Jumat, 28 November 2014

Pertempuran Kotabaru 7 Oktober 1945

Pertempuran Kotabaru 7 Oktober 1945
Team Penulis Djokjakarta 1945

Dimulai dengan adanya beberapa tokoh penting lain, seperti Soendjojo, Moeridan Noto, Oemar Slamet, Oemar Djoy, Selo Ali, dan RP Soedarsono. Mereka inilah tokoh-tokoh yang berperan dalam pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR), angkatan bersenjata pertama kali yang dibentuk setelah Indonesia merdeka. Karena kenyataan di Yogyakarta masih bercokol tentara Jepang  dan kedudukannya masih sangat kuat meskipun Indonesia sudah merdeka.
Akibatnya terjadilah pertempuran sengit di Yogyakarta yang bertujuan melawan pemerintahan pendudukan Jepang. Peristiwa itu dikenal dengan "Pertempuran Kotabaru" yang berlangsung pada tanggal  7 Oktober 1945. Pertempuranan di Kotabaru, yang  notabene salah satu kawasan pusat pemerintahan Jepang, terjadi karena pengaruh penjajah tersebut di Yogyakarta
Perlawanan dimulai dengan perebutan senjata dan perkantoran yang dilakukan oleh kesatuan-kesatuan di Yogyakarta. Para pemuda, BKR dan PETA terus melakukan tukar pendapat untuk melakukan perebutan kekuasaan terhadap Jepang. Beberapa tokoh pemuda PETA misalnya Sudarto, Syaifudin, Marsudi, Umar Slamet, Sunjoyo dan Soeharto.
Selaku Komandan Penyerbuan dipimpin oleh Umar Slamet, dimana sebelumnya Umar Slamet merupakan pimpinan TKR.
Beberapa kantor dan jawatan telah berhasil dikuasai oleh pemuda dan rakyat Yogyakarta. Beberapa pabrik dan perusahaan yang berhasil direbut, misalnya Jawatan Kehutanan, Pabrik Gula Tanjungtirtos, Medari, Rewulu, Gondangliporo, Sewugalur, dan pabrik Salakan. Pada tanggal 27 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah Jogyakarta mengumumkan bahwa seluruh kekuasaan pemerintah telah berada di tangan Republik Indonesia.
Berkaitan dengan itu, maka pimpinan dan kantor-kantor penting harus berada di tangan orang Indonesia. termasuk kepala daerah Yogyakarta yang dijabat oleh Jepang yang disebut Cokan harus meninggalkan kantornya di Jalan Malioboro. Termasuk juga para petingi Jepang masih berada di Yogyakarta dan kegiatan pertahanan di markas Tentara Inti Jepang (Kidobutai). Markas ini di dalamnya terdapat gudang senjata dan terletak di sebelah timur Stadion Kridosono, yang kini digunakan sebagai Asrama Komando Resort Militer (Korem) 072 Pamungkas.
Sebelum menyerbu kawasan Kotabaru, kelompok-kelompok pemuda dari Kampung Pathuk, Jagalan, Jetis Utara, dan Gowongan mengadakan pertemuan pada tanggal  5 Oktober 1945. Mereka sepakat menyiapkan sejumlah rencana untuk menguasai markas Jepang.
Pertama, para pemuda menunggu berita mengenai hasil perundingan dengan Jepang.
Kedua, melucuti senjata Jepang dengan cara damai
Ketiga, menyerbu Kidobutai kalau perundingan gagal.
Untuk penyerbuan, mereka berbagi tugas, mulai dari rencana penyerbuan, pengadaan persenjataan, persiapan pemuda yang akan melakukan serangan, hingga pimpinan penyerbuan dipegang masing-masing oleh satu orang. Setelah rencana dimatangkan, para pemuda segera menjalankan tugasnya hari itu juga. Untuk mencegah bantuan kepada Jepang yang datang dari luar, Sambungan kawat telepon rumah para pembesar dan markas Jepang diputus, perjalanan Kereta Api diawasi dan bila perlu dihentikan di perbatasan kota. Aliran listrik ke daerah Kotabaru pun dipadamkan. Melalui jaringan Pathuk yang ada di Kantor Telepon (Sayogya) dan PLN, kami menyadap dan melakukan sabotase.
Pada waktu itu, kelompok Pathuk memutus jaringan telepon dan aliran listrik (lewat gardu di sebelah timur Hotel Garuda) ke Kotabaru. Dari Sayogya juga, kelompok Pathuk mendapat informasi bahwa di salah satu menara Kantor Pos Besar terdapat 28 senjata beserta pelurunya. Dengan bantuan teman-teman yang ada di Kantor Pos yang membuatkan duplikat kunci serta bantuan para sopir, kelompok Pathuk berhasil mengambil senjata tersebut.
Akhirnya,tanggal  5 Oktober 1945, gedung Cokan Kantai berhasil direbut dan kemudian dijadikan sebagai Kantor Komite Nasional Indonesia Daerah, Gedung Cokan Kantai kemudian dikenal dengan Gedung Nasional atau Gedung Agung.
Satu hari setelah perebutan Gedung Cokan Kantai, para pejuang Yogyakarta ingin melakukan perebutan senjata dan markas Osha Butai di Kotabaru. Untuk itu pada tanggal 6 Oktober 1945 diadakan perundingan antara pihak Indonesia dengan Jepang. Perundingan itu diadakan didalam markas Osha Butai di Kotabaru. Tampak hadir dari Indonesia antara lain Mohammad Saleh (KNI), didampingi Oemar Djoy, Soendjojo, R.P. Sudarsono dan Bardosono atas nama BKR. Dari pihak Jepang diwakili antara lain oleh Butaico Mayor Otsuka, Kenpetai Sasaki, Kapten Ito (Kiambuco). Sementara itu, sejak sore hari banyak masa rakyat dan pemuda yang hadir di sekitar markas Kotabaru.
Dalam perundingan itu, utusan Indonesia mendesak agar Jepang secara sukarela menyerahkan senjata dan kekuasaannya. Otsuka dan kawan-kawan tetap bertahan. Otsuka kemudian menyatakan bahwa untuk menyerahkan senjata harus menunggu perintah dari Jenderal Nakamura di Magelang. Untuk itu Jepang mengusulkan agar perundingan dilanjutkan esok hari sekitar pukul 10.00 WIB. Perundingan itu menemui jalan buntu. Dan dentuman granat kemudian terdengar pada pukul 20.00 WIB, memberi tanda bahwa perundingan akhirnya gagal
Rakyat dan para pemuda terus mengepung markas Osha Butai di Kotabaru. Bahkan di kampung-kampung, malam itu dilakukan persiapan pengerahan massa pemuda dengan suara siap-siap secara estafet. Dalam waktu singkat telah berkumpul banyak pemuda dan terus bergerak menuju Kotabaru. Rakyat dan para pemuda terdiri dari berbagai kesatuan, antara lain TKR, Polisi Istimewa, dan BPU (Barisan Penjagaan Umum) sudah bertekad untuk menyerbu markas Jepang di Kotabaru.
Rakyat dan Pemuda dengan senjata seperti parang dan bambu runcing sudah siap, tinggal menunggu komando. Selain itu, ada kekuatan inti yang menggunakan senjata api, yaitu sebagai berikut :
 a. Pasukan Polisi istimewa yang dipimpin oleh Oni Satroatmojo
 b. Pasukan TKR dibawah komando Soeharto.
Sebagai bagian dari strategi penyerbuan para pemuda telah memutuskan sambungan telepon, kemudian sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, maka sekitar pukul 03.00 WIB tanggal 7 Oktober 1945, terdengar lagi dentuman granat, menandakan aliran listrik pagar berduri yang mengelilingi markas Jepang sudah dipadamkan. Para pemuda segera menyerbu markas itu dan dimulailah pertempuran di Kotabaru. Dengan demikian, terjadilah pertempuran antara rakyat, pemuda dan kesatuan di Yogyakarta melawan tentara Jepang.
Mendengar bahwa rakyat melancarkan serangan hebat di Kotabaru, maka Butaico Pingit segera menghubungi TKR dan menyatakan menyerah, asal anak buahnya tidak disiksa. Hal ini diterima baik oleh TKR. Kemudian TKR minta agar Butaico Pingit dapat mempengaruhi Butaico Kotabaru agar menyerah. Ternyata Butaico Kotabaru menolak untuk menyerah. Skibat serangan para pejuang Indonesia semakin ditingkatkan. Jepang mulai kewalahan kemudian mengadakan kontak kepada pihak para pejuang Indonesia untuk berdamai. Para pejuang Indonesia boleh memasuki markas. Setelah pintu itu dibuka, maka para pemuda pejuang memasuki pintu, ternyata di tempat itu telah disambut tembakan gencar senapan mesin yang sudah disiapkan Jepang dengan demikian banyak pejuang kita gugur.
Dalam 'Penyerbuan Kotabaru' tersebut, sebanyak 21 pejuang Jogja wafat, dan sekitar 32 orang mengalami luka-luka. Mereka yang meninggal adalah 

    1.  Sareh
    2.  Sadjiyono
    3.  Sabirin
    4.  Soenaryo
    5.  Soeroto
    6.  Soepadi
    7.  Soehodo
    8.  Soehartono
    9.  Trimo
    10. Mohammad Wardani
    11. Atmosukarto
    12. Ahmad Djazuli
    13. Achmad Zakir
    14. Abu bakar Ali
    15. Djoemadi
    16. Djuhar Nurhadi
    17. Faridan M Noto
    18. Hadi Darsono
    19. I Dewa Nyoman Oka
    20. Oemoem Kalipan
    21. Bagong Ngadikan
Melihat pemandangan itu para pejuang kita mengamuk. Beribu-ribu massa menyerbu markas. Akhirnya pihak Jepang benar-benar terdesak, dalam pertempuran ini tentara Jepang tewas sebanyak 27 orang. dan berkibarlah bendera Merah Putih. Pasukan Jepang satu per satu mulai menyerah. Senjata demi senjata beralih ke tangan pejuang Indonesia. Gudang senjata juga disebut oleh para pemuda, sehingga banyak mendapat senjata. Pada saat itu beberapa pemuda telah berhasil memasuki markas Kotabaru melalui selokan saluran air (riol) dan langsung berhadapan dengan Otsuka. Ternyata Otsuka mau menyerah, asalkan dihadapkan Yogya Koo (Kepala Daerah) Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Akhirnya pada tanggal 7 Oktober 1945 sekitar pukul 10.00 markas Jepang di Kotabaru secara resmi menyerah. Kemudian berkibarlah bendera merah putih di markas Kotabaru. Beratus-ratus tentara Jepang ditahan dan senjataranya dirampas. Setelah Markas Kotabaru jatuh, usaha perebutan kekuasaan meluas R.P. Sudarsono kemudian memimpin perlucutan senjata Kaigun di Maguwo. Semua senjata, 15 truk serta beratus-ratus peti granat tangan dapat dirampas dari tangan Jepang. Dengan berakhirnya pertempuran Kotabaru dan dikuasainya Maguwo, maka Yogyakarta berada di bawah kekuasaan Republik Indonesia.

Untuk menghormati mereka yang gugur maka seluruh rakyat Yogyakarta kemudian mengibarkan bendera merah putih. Dan pada sore harinya ribuan rakyat Yogyakarta berkumpul di depan Gedung KNI di Jalan Malioboro untuk memberikan penghormatan terakhir kepada ke 21 pahlawan Yogyakarta serta mengantarkan 18  pejuang yang gugur di Kotabaru menuju Taman Bahagia di Semaki. Sedangkan untuk 3 lainnya yaitu Faridan M Noto dimakamkan di Pemakaman Gajah, Glagah, Umbulharjo Yogyakarta, sementara itu, Djerhas dan Mohammad Wardani dimakamkan di belakang Masjid Agung Kauman, Yogyakarta.
Di sini sangat besar jasa para perawat yang memberikan pertolongan kepada para korban. Dan sebagai tambahan keterangan tempat dimana para pahlawan disembahyangkan yaitu di Rumah Sakit Pusat Djokjakarta adalah Rumah Sakit Bethesda sekarang ini (sejak tanggal 28 Juni 1950 menjadi Rumah Sakit Bethesda).
Dan untuk mengenang jasa-jasa para pahlawan yang gugur saat Pertempuran Kotabaru ini maka jalan-jalan di seputar kawasan Kotabaru diberi nama para pahlawan yang gugur. Hal ini dmulai sejak Oktober 1958 dimana dilaksanakan musyawarah pembangunan kotapraja. Diacara ini diusulkan untuk menggunakan nama orang yang gugur dalam penyerbuan menjadi nama jalan.
Selain itu juga dibangun sebuah Monumen Peringatan Pertempuran Kotabaru 7 Oktober 1945 yang terletak di Jalan Wardani.


Monumen Pertempuran Kotabaru 7 Oktober 1945

Saat ini setiap tahunnya Pertempuran Kotabaru 7 Oktober 1945 selalu diperingati. Dan untuk tahun 2014 ini komunitas Djokjakarta 1945 untuk pertama kalinya mendapat undangan dari pihak panitia untuk menghadiri peringatan Pertempuran Kotabaru ini. Dan inilah dokumentasi ketika komunitas Djokjakarta 1945 mengikuti upacara Peringatan Pertempuran Kotabaru 7 Oktober 1945 di tahun 2014.

Saat mengikuti Upacara Peringatan Pertempuran Kotabaru 7 Oktober 1945 di tahun 2015
Foto bareng bersama Walikoa Yogyakarta Bapak Drs. H. Haryadi Suyuti di depan Monumen Pertempuran Kotabaru 7 Oktober 1945

Selain di Kotabaru ternyata peristiwa 7 Oktober 1945 juga ada tetengernya di daerah Purwokinanti pakualaman tepatnya di Jalan Jagalan. Di tetenger ini tercantum nama-nama korban pertempuran Kotabaru 7 Oktober 1945 yang persis sama yang tercantum di monumen yang ada di Kobabaru.

 
Monumen Pertempuran Kotabaru 7 Oktober 1945 yang ada di Jalan Jagalan

11 komentar:

  1. Saya cucu dari abu bakar ali yang gugur di pertempuran di kotabaru jogja.. Berterima kasih atas infonya

    BalasHapus
  2. Saya cucu dari abu bakar ali yang gugur di pertempuran di kotabaru jogja.. Berterima kasih atas infonya

    BalasHapus
  3. Artikel yg sangat bagus..sy suka sekali sejarah pertempuran..apalagi pertempuran seputar yogya. Bagusnya dibuat film pendek mengenai pertempuran kota baru. Biar para generasi tau bahwa kemerdekaan ini didapat dgn penuh pengorbanan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pada tanggal 6 Oktober 1945 para pemuda di Kotabaru mendesak pihak Jepang agar menyerahkan senjata dan kekuasaannya secara sukarela. Tindakan ini bertujuan untuk ? Tlong di jawab

      Hapus
  4. Artikelnya bagus... sangat membantu saya mengerjakan tugas sejarah tentang pertempuran ini👌

    BalasHapus
  5. Selain sri sultan hamengkubuono 9,siapa lagi tokohnya? Tolong dijawab

    BalasHapus
  6. Saya adalah putra dari seorang pejuang yang memasuki markas tentara jepang melalui saluran air (riol) bahkan ayah saya cerita beliau yang paling depan karena mau mundur tidak bisa karena didorong temannya dari belakang,beliau dan teman temannya yang menemukan Otsuka, ketika itu ayah saya berumur 13 tahun, keluar dari markas tentara jepang ayah saya tertatih tatih menyeret senapan mesin water matel dibawa ke rumah eyang saya di bumijo lor belakang asrama brigade 17

    BalasHapus
  7. mohon info, untuk nama pahlawan yg gugur, Djerhas, kok tidak ada di papan prasasti tugu ya? atau mungkin nama lain atau alias. mohon infonya. matur nuwun

    BalasHapus
  8. mohon barangkali ada yang mengenal keluarga Oemar Djoy.

    BalasHapus