari bambu dari gubuk-gubuk yang ada disawah untuk balai-balai usungan, selanjutnya diusung ke desa Karangasem untuk di naikkan ke mobil ambulan bersama-sama dibawa ke rumah sakit Gatul Mojokerto.
Dari 7 orang pasukan mas TRIP yang luka-luka dalam pertempuran di desa Tambaksari seorang diantaranya gugur ialah saudara Soewandi, tiga orang menjadi cacat seumur hidup ialah saudara Fakihudin, saudara Mommy, saudara Drs. Basmarrachman alm. sedangkan tiga orang lainnya luka-luka ringan adalah saudara Taslim Umar alm. , saudara Kosim, saudara Koento Wibisono.
Sedangkan saudara Soewandi yang gugur jenasahnya dibungkus kain kafan dimasukkan ke dalam peti di makamkan di Taman Makam Pahlawan dengan ucapan militer. Saudara Soewandi gugur sebagai kusuma bangsa adalah pelajar SMT yang cerdas dan disayangi oleh para pengajarnya, sehingga dengan gugurnya sdr. Soewandi banyak kalangan handai taulan merasa kehilangan, disalah satu sakunya diketemukan sebagai warisan secarik kertas kumal yang ditulisnya syair “Temanku Pahlawan” yang sangat mengharukan, yang kemudian digubah menjadi lagu oleh saudara Abdus Saleh dengan irama yang mengharukan pula.
Rasa nasionalisme di kota yang merdeka ini ditanamkan oleh orator
semacam Bung Tomo. Pada 17 Maret 1946 Bung Tomo berpidato di Stadion
Malang yang dihadiri oleh ribuan orang yang datang berduyun-duyun.
“Djanganlah meroentjing-roentjingkan hak lebih dahoeloe akan tetapi
penoehilah toentoetan kewadjiban sebagai warga negara Indonesia,”
demikian antara lain yang diungkapkan Bung Tomo. Selain Bung Tomo, Mas
Isman komandan TRIP Jawa Timur juga dielu-elukan rakyat ketika memasuki
Kota Malang. “Jangan elu-elukan kami, kami bukan pahlawan, tangan kami
berlumuran darah. Yang layak menjadi pahlawan adalah rakyat yang
teraniaya dan terjajah.”
Pada 14-16 Juli 1946 di Kota Malang diadakan Kongres Pelajar yang
dihadiri oleh semua unsur pimpinan IPI Jawa Timur, termasuk bagian
laskarnya.
Pada 21 Juli 1946 dengan masuknya satuan pelajar dan laskar IPI sebagai
realisasi kongres di Malang maka diputuskan Markas Pusat TRIP Jawa Timur
berkedudukan di Kota Malang, maka TRIP berkembang keseluruh Jawa
Timur. Hasilnya tersusunlah organisasi TRIP yang teratur dengan
personalianya sebagai berikut :
– Komandan dijabat oleh pelajar Isman atau dikenal dengan nama Mas Isman
– Wakil Komandan dijabat oleh Moeljosoedjono
berkedudukan di Mojokerto
Kemudian pasukan yang ada dikoordinasi dalam satuan-satuan kecil sebagai berikut :
a. Batalyon 1000 terdiri dari pelajar di Karesidenan Surabaya meliputi Mojokerto dan Jombang yang dipimpin oleh Gatot Koesoemo.
b. Batalyon 2000 terdiri dari pelajar di Karesidenan Madiun dan Bojonegoro yang dipimpin oleh Surachman.
Untuk Madiun bermarkas di SMP Pertahanan Madiun sekarang SMP Negeri 2
Kota Madiun Jalan H.A. Salim
c. Batalyon 3000 terdiri terdiri dari pelajar di Kediri, Tulungagung dan Blitar termasuk Nganjuk yang dipimpin oleh Sudarno.
d. Batalyon 4000 di Karesidenan Jember yang melliputi pelajar di Besuki, Bondowoso, Situbondo dan Banyuwangi yang dipimpin oleh Mukarto.
e. Batalyon 5000 berkedudukan di Malang meliputi pelajar di Karesidenan Malang yang
meliputi pelajar di Malang, Pasuruan, Probolinggo termasuk Lumajang yang
dipimpin oleh Susanto.
Untuk mempersiapkan batalyon batalyon di atas pada bulan Agustus
diadakan latihan calon Komandan di Mojokerto tepatnya di sekolah
Pertanian Menengah yang dipimpin oleh Soedarto Perang, Koesoemo Hadi,
Rasjid dan Sardjono.
Tapi bukan berarti TRIP sudah selesai pengabdiannya
kepada bangsa, berbagai kontak senjata masih terjadi antara pasukan
TRIP dengan musuh di garis depan, seperti di kubu Kedamean dan
pertempuran di Balongbendo.
Tahun 1947 sambil belajar di bangku sekolah para pelajar TRIP sesekali
mengempur pertahanan musuh secara bergantian.
Selanjutnya karena tentara Belanda dengan kekuatan yang besar berhasil menduduki Mojokerto pada tanggal 17 Maret 1947 maka Markas Komando TRIP terpaksa dipindahkan ke kota Malang dan Markas batalyon 1000 dipindahkan ke Karesidenan Madiun dengan tujuan agar dapat melanjutkan perlawanan bersenjata sampai Belanda berhasil diusir dari bumi Pertiwi.
Pada April 1947 kubu TRIP di Kadamean diserang tentara Belanda dengan
tembakan mortir. Dua pelajar gugur dan dua orang lagi luka-luka. Salah
seorang yang terluka adalah Mohammad Razid dari Malang. Kedua belah
kakinya putus kena pecahan mortir sehingga akhirnya ia meninggal. Dalam
pertempuran lain di Balungbendo dua pelajar lagi gugur. Mereka adalah
Saibudin dimakamkan di Taman Pahlawan Sidoarjo dan Budiarjo dimakamkan
di Taman Pahlawan Malang.
Tanggal 21 Juli 1947
Terjadi Agresi Belanda ke 1 yang mengempur daerah Besuki dan arah
selatan Porong-Trawas-Lawang-Malang. Pasukan TRIP di Malang berusaha
mempertahankan kota tapi karena persenjataan yang tak seimbang TRIP
menderita korban yang banyak.

Pasukan TRIP bersiap di depan Markas mereka
© Dok. Dukut Publishing
Pasukan TRIP dengan kendaraan lapis baja
© Dok. Dukut Publishing
– Peristiwa pertempuran jalan Salak Malang yang meminta korban 35
pelajar gugur termasuk di dalamnya komandan batalyon 5000 pelajar
Soesanto.
Tanggal 23 Juli 1947 Brigade KL/KNIL memasuki daerah Lawang, perlawanan
dilakukan oleh rakyat terhadap gerakan ofensif pihak Belanda ini.
Terdapat beberapa kelompok perjuangan yang terlibat dalam penghadangan
gerakan Brigade KL/KNIL ini, di antaranya adalah Pasukan Polisi Perjuangan,
laskar-laskar rakyat seperti Laskar Hizbullah dan Sabilillah yang
berpusat di Singosari dan TRIP yang pada saat itu sedang mempersiapkan
basis pertahanan Kota Malang. Keberadaan Brigade KNIL di daerah Lawang
kurang lebih sekitar satu minggu karena menyangka Kota Malang akan
dipertahankan mati-matian oleh Divisi VII Untung Suropati yang memang
memiliki persenjataan yang kuat dan lengkap. Untuk itu mereka
mendatangkan bala bantuan pasukan dari Brigade Marine untuk menyerang
Kota Malang.
Di Kota Malang pada 23 Juli 1947 gedung dan pabrik di Kotalama sudah
rata dengan tanah. Kerusakan besar terjadi di Alun-alun Contong, Gedung
BRI, Kantor Keresidenan, hingga Gedung Rakyat (Onderling Belang) hancur
oleh bom-bom yang sengaja dipasang. Bangunan-bangunan lain yang
dihancurkan adalah Hotel Negara (Splendid Inn), Hotel Palace dan Bioskop
Rex. Taktik bumi hangus dilakukan agar Belanda sekalipun bisa merebut
Kota Malang tidak akan mendapatkan apa-apa. Bahkan bangunan yang
dibumihanguskan mencapai hampir 1000 gedung.
Tepat pada pukul 03.00 tanggal 31 Juli 1947 ketika itu masa Agresi Militer Belanda pertama, pasukan Belanda mulai
menyerbu Kota Malang dengan kendaraan berat dan persenjataan lengkap.
Pasukan Belanda cukup mudah memasuki Kota Malang sebab kota ini telah
dikosongkan oleh Komando Divisi Untung Suropati dan Kota Malang
dinyatakan sebagai kota terbuka. Akan tetapi, Malang yang telah dibakar dan dikosongkan tak berarti
pasukan Belanda bisa mendudukinya tanpa perlawanan dari rakyat.
Perlawanan sengit terjadi sejak masuk sisi utara Kabupaten Malang,
sepanjang jalan raya Lawang-Malang tank-tank musuh dihadang dengan
berbagai rintangan dan pasukan Belanda dihujani senapan mesin oleh TNI
dan laskar-laskar. Pertempuran penghadangan tentara Belanda juga terjadi
di Singosari di mana empat prajurit Belanda menjadi korban jebakan bom.
Ketika jam berdentang sembilan kali, perang
kota tidak dapat dielakkan. Dari arah utara, tampak tank-tank amfibi dan
Sherman bergerak pasti menuju ke arah kota melewati jalan raya di
kawasan Lowokwaroe, setelah sebelumnya berhasil menjebol front
penghadang di Lawang. Anak buah Sulaiman Hadi banyak yang gugur
mempertahankan garis demarkasi. Namun tidak sedikit pula yang berhasil
lolos dan mundur ke selatan menuju kota untuk bergabung dengan
rekan-rekan TRIP mereka. Perang pecah pertama kali di
sektor tengah. Para prajurit Mobile Brigade Polisi (MBP) berusaha sekuat
mungkin menahan laju kendaraan-kendaraan lapis baja yang seakan tak
terhenti. Dalam beberapa menit mata para prajurit Tentara Republik
Indonesia Angkatan Darat itu harus menyaksikan langsung senjata-senjata
berat berkaliber 20 mm dan 12,7 mm menghancurkan atap-atap gedung di
sektor tengah. Segera saja mereka berlari mundur ke tengah.
Namun masih saja senjata-senjata serbu itu tidak menghendaki mereka
untuk menyelamatkan diri. Terdengar jeritan panjang dari depan Gedung
Frateran. Seorang prajurit MBP bermandikan darah tersungkur di antara
reruntuhan gedung. Diikuti kemudian oleh teriakan rekan-rekannya yang
tidak sempat menyelamatkan diri. Agak sulit untuk dapat
menahan laju pasukan musuh. Terang saja, garda terdepan pasukan Belanda
itu terdiri dari barisan kavaleri yang terdiri dari panser-panser yang
berjalan beriringan. Rupanya strategi itulah yang mereka pakai untuk
membongkar pertahanan sektor tengah. Dengan begitu perlahan-lahan
pertahanan akan segera terbuka. Sedangkan pasukan infanterinya baru
menyusul di belakangnya. Terlindung oleh kendaraan-kendaraan baja.
Bahkan mereka lebih leluasa untuk menembak sasaran. Banyak dari mereka
yang tewas diterjang peluru-peluru senjata berat atau terkena pecahan
mortir. Namun keadaan ini masih bisa diatasi oleh Tentara
Repoeblik Indonesia Angkatan Darat. Maklum, jam terbang mereka dalam
menghadapi musuh lebih panjang dibandingkan pasukan pelajar. Satu regu
pasukan Mobile Grigade Polisi segera mengambil tindakan. Mereka
persiapkan senjata penangkalnya. Sebuah launcher (senjata
pelontar granat) peninggalan tentara Dai Nippon segera dipasang
menghadap ke sasaran. Koordinat diperhitungkan. Sambil berharap cemas,
Tekidento itupun segera dibidikkan. Dan Wuuut… Blaarr… Bumi terasa
terguncang sebentar seiring dengan ledakan dahsyat yang menyebabkan
berhentinya salah satu tank Sherman Belanda dalam keadaan hangus. Setiap
kali ada tank yang ringsek, maka terdengarlah bersorak-sorailah para
tentara Repoeblik itu. Dalam invasinya ke Malang 31 Juli 1947, Belanda
membagi pasukannya menjadi dua sayap penyerang. Sayap kanan menyerang di
sektor tengah kota, dan sayap kiri menyerang melalui timur. Yaitu
daerah Rampal. Pembagian pasukan ini harus mereka lakukan,
sebab sebelumnya mereka telah membayangkan kedahsyatan pasukan gabungan
yang mempertahankan Kota Malang. Di sisi lain, mereka juga tidak mau
kehilangan kesempatan emas untuk menguasai Repoeblik. Kalau sampai
kalah, berat sekali beban yang ditanggungnya. Bahkan bisa-bisa kiamat
bagi Kerajaan Belanda. “Indie verloren, rampspoed geboren!” Kalimat
itulah yang selalu diinstruksikan oleh para perwira kepada
serdadu-serdadu mereka. Maksudnya adalah jika Indie (Indonesia) lepas,
maka kiamat (bagi Belanda) terjadi! Sayap kanan agaknya
kurang mampu meneruskan laju kendaraan tempurnya ke sasaran di pusat
kota. Serangan mereka tertahan oleh penghadangan para prajurit
profesional dari Mobile Brigade Polisi dan Tentara Nasional Indonesia
Angkatan Darat. Tapi yang disayangkan adalah kemajuan demi
kemajuan yang didapatkan oleh sayap kiri Koninklijke Leger itu. Dengan
mudah mereka melumpuhkan Rampal yang dipertahankan oleh pasukan-pasukan
kecil dari kelompok Cadangan Sulawesi. Selanjutnya adalah Klodjen Kidoel
dan Aloon-aloon Contong. Satu persatu tempat-tempat strategis itu jatuh
ke tangan musuh.

Para Komandan TRIP yang tak gentar melawan gempuran Belanda.
© Dok. Dukut Publishing
Demi melihat kenyataan seperti itu para prajurit TRIP Batalyon 5000 yang
mempertahankan Oro-oro Dowo segera mengambil tindakan. Komandannya,
yaitu Soesanto segera memberikan instruksi kepada para anak buahnya agar
meningkatkan semangat bertempur. Teriakan-teriakan yang bernada
memberikan semangat segera membahana di sela desingan peluru-peluru yang
siap membuat lubang di tubuh para prajurit yang lengah. Himbauan
komandan Batalyon 5000 itu segera mendapatkan reaksi dari para prajurit
pelajar anggotanya. Beberapa prajurit TRIP segera menyadari
kelemahan tank-tank Belanda. Walaupun tampak seakan-akan terlindung
baja, namun kendaraan-kendaraan itu sebenarnya mempunyai celah terbuka
di bagian atasnya. Terbersit sebuah rencana nekad untuk menghancurkan
gajah-gajah baja itu. Caranya dengan melemparkan granat ke arah bagian
atasnya yang terbuka. Ledakan granat di dalam ruang kemudi itu
diharapkan dapat menghentikan aksi si penembak. Selamanya.
Rencana telah matang. Sambil membawa sebuah granat, seorang prajurit
mengendap-endap dengan cepat melewati sebuah viaduct lori, yang
memisahkan Oro-oro Dowo menjadi dua bagian. Tujuannya pasti. Sebuah tank
yang berada beberapa meter dari bangunan pabrik. Pastilah minimal ada
dua orang tentara susu yang berada di dalamnya. Seorangi pengemudi di
kabin bawah dan seorang penembak di ruang atas. “Kètam koên,” hardiknya
sambil bersiap menarik picu granat. Tanpa disadari
tiba-tiba dari arah depan sebuah Bren-gun menyalak. Tanpa menyadari apa
yang telah terjadi, tiba-tiba saja ia tersungkur ke tanah bermandikan
darah dengan beberapa lubang peluru di tubuhnya. Ternyata seorang
serdadu Belanda memergokinya tepat ketika granat itu hampir saja di
lemparkan ke dalam tank. Sedangkan tank Belanda yang semula menjadi
sasarannya kini telah berbelok arah.
Pada masa perjuangan fisik tahun 1947, para prajurit pejuang
dihadapkan banyak cobaan. Kalau perang melawan musuh para serdadu bule
itu hal yang biasa. Memang itu yang harus dilakukan. Tapi cobaan yang
paling berat adalah ketika harus melawan bangsa sendiri. Termasuk yang
dialami para prajurit pelajar pemberani itu. Ketika satu
regu pasukan TRIP yang ditempatkan di Djalan Boering sedang bersiap
untuk menghadapi tentara-tentara Belanda yang menyerang dari arah
Oro-oro Dowo, tiba-tiba beberapa orang anggota pasukan berteriak. Ada
serangan yang tak terduga! Beberapa peluru berterbangan hanya beberapa
inchi dari kepala mereka. Tapi serangan itu kenapa berasal dari
belakang? Dari mana asalnya? Beberapa anggota TRIP segera
melakukan investigasi sebelum jatuh korban pada pasukan mereka. Setelah
mengamati, mereka berkesimpulan bahwa peluru-peluru itu ditembakkan dari
jendela-jendela Gereja Katholik yang berdiri megah di pojok antara
Djalan Idjen dan Djalan Goentoer. Tidak hanya itu, serangan-serangan
gelap tampaknya tidak hanya dirasakan oleh pasukan TRIP yang berada di
sekeliling Djalan Boering saja. Di seberang barat Djalan Idjen,
peluru-peluru berkaliber 7,7 mm juga berdesingan mengarah kepada regu
pasukan TRIP yang sedang siaga satu. Tembakan-tembakan yang ini berasal
dari jendela lantai dua Gedoeng Pemoeda yang berada di sudut Djalan
Semeroe.
Melihat gayanya, serangan itu bukan dilakukan dengan senjata otomat atau
sub-otomat. Namun cukup membahayakan juga. Jika tidak sempat mengelak,
bisa-bisa mati konyol sebelum laras Lee Enfield atau Lewisgun di tangan
sempat melobangi dada musuh mereka yang sesungguhnya. Para serdadu
Belanda yang telah berhari-hari mereka incar itu. Mau
menggropyok mereka, tapi Belanda sudah semakin dekat. Mana sempaaat…
Tapi siapa sebenarnya yang melakukan pembokongan ini? Yang jelas mereka
adalah mata-mata pengkhianat dari Bangsa sendiri. Lha mau siapa lagi?
Wong pasukan Belanda masih tertahan di Oro-oro Dowo dan belum nyampai di
tempat itu. Malang pada masa itu memang sempat menjadi
sarang bagi para mata-mata dan pengkhianat Repoeblik. Setidaknya dalam
buku Sangkur dan Pena, Asmadi pernah menulis begitu. Banyak warga
bumiputera sendiri di Malang yang tidak kuat menahan tekanan revolusi.
Akibatnya dengan hanya iming-iming duit atau barang kebutuhan yang
memang lumayan, banyak mereka yang kepincut. Menjadi mata-mata Belanda. Tugasnya sungguh beresiko. Mereka akan blusukan ke
tempat-tempat di Malang. Mencari tahu di mana tempat markas para tentara
Repoeblik, atau minimal pos-pos mereka. Berapa jumlah mereka. Dengan
demikian pihak Belanda akan dapat dengan mudah menyerangnya. Kalau si mata-mata ini tertangkap basah sedang beraksi, pastilah
runyam. Gak trimo diowik oleh para pejuang itu. Hukumannya yang
paling ringan adalah: dilubang pelipisnya pakai revolver! Persis
seperti permainan Russian Rollet. Iku wis sing paling kane, Ker! Masih
untung tidak dirajang kayak brambang. Tapi susah juga
melawan musuh yang satu ini. Warna kulitnya, bentuk tubuhnya juga sama.
Bahkan sama-sama bisa ngomong osob kiwalan. Repot! Harus ada bukti-bukti
kuat bahwa mereka adalah benar-benar spionase. Jangan sampai
menimbulkan banyak korban sia-sia dari rakyat biasa. Selain itu Asmadi
juga menjelaskan bahwa banyak orang-orang Arab dan Tionghoa di Malang
yang tidak suka terhadap berdirinya Repoeblik, juga menjadi mata-mata.
Eh, ini bukan soal pojok-memojokkan lho, ya. Di Malang Tempo Doeloe
kenyataannya begitu. Pak Asmadi itu kan pelaku sejarah juga. Beliau
mantan anggota TRIP. Soal para mata-mata itu, mungkin
mereka merasa lebih sejahtera berada di bawah pemerintahan Belanda.
Bahkan ada yang terang-terangan membentuk sebuah pasukan bersenjata.
Seperti kalau di Malang Tempo Doeloe ada kelompok bersenjata Poh An Tui
yang menjadi saingan Belanda dalam melawan pasukan Repoeblik. Namun
mereka yang memilih untuk tidak berpihak kepada Belanda tentunya ya,
lebih banyak.
Pasukan Belanda kian berada di atas angin. Sehingga prajurit-prajurit
TRIP yang berada di Oro-oro Dowo terdesak. Terdengar seruan untuk segera
mundur ke barat. Tujuan yang hendak dicapai adalah Lapangan Pacuan Kuda
Bethek. Mereka dapat bergabung dengan anggota TRIP lainnya yang telah
siaga di dekat Lapangan Pacuan Kuda di Bethek. Sehingga perlawanan dapat
dipusatkan dari tempat itu. Perang tetap berlanjut selama
tiga jam. Namun dari waktu ke waktu pertahanan TRIP semakin melemah.
Wajar saja karena sejak pagi mereka memang belum nakam oges. Jelas saja ewul
bukan main. Akhirnya tubuh semakin lemas. Kasan, Sukoprawiro, Sucipto
dan Sutarman dalam keadaan lemas, tak mampu menahan serangan. Mereka
gugur diterjang peluru. Kecemasan semakin menjadi-jadi
ketika terdengar kabar bahwa Belanda tiba-tiba telah mengepung posisi
pasukan di Bethek. Perkampungan di sebelah barat Bethek telah diduduki
musuh! Lho, yang ini dari mana datangnya? Serangan melambung. Strategi
itulah ternyata yang dilakukan Belanda. Dan kenyataannya memang efektif:
pasukan TRIP di Lapangan Pacuan Kuda telah terkepung rapat! Di sela
kekacauan itulah beberapa Brengun infanteri Belanda berhasil mendapatkan
kesempatan. Dengan telak menghajar tubuh-tubuh mereka. Satu-persatu
para pelajar itu roboh ke tanah bermandikan darah. Karmadi, Kusaeri,
Lukito, Zainuddin, Rajuman, Budoyo, Sukari, Jais, Sudibyo dan Sugeng.
Kepala dan dada tertembus peluru. Mereka menghembuskan nafas penghabisan
di tempat itu. “Allaahu Akbar…!” Berkali-kali menggema teriakan takbir
pada saat-saat kritis itu. Teriakan ini sempat menggugah semangat
mereka. Berbaur dengan desingan peluru dan ledakan mortir yang seakan
tanpa jeda. Ketika itulah terdengar kabar bahwa Susanto – sang komandan –
telah gugur. Motor yang ia kendarai mengalami kecelakaan berat karena
serangan para pembokong di lokasi Gereja Katholik. Berita itu semakin
mengacaukan kondisi para pemuda TRIP. Satu-satunya harapan
(tipis) adalah serangan Tekidento (launcher Jepang) ke induk
pasukan Belanda di seberang barat Djalan Idjen. Satu… dua… namun agaknya
tidak begitu berarti. Desakan tank-tank amfibi semakin menghimpit
kedudukan mereka. Dalam situasi gawat itu sebuah mortir
meledak dahsyat di antara jajaran penembak. Bersamaan dengan beberapa
teriakan menjulang mengagetkan. Terpentallah tubuh-tubuh yang hancur
dengan tangan dan kaki remuk serta perut terburai, dikoyak
serpihan-serpihan baja panas. Eko Sumarto, Tejo Kece, Subandi, Husin,
Kayaman dan Usman. Semuanya gugur.
Namun Belanda agaknya tidak memberikan lagi sedikitpun kesempatan. Sisa
prajurit TRIP yang masih bertahan di tempat itu tiba-tiba jatuh
satu-persatu. Lagi-lagi dengan tubuh bersimbah darah, menjadi bancakan
bagi Brengun Belanda yang menguasai medan pertempuran. Pada
saat-saat akhir, Kido, Nurrahim, Puspito, Polai, Budiono, Darmoyo,
Zainal Dauri, Harsunu, Husin Kartono, Ilham, Marwi, Sukandar dan Sukari
memilih untuk gugur daripada harus menjadi tawanan penghuni Lowokwaroe.
Beberapa saat kemudian situasi menjadi sepi. Hanya asap bekas ledakan
yang masih mengepul di sana-sini. Perang telah berakhir. Tiga puluh
lima jenazah, termasuk di antaranya jenazah Susanto, dimakamkan bersama
di sebuah tanah kosong di Jalan Salak.
Dalam pertempuran ini bukan hanya tentara pelajar yang menjadi korban. Pelajar yang bukan
tentara pun juga jadi korban. Tentara Belanda terus menyerbu rumah sakit
Celaket mencari tentara. Mereka tidak bisa membedakan antara anggota
Palang Merah dan tentara pejuang. Dua orang anggota Palang Merah Pemuda
tertangkap dan dibunuh. Sebuah laporan menyebutkan salah seorang di
antaranya matanya dicungkil.
– pertempuran di jalan Kawi yang mengakibatkan gugurnya pelajar Setoe dari Tulung Agung.
Ada sebuah lagu yang berhasil digubah oleh para pelajar, khususnya
ketika Malang sudah direbut tentara Belanda pada 31 Juli 1947. Liriknya
sebagai berikut:
“Mari kawan-kawan menuju Kota Malang
Yang telah lama
terpaksa kita tinggalkan
Mari rebut kembali dari tangan musuh
Mari kita
serbu kita halau dengan musnah
Hai pemuda-pemuda harapan bangsa
Ingat
kewajiban Kota Malang menanti sudah, pahlawan jang perwira
Tabahkan
hatimu
Tiada gentar dwiwarna harus berkibar pula di Malang yang megah.”
Karena Agresi Belanda ini maka Pusat Komando TRIP berpindah ke Gabru Tegalasri Wlingi,
Kediri dan Madiun. Karena adanya Agresi Militer Belanda ke I ini kekuatan TRIP tercerai berai, maka organisasi TRIP mengalami perubahan untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.
Kota Madiun setelah Agresi Militer Belanda yang I dibanjiri pengungsi dari daerah Surabaya, Keresidenan Besuki dan sekitarnya.Dalam
rombongan pengungsi tersebut terdapat pasukan TRIP dari Batalyon 1000
di bawah pimpinan sdr. Koesoemo Hadi.Sedangkan waktu itu di Madiun sudah
ada Batalyon 2000 pimpinan sdr. Achmad Effendi ( mbah Onggo ) yang
anggota- anggotanya tediri dari pelajar -. pelajar kota Madiun dan
Bojonegoro. Anggota -anggota ini tidak di asramakan tapi tinggal di
rumah masing – masing atau di rumah tempat kost mereka.
Dengan terjadinya perubahan- perubahan situasi, maka struktur organisasi TRIP di rubah menjadi “Komando- Komando”.
Markas Komando Pusat TRIP berkedudukan di Gabru,
Markas Komando I ( gabungan dari Yon 1000 dan Yon 2000 ) berkedudukan di
Madiun sedangkan Markas / asrama TRIP Komando I bertempat di gedung SMP Negeri 2 Madiun.
Markas Komando II berasal dari Yon 3000 di Kediri.
Batalyon 4000 tetap melanjutkan perlawanan gerilya di daerah Karesidenan Besuki.
Batalyon 5000 tetap dan kedudukannya dipindahkan ke Gabru Tegalasri Wlingi Kediri sebagai pengaman Markas Komando Pusat TRIP serta melakukan perang gerilya di daerah tersebut.
Dengan ijin dari walikota Madiun maka markas komando I TRIP menempati
markas eks Batalyon 2000 yaitu di ujung jalan Raya dekat simpang empat
tugu. Komando I di bawah pimpinan sdr. Koesoemo Hadi.
Karena Markas / Asrama Komando I TRIP berada di sekolah yaitu SMP N 2 Madiun sampai dengan ujian akhir SMP tanggal 4 Juli 1947 tidak terjadi sesuatu
yang menonjol,kecuali beberapa hal seperti tempat belajar dipindahkan ke
“speeloods” (ruang senam / olah raga ) dengan diberi sekat gedeg
(anyaman dari bambu). Ruang ini jika pagi dipakai kelas, siang untuk
ruang makan dan malamnya untuk ruang tidur dengan bangku sekolah sebagai
tempat tidurnya.
Anggota TRIP di Markas Komando I, 1947
Anggota TRIP , 1947
Anggota Mastrip, Madiun
Parade TRIP Jatim
Patroli TRIP di daerah Caruban pada tahun 1947
Pejagaan Batas Kota di Caruban, 1947
Sesuai dengan tujuan dari TRIP, disamping bertempur melawan penjajah
juga mengutamakan belajar. Untuk itu SMP dan
SMA pertahanan yang didirikan oleh TRIP di Mojokerto di lanjutkan lagi
di Madiun. Di kota Madiun cita-cita TRIP sebagai pelajar pejuang
diteruskan dalam ikatan TRIP Jawa Timur. Semasa perang Kemerdekaan
anggota TRIP mendapatkan sebutan “mas” dari masyarakat, karena yang
jelas mereka agak bingung untuk memanggil para pelajar pejuang ini.
Dipanggil “pak” masih sangat muda dan belum pantas, tapi jika dipanggil ” dik/ nak”
mereka sudah berani mengangkat senjata melawan kaum penjajah. Dan itu
menunjukan bahwa mereka bukanlah anak-anak lagi, meskipun rata-rata usia
mereka antara 12 s/d 20 tahunan jadilah sesuai budaya Jawa yang menjaga
kesopanan dalam pergaulan maka disebutlah anggota TRIP dengan panggilan
Mas. Sehingga sampai sekarang dikenal dengan sebutan MasTRIP. jadi
jelaslah bahwa “mas” bukan merupakan singkatan tapi panggilan akrab masyarakat kepada para anggota pasukan TRIP.
Akibat perjanjian Renville pemerintah Republik Indonesia memerintahkan agar kekuatan TNI kembali masuk ke daerah "Kantong" yang merupakan daerah kekuasaan Republik Indonesia. Demikian juga dengan TRIP mematuhi perintah untuk kembali ke daerah "Kantong" tersebut. TRIP yang sudah tersebar di dalam daerah pendudukan Belanda terpaksa ditarik kembali masuk ke dalam daerah kekuasaan Republik Indonesia, yaitu daerah Blitar, Pare, Kediri, Tulungagung dan Madiun.
Sehingga sejak ditandatanginya perjanjian Renville berlaku gencatan senjata di seluruh sektor pertempuran dimana masing-masing pihak kembali ke daerah kekuasaannya masing-masing yang dibatasi oleh garis imajiner di medan yang disebut dengan istilah garis demarkasi atau garis Status Quo. Dimana untuk melewati garis Status Quo ini harus seizin dan sepengetahuan pihak lain yang menguasai daerah tersebut.
Di masa gencatan senjata ini ada anjuran dari pemerintah supaya anggota TRIP di Jawa Timur kembali ke bangku sekolahnya masing-masing. Ada 3 pilihan yang mana ketiganya dirasa beratnya yaitu :
1. Terus berjuang/memanggul senjata dengan konsekuensi meninggalkan bangku sekolah.
2. Kembali ke bangku sekolah.
3. Tetap berjuang dengan sambil belajar di sekolah.
Dari ketiga pilihan tersebut di atas maka diambil keputusan untuk tetap berjuang dengan sambil beajar di sekolah, maka anggota TRIP akhirnya secara bergilir dan diatur bergantian tanpa meninggalkan kewaspadaan. Dari peristiwa ini akhirnya timbul semboyan TRIP yang berbunyi :
"Berjuang, Belajar, Bersenang-senang, Lebih Baik Mati Berkalang Tanah Daripada Menjadi Pelajar Jajahan"
Kemudian di bulan Agustus 1948 pimpinan TRIP Komando I beralih dari sdr. Koesoemo Hadi kepada sdr.
Soegito Ambon dengan kepala staffnya sdr. Sabar Koembino dan pimpinan
pasukan dipegang sdr. Soekamto Sajidiman.
Tanggal 1 September 1948 di Solo terjadi kekacauan yaitu penculikan dan pembunuhan Dr. Moewardi,pemogokan buruh di pabrik Delanggu Solo.
Peristiwa ini merupakan peristiwa besar yang dijadikan “ test case” oleh
PKI untuk mengetahui sampai dimana reaksi,kekuatan dan wibawa
pemerintah RI. Strategi ini dimaksudkan agar perhatian pemerintah
tertuju pada kota Solo,sehingga diharapkan konsentrasi pasukan RI ada di
sekitar kota Solo. Setelah peristiwa di Solo yang dianggap sebagai
proolog selesai,FDR/PKI mulai mengadakan perebutan kekuasaan dengan
didukung oleh Brigade 29 yang hampir seluruh anggotanya berasal dari
laskar pemuda sosialis Indonesia
( PESINDO ). Brigade 29 ini sebelumnya bermarkas di Kediri kemudian dipindahkan untuk menguasai Keresidenan Madiun.
Tanggal 18 September 1948 laskar PESINDO di bawah PKI mengambil alih
kekuasaan Pemerintah RI di Madiun dengan kekuatan bersenjata. Hampir
semua kesatuan bersenjata dan posisi penting di Madiun serta unit–unit Kecil dari Divisi Siliwangi dilucuti dan dikuasai PESINDO, Namun
markas komando I dan asrama TRIP terhindar untuk sementara waktu.
Pesindo berharap dengan popularitas dan wibawa yang diperoleh mereka
akan ditakuti dan akhirnya para pelajar ini akan mudah dapat dibujuk
untuk bergabung dengan mereka. Namun pendapat mereka ternyata salah
besar, para pelajar khususnya TRIP menyatakan tetap setia pada
pemerintah RI dan menolak tegas bergabung dengan FDR/PKI.
Tanggal 18 September 1948 ketika PESINDO melucuti kesatuan–kesatuan
bersenjata, satu kelompok pasukannya bergerak melalui belakang asrama
TRIP dengan sasaran mess perwira Divisi Siliwangi yang berada di selatan
asrama TRIP. Saat itu ada satu senapan laras panjang, satu bren (senapan
mesin) dilemparkan melalui pagar tembok oleh 3 anggota TRIP yang
diterima oleh laskar PESINDO. Kehilangan senjata ini baru diketahui
kemudian dan setelah mendapat kepastian sensata-senjata tersebut dicuri
anggotanya sendiri maka pada tanggal 22 September 1948 diadakan apel pagi
seluruh anggota. Dalam apel itu dijelaskan peristiwa tentang hilangnya
senjata dan akhirnya dibuat ikrar di bawah bendera Merah Putih yang
isinya akan mengampuni anggota yang berkhianat bila sebelum jam 12.00
siang mengembalikan senjata tersebut dan sebaliknya akan menghukum
dengan menembak mati jika sampai jam 12.00 siang senjata tersebut tidak
dikembalikan, kemudian setelah apel mereka diperbolehkan‘”Gaes”
(pesiar/tamasya) keluar sampai jam 12.00 siang.
Pada tanggal 22 September 1948 asrama TRIP di Jalan Ponorogo Madiun digrebeg dan diduduki oleh FDR/PKI. Dan senjata TRIP akan dilucuti oleh FDR./PKI, namun anggota TRIP menolak dan melakukan perlawanan akibatnya seorang anggota TRIP yang bernama Moeljadi gugur. Saat penggrebegan terjadi saudara Danar Doenoes ketika melihat ada penyerbuan, segera lari
menyelamatkan diri ke lapangan. Waktu itu sebagian besar anggota TRIP
sedang istirahat atau tidur siang. Mereka terkejut dan terbangun karena
diperintahkan keluar kamar dengan teriakan dan tembakan. setelah itu
mereka disuruh jalan jongkok dengan tangan ke atas untuk berkumpul di
tempat apel. Salah satu anggota PESINDO memanggil 3 nama anggota TRIP
untuk keluar dari kelompok yaitu Soenarjo,Soerojo dan Alex Legowo untuk
bergabung dengan PESINDO. Barulah diketahui dengan pasti siapa
pengkhianat yang mencuri senjatanya sendiri.Selanjutnya mereka menawan 8
orang yg dianggap pimpinan dan di bawa ke markas PESINDO di jalan raya
dekat markas komando I TRIP. Lalu pada hari selanjutnya mereka dibawa ke
penjara Kletak ( Sekarang LAPAS kota Madiun ).
Tanggal 24 September 1948 pagi bertebaran di seluruh penjuru kota
Madiun ribuan pamflet yang berisi sikap anti Muso dengan FDR/PKInya.
Walaupun FDR/PKI menduga gerakan ini ulah para pelajar mereka tidak
pernah dapat membuktikan apalagi menangkap pelakunya.Bahkan sebenarnya
para pelajar kota Madiun diam-diam menggalang teman-temannya di Magetan
untuk ikut serta memusuhi FDR/PKI. Menyadari situasi yang mulai memanas
FDR/PKI segera mengambil tindakan preventif dan proaktif agar memanasnya
suasana di kalangan pelajar dapat diredam.
Pihak penyelenggara terkejut dan panik melihat reaksi spontan
massa. Mereka tidak mengira rapat itu justru jadi boomerang bagi mereka
karena muncul berbagai unjuk rasa dalam rangka menentang FDR/PKI.
Merasakan situasi tidak menguntungkan rapat tersebut segera dibubarkan
tanpa hasil apapun. Namun massa pelajar ternyata tidak mau bubar tapi
malah bergerak dalam iring-iringan menuju Taman Makam Pahlawan tempat
saudara Moeljadi dimakamkan. Seusai dari TMP massa kembali bergerak sambil
meneriakkan yel-yel yang bernada mengejek dan melecehkan FDR/PKI.
Bahkan ketika didepan markas PESINDO yang sudah Siap sensata &
mengancam siapa saja yang menghina pemerintah mereka, teriakan dan
yel-yel ini justru semakin keras bahkan menantang PESINDO untuk menembak
mereka. Untunglah peristiwa ini tidak jadi meletus menjadi pertumpahan
darah.
FDR/PKI yakin bahwa kerusuhan ini digerakkan oleh anak-anak TRIP yang
ada dalam kota sehingga pada tanggal 28 September 1948 tujuh anggota
TRIP yaitu :
Soeprapto
Soetopo
Soemadi
Djoewito
Joewono
Soegito
Ngadino
ditangkap atas petunjuk 3 orang yang berkhianat. Ke 7 orang
tersebut dibawa ke desa Kresek Kec. Wungu dan ditawan bersama tawanan
yang lain, yang pada akhirnya waktu terjadi kepanikan karena serangan
dari Siliwangi ke Madiun untuk menumpas FDR/PKI. Seluruh tawanan di
Kresek dihabisi dengan menembak membabi buta. Untunglah saat terjadi
pembantaian tersebut saudara Soeprapto lolos dari maut dengan cara
berlindung di balik lesung (alat penumbuk padi) Namur ke 6 temannya
yaitu :
Soetopo
Soemadi
Djoewito
Joewono
Soegito
Ngadino
gugur. Jenasah mereka dapat ditemukan dan di makamkan di TMP.
Ke 7 orang
pelajar yang gugur dari kesatuan TRIP Komando I ini kemudian diabadikan pada monumen di depan halaman SMP Negeri 2 Madiun
dan Di Jalan Mas TRIP untuk mengenang jasa-jasa dan semangat
kepahlawanan mereka semua.
Monumen untuk mengenang gugurnya 7 anggota TRIP
selama Pemberontakan FDR/PKI di Madiun
Tanggal 30 September 1948 kota Madiun dapat direbut kembali oleh
pasukan pemerintah RI. Pemimpin– pemimpin FDR/PKI banyak tertangkap
bahkan anggota TRIP yang berkhianatpun berhasil ditangkap dan akhirnya
dihukum tembak mati di salah satu tempat pemakaman umum di Dungus.
Anggota TRIP yang ditawan di asrama SMP Negeri 2 ditinggal lari begitu
saja oleh pasukan FDR/PKI yang tugas jaga ketika pasukan pemerintah
mulai memasuki Madiun. Kemudian TRIP bersama lascar yang lain dilibatkan
untuk pengejaran pasukan FDR/PKI yang sedang melarikan diri.
Kesulitan pemerintah RI belum berakhir, baru saja pemberontakan FDR/PKI
dapat dipadamkan,pada tanggal 19 Desember Belanda melakukan agresi ke II
dimana pada saat itu anggota TRIP yang duduk di kelas 3 sedang menempuh
ujian akhir tapi belum selesai semuanya. Agresi Belanda ke II ini
membuat para anggota TRIP segera melakukan konsolidasi dan melakukan
perlawanan terhadap Belanda . Para anggota TRIP Komando I yang nota bene
banyak siswa dari SMP Negeri 2 Madiun telah benar-benar menunjukkan
darma baktinya kepada ibu pertiwi dengan rela dan ikhlas berkorban jiwa
dan raga demi membela kemerdekaan Indonesia. Beberapa anggota TRIP gugur
di berbagai front pertempuran daerah Madiun waktu melawan Belanda,
seperti palagan Pagotan dan lain-lain. Walaupun mengalami kendala dan
kesulitan mereka tetap berjuang sampai titik darah penghabisan.
Pejuang-pejuang Tentara Pelajar (TRIP) Besuki sebanyak 22 orang diantaranya Aris Moenandar dan Moedjok (kemudian hari mereka berdua menjadi alumni PTIK dengan pangkat Kolonel Polisi) di Perkebunan Sumber Urip bergabung dan dipersenjatai oleh rombongan Polri dari Yon III pimpinan PIP. II Soekari yang sedang melakukan wingate Ponorogo - Bondowoso. Jumlah
kekuatan Yon III Polri ini terdiri dari 1 batalyon (terdiri dari 450 anggota berikut anggota
Bhayangkarinya yang berpakaian seragam dan bersenjata. Di samping itu
terdapat dua orang anggota Akademi Militer Yogyakarta, masing-masing
Muhamad dan Sudaryono yang telah menggabungkan diri dalam pasukan Yon
III MBK Besuki dan terus mengikuti wingate serta bersama-sama bergerilya
di daerah Maesan - Bondowoso. Yon III MBB Polri dan TRIP bersama-sama melanjutkan penyusupan ke daerah Besuki, di daerah basis gerilya semula sebelum hijrah.
Daerah
Malang Selatan dan Semeru Selatan walau pada umumnya diduduki Belanda,
tetapi de Facto masih di tangan kita. Oleh karenanya maka di daerah ini
kita bisa mendapatkan istirahat serta makan yang cukup atas bantuan
rakyat setempat. Demikian juga koordinasi dengan angkatan darat sangat
erat tanpa membedakan daerah maupun kesatuan asal.
Wingate
dilanjutkan melalui Purwojiwo yang telah berhasil direbut
pasukan-pasukan bersenjata kita. Kemudian menuju desa Penanggal -
Kertosari - Tumpeng - Jokarto, memotong jalan besar Lumajang, Pasirian.
Di desa Tempeh Lor menuju desa Kaliwungu - Wonokerto - Genteng -
Wotgalih - dan desa Tujungrejo Kecamatan Yosowilangun.
Kesulitan
besar menghadang ketika sampai desa Wotgalih. Sungai Bondoyudo yang
merupakan perbatasan dengan Karesidenan Besuki sedang banjir besar.
Sedang desa Meleman satu-satunya jalan penyeberangan para gerilya dijaga
Cakra dan Polisi Federal. Hampir saja keputusan menghancurkan jembatan
dilakukan, tetapi kepala desa Tunjung Rejo memberi uluran tangan dengan
menampung pasukan dan melindungi hingga tiba saatnya untuk melakukan
penyeberangan. Dan atas usaha kepala desa tersebut para penjaga terutama
Cakra yang bertugas menjaga satu-satunya jembatan Yosowilangun bisa
dibujuk sehingga semua pasukan dapat dengan selamat melewati jembatan
masuk wilayah Besuki.
Rute
gerilya daerah Besuki diarahkan ke utara melalui desa Gadumasan -
Sariyono - Rowotengah - memotong jalan besar Sukokulon - Manggisan -
Darungan - Selodakon - Badean - Suci - Banjarsengon dan Jumerto, dengan
maksud untuk langsung memasuki daerah basis gerilya yaitu daerah Maesan.
Rupanya, penyeberangan kita di jembatan Yosowilangun telah diketahui
Belanda, sehingga rute perjalanan pasukan terus diikuti, dan di desa
Jumerto pasukan kita dicegat.
Saat
pagi dini hari masyarakat Jumerto kedatangan tamu besar, yaitu sejumlah
tiga pleton pasukan Mobrig / Brimob. Ketika tiga pleton pasukan Mobrig /
Brimob sampai di Desa Jumerto, mereka bertemu Pak Yakub (salah satu
warga Jumerto). Saat ketemu Pak Yakub, salah seorang anggota Brimob
meminta ditunjukkan rumah kepala desa. Memang, selama perjalanan,
mereka pasti mampir di rumah perangkat desa setempat. Termasuk saat
datang ke Desa Jumerto. Oleh Pak Yakub, mereka diajak ke rumah sesepuh
desa bernama Pak Asmar. Karena prajurit Kepolisian tersebut kelelahan
mereka memutuskan bermalam di Desa Jumerto. Tak menunggu waktu lama bagi
mereka untuk merebahkan diri untuk kemudian memejamkan mata. Sementara
di sudut yang lain di desa Jumerto.. Sekumpulan pasukan Belanda juga ada
di sana. Pasukan Belanda ini sedang merebut hati rakyat Jember, dan
tersebar di beberapa titik. Mereka melakukan bermacam-macam cara. Dan
cara yang mereka lakukan di Jumerto adalah dengan membagi-bagikan gula.
Tentu
saja pihak Belanda mengetahui perihal kedatangan prajurit Kepolisian
Indonesia. Karena disinyalir, mereka datang lebih awal. Hal yang sama
tidak terjadi pada ketiga pleton prajurit Brimob. Mereka kelelahan dan
tidak menyadari adanya bahaya yang mengintai.
Pagi-pagi
buta sekitar jam 05.00 11 Februari 1949 pasukan Belanda mengadakan
operasi di desa Jumerto. Batalyon III MMB Jawa Timur beserta TRIP dalam
keadaan lelah namun senantiasa siaga untuk menghadapi setiap
kemungkinan, dengan maksud untuk beristirahat di desa Jumerto. Tiba-tiba
Belanda melakukan serangan dan pertempuran di jantung desa menjadi
semakin seru. Bahkan pertempuran jarak dekat tak bisa dihindarkan lagi.
Hal ini menyebabkan korban di kedua belah pihak sangat besar.
Ratusan
warga yang berniat menolong akhirnya juga menjadi korban. Setidaknya
20 warga Desa Jumerto tewas karena ditembus peluru tentara KNIL.
Abdurra, anak Pak Asmar yang mengantarkan anggota Brimob, juga
tertembak. Padahal, saat itu Abdurra berniat merawat anggota Brimob yang
gugur. Ditambah lagi masih ada juga rakyat Jumerto yang menjadi korban
penganiayaan dan perkosaan.
Di
pihak Belanda juga banyak yang tewas karena pada saat itu ada seorang
warga yang ditanya oleh pasukan Belanda dimana tempat persembunyian
pasukan Brimob, mereka menunjukan ke arah tentara Belanda sehingga
terjadi tembak menembak sesama pasukan Belanda dari kesalah pahaman ini,
banyak pasukan Belanda yang tewas tetapi jumlahnya tidak diketahui
dengan pasti sampai sekarang.
Belanda
merasa terdesak dan mundur. Namun beberapa saat kemudian dengan
dukungan pasukan dari Jember maupun Pos di Kecamatan Panti dan
Perkebunan Rayap. Pertempuran yang berlangsung sampai jam 11.00
menghantar gugurnya 9 orang pahlawan lagi, masing-masing (1) AP. I
Soradji, (2) AP. I Surono, (3) AP. III Sasono, (4) AP. III Achmad, (5)
AP. III Soebari, (6) AP. III Soewito, (7) AP. III Soeroso (8) AP.
Moedjasmidi, (9) AP. III Maslich dan seorang rekan dari TRIP Sarwono.
Di
desa Klungkung diadakan konsolidasi karena beberapa anggota belum
nampak hadir, maka inspektur Polisi Tk. II Koesnadi (asal gabungan) dan
AP. II Kasim yang mengenal daerah Jember Utara berusaha mencari
teman-teman yang belum berkumpul. Di desa Karang Pring, keduanya
kepergok patroli Belanda yang langsung menembak di tempat itu juga, dan
gugurlah kedua pahlawan tersebut.
Pasukan
segera melanjutkan gerakan menuju desa Socah Cangkring perbatasan
Kabupaten Jember - Bondowoso sebagai markas gerilya semasa clash I
dengan melewati Slawu - Bintoro - Langsat, Penduman (markas TRIP) -
Cangkring, Socah sebagai tujuan akhir.
Anggota TRIP Komando I, Madiun 1949 sehabis pertempuran.
Saat Kolonel Sungkono selaku Panglima
Divisi-I/ Jawa Timur dan Batalyon TRIP/ Jawa Timur mendapatkan satu
pucuk meriam gempur Banteng Blorok di Campurdarat, karena lambannya
pergerakan meriam ini maka Kolonel Sungkono melimpahkan mandat kepada
Kompi-4/ Widarbo dengan Komandan Pasukan Pengawal Batalyon Batalyon
TRIP/ Jawa Timur Duriatmojo. Sebelumnya Markas Komando Utama TRIP/
Jawatimur berada di Gabru, Desa Tegalsari, Kecamatan Wlingi, Kabupaten
Blitar, dipindahkan ke di Desa Dawuhan, Kabupaten Trenggalek. Namun
karena tekanan Belanda akhirnya markas di pindahkan lagi pada tahun 1949
di Perkebunan Kawisari, yang selanjutnya di tempatkan di Perkebunan
Pijiombo, Desa Ngadirenggo, Kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar.
Bermula dari Trenggalek (Dawuhan) bersama Batalyon TRIP/ Jawa Timur guna
menduduki markas baru di Kawisari akhirnya Batalyon ini menuju ke timur
menuju Campurdarat (Tulungagung). Setiba di Domasan, Kalidawir mulailah
perjalanan Meriam Gempur Banteng Blorok dengan kawalan Batalyon TRIP/
Jawa Timur dengan Komandan Duriatmojo menuju ke timur ke Desa Panjer.
Setiba di Ngunut Pasukan sebagian pengawal meriam ini diperintah untuk
membantu TNI di Ngunut guna menahan gerak laju Belanda di Sumbergempol,
sisanya meneruskan perjalanan pengawalan Meriam Banteng Blorok ke
Rejotangan di Desa Sumberagung. Disini Meriam ini mendapatkan teman
yaitu Meriam Macan Ucul dan berduel dengan Meriam Houwitzer milik
Belanda di Blitar. Keesok harinya pecahlah pertempuran di daerah
Rejotangan karena Belanda berhasil menyusup ke Rejotangan. Maka dengan
perintah Kampten Dedek Sumartono agar Meriam Banteng Blorok segera
dibawa ke Binangun, Blitar yang telah dikuasai oleh TNI. Sedangkan
Meriam Macan Ucul ditinggal di Desa Sumberagung karena bannya bocor guna
tidak menghambat laju pergerakan ke Binangun.
Adapun Rute yang ditempuh dari Sumberagung (Rejotangan) meneruskan
perjalanan ke Jimbe menuju Plumpungrejo, Tenggong, Sumberjati,
Plosorejo, Darungan, Gunung Betet, Dadapan, hingga sampai di Sutojayan
(Lodoyo) dalam perjalanan ini tidak terjadi pertempuran dengan Belanda,
namun sampai di Sutojayan pertempuran antara Batalyon TRIP dengan
Belanda berkobar kembali, dengan siasat tipu muslihat memancing Belanda
kearah selatan, Meriam Benteng Blorok menuju ke timur hingga sampai
Dukuh Judeg dan menuju ke Dukuh Kemetiran, Desa Panggongrejo, Kecamatan
Panggungrejo. Namun karena di Binangun terjadi perubahan situasi maka
Meriam Banteng Blorok segera di selamatkan di Gunung Gedang lereng
Gunung Kelud, Desa Gadungan, Kecamatan Gandusari. Akhirnya route
perjalanan dari Dukuh Kemetiran, Desa Panggongrejo menuju ke utara
menembus Hutan Jati di Banaran hingga sampai di Desa Kaulon (Kecamatan
Sutojayan) dan menyeberang sungai Brantas.
Setelah menyeberang sungai Brantas, Ki Banteng Blorok sampai di Desa
Jabung. akhirnya meneruskan rute menuju Gunung Gedang melalui Desa
Jeblog, Bendosewu, Pasiraman, Pasirarjo, Wlingi hingga sampai di Desa
Sumberagung, Kecamatan Gandusari ditempuh dengan tiga hari tiga malam
dengan keadaan aman tanpa halangan berarti. Sesampai di Desa ini Meriam
Banteng Blorok diarahkan ke utara yaitu menuju Dukuh Maenjangan Kalung.
Hal ini rupanya tepat sekali kareana di Dukuh Kemloko terjadi
pertempuran hebat antara sebagian Batalyon TRIP/ Jawa Timur dengan
tentara Belanda. Guna menyelamatkankan meriam tersebut maka perjalanan
Batalyon TRIP/ Jawa Timur dilanjutkan menuju ke Dukuh Glodang, terus ke
Dukuh Wringin kembar (Wringin branjang) hingga menuju Perkebunan Karet,
Petung Ombo di Desa Karangrejo, Kecamatan Garum.
Pada Bulan Mei 1949 Meriam Banteng Blorok melakukan perjalanan lagi
menuju ke Desa Krisik, sesampainya di desa ini meriam tersebut
ditempatkan di sebuah tepian di Dukuh Tirtomoyo dengan larasnya di
arahkan ke Wlingi. Selang kurang lebih 3 bulan yaitu pada bulan Juli
1949, Meriam Ki Banteng Blorok dijemput oleh kesatuan induknya Bateray-I
Artileri/ Batalyon-C/ Divisi I/ Jawa Timur dengan menggunakan truck
untuk di tempatkan kembali di Desa Pangkal Tulungagung. Setelah itu
Meriam tersebut dipindahkan ke Komando Artileri Divisi I/ Jawa Timur di
Nganjuk pada tanggal 3 Agustus 1949.
Pada tahun 1949 kekuataan TRIP berpusat di Blitar. Kapten Sukamto. Di kota Blitar inilah merupakan “tempat pengabdian akhir” dari Pasukan TRIP Selama perang gerilya, kecuali kota, praktis hampir semua daerah Blitar
berada dalam kekuasaan pasukan TRIP, serta beberapa kesatuan TNI
lainnya. i daerah Blitar-pun TRIP bergerilya bertahan bersama-sama dan
bersandar pada kekuatan rakyat di desa-desa. Sebagai contoh, penduduk daerah Blitar dengan kesederhanaan dan kemampuan yang terbatas, dengan tutus tanpa pamrih mereka menyediakan dirinya ber-juang bersama-sama TRIP untuk mengusur Belanda, merupakan tonggak-tonggak kekuatan bagi pasukan tentara pelajar TRIP bertahan menegakkan Republik tercinta ini. Sawah serta desa Gadungan pun mungkin kalau ditanya masih cerita tentang gugurnya Dan Ton Cemplon dan kawan-kawannya ditempat ini.
Pak Samuji, pemilik warung di tepi jalan desa Salam selain menyediakan rumahnya untuk bernaung sementara pasukan, juga dengan ketulusannya masih membagi makanan pada TRIP yang bertugas disekitar tempat itu. Ada hal yang sangat mengharukan, kalau Pak Samuji sedang pergi ke kota kita selalu titipkan berita mengenai kedudukan pos Belanda di sekitar kota. Bahkan pernah ditugaskan meng-ambil amunisi di kota.
Pak lurah Dongkol di desa Kedawung misalnya. Disamping beliau menyediakan rumah dan makanan sehari-hari bagi pasukan TRIP yang bertugas, masih menyuruh putri-putrinya melakukan tugas sebagai kurir serta masih mengusahakan obat-obatan, pakaian, dan lain-lain nya.
Bahkan mengumpulkan berita- berita penting hasil monitoring radio oleh para pelajar putri di kota blitar. Para pemuda di desa Ponggok membentuk kelompok- kelompok menjaga keamanan di desa untuk membantu pasukan TRIP yang bertugas. Hampir semua keluarga petani tanpa memperhitungkan untung-rugi menyediakan tempat dan membagikan makanan kepada pasukan tentara pelajar yang bertugas gerilya di dekat daerah mereka. Tidak hanya itu, merekapun dengan sukarela menjadi kurir dan penjaga pintu yang bersifat secepatnya melapor seandainya patroli tentara Belanda datang secara mendadak.

Markas TRIP di Blitar, nampak di gedung markas TRIP tertulis "TRIP BOYS"
Kapten Sukamto ditunjuk sebagai local joint committee United Nation. Dan pada 1949-1950
TRIP Jawa Timur dimobilisir lewar Brigade 17 (Kopex 17).
Sumber :
Anonim, 2012, "Asrama Mas TRIP Madiun di SMO KotaMadiun Diserbu FDR/PKI Tahun 1948", https://smp2ae.wordpress.com/2012/03/30/asrama-mas-trip-madiun-di-smp-kota-madiun-diserbu-fdrpki-tahun-1948/
Anonim, 2015, "Perang Kota Tak Terhindarkan", http://wartamalang.com/2015/07/perang-kota-tak-terhindarkan/
Anonim, "Riwayat Singkat Berdirinya TRIP di Jawa Timur", https://mustjans69.wordpress.com/2009/04/20/riwayat-singkat-berdirinya-trip-jawa-timur-indonesian-student-army/
Anonim, 2012, "TRIP dan Blitar Sulit Dipisahkan", http://mastrip.org/sejarah/trip-dan-blitar-sulit-dipisahkan-2.html
Boges Sudjadi GR, Drs. H., 1987, TNI Brigade XVII Detasemen I Jawa Timur".
Ferry Riyandika, "Kisah Kepahlawanan Ki Banteng Blorok Melawan Tentara Belanda", http://pedomannusantara.com/berita-kisah-kepahlawanan-ki-banteng-blorok-melawan-tentara-belanda-.html
Nanang Sobirin, 2015, "Pertempuran Sengit 5 Jam Tentara Pelajar Melawan Belanda di Malang", http://daerah.sindonews.com/read/1057815/29/pertempuran-sengit-5-jam-tentara-pelajar-melawan-belanda-di-malang-1446295103/1
Setyo Kasnan, H, 2012, "Mengenang Pertempuran Desa Lebaksari", http://mastrip.org/sejarah/mengenang-pertempuran-desa-lebaksari-2.html