Perlawanan Terhadap Belanda di tahun 1948 - 1949
Oleh : Team Penulis Djokjakarta 1945
Pada saat Agresi Belanda ke II 19 Desember 1948 dalam upaya menghambat
pergerakan pasukan Belanda dari pangkalan Maguwo, laskar rakyat
mengadakan perlawanan di dusun Sambilegi, Maguwoharjo. Dalam peristiwa
ini telah gugur 10 orang pejuang.
Monumen ini dibangun oleh Pemda Sleman untuk memperingati pertempuran yang terjadi di dusun Sambilegi tersebut.
Daftar yang gugur :
1. Bkri Laskar
2. Parto Surijo
3. Arjo Sentono
4. Harjo Sentono
5. Karso Pawiro
6. Kasan Pawiro
7. Sadinomo
8. Kariyo Loso
9. Basiro
10. Sastrohariono
Untuk mengenang peristiwa tersebut didirikan sebuah Monumen di Sambilegi Maguwoharjo Depok Sleman.
Monumen Sambilegi
Sehari setelah
Agresi Belanda II dilancarkan dan Ibukota Republik Indonesia berhasil dikuasai
oleh Belanda, maka pada tanggal 20 Desember 1948 kantor Kecamatan Turi yang
dipimpin oleh RW.Projoharjono, pindah tempat yang lebih aman yaitu di rumah
bapak R.Pawirosumarto yang bertempat di dusun Karanggawang, Girikerto. Di rumah
bapak Mangundikromo di Karanggawang didirikan Pos PMI yang dipimpin oleh bapak
Suwadi (Mantri Kesehatan). Dan pada saat itu juga kantor pemerintah Kabupaten
Sleman yang dipimpin oleh bapak Bupati KRT. Projodiningrat mengungsi
/dipindahkan ke rumah Bpk Mertodiharjo yang bertempat di dusun Nangsri Kidul,
sedang pengawalnya dari Kepolisian Sleman ditempatkan di rumah Bapak
Mertosenjoyo dusun Nangsri Kidul. Bapak Bupati dan perangkatnya bertempat di
Nangsri Kidul Girikerto selama kurang lebih 7 hari, seterusnya pindak ke dusun
Manggungsari Wonokerto, diteruskan lagi ke Candi Purwobinangun. Mobil Bapak
Bupati ditinggal di Nangsri Kidul Girikerto, berhubung Belanda datang di
Nangsri maka mobil dinas tersebut dibuang di Sungai Adem sebelah utara Dusun
Nglempong untuk meninggalkan jejak.
Pada waktu Bapak
Bupati Menempati Nangsri, oleh bapak Mayor Suroyo dibentuklah pasukan gabungan
dari tentara, pelajar, dan juga dari pemuda setempat untuk menpertahankan
Girikerto dari ancaman Belanda dan atas restu dari Bupati pasukan tersebut
diberi nama pasukan Poncowati.
Pada tanggal 22
Desember Letkol Soeharto meminta bantuan saat memimpin pasukan masuk kedaerah
Taman Sari dekat Kraton, Mayor Ventje HN. Sumual. mengirim pasukan Combat
Brigade XVI yang dipimpin langsung oleh komandannya, Kapten Kandou, biasa
dipanggil Bos.
Tanggal 30
Desember 1948 merupakan serangan umum pertama. Hari itu pula dinyatakan
kemudian hari jadi WEHRKREISE III Yogyakarta.
Daerah Yogyakarta
merupakan wilayah Wehrkreise III, dengan pimpinan Letkol Soeharto. Markasnya
ada di dusun Bibis, Bangunharjo, Kasihan Bantul dan dipergunakan sampai 8 April
1949.
Dengan
dikukuhkan oleh Panglima Divisi III, Kolonel Bambang Sugeng, di dalam Perintah
Siasat No. 4/S/Cop. 1 yang diterbitkan pada tanggal 1 Januari 1949. Kemudian
dengan adanya Perintah Siasat No. 4/S/Cop. 1 Komandan Brigade memberi penomoran
baru bagi SUB WEHRKREISE (SWK), yaitu 101, 102, 103, 103A, 104, 105, 106.
SWK 101 di
daerah Bantul Timur dengan Komandan Mayor Sekri Soenarto.
SWK 102 di daerah Bantul Barat dengan Komandan Mayor Sardjono.
SWK 103 di daerah Godean dengan Komandan Mayor Ventje HN. Sumual.
SWK 104 di daerah Sleman dengan Komandan Mayor Soekasno.
SWK 105 di daerah Gunung Kidul dengan Komandan Mayor Sardjono.
SWK 106 di daerah Kulon Progo dengan Komandan Letkol R. Soedarto
SWK 102 di daerah Bantul Barat dengan Komandan Mayor Sardjono.
SWK 103 di daerah Godean dengan Komandan Mayor Ventje HN. Sumual.
SWK 104 di daerah Sleman dengan Komandan Mayor Soekasno.
SWK 105 di daerah Gunung Kidul dengan Komandan Mayor Sardjono.
SWK 106 di daerah Kulon Progo dengan Komandan Letkol R. Soedarto
Kemudian pada
pertengahan Januati 1949 terjadi pergeseran pasukan yang menyebabkan perubahan
penomoran lagi menjadi SWK 101, 102, 103, 103A, 104, 105, dan 106.
1. SWK 101 untuk
clandestine dalam kota Jogja, lebih sebagai mata-mata dan satuan penghubung
gerilya. Komandan Letnan Marsudi.
2. SWK 102, Komandannya tetap Mayor Sardjono, tapi wilayahnya sudah mencakup hingga Bantul Timur yang sebelumnya masuk SWK lain.
2. SWK 102, Komandannya tetap Mayor Sardjono, tapi wilayahnya sudah mencakup hingga Bantul Timur yang sebelumnya masuk SWK lain.
Kompi 1,
pimpinan Kapten Widodo berada di Krapyak, Dongkelan
Kompi 2,
pimpinan Kapten Soedarmo berada di Bakulan
Kompi 3,
pimpinan Kapten Ali Affandi berada di Kotagede
Kompi 4,
pimpinan Kapten Soemarno semula di Tamanan, kemudian pindah ke Mail, kemudian
pindah lagi ke Bibis Bangunjiwo
Kompi Senjata
Bantuan pimpinan Kapten Oesodo.
3. SWK 103, bermarkas di Gamping dengan Komandan Letkol Suhud.
4. SWK 103A, didaerah Godean tetap Mayor Ventje HN. Sumual pegang. Hanya nama berubah ditambah huruf A untuk membedakan dengan SWK 103. Terkesan SWK 103A hanya bagian dari SWK 103. Menjadi SWK 103A sedangkan 103 Untuk Suhud karena pangkatnya Letkol, sehingga jangan dimasukkan komando Mayor Ventje HN. Sumual yang Mayor. Padahal Gamping adalah daerah teritori Mayor Ventje HN. Sumual. Memang jabatan Letkol Suhud sebelumnya bahkan pararel dengan Letkol Soeharto. Soeharto adalah Komandan Brigade X yang berkedudukan di Yogyakarta, sedangkan Suhud justru adalah Komandan Sub-Teritorium Divisi III untuk wilayah Yogyakarta.
5. SWK 104, di daerah Sleman tetap dengan Komandan Soekasno.
6. SWK 105, di daerah Gunung Kidul tetap dengan Komandan Soejono.
7. SWK 106, di daerah Kulon Progo tetap dengan Komandan Soedarto.
3. SWK 103, bermarkas di Gamping dengan Komandan Letkol Suhud.
4. SWK 103A, didaerah Godean tetap Mayor Ventje HN. Sumual pegang. Hanya nama berubah ditambah huruf A untuk membedakan dengan SWK 103. Terkesan SWK 103A hanya bagian dari SWK 103. Menjadi SWK 103A sedangkan 103 Untuk Suhud karena pangkatnya Letkol, sehingga jangan dimasukkan komando Mayor Ventje HN. Sumual yang Mayor. Padahal Gamping adalah daerah teritori Mayor Ventje HN. Sumual. Memang jabatan Letkol Suhud sebelumnya bahkan pararel dengan Letkol Soeharto. Soeharto adalah Komandan Brigade X yang berkedudukan di Yogyakarta, sedangkan Suhud justru adalah Komandan Sub-Teritorium Divisi III untuk wilayah Yogyakarta.
5. SWK 104, di daerah Sleman tetap dengan Komandan Soekasno.
6. SWK 105, di daerah Gunung Kidul tetap dengan Komandan Soejono.
7. SWK 106, di daerah Kulon Progo tetap dengan Komandan Soedarto.
Pasukan SWK 103A
adalah yang terbesar ada 4 Yon Mobile,
yaitu Yon Lukas Palar, Yon Andi Mattalatta (Resimen Hasanuddin), Yon Palupessy
(Dulu Divisi Pattimura), dan Yon 151 dengan pimpinan Hardjosoedirjo
menggantikan pimpinan asal yang gugur. Semua sektor teritori gerilya kami penuh
terisi dengan pasukan dan dibagi dalam 5 sektor. Sektor 1 dipimpin oleh Kapten
Frits Runtunuwu, Sektor 2 Letnan Wim Sigar, Sektor 3 Mayor Palupessy, Sektor 4
dikomandani Widarto bersama Asmasmarmo, dan Sektor 5 oleh Letnan Goenarso.
SWK-SWK lain hanya berkekuatan 1 Batalyon plus, bahkan SWK 105 dan 103 hanya
berkekuatan 2 Kompi plus.
Di Sektor Barat sejumlah pasukan dari luar
Brigade XVI. Ada 2 pasukan Mobile Brigade Kepolisian dipimpin oleh Ajatiman dan
Soebroto. Lalu ada Kolonel Laut Darwis Djamin, Panglima ALRI Pangkalan Tegal
bersama-sama anak buahnya juga mengungsi kesektor kami. Pasukan Marinirnya
sebenarnya punya persenjataan yang bagus dan canggih, kami beruntung mereka
bergabung disektor kami dan bahu membahu bergerilya. Ada pula Laskar
Burhanuddin Harahap, yang bersama beberapa politisi berlindung di sektor kami,
mengkonsolidasi Barisan Hizbullah. Banyak tokoh politik berlindung di daerah
sektor saya termasuk Mr. Kasman Singodimedjo, Sukarni dari KNIP, juga apa Pandu
Wiguna, Ir. Sakirman, Setiadi. Chairul Saleh juga sempat berlindung disektor
saya, kemudian mengatakan akan ke daerah Jawa Barat, bergerilya disana. Banyak
juga yang mendapatkan jodohnya disektor ini, dan Mayor Ventje HN. Sumual
membantu acara pernikahan mereka.
Juga SWK 101
yang memang tidak perlu mengefektifkan pasukan besar sebab khusus untuk
clandestine dalam kota
Karena dislokasi
pasukan-pasukan Brigade X ada di Purworejo dan Kebumen, maka kedua daerah ini
oleh Divisi disetujui masuk WEHRKREISE III, meskipun berada di luar Yogyakarta.
Kemudian
dibentuk juga komando teritorial, yang konsepnya adalah membebaskan
pasukan-pasukan tempur dari beban logistik. Komando Distrik Militer dan Komando
Onder-distrik Militer menyediakan makan, penampungan dan perawatan untuk
pasukan-pasukan tempur. Dengan demikian Brigade X telah terkonsolidasi dengan
waktu relatif cepat, dan dapat melaksanakan operasi-operasi serangan balas,
dengan cara patroli-patroli pertempuran, penghadangan konvoi, dan
serangan-serangan serentak dan terkoordinasi yang dinamakan serangan-serangan
umum.
Letkol Soeharto selaku komandan WK III ke mudian melakukan perjalanan kurang lebih selama 1 minggu untuk mengetahui peta kekuatan dari pasukannya. Soeharto mengkomando pasukan dengan berjalan kaki dari Bantul ke Kulon Progo, kemudian ke Kaliurang, lalu ke Prambanan, kemudian menuju Wonosari, dan terakhir ke Pathuk.
Setelah selesai melakukan perjalanan keliling dan ada hubungan yang baik antara setiap sektor dengan pimpinan, segera dikeluarkan perintah penyerangan pembalasan. Perintah tersebut dikeluarkan pada tanggal 26 Desember 1948 dan harus dilaksanakan pada tanggal 30 Desember 1948.
Letkol Soeharto selaku komandan WK III ke mudian melakukan perjalanan kurang lebih selama 1 minggu untuk mengetahui peta kekuatan dari pasukannya. Soeharto mengkomando pasukan dengan berjalan kaki dari Bantul ke Kulon Progo, kemudian ke Kaliurang, lalu ke Prambanan, kemudian menuju Wonosari, dan terakhir ke Pathuk.
Setelah selesai melakukan perjalanan keliling dan ada hubungan yang baik antara setiap sektor dengan pimpinan, segera dikeluarkan perintah penyerangan pembalasan. Perintah tersebut dikeluarkan pada tanggal 26 Desember 1948 dan harus dilaksanakan pada tanggal 30 Desember 1948.
Pada tanggal 26
Desember 1948, Komandan SWK 103A Mayor Ventje HN. Sumual menerima Surat
Perintah Operasi dari Lekol Soeharto agar mengerahkan pasukan secara
besar-besaran untuk serangan umum tanggal 30 Desember 1948. Inilah serangan
umum yang pertama. Pukul 19.00 malam pasukan SWK 103A mulai bergerak, hampir
seluruh pasukan di Sektor Barat, baik regular Brigade XVI maupun yang
berlindung di sektor ini dikerahkan. Secara tersamar pasukan TNI mendekati
pinggiran kota, menuju sasaran masing-masing. Pasukan kemudian dibagi menjadi
dua, sebagian melambung ke utara, masuk Jogja dari arah utara, sebagiannya pula
langsung menyerbu dari barat.
Akan tetapi pada tanggal 28 Desember Belanda bergerak dari kota Yogyakarta menuju ke bagian Barat kemudian menuju ke Selatan yaitu ke Kabupaten Bantul. Gerakan Belanda ke arah Selatan dapat dipastikan karena ada banyaknya pabrik gula peninggalan Belanda yang berada di Bantul. Setelah melakukan pendudukan diperkirakan Belanda akan kembali ke kota Yogyakarta dengan dibantu gerakan Belanda dari arah Kota Yogyakarta. Jika hal tersebut terjadi maka, gerakan pasukan TNI dari arah sektor selatan akan gagal. Oleh karena itu, perintah penyerangan dimajukan menjadi tanggal 29 Desember 1948.
Perintah penyerangan pembalasan kepada Belanda berisi sebagai berikut.
1. Mengadakan serangan malam.
2. Menghancurkan kekuatan musuh sebanyak -banyaknya.
3. Merampas senjata musuh sebanyak -banyaknya.
4. Membumi-hanguskan tempat -tempat yang dianggap penting.
Serangan pembalasan dengan tujuan yang penting untuk mengembalikan kepercayaan rakyat pada TNI dan membantu semangat moril pada kawan-kawan seperjuangan di daerah lain bahwa Yogyakarta masih tetap dipertahankan.
Untuk sektor selatan pada tanggal 29 Desember 1948, pada pagi harinya mulailah pertempuran yang hebat di jalan antara Palbapang dan Bakulan. SWK 102 yang sedang dalam kondisi kelelahan kemudian menyebar dan pada malam harinya berkumpul di Imogiri.
Selanjutnya masih di sekitar sektor selatan ini di tanggal 29 Desember 1948 Kompi II Batalyon I dibawah pimpinan Letnan Soedarmo yang mundur setelah serangan balasan I berhasil menghancurkan jembatan penting. Jembatan yang dihancurkan dengan Track Bom adalah Jembatan Winongo dan Jembatan Padokan. Penghancuran kedua jembatan ini dimaksudkan untuk menghambat gerakan Belanda dari Kota Yogyakarta menuju Bantul. Kompi II ini juga mendapatkan perintah untuk melakukan penghambatan dengan memasang ranjau darat dan pemasangan rintangan. Gerakan Belanda yang semula melalui kedua jembatan tersebut berpindah menjadi Padokan, Mrisi, Karangpule, Niten, dan Jalan Yogyakarta -Bantul. Oleh karena itu, pasukan Kompi II banyak melakukan penghambatan maupun penghadangan Belanda di Pedukuhan Mrisi. TNI dan penduduk Pedukuhan Mrisi bergotong royong untuk membuat penghambat pergerakan Belanda. Mereka menggunakan kreatifitas nya untuk menyamarkan tanah yang tanam ranjau maupun yang tidak ditanam ranjau. Penduduk Mrisi juga pernah menggunakan sarang lebah untuk mengelabuhi Belanda.
Dan masih pada tanggal 29 Desember 1948 pukul 16.00 sampai 19.00, pasukan TNI sudah siap dan bergerak ke daerah sasarannya masing -masing. Penyerangan dilakukan dari berbagai arah yaitu Selatan, Barat, Timur, dan Utara. Tiap -tiap jurusan dipecah menjadi 2 yaitu kelompok kecil dan kelompok besar. Kelompok kecil adalah sebagai pengecoh pos Belanda yang berada di pinggir kota, sedangkan kelompok besar bergerak masuk ke dalam kota untuk menyerang sasaran yang telah ditentukan dan menghadang Belanda jika ingin membantu pos dipinggir kota.
TNI yang berkelompok besar mulai menembak di dalam Kota Yogyakarta pada pukul 21.00.
Serangan pada tanggal 29 Desember 1948 dimulai tepat pukul 21.00 dengan sasaran Kantor Pos, Secodiningratan, Ngabean, Patuk, Pakuningratan, Sentul, Pengok dan Gondokusuman. Tembakan bergema diseantero kota. Letusan senjata yang diselingi siulan mortir terdengar dahsyat dari seluruh penjuru kota. TNI berhasil memasuki di sekitar Kantor Pos, Secodiningratan, Ngabean, Patuk, Pakuningratan, Sentul, Pengok, dan Gondokusuman. Belanda mengeluarkan tembakan secara membabi buta ketika mengetahui TNI telah masuk ke kota. Belanda kemudian ingin membantu pos -pos terluar yang terkena serangan akan tetapi sudah dihadang oleh TNI. Pasukan infanteri dengan berkendaraan truk, dikawal tank dan pantserwagen yang akan diperbantukan terpaksa menghadapi TNI. Belanda menghamburkan pelurunya secara tidak beraturan dengan maksud untuk menakuti pasukan TNI. Pertempuran terjadi hingga pukul 04.00 pagi. Tank tank Belanda bergerak leluasa dengan menghamburkan pelurunya akan tetapi pasukan TNI sudah meninggalkan Kota Yogyakarta untuk kembali ke tempat masing-masing. Korban dari pihak Belanda banyak terdapat di jalanan dan beberapa truk dan tank juga banyak yang rusak.
Rakyat Yogyakarta merasa bersyukur karena TNI masih dapat melakukan serangan dan diminta agar terus menerus melakukan penyerangan. Penyerangan balasan tersebut dapat membuahkan hasil yang penting yaitu untuk mengembalikan kepercayaan rakyat kepada TNI bertambah. Hal tersebut merupakan modal dasar yang sangat berarti
untuk melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Disamping juga untuk mengetes dan mengetahui kekuatan pasukan lawan. Cukup banyak prajurit yang gugur malam itu. Diantaranya asisten Mayor Ventje HN. Sumual sendiri, Letnan Karel Pondaag. Ia ex-KNIL, gugur berjibaku dengan brencarrier Belanda. Pertempuran berlanjut hingga pukul 03.00 dinihari, kami mengundurkan diri. Walau kelelahan ditambah udara yang cukup dingin karena musim penghujan, Mayor Ventje HN. Sumual menyiapkan serangan balasan selanjutnya. Beberapa prajurit diperintahkan mengurusi jenazah mereka yang gugur, termasuk jenazah Letnan Karel Pondaag yang sudah tidak utuh lagi.
Belanda memang secara peralatan perang jauh lebih lengkap dan modern dibandingkan dengan milik TNI. TNI kemudian menentukan siasat bahwa tidak ada manfaat ketika berte mpur dengan memakai taktik frontal atau linier tetapi taktik yang paling tepat adalah taktik gerilya. Taktik gerilya merupakan taktik yang tepat karena disamping TNI mengetahui medan geografis juga ada dukungan dari rakyat. Dukungan rakyat sangat dibutuhkan untuk membantu perjuangan TNI seperti penyelenggaraan dapur umum.
Akan tetapi pada tanggal 28 Desember Belanda bergerak dari kota Yogyakarta menuju ke bagian Barat kemudian menuju ke Selatan yaitu ke Kabupaten Bantul. Gerakan Belanda ke arah Selatan dapat dipastikan karena ada banyaknya pabrik gula peninggalan Belanda yang berada di Bantul. Setelah melakukan pendudukan diperkirakan Belanda akan kembali ke kota Yogyakarta dengan dibantu gerakan Belanda dari arah Kota Yogyakarta. Jika hal tersebut terjadi maka, gerakan pasukan TNI dari arah sektor selatan akan gagal. Oleh karena itu, perintah penyerangan dimajukan menjadi tanggal 29 Desember 1948.
Perintah penyerangan pembalasan kepada Belanda berisi sebagai berikut.
1. Mengadakan serangan malam.
2. Menghancurkan kekuatan musuh sebanyak -banyaknya.
3. Merampas senjata musuh sebanyak -banyaknya.
4. Membumi-hanguskan tempat -tempat yang dianggap penting.
Serangan pembalasan dengan tujuan yang penting untuk mengembalikan kepercayaan rakyat pada TNI dan membantu semangat moril pada kawan-kawan seperjuangan di daerah lain bahwa Yogyakarta masih tetap dipertahankan.
Untuk sektor selatan pada tanggal 29 Desember 1948, pada pagi harinya mulailah pertempuran yang hebat di jalan antara Palbapang dan Bakulan. SWK 102 yang sedang dalam kondisi kelelahan kemudian menyebar dan pada malam harinya berkumpul di Imogiri.
Selanjutnya masih di sekitar sektor selatan ini di tanggal 29 Desember 1948 Kompi II Batalyon I dibawah pimpinan Letnan Soedarmo yang mundur setelah serangan balasan I berhasil menghancurkan jembatan penting. Jembatan yang dihancurkan dengan Track Bom adalah Jembatan Winongo dan Jembatan Padokan. Penghancuran kedua jembatan ini dimaksudkan untuk menghambat gerakan Belanda dari Kota Yogyakarta menuju Bantul. Kompi II ini juga mendapatkan perintah untuk melakukan penghambatan dengan memasang ranjau darat dan pemasangan rintangan. Gerakan Belanda yang semula melalui kedua jembatan tersebut berpindah menjadi Padokan, Mrisi, Karangpule, Niten, dan Jalan Yogyakarta -Bantul. Oleh karena itu, pasukan Kompi II banyak melakukan penghambatan maupun penghadangan Belanda di Pedukuhan Mrisi. TNI dan penduduk Pedukuhan Mrisi bergotong royong untuk membuat penghambat pergerakan Belanda. Mereka menggunakan kreatifitas nya untuk menyamarkan tanah yang tanam ranjau maupun yang tidak ditanam ranjau. Penduduk Mrisi juga pernah menggunakan sarang lebah untuk mengelabuhi Belanda.
Dan masih pada tanggal 29 Desember 1948 pukul 16.00 sampai 19.00, pasukan TNI sudah siap dan bergerak ke daerah sasarannya masing -masing. Penyerangan dilakukan dari berbagai arah yaitu Selatan, Barat, Timur, dan Utara. Tiap -tiap jurusan dipecah menjadi 2 yaitu kelompok kecil dan kelompok besar. Kelompok kecil adalah sebagai pengecoh pos Belanda yang berada di pinggir kota, sedangkan kelompok besar bergerak masuk ke dalam kota untuk menyerang sasaran yang telah ditentukan dan menghadang Belanda jika ingin membantu pos dipinggir kota.
TNI yang berkelompok besar mulai menembak di dalam Kota Yogyakarta pada pukul 21.00.
Serangan pada tanggal 29 Desember 1948 dimulai tepat pukul 21.00 dengan sasaran Kantor Pos, Secodiningratan, Ngabean, Patuk, Pakuningratan, Sentul, Pengok dan Gondokusuman. Tembakan bergema diseantero kota. Letusan senjata yang diselingi siulan mortir terdengar dahsyat dari seluruh penjuru kota. TNI berhasil memasuki di sekitar Kantor Pos, Secodiningratan, Ngabean, Patuk, Pakuningratan, Sentul, Pengok, dan Gondokusuman. Belanda mengeluarkan tembakan secara membabi buta ketika mengetahui TNI telah masuk ke kota. Belanda kemudian ingin membantu pos -pos terluar yang terkena serangan akan tetapi sudah dihadang oleh TNI. Pasukan infanteri dengan berkendaraan truk, dikawal tank dan pantserwagen yang akan diperbantukan terpaksa menghadapi TNI. Belanda menghamburkan pelurunya secara tidak beraturan dengan maksud untuk menakuti pasukan TNI. Pertempuran terjadi hingga pukul 04.00 pagi. Tank tank Belanda bergerak leluasa dengan menghamburkan pelurunya akan tetapi pasukan TNI sudah meninggalkan Kota Yogyakarta untuk kembali ke tempat masing-masing. Korban dari pihak Belanda banyak terdapat di jalanan dan beberapa truk dan tank juga banyak yang rusak.
Rakyat Yogyakarta merasa bersyukur karena TNI masih dapat melakukan serangan dan diminta agar terus menerus melakukan penyerangan. Penyerangan balasan tersebut dapat membuahkan hasil yang penting yaitu untuk mengembalikan kepercayaan rakyat kepada TNI bertambah. Hal tersebut merupakan modal dasar yang sangat berarti
untuk melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Disamping juga untuk mengetes dan mengetahui kekuatan pasukan lawan. Cukup banyak prajurit yang gugur malam itu. Diantaranya asisten Mayor Ventje HN. Sumual sendiri, Letnan Karel Pondaag. Ia ex-KNIL, gugur berjibaku dengan brencarrier Belanda. Pertempuran berlanjut hingga pukul 03.00 dinihari, kami mengundurkan diri. Walau kelelahan ditambah udara yang cukup dingin karena musim penghujan, Mayor Ventje HN. Sumual menyiapkan serangan balasan selanjutnya. Beberapa prajurit diperintahkan mengurusi jenazah mereka yang gugur, termasuk jenazah Letnan Karel Pondaag yang sudah tidak utuh lagi.
Belanda memang secara peralatan perang jauh lebih lengkap dan modern dibandingkan dengan milik TNI. TNI kemudian menentukan siasat bahwa tidak ada manfaat ketika berte mpur dengan memakai taktik frontal atau linier tetapi taktik yang paling tepat adalah taktik gerilya. Taktik gerilya merupakan taktik yang tepat karena disamping TNI mengetahui medan geografis juga ada dukungan dari rakyat. Dukungan rakyat sangat dibutuhkan untuk membantu perjuangan TNI seperti penyelenggaraan dapur umum.
Serangan balasan
tanggal 31 Desember malam berlangsung singkat namun efektif, dengan titik-titik
sasaran yang tegas, serangan dari Sektor Barat ini pimpin sendiri oleh Komandan
SWK 103A Mayor Ventje HN. Sumual. Sejumlah komandan operasi andalan Brigade XVI
pun turun lapangan. Diantaranya Kapten Willy Sumanti, Kapten Runtunuwu, Mayor
Gustav Kamagie, Letnan Kailola. Begitu juga jagoan-jagoan tempur Tim Khusus
Combat Brigade XVI seperti Latnan Kandou, Letnan Woimbon, Letnan Sigar, dan
lain-lain.
Di sektor utara, Batalion 151/Brigade X pimpinan Kapten F.Hariadi pada tanggal 31 Desember 1948 menjelang tahun baru 1 Januari 1949 melakukan serangan terhadap kedudukan Belanda yang berada di Kaliurang.
Sedangkan di sektor selatan pada tanggal 31 Desember 1948 ketika semua pasukan sudah berkumpul, komandan SWK 102 kemudian memberikan tugas. Tugas yang diberikan kepada pasukan adalah sebagai berikut.
1. Mengadakan penyerangan gerilya secara terus menerus.
2. Mengadakan penghadangan pasukan Belanda di jalan-jalan besar.
3. Mengadakan sabotase.
4. Merusak, menghancurkan jalan atau jembatan yang telah diperbaiki Belanda.
Gerakan pasukan SWK 102 harus mobil artinya harus selalu berpindah pindah dari satu desa ke desa lainnya. Taktik dan siasat gerilya sengaja dipilih karena mempunyai beberapa keuntungan sebagai berikut.
1. Pada gerilya mengenal dengan jelas keadaan geografis Bantul yang memiliki kondisi perbukitan di sisi Barat dan Timur , banyak sungai besar, masih banyak hutan, dan perkampungan yang dipenuhi pohon pohon besar.
2. Mengerti kebiasaan penduduk Bantul sehingga memudahkan kerja sama dalam melaksanakan tugas.
3. Menebalkan semangat perjuangan rakyat karena TNI masih mempunyai kekuatan serta dapat diandalkan.
4. Rakyat merasa bangga dan merasa lebih aman.
5. Kedudukan TNI sulit diketahui Belanda karena kita selalu berpindah dan rakyat selalu memberitahu jika Belanda datang.
Sektor II sejak tanggal 31 Desember 1948 mulai diganti namanya menjadi Sub-Wehrkreise (SWK) 102 dengan komandan Batalyon I Mayor Sardjono. Daerah SWK 102 mempunyai wilayah dari Ambarukmo, Maguwo, Giwangan, Kotagede, Pleret, sampai sebelah selatan Karangsemut. Berangsur-angsur pasukan SWK 102 mulai berdatangan dan berkumpul yang kemudian diberikan tugas untuk bergerilya di selatan Kota Yogyakarta seperti Sie Soeradal, Sie Widodo, Sie Sudarmo, dan Sie Komarudin.
Daerah Wonokromo ini merupakan basis pasukan Komarudin. Komarudin sendiri sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat sekitar Wonokromo, bahkan ketenaran Komarudin melebihi dari Letkol Soeharto selaku Komandan Wehrkreise (WK) III.
Seorang Komarudin bisa terkenal karena keberanian dalam menghadapi Belanda dan juga menurut masyarakat seorang yang anti peluru.
Pos-pos pasukan Komarudin selalu berpindah-pindah meskipun hanya di dalam wilayah Wonokromo seperti di Brajan, Karanganom, Wonokromo, dan Jejeran. Daerah operasi Komarudin juga sampai jauh ke utara Desa Wonokromo seperti Sorogenen, Bulu, Gandok, Ndruwo, dan sekitarnya.
Pasukan Komarudin mendapat dukungan kuat dari rakyat Wonokromo yang membantu membuat pos -pos di rumah -rumah penduduk desa. Daerah Wonokromo merupakan daerah kewaspadaan tinggi karena desa ini dekat sekali dengan markas Belanda di Pleret. Markas Belanda di Pleret termasuk markas yang besar dan kuat selain itu di Pleret tepatnya Desa Segoroyoso juga dijadikan markas WK III. Pasukan Komarudin dan masyarakat bergotong royong untuk membuat lubang-lubang besar di jalan agar menghambat pergerakan patrol Belanda.
Rakyat yang sebagian besar sebagai petani sering membantu membawakan senjata ke garis depan selain itu juga membuat ransum atau nuk untuk diberikan kepada gerilyawan. Pasukan TNI juga tidak segan untuk meminta makanan kepada penduduk Wonokromo. Penduduk sadar jika TNI pasti kelelahan dan kelaparan setelah bertempur dengan Belanda. Pada malam hari di Desa Wonokromo juga sering disinggahi pasukan TNI untuk beristirahat dan pada siang harinya meninggalkan desa tersebut. Pergerakan pasukan TNI selalu mobil artinya tidak menetap agar sulit diketahui oleh Belanda.
Lalu pada tanggal 1 Januari 1949 jam 12.00 siang pasukan Batalion 151/Brigade X berhasil menduduki Pakem dan berhasil memutus jalur komunikasi pasukan Belanda antara Kaliurang dengan Yogyakarta.
Di sektor utara, Batalion 151/Brigade X pimpinan Kapten F.Hariadi pada tanggal 31 Desember 1948 menjelang tahun baru 1 Januari 1949 melakukan serangan terhadap kedudukan Belanda yang berada di Kaliurang.
Sedangkan di sektor selatan pada tanggal 31 Desember 1948 ketika semua pasukan sudah berkumpul, komandan SWK 102 kemudian memberikan tugas. Tugas yang diberikan kepada pasukan adalah sebagai berikut.
1. Mengadakan penyerangan gerilya secara terus menerus.
2. Mengadakan penghadangan pasukan Belanda di jalan-jalan besar.
3. Mengadakan sabotase.
4. Merusak, menghancurkan jalan atau jembatan yang telah diperbaiki Belanda.
Gerakan pasukan SWK 102 harus mobil artinya harus selalu berpindah pindah dari satu desa ke desa lainnya. Taktik dan siasat gerilya sengaja dipilih karena mempunyai beberapa keuntungan sebagai berikut.
1. Pada gerilya mengenal dengan jelas keadaan geografis Bantul yang memiliki kondisi perbukitan di sisi Barat dan Timur , banyak sungai besar, masih banyak hutan, dan perkampungan yang dipenuhi pohon pohon besar.
2. Mengerti kebiasaan penduduk Bantul sehingga memudahkan kerja sama dalam melaksanakan tugas.
3. Menebalkan semangat perjuangan rakyat karena TNI masih mempunyai kekuatan serta dapat diandalkan.
4. Rakyat merasa bangga dan merasa lebih aman.
5. Kedudukan TNI sulit diketahui Belanda karena kita selalu berpindah dan rakyat selalu memberitahu jika Belanda datang.
Sektor II sejak tanggal 31 Desember 1948 mulai diganti namanya menjadi Sub-Wehrkreise (SWK) 102 dengan komandan Batalyon I Mayor Sardjono. Daerah SWK 102 mempunyai wilayah dari Ambarukmo, Maguwo, Giwangan, Kotagede, Pleret, sampai sebelah selatan Karangsemut. Berangsur-angsur pasukan SWK 102 mulai berdatangan dan berkumpul yang kemudian diberikan tugas untuk bergerilya di selatan Kota Yogyakarta seperti Sie Soeradal, Sie Widodo, Sie Sudarmo, dan Sie Komarudin.
Daerah Wonokromo ini merupakan basis pasukan Komarudin. Komarudin sendiri sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat sekitar Wonokromo, bahkan ketenaran Komarudin melebihi dari Letkol Soeharto selaku Komandan Wehrkreise (WK) III.
Seorang Komarudin bisa terkenal karena keberanian dalam menghadapi Belanda dan juga menurut masyarakat seorang yang anti peluru.
Pos-pos pasukan Komarudin selalu berpindah-pindah meskipun hanya di dalam wilayah Wonokromo seperti di Brajan, Karanganom, Wonokromo, dan Jejeran. Daerah operasi Komarudin juga sampai jauh ke utara Desa Wonokromo seperti Sorogenen, Bulu, Gandok, Ndruwo, dan sekitarnya.
Pasukan Komarudin mendapat dukungan kuat dari rakyat Wonokromo yang membantu membuat pos -pos di rumah -rumah penduduk desa. Daerah Wonokromo merupakan daerah kewaspadaan tinggi karena desa ini dekat sekali dengan markas Belanda di Pleret. Markas Belanda di Pleret termasuk markas yang besar dan kuat selain itu di Pleret tepatnya Desa Segoroyoso juga dijadikan markas WK III. Pasukan Komarudin dan masyarakat bergotong royong untuk membuat lubang-lubang besar di jalan agar menghambat pergerakan patrol Belanda.
Rakyat yang sebagian besar sebagai petani sering membantu membawakan senjata ke garis depan selain itu juga membuat ransum atau nuk untuk diberikan kepada gerilyawan. Pasukan TNI juga tidak segan untuk meminta makanan kepada penduduk Wonokromo. Penduduk sadar jika TNI pasti kelelahan dan kelaparan setelah bertempur dengan Belanda. Pada malam hari di Desa Wonokromo juga sering disinggahi pasukan TNI untuk beristirahat dan pada siang harinya meninggalkan desa tersebut. Pergerakan pasukan TNI selalu mobil artinya tidak menetap agar sulit diketahui oleh Belanda.
Lalu pada tanggal 1 Januari 1949 jam 12.00 siang pasukan Batalion 151/Brigade X berhasil menduduki Pakem dan berhasil memutus jalur komunikasi pasukan Belanda antara Kaliurang dengan Yogyakarta.
Pada tanggal 2
Januari 1949 pasukan Belanda yang bermarkas di Watuadeg diserang pasukan KODM
Pakem pimpinan Letda Asropah dan pasukan TP pimpinan Kapten Martono. Pasukan Belanda
lari ke arah selatan, sampai di dusun Cepet jam 06.30 dihadang pasukan Subadri
dari Gatep. Pertempuran terjadi sampai jam 10.00 wib. Korban dari pihak Belanda
4 orang.
Pada tanggal 3
Januari 1949 (senin legi) dari markas tentara Belanda di Kaliurang berkekuatan
satu pleton menyerbu ke Nangsri Kidul dengan sistem Guntingan. Sedangkan
jalur-jalur yang dilewati oleh tentara Belanda adalah :
1. Kemirikebo -
Mincon (Binagun Mulyo) - Nangsri Lor - Nangsri Kidul dan di Nangsri Lor
menembak mati Ny Kromo.
2. Kemirikebo -
Pelem - Kloposawit - Kuncen - Babadan - Soprayan - Somoitan-terus ke Nangsri
Kidul dan di Babadan berhasil menembak mati bapak Kariyorejo (laskar)
3. Candi -
Pancoh - Glagahombo - Nangsri Kidul.
Tetapi penyerbuan
tersebut tidak berhasil, karena anggota pasukan Poncowati telah berpatroli ke
daerah Girikerto Utara sehingga terjadi pertempuran di Girikerto Utara tepatnya
di selatan dusun Kemirikebo dan di selatan Dusun Pelem.Dalam pertempuran
tersebut tidak ada korban jiwa dari kedua belah pihak.
Semua anggota
pasukan Poncowati bermarkas di Nangsri Kidul berpatroli di Girikerto Utara
tetapi ada satu anggota yang tidak ikut karena sakit yaitu bapak Jodja Semeru.
Karena tujuan Balanda adalah menyerang Nangsri Kidul maka bapak Jodja Semeru
yang sedang sakit dapat ditemukan Belanda dan akhirnya dia dibawa oleh Belanda
lalu ditembak mati di jembatan kali Adem sebelah utara dusun Nglembong dekat
pembuangan mobil dinas Bupati dan jenazah Bapak Jodja Semeru dimakamkan di
Dusun Nangsri Kidul. Untuk mengenang peristiwa tersebut maka dibangun monumen
bambu runcing dan di tanda tangani oleh Bapak Mayor Infantri Muh Dhorun selaku
Kakaminvetcad. Kab.Sleman.
Pada tanggal 4
Januari 1949, hari Selasa Pahing. Kompi Batalyon 151 yang dipimpin Kapten FX.
Haryadi dan KODM Turi menghadang peleton serdadu Belanda yang datang dari
Medari, di utara dusun Kembangarum. Kemudian pasukan Belanda kewalahan, mundur
ke selatan dan mendapat bantuan kemudian membalas serangan dengan mortir dari arah
Medari dan Turi. Penduduk yang menjadi korban dan gugur di Kembangarum :
1. Sukitri
2. Pawiro Karyo
Rumah Bapak
Wongsopawiro di dusun Randusongo, Donokerto, Turi pada waktu klass ke II
digunakan sebagai markas Tentara Pelajar Detasement III Brigade XVII. Tentara
Pelajar yang bermarkas di rumah ini a.l Bapak Martono ( mantan Menteri
transmigrasi ) dan Bapak Kusdiyo.
Pada tanggal 4
Januari 1949, jam 16.00 Belanda dari markas Kaliurang mengadakan patroli ke
Watu Adeg Purwobinangun dan menginap di bekas Loji Watu Adeg dan berhasil
menembak mati seorang dari Tentara Pelajar yang bernama Sarmono.
Paginya tanggal
5 januari 1949 Belanda mendapat pengadangan dari TRI Batalion 151 yang dibantu
oleh Rakyat maka terjadilah pertemputan. Tentara Belanda mendapat bantuan dari
markas Medari dengan tembakan mortir\kanon beberapa kali. Terdapat korban jiwa
dari Belanda 3 orang dan di makamkan di Cepet sedangkan dari pihak Tentara
Indonesia tidak ada. Lalu pada waktu besamaan markas Batalion 151 (Batalyon
yang terdiri dari mahasiswa dan pelajar) di Tunggul diserang dari Barat yaitu pasukan bantuan Belanda yang datang dari Muntilan dengan kekuatan 1 seksi. Pertempuran ini terjadi hingga jam 09.00 dimana pasukan Belanda berhasil di pukul
mudur dengan korban 3 tentara Belanda sedangkan korban di pihak Indonesia adalah 2 gugur yaitu
bapak Kapten FX. Haryadi bersama seorang penduduk yaitu Bapak
Kariyodimejo. Setelah gugurnya Kapten Fx. Hariyadi Komandan Brigade X
mengangkat seorang Komandan kompi, Letnan I Harjosoedirdjo, sebagai Pejabat
Komandan Batalyon.
Pada tanggal 7
Januari 1949 (Jumat Kliwon) Belanda mengadakan serangan umum. Belanda membakar
Sekolahan Rakyat di Karanganyar dan menembak mati 7 orang di Pabrik Bubrah
sekarang dusun Pulihrejo.
Penduduk yang
gugur :
1. Amatrejo
2. Mulyorejo
3. Basir
4. Karmin
5. Suradiyo
6. Muhtoha
7. Sutinah.
Karena tentara
Belanda sudah mengetahui bahwa pertempuran 5 Januari 1949 mendapat bantuan dari
rakyat dengan senjata bambu runcing dan cara mengumpulkan rakyat tersebut
dengan membunyikan kentongan maka pagi hari Tentara belanda dari markas
Kaliurang mengadakan serangan balik. Karena Belanda sudah mengetahui bahwa
pengumpulan masa dengan membunyikan kentongan lalu Belanda membunyikan
pentongan tersebut di dusun Nganggrung Wonokerto untuk mengumpulkan masyarakat.
Dan dengan gigihnya masyarakat yang mendengar bunyi kentongan tersebut
mendatangi asal kentongan dan di hadang oleh belanda dengan tembakan maka
jatuhlah korban jiwa, yaitu :
1. Sdr Slamet.
Laskar rakyat, umur 23 dari dusun Daleman dan jenazahnya dimakamkan di Daleman.
Oleh masyarakat Daleman dibuat monumen Slamet untuk mengenang peristiwa
tersebut.
2. Sdr. Suyono
desa Nangsri, yang kena tembakan pada pahanya dan dirawat di RS Dawung
candibinangun pakem.lalu di bawa ke Betesda.
Pada tanggal 9
Januari 1949 dilakukan Serangan Umum ke dua dimana Serangan Umum ke dua ini
harusnya dilaksanakan pada tanggal 7 Januari 1949. Hal ini berdasarkan Surat Perintah Panglima Divisi III tanggal 1 Januari 1949
No.4/5/cop I dimaka komandan WK III mengeluarkan perintah siasat No.
09/S/Cop/49 tertanggal 7 Januari 1949 yang di tujukan kepada semua
komandan SWK untuk melakukan serangan umum ke 2.
Dalam serangan umum ke 2 ini dibagi dalam sektor-sektor serangan, dimana sektor-sektor serangan itu adalah :
a. Sektor A ( Kraton ke selatan Jalan Parangtritis - Imogiri - Bantul ).
b. Sektor B ( Wirobrajan - Ngabean - Kraton ke barat ).
c. Sektor C ( Gandekan, Statsiun kereta api ke barat Jalan Magelang )
d. Sektor D ( Jalan Kaliurang - Jalan Solo ).
e. Sektor E ( Sentul - Balapan ).
Setiap sektor - sektor yang telah ditetapkan maka tiap-tiap komandan SWK telah ditentukan wilayah-wilayah serangannya yaitu :
a. Sektor A ( Mayor Sardjono / SWK 102, tugasnya selain menduduki sektor A juga
mengadakan hubungan erat dan memberikan bantuan dengan sektor B dan E.
b. Sektor B ( Letkol Soehoed / SWK 103 )
c. Sektor C ( Letkol Rappar / SWK 103 A )
d. Sektor D ( Kolonel Djatikusumo / SWK 105 A , Selain menduduki sektor D juga
mengadakan hubungan erat dengan sektor A dan sektor E )
e. Sektor E ( Kapten Erman / SWK 101 )
f. Kapten Hariadi (yang kemudian di gantikan oleh Lettu Hardjosoedirdjo / peristiwa 5
Januari 1949) / SWK 104 melakukan serangan antara Yogya - Tempel.
g. Mayor Soedjono / SWK 105 sasarannya Yogya - Prambanan lapangan udara Maguwo
dan bangunan-bangunan di Maguwo.Dalam serangan umum tersebut seorang taruna yang berpangkat Vandrig Kadet Lily Rochly gugur sewaktu menyerang Markas Militer Belanda di Gondokusuman (Sekarang Musium TNI-AD).
Dalam serangan umum ke 2 ini dibagi dalam sektor-sektor serangan, dimana sektor-sektor serangan itu adalah :
a. Sektor A ( Kraton ke selatan Jalan Parangtritis - Imogiri - Bantul ).
b. Sektor B ( Wirobrajan - Ngabean - Kraton ke barat ).
c. Sektor C ( Gandekan, Statsiun kereta api ke barat Jalan Magelang )
d. Sektor D ( Jalan Kaliurang - Jalan Solo ).
e. Sektor E ( Sentul - Balapan ).
Setiap sektor - sektor yang telah ditetapkan maka tiap-tiap komandan SWK telah ditentukan wilayah-wilayah serangannya yaitu :
a. Sektor A ( Mayor Sardjono / SWK 102, tugasnya selain menduduki sektor A juga
mengadakan hubungan erat dan memberikan bantuan dengan sektor B dan E.
b. Sektor B ( Letkol Soehoed / SWK 103 )
c. Sektor C ( Letkol Rappar / SWK 103 A )
d. Sektor D ( Kolonel Djatikusumo / SWK 105 A , Selain menduduki sektor D juga
mengadakan hubungan erat dengan sektor A dan sektor E )
e. Sektor E ( Kapten Erman / SWK 101 )
f. Kapten Hariadi (yang kemudian di gantikan oleh Lettu Hardjosoedirdjo / peristiwa 5
Januari 1949) / SWK 104 melakukan serangan antara Yogya - Tempel.
g. Mayor Soedjono / SWK 105 sasarannya Yogya - Prambanan lapangan udara Maguwo
dan bangunan-bangunan di Maguwo.Dalam serangan umum tersebut seorang taruna yang berpangkat Vandrig Kadet Lily Rochly gugur sewaktu menyerang Markas Militer Belanda di Gondokusuman (Sekarang Musium TNI-AD).
Kemudian pada
tanggal 11 Januari 1949 terjadi pertempuran kembali antara Tentara Republik
dengan pasukan Belanda di daerah Cepet. Dalam pertempuran ini gugur 2 orang dari Tentara
Republik, yaitu :
1. Letda
Kasijan.
2. Agen Polisi
Soekardjo.
Saat ini di lokasi tersebut dibangun Monumen Cepet untuk mengenang jasa-jasa para pejuang yang gugur di daerah Cepet ini.
Monumen Cepet
Dari dua kali melakukan serangan umum yang selalu dibalas dengan aksi pembersihan dan patroli yang diperketat oleh pihak Belanda hal ini tidak membuat kendur pihak Indonesia bahkan pada tanggal 11 Januari 1949 selain terjadinya pertempuran di Cepet adalah dikeluarkannya perintah siasat No.10/S/Cop/49 tanggal 11 Januari 1949 yang berisi
perintah kepada masing-masing komandan SWK untuk mengadakan
serangan,penghancuran,penghadangan di sektornya masing-masing. Selain
itu selama mengadakan serangan sendiri-sendiri supaya tetap bergerak
secara serentak.
Pada tanggal 13
Januari 1949 di Dusun Morangan, Sindumartani, Ngemplak, dengan dipimpin Sudiro dan
Munawar para pejuang mengadakan penyerangan ke pos-pos Belanda di Gondang Legi
Desa Donoharjo, Ngaglik. Penyerangan tersebut sangat merugikan Belanda baik
secara materiil maupun moril yang tidak sedikit. Sehingga Belanda sangat marah.
Kemudian dengan dibantu serangan dari udara, Belanda berhasil memukul mundur
para pejuang Republik Indonesia yang mengakibatkan gugurnya 7 orang yaitu:
1. KH. Muh Muhdi
2. Zuber
3. Dakiri
4. Dulkahar
5. Bakrun
6. Nawardi
7. Jawabi
Monumen Perjuangan Agresi Belanda II di Sindumartani, Ngemplak, Sleman. Didepan kantor lurah Sindumartani.
Lalu panggal 16
Januari 1949 serangan umum ketiga yang diwarnai dengan serangan yang dilakukan
masih terang matahari pada sore hari. Dalam serangan umum ketiga ini komandan WK III bergerak kearah timur
sambil mengantarkan Lettu Marsoedi dan Lettu Amir Moertono untuk
membentuk SWK 101 tersebut dalam kota. Salah satu tujuan pembentukan SWK
101 itu adalah meningkatkan perlawanan gerilya dalam kota dan
koordinasi dengan pasukan-pasukan dari SWK 102 sampai dengan 106.
Belanda mulai menduduki daerah Bantul pada tanggal 19 Januari 1949 dengan membawa kurang lebih 2 Kompi. Belanda bergerak melalui Imogiri kemudian menuju ke Barongan. Daerah Barongan terdapat pabrik gula yang dahulu ditinggalkan ketika Jepang datang ke RI. Setelah Barongan berhasil diduduki, Belanda kemudian bergerak ke arah Kota Bantul dan kemudian didirikan markas pusat Belanda di daerah Bantul. Belanda kemudian secara berturut mulai menduduki beberapa pabrik gula di Bantul seperti di daerah Pleret dan Padokan.
Daerah Bantul sudah diduduki oleh Belanda, kemudian seluruh pasukan SWK 102 dengan dibantu rakyat secara aktif melakukan perang gerilya. TNI dan rakyat juga secara bergotong -royong menggali lubang -lubang besar di jalan-jalan besar selain itu juga m enebangi pohon -pohon besar dengan tujuan agar menyulitkan Belanda yang melintasi jalan tersebut. Rakyat mengetahui walau jiwa dan hartanya akan terancam karena melakukan hal tersebut akan tetapi, tindakan tersebut semakin menambah semangat perjuangan. Perlawanan yang dilakukan oleh TNI khususnya SWK 102 semakin gencar setelah Belanda menduduki daerah Bantul pada tanggal 19 Januari 1949.
Pada hari Jum’at Legi tanggal 28 Januari 1949, tentara Belanda mengadakan serangan dari daerah Bantul menuju ke utara melalui Selarong, Bibis, Bangunjiwo dan berhenti, menghadang di Gunung Kanigoro. Sementara itu patroli-patroli Belanda dari kota mengadakan patroli rutin dan melakukan pengejaran dan penyerangan di dusun Sorogenen, Tlogo dan terkhir di dusun Kalimanjung dengan tembakan-tembakan yang gencar. Laskar Rakyat dan penduduk menyingkir dan mengungsi ke arah selatan, keluar dari dusun Kalimanjung menuju ke gunung Kanigoro yang dianggap aman, karena tidak mengetahui keberadaan pasukan Belanda dari arah Bantul. Rombongan Laskar Rakyat dan penduduk dengan susah payah dan dalam kondisi letih mendaki gunung Kanigoro, kemudian di serang pasukan Belanda dari arah puncak Kanigoro. Karena serangan yang membabi buta korban berjatuhan yang terdiri dari penduduk sipil, wanita dan anak-anak berjumlah 41 orang. Nama-nama yang gugur :
Belanda mulai menduduki daerah Bantul pada tanggal 19 Januari 1949 dengan membawa kurang lebih 2 Kompi. Belanda bergerak melalui Imogiri kemudian menuju ke Barongan. Daerah Barongan terdapat pabrik gula yang dahulu ditinggalkan ketika Jepang datang ke RI. Setelah Barongan berhasil diduduki, Belanda kemudian bergerak ke arah Kota Bantul dan kemudian didirikan markas pusat Belanda di daerah Bantul. Belanda kemudian secara berturut mulai menduduki beberapa pabrik gula di Bantul seperti di daerah Pleret dan Padokan.
Daerah Bantul sudah diduduki oleh Belanda, kemudian seluruh pasukan SWK 102 dengan dibantu rakyat secara aktif melakukan perang gerilya. TNI dan rakyat juga secara bergotong -royong menggali lubang -lubang besar di jalan-jalan besar selain itu juga m enebangi pohon -pohon besar dengan tujuan agar menyulitkan Belanda yang melintasi jalan tersebut. Rakyat mengetahui walau jiwa dan hartanya akan terancam karena melakukan hal tersebut akan tetapi, tindakan tersebut semakin menambah semangat perjuangan. Perlawanan yang dilakukan oleh TNI khususnya SWK 102 semakin gencar setelah Belanda menduduki daerah Bantul pada tanggal 19 Januari 1949.
Pada hari Jum’at Legi tanggal 28 Januari 1949, tentara Belanda mengadakan serangan dari daerah Bantul menuju ke utara melalui Selarong, Bibis, Bangunjiwo dan berhenti, menghadang di Gunung Kanigoro. Sementara itu patroli-patroli Belanda dari kota mengadakan patroli rutin dan melakukan pengejaran dan penyerangan di dusun Sorogenen, Tlogo dan terkhir di dusun Kalimanjung dengan tembakan-tembakan yang gencar. Laskar Rakyat dan penduduk menyingkir dan mengungsi ke arah selatan, keluar dari dusun Kalimanjung menuju ke gunung Kanigoro yang dianggap aman, karena tidak mengetahui keberadaan pasukan Belanda dari arah Bantul. Rombongan Laskar Rakyat dan penduduk dengan susah payah dan dalam kondisi letih mendaki gunung Kanigoro, kemudian di serang pasukan Belanda dari arah puncak Kanigoro. Karena serangan yang membabi buta korban berjatuhan yang terdiri dari penduduk sipil, wanita dan anak-anak berjumlah 41 orang. Nama-nama yang gugur :
1. Syamsudin
2. Prawirowahono
3. Harjo Prawoto
4. Ny.
Harjoprawoto
5. Wagimin
6. Tjokrodikromo
7. Soeradi
8. Harjomoelyono
9. Kartowijono
10. Kartodimejo
11. Kartooetomo
12. R.Soejadi
13. Mangoen
Wijono
14. Karsowiyono
15. Atmosihono
16.
Prawirowiyono
17. Darmowiyono
18. Soemowinarto
19.
Pawirodikromo
20. Kertodikromo
21.
Karijosuwarno
22. Ehe
23. Karijodjojo
24. Hardjodirjo
25. Sastrodimejo
26. Moejimin
27. Ny.Tomedjo
28. 14 orang tak
dikenal.
Monumen untuk mengenang peristiwa tanggal 28 Januari 1949 di Kalimanjung
Ambarketawang Gamping Sleman
Komandan
Tijgerbrigade Belanda Kolonel Van Langen pada tanggal 1 Februari
1949 mengeluarkan rencana untuk mengadakan pembersihan di
sekitar Sungai Opak – Jalan Yogya – Imogiri, dan Jejeran yang
diperkirakan basis gerilyawan. Pada pukul 13.00 gerakan pembersihan ini mendapatkan reaksi yang keras yang berupa suatu pertempuran di areal persawahan antara Belanda melawan gerilyawan TNI di bawah pimpinan Letnan Komarudin yang dibantu oleh penduduk setempat dan Lasykar Hisbullah. Semangat perjuangan dan keberanian pasukan Letnan Komarudin memang cukup mengagumkan. Tentara Belanda berhasil dipukul mundur sampai tercebur ke parit-parit.
Pada tanggal 2 Februari 1949 sekitar pukul 15.00 kapal terbang Belanda menyambar-nyambar dengan terbang sangat rendah. Kapal terbang tersebut sedang melakukan pemantauan aktifitas penduduk maupun gerilyawan di daerah Wonokromo.
Konvoi pasukan Belanda dari markas Pleret menuju Jejeran dimulai pada tanggal 3 Februari 1949 pukul 06.00. Setelah memiliki keyakinan bahwa Wonokromo merupakan basis gerilya kemudian segera bergerak. Belanda mengepung Jejeran (daerah Wonokromo) dari berbagai arah kemudian melakukan penggrebekan di rumah-rumah penduduk dan membunuh penduduk sebanyak 8 orang. Beberapa penduduk yang tampak mencurigakan langsung dibunuh oleh Belanda.
Sementara di wilayah Kota Yogyakarta pada tanggal 3 Februari 1949 pada waktu Yogyakarta diduduki oleh Belanda, di sini di Restoran R. Ay. Nurdayin tiga serdadu Belanda disergap dan dilucuti oleh 4 pemuda Prawirodirjan Broto, Barjo, dan Wahman dipimpin oleh Ex Taruna Akademi Militer Yogyakarta Manto. Rakyat Bintaran ikut membantu menghilangkan jejak dengan menghapus darah Wahman yang tercecer dari lukanya.
Pada tanggal 2 Februari 1949 sekitar pukul 15.00 kapal terbang Belanda menyambar-nyambar dengan terbang sangat rendah. Kapal terbang tersebut sedang melakukan pemantauan aktifitas penduduk maupun gerilyawan di daerah Wonokromo.
Konvoi pasukan Belanda dari markas Pleret menuju Jejeran dimulai pada tanggal 3 Februari 1949 pukul 06.00. Setelah memiliki keyakinan bahwa Wonokromo merupakan basis gerilya kemudian segera bergerak. Belanda mengepung Jejeran (daerah Wonokromo) dari berbagai arah kemudian melakukan penggrebekan di rumah-rumah penduduk dan membunuh penduduk sebanyak 8 orang. Beberapa penduduk yang tampak mencurigakan langsung dibunuh oleh Belanda.
Sementara di wilayah Kota Yogyakarta pada tanggal 3 Februari 1949 pada waktu Yogyakarta diduduki oleh Belanda, di sini di Restoran R. Ay. Nurdayin tiga serdadu Belanda disergap dan dilucuti oleh 4 pemuda Prawirodirjan Broto, Barjo, dan Wahman dipimpin oleh Ex Taruna Akademi Militer Yogyakarta Manto. Rakyat Bintaran ikut membantu menghilangkan jejak dengan menghapus darah Wahman yang tercecer dari lukanya.
Tetenger Garuda Mataram
Sebelum serangan
umum keempat Brigade X mengadakan pergeseran kedudukan pasukan, yaitu Batalyon
151 dipindahkan dari utara ke barat, masuk ke SUB WEHRKREISE 103A 1 Februari
1949 di Godean yang lebih rawan serangan Belanda. Tanggal 4 Februari 1949
serangan umum keempat, yang diwarnai koordinasi antara sesama SWK, juga dengan
pemerintah sipil yang dibawah pimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang semakin mantab. Serangan umum ke 4 ini dimaksudkan mengadakan pengecekan terhadap kesiapan serangan umum yang akan diadakan pada siang hari. Selanjutnya untuk serangan umum yang akan diadakan pada siang hari, terlebih dahulu
diadakan serangan - serangan ke pos-pos Belanda diluar kota guna
mengalihkan perhatian Belanda dengan taktik penyesatan.
Pada hari Sabtu
Legi Bulan Februari 1949 Pos-pos Belanda di daerah Jombor, Mlati, Cebongan
sampai Jumeneng dihancurkan oleh Pejuang Republik Indonesia.
Dimulai pada bulan Februari 1949 TNI dan Laskar Tirtonirmolo melakukan pemasangan ranjau darat dan track bom. Hal ini berdasarkan alasan perlawanan terhadap Belanda tentunya tidak dapat dilakukan secara frontal (berhadap-hadapan) karena persenjataan yang dimiliki kalah modern. Maka dari itu, kegiatan TNI dan Laskar Tirtonirmolo banyak difokuskan untuk menghadang konvoi Belanda dengan memasang ranjau darat ( Land Myn) atau Track Bom. Pemasangan ranjau darat merupakan cara efektif untuk menghancurkan kendaraan Belanda yang melintasi Pedukuhan Mrisi. Rakyat Mrisi telah sadar, jika pemasangan ranjau darat mengenai sasaran kendaraan Belanda maka dipastikan Belanda akan melakukan pembersihan di pedukuhan tersebut. Rakya t Mrisi juga telah tang gap ketika ranjau yang dipasang tersebut berhasil mengenai sasaran maka segera mengungsi ke daerah Bangunjiwo sebelah Barat Sungai Bedok. Pemasangan ranjau darat pertama kali dilakukan oleh anggota TNI bernama Darsi. Ranjau darat yang dipasang Darsi ternyata membawa hasil memuaskan, maka kemudian TNI dan Laskar Tirtonirmolo terus menerus melakukan pemasangan di Pedukuhan Mrisi. Belanda yang mengetahui hal tersebut sering melakukan penyisiran di lokasi penanaman ranjau darat dengan ditektor ranjau. Walaupun begitu, banyak tank maupun kendaraan Belanda lainnya terkena ranjau darat karena kecerdasan gerilyawan yang menyamarkan lokasi penanaman ranjau darat tersebut.
Pada bulan Februari tidak kurang dari 7 ranjau darat dan track bom yang dipasang di pedukuhan Mrisi. Ranjau darat dan track bom tersebut ada 5 yang berhasil mengenai dan 2 lainnya gagal mengenai sasarannya.
a. Tanggal 8 Februari 1949 ranjau darat berhasil mengenai sebuah traktor di desa Mrisi, tiga orang Belanda mati dan empat orang Belanda terluka.
b. Tanggal 9 Februari 1949 ranjau darat berhasil mengenai sebuah traktor di sebelah Selatan desa Mrisi, empat orang Belanda mati dan dua orang mengalami luka-luka. Pihak Laskar Tirton irmolo juga ada korban jiwa yaitu Saridjo dan melukai Tukul. Peristiwa ini bermula ketika Laskar Tirtonirmolo melakukan pengintaian Belanda yang sedang menolong rekannya terkena ranjau, akan tetapi Belanda mengetahui kemudian melepaskan tembakan.
c. Tanggal 11 Februari 1949 ranjau darat berhasil mengenai sebuah truk pengangkut bahan makanan dari Bantul ke Kota Yogyakarta di sebelah Selatan desa Mrisi, tiga orang Belanda mati dan tujuh orang luka-luka.
d. Tanggal 15 Februari 1949 dikarenakan ranjau telah hilang karena diambil dua orang bernama Sugeng dan Tumidjan. Keduanya kemudian di interview tetapi karena keduanya melawan dengan menggunakan tombak dan granat tangan akhirnya keduanya terpaksa ditembak mati.
e. Tanggal 18 Februari 1949 ranjau darat dipasang di Selatan Pasar Niten dan tanggal 19 Februri 1949 berhasil mengenai dua traktor dan sebuah truk Rode Kruis rusak, 13 orang Belanda mati, empat orang mengalami luka luka. Belanda kemudian mengadakan operasi pembersihan dan membakar rumah sebanyak 113 buah sebagai bentuk pembalasan .
f. Tanggal 23 Februari 1949 tidak berhasil karena telah diketahui Belanda kemudian diambil.
g. Tanggal 24 Februari 1949 pemasangan dua buah track bom dengan hasil 1 track bom berhasil dijinakkan Belanda dan 1 track bom mengenai tiga orang Belanda.
Untuk mengenang perjuangan TNI bersama dengan Laskar Tirtonirmolo yang dilakukan di sekitar pedukuhan Mrisi lalu dibangunlah Monumen Mrisi.
Belanda memandang bahwa daerah Mrisi ke Selatan sampai Niten adalah daerah yang berbahaya. Padahal daerah tersebut merupakan jalur yang penting bagi transportasi Belanda menuju daerah Bantul. Belanda mengetahui bahwa di daerah Mrisi terdapat sarang dari Laskar Tirtonirmolo. Maka dari itu Belanda melakukan operasi pembersihan dan mendirik an pos di daerah Mrisi.
Kemunculan pos Belanda di daerah Mrisi dipandang TNI dan Laskar Tirtonirmolo adalah hal yang rawan. Pada malam harinya pos Belanda tersebut diserang oleh Laskar Tirtonirmolo dengan dibantu TNI dari Kompi II Sudarmo. Belanda tampaknya menderita korban yang cukup banyak karena sebagian besar pos tersebut banyak terdapat bekas darah. Peristiwa penyerangan pos tersebut membuat Belanda marah dan melampiaskannya dengan membakar desa dan rumah yang dijadikan pos pertahanan Belanda. Setelah peristiwa itu penduduk di Pedukuhan Mrisi mengungsi ke sebelah Barat Sungai Bedok.
TNI dan Laskar Tirtonirmolo juga melakukan pemantauan terhadap markas Belanda di Pabrik Gula Padokan. Pemantauan tersebut digunakan untuk mengetahui sejauh mana kekuataan Belanda di dalam Pabrik Gula Padokan. Pada bulan April diketahui kekuatan Belanda di markas Pabrik Gula Padokan adalah sebagai berikut.
a. Kekuatan Belanda keseluruhan kurang lebih sekitar 100 orang.
b. Kekuatan senjata antara l ain:
- 2 pucuk mortier.
- Bruingen GRI.
- Karabyn Belanda.
- Pistol.
c. Tempat-tempat yang berbahaya adalah:
- Sebelah Timur terdapat penanaman ranjau darat.
- Sebelah Utara terdapat banyak pecahan kaca.
d. Pos penjagaan terdiri dari dua orang piket dengan senjata Karabyn dan pistol.
e. Patroli Belanda dengan waktu yang tidak pasti mengambil rute Padokan, Mrisi, Karang Pule, Bongkotan, Kembang, Kasongan, Bulus, Tirto, Sembungan, Jagan, Kembaran, Jogonalan, dan Kweni.
Informasi penting tersebut kemudian menjadi bekal untuk serangan besar-besaran ke markas Belanda di Padokan. Serangan ini dilakukan oleh Kompi II dengan dibantu Laskar Tirtonirmolo melalui sebelah Barat dan sebelah Selatan Pabrik Gula Padokan dengan didukung serangan mortir dari desa Seyang.
Diperkirakan melalui kedua arah tersebut Belanda dapat dikalahkan, akan tetapi Belanda telah mengetahui rencana penyerangan tersebut. Belanda yang mengetahui gerakan TNI ke arah Pabrik segera melepaskan tembakan. Mortir yang semula ditujukan untuk menggempur pertahanan Belanda, malahan mengenai anggota TNI.
Pasukan bantuan Belanda datang dari arah Kota Yogyakarta semakin menambah besar kekuatan Belanda di markas Padokan. Tembakan mortir yang salah sasaran memaksa TNI untuk mundur dan membatalkan serangan ke markas Padokan. Serangan mortir juga membuat kerusakan di rumah-rumah penduduk
Mrisi. Kegagalan penyerangan ke markas Belanda membuat TNI dan Laskar Tirtonirmolo semakin mempertebal semangat perjuangan.
Kegiatan Laskar Tirtonirmolo dan TNI tetap melakukan pemantauan terhadap markas Belanda di Padokan. Hasilnya selalu dilaporkan kepada Komandan Batalyon I Sardjono sehingga pergerakan Belanda di Padokan dapat selalu diketahui dan dikontrol.
Pedukuhan Mrisi juga membuat dapur umum untuk memasok kebutuhan pangan para prajurit yang sedang bertempur di medan pertempuran. Kiriman nasi (nuk) sangat bermanfaat bagi prajurit TNI karena terbebas dari ancaman kelaparan. Rakyat Tirtonirmolo juga tidak segan memberikan sumbangan untuk membeli bahan-bahan kebutuhan sebagai dapur umum. Selain itu, para pamong desa juga turut terlibat dengan memberikan kas kepada dapur umum dan prajurit TNI sebagai bekal untuk berperang melawan Belanda.
Dimulai pada bulan Februari 1949 TNI dan Laskar Tirtonirmolo melakukan pemasangan ranjau darat dan track bom. Hal ini berdasarkan alasan perlawanan terhadap Belanda tentunya tidak dapat dilakukan secara frontal (berhadap-hadapan) karena persenjataan yang dimiliki kalah modern. Maka dari itu, kegiatan TNI dan Laskar Tirtonirmolo banyak difokuskan untuk menghadang konvoi Belanda dengan memasang ranjau darat ( Land Myn) atau Track Bom. Pemasangan ranjau darat merupakan cara efektif untuk menghancurkan kendaraan Belanda yang melintasi Pedukuhan Mrisi. Rakyat Mrisi telah sadar, jika pemasangan ranjau darat mengenai sasaran kendaraan Belanda maka dipastikan Belanda akan melakukan pembersihan di pedukuhan tersebut. Rakya t Mrisi juga telah tang gap ketika ranjau yang dipasang tersebut berhasil mengenai sasaran maka segera mengungsi ke daerah Bangunjiwo sebelah Barat Sungai Bedok. Pemasangan ranjau darat pertama kali dilakukan oleh anggota TNI bernama Darsi. Ranjau darat yang dipasang Darsi ternyata membawa hasil memuaskan, maka kemudian TNI dan Laskar Tirtonirmolo terus menerus melakukan pemasangan di Pedukuhan Mrisi. Belanda yang mengetahui hal tersebut sering melakukan penyisiran di lokasi penanaman ranjau darat dengan ditektor ranjau. Walaupun begitu, banyak tank maupun kendaraan Belanda lainnya terkena ranjau darat karena kecerdasan gerilyawan yang menyamarkan lokasi penanaman ranjau darat tersebut.
Pada bulan Februari tidak kurang dari 7 ranjau darat dan track bom yang dipasang di pedukuhan Mrisi. Ranjau darat dan track bom tersebut ada 5 yang berhasil mengenai dan 2 lainnya gagal mengenai sasarannya.
a. Tanggal 8 Februari 1949 ranjau darat berhasil mengenai sebuah traktor di desa Mrisi, tiga orang Belanda mati dan empat orang Belanda terluka.
b. Tanggal 9 Februari 1949 ranjau darat berhasil mengenai sebuah traktor di sebelah Selatan desa Mrisi, empat orang Belanda mati dan dua orang mengalami luka-luka. Pihak Laskar Tirton irmolo juga ada korban jiwa yaitu Saridjo dan melukai Tukul. Peristiwa ini bermula ketika Laskar Tirtonirmolo melakukan pengintaian Belanda yang sedang menolong rekannya terkena ranjau, akan tetapi Belanda mengetahui kemudian melepaskan tembakan.
c. Tanggal 11 Februari 1949 ranjau darat berhasil mengenai sebuah truk pengangkut bahan makanan dari Bantul ke Kota Yogyakarta di sebelah Selatan desa Mrisi, tiga orang Belanda mati dan tujuh orang luka-luka.
d. Tanggal 15 Februari 1949 dikarenakan ranjau telah hilang karena diambil dua orang bernama Sugeng dan Tumidjan. Keduanya kemudian di interview tetapi karena keduanya melawan dengan menggunakan tombak dan granat tangan akhirnya keduanya terpaksa ditembak mati.
e. Tanggal 18 Februari 1949 ranjau darat dipasang di Selatan Pasar Niten dan tanggal 19 Februri 1949 berhasil mengenai dua traktor dan sebuah truk Rode Kruis rusak, 13 orang Belanda mati, empat orang mengalami luka luka. Belanda kemudian mengadakan operasi pembersihan dan membakar rumah sebanyak 113 buah sebagai bentuk pembalasan .
f. Tanggal 23 Februari 1949 tidak berhasil karena telah diketahui Belanda kemudian diambil.
g. Tanggal 24 Februari 1949 pemasangan dua buah track bom dengan hasil 1 track bom berhasil dijinakkan Belanda dan 1 track bom mengenai tiga orang Belanda.
Untuk mengenang perjuangan TNI bersama dengan Laskar Tirtonirmolo yang dilakukan di sekitar pedukuhan Mrisi lalu dibangunlah Monumen Mrisi.
Belanda memandang bahwa daerah Mrisi ke Selatan sampai Niten adalah daerah yang berbahaya. Padahal daerah tersebut merupakan jalur yang penting bagi transportasi Belanda menuju daerah Bantul. Belanda mengetahui bahwa di daerah Mrisi terdapat sarang dari Laskar Tirtonirmolo. Maka dari itu Belanda melakukan operasi pembersihan dan mendirik an pos di daerah Mrisi.
Kemunculan pos Belanda di daerah Mrisi dipandang TNI dan Laskar Tirtonirmolo adalah hal yang rawan. Pada malam harinya pos Belanda tersebut diserang oleh Laskar Tirtonirmolo dengan dibantu TNI dari Kompi II Sudarmo. Belanda tampaknya menderita korban yang cukup banyak karena sebagian besar pos tersebut banyak terdapat bekas darah. Peristiwa penyerangan pos tersebut membuat Belanda marah dan melampiaskannya dengan membakar desa dan rumah yang dijadikan pos pertahanan Belanda. Setelah peristiwa itu penduduk di Pedukuhan Mrisi mengungsi ke sebelah Barat Sungai Bedok.
TNI dan Laskar Tirtonirmolo juga melakukan pemantauan terhadap markas Belanda di Pabrik Gula Padokan. Pemantauan tersebut digunakan untuk mengetahui sejauh mana kekuataan Belanda di dalam Pabrik Gula Padokan. Pada bulan April diketahui kekuatan Belanda di markas Pabrik Gula Padokan adalah sebagai berikut.
a. Kekuatan Belanda keseluruhan kurang lebih sekitar 100 orang.
b. Kekuatan senjata antara l ain:
- 2 pucuk mortier.
- Bruingen GRI.
- Karabyn Belanda.
- Pistol.
c. Tempat-tempat yang berbahaya adalah:
- Sebelah Timur terdapat penanaman ranjau darat.
- Sebelah Utara terdapat banyak pecahan kaca.
d. Pos penjagaan terdiri dari dua orang piket dengan senjata Karabyn dan pistol.
e. Patroli Belanda dengan waktu yang tidak pasti mengambil rute Padokan, Mrisi, Karang Pule, Bongkotan, Kembang, Kasongan, Bulus, Tirto, Sembungan, Jagan, Kembaran, Jogonalan, dan Kweni.
Informasi penting tersebut kemudian menjadi bekal untuk serangan besar-besaran ke markas Belanda di Padokan. Serangan ini dilakukan oleh Kompi II dengan dibantu Laskar Tirtonirmolo melalui sebelah Barat dan sebelah Selatan Pabrik Gula Padokan dengan didukung serangan mortir dari desa Seyang.
Diperkirakan melalui kedua arah tersebut Belanda dapat dikalahkan, akan tetapi Belanda telah mengetahui rencana penyerangan tersebut. Belanda yang mengetahui gerakan TNI ke arah Pabrik segera melepaskan tembakan. Mortir yang semula ditujukan untuk menggempur pertahanan Belanda, malahan mengenai anggota TNI.
Pasukan bantuan Belanda datang dari arah Kota Yogyakarta semakin menambah besar kekuatan Belanda di markas Padokan. Tembakan mortir yang salah sasaran memaksa TNI untuk mundur dan membatalkan serangan ke markas Padokan. Serangan mortir juga membuat kerusakan di rumah-rumah penduduk
Mrisi. Kegagalan penyerangan ke markas Belanda membuat TNI dan Laskar Tirtonirmolo semakin mempertebal semangat perjuangan.
Kegiatan Laskar Tirtonirmolo dan TNI tetap melakukan pemantauan terhadap markas Belanda di Padokan. Hasilnya selalu dilaporkan kepada Komandan Batalyon I Sardjono sehingga pergerakan Belanda di Padokan dapat selalu diketahui dan dikontrol.
Pedukuhan Mrisi juga membuat dapur umum untuk memasok kebutuhan pangan para prajurit yang sedang bertempur di medan pertempuran. Kiriman nasi (nuk) sangat bermanfaat bagi prajurit TNI karena terbebas dari ancaman kelaparan. Rakyat Tirtonirmolo juga tidak segan memberikan sumbangan untuk membeli bahan-bahan kebutuhan sebagai dapur umum. Selain itu, para pamong desa juga turut terlibat dengan memberikan kas kepada dapur umum dan prajurit TNI sebagai bekal untuk berperang melawan Belanda.
Monumen Mrisi
Pada tanggal 22 Februari 1949 di desa Sambiloto rombongan kadet yang diantaranya terdapat VC Abdul Jalil menjadi sasaran empuk pasukan Belanda yang rupanya sudah menduduki tempat tersebut. Dalam pertempuran ini sebenarnya Abdul Jalil masih dalam kondisi terluka setelah satu setengah bulan yang lalu dirawat, karena merasa tidak enak dengan kawan-kawannya dia memaksakan ikut dalam perjalanan ke Sambiroto. Abdul Jalil yang masuk dalam rombongan gerilya terkejut dengan keberadaan Belanda. Dia tak sempat menghindarkan dirinya dari peluru-peluru Belanda yang menghujam tubuhnya sedangkan semua kawan-kawannya masih diberi keselamatan. Gugurlah VC Abdul Jalil dan ketika itu kawan-kawannya tidak mengetahui jika Abdul Jalil hilang dalam rombongan. AKhirnya dilakukan pencarian dan ketika ditemukan, tubuhnya penuh luka tusukan bayonet. Keesokan harinya, VC Abdul Jalil dimakamkan di Sambiroto dengan upacara kemiliteran. Ternyata peristiwa gugurnya VC Abdul Jalil berbuntut panjang karena catatan harian dia dirampas Belanda. VC Abdul Jalil ini termasuk kadet yang rajin mencatat kisah gerilyanya dalam buku harian. Catatan harian ini menjadi petunjuk Belanda untuk mengetahui posisi markas para gerilyawan MA dan berujung pada pertempuran Plataran yang membawa banyak korban para kadet MA 24 Februari 1949.
VC. Abdul Jalil
Pada 24 Februari
1949 melakukan operasi pembersihan yang ditujukan pada desa Kringinan. Sebab
menurut catatan Abdul Jalil di desa itu terdapat pimpinan Akmil. Gugurnya Abdul
Jalil menimbulkan kewaspadaan kepada Pimpinan Pasukan Akmil Yogyakarta untuk
meninggalkan Kringinan dan pindah ke desa-desa di sebelah utaranya. Untuk
mengamankan gerakan pemindahan Pimpinan Pasukan Akmil Yogyakarta, sekelompok
pasukan Akmil Yogyakarta berada di desa Plataran. Pasukan Belanda yang kecewa
karena tidak mendapatkan pasukan Akmil di Kringinan, kemudian bergerak ke
timur. Dan di Plataran terjadi pertempuran yang dilakukan pasukan Akmil di
Plataran yang mengamankan pemindahan Pasukan Pimpinan. Pertempuran Pelataran
merupakan tindakan pengabdian yang bersifat pengorbanan yang dilakukan anggota
Pasukan Akmil.
Sebagai akibat
dari pertempuran tersebut, telah gugur 8 (delapan) anggota Akmil, yaitu :
1. Letnan Dua
Utoyo Notodirdjo selaku Pemimpin Pasukan.
Utoyo telah
menunjukan ketauladanan, ketika mengambil oper senjata Bren dari Taruna yang
terkena tembak dan melanjutkan penembakannya sehingga ia sendiri gugur.
Secara pribadi
saya dekat dengan Saudara Utoyo karena sejak jaman Belanda, kami menjadi
anggota Kepanduan Arjuna di Semarang dan saya kenal bahwa Utoyo selalu menjadi
tauladan di dalam kehidupannya. Apa yang diperbuat di dalam pertempuran
Plataran memang sesuai dengan sifatnya yang ditunjukkan sepanjang hidupnya.
2. Letnan Dua
Sukotjo.
Kedua Perwira
itu baru saja dilantik pada tanggal 28 Nopember 1948.
Selain itu telah
gugur 5 (lima) Taruna lain dan seorang anggota Tentara Pelajar (TP) yang
bergabung dengan Akmil.
Monumen Plataran
Setelah berhasil
menyusupkan mata-mata, mempelajari posisi pasukan dan markas komando pasukan
SWK 103A di Godean selanjutnya pasukan
Belanda melakukan serangan besar di daerah SWK 103 A aitu pada tanggal 27
Februari 1949 di desa Pare, Belanda mengepung dari beberapa jurusan, disertai
bantuan tembakan dari pesawat udara. Pada saat itu Letkol Soeharto juga sedang
ada di sana. Dalam duel sengit jarak dekat di daerah perbukitan Godean, dipihak
SWK 103A gugur 3 orang yaitu:
1.
Letnan Bos
Kandou (Staf Operasi dari SWK 103 A),
2.
Sersan Jack Runtukahu,
3.
Ipda Toet Harsono.
Bos Kandou
adalah sorang perwira lapangan jago perang pasukan di bawah pimpinan Mayor
Ventje HN. Sumual, ia pernah mengikuti pendidikan di Akademi Militer. Runtukahu
juga seorang jagoan perang pemberani yang sudah bersama dengan pasukan Mayor
Ventje HN. Sumual sejak di KRIS. Ipda Harsono bersama Mayor Ventje HN. Sumual
saat tertembak. Waktu itu, musuh sudah mengepung pasukan dari SWK 103A, akan
tetapi Mayor Ventje HN. Sumual cepat melompat kebelakang tiarap tepat pada
detik terlihat kilasan peluru dari permukaan air. Beberapa anggota dari pasukan
SWK 103A patah kaki lantaran nekad melompat ke dalam jurang menghindari
sergapan Belanda.
Penyerbuan ini
akhirnya dapat dipukul mundur oleh pasukan SWK 103A, selanjutnya pasukan dari
SWK 103A berbalik mengejar mereka secara. Terbirit-birit tentara Belanda
melarikan diri dan bertahan dengan kuatnya di Jembatan Bantar.
Mereka yang
gugur kemudian dikebumikan mengikut upacara keagamaan masing-masing. Pemakaman
Bos Kandou juga dilaksanakan, banyak penduduk yang menghadiri kebaktiannya.
Ternyata banyak juga penduduk disekitar Sektor Barat yang beragama Kristen.
Mereka ikut menangis, sebab walaupun Kandou dan Jack adalah pendatang, tapi
sudah akrab dan sering bantu-bantu pekerjaan warga.
Pada tanggal 28
Februari terjadi insiden karena kesalahan tanggal oleh pleton Komaroedin
bergerak ke utara, menyusup dan menyerbu pos pertahanan Belanda di sekitar
Kantor Pos Besar di sebelah utara Alun-Alun Yogya, kemudian bertahan di sekolah
Kaputran. Serangan pendadakan yang dilakukan Komaroudin sangat mengejutkan dan
berhasil mendesak pasukan Belanda yang kemudian bertahan di pos sambil mengirim
berita untuk meminta bantuan. Tidak lama kemudian dating satuan tank yang
melakukan penembakan membabi buta. Tembakan salvo pasukan Komaroudin memaksa
satuan Belanda mundur sejenak. Kemudian dating lagi satuan panser lain yang
memperkuat barisan Belanda. Barisan kendaraan berlapis baja ini menembaki
sekolah Kaputran, tempat gerilyawan melancarkan serangan.
Terpaksa pasukan
Komaroudin menyebar , berlindung dan bertahan. Letnan Soegijono yang
berkedudukan dekat dengan Letnan Komaroudin. Letnan Gedeon dan Sersan Soejoed
berhasil menghubungi Letnan Komaroudin dan menjelaskan kesalahan tanggal
penyerangan ini. Dijelaskan bawah hari ini baru tanggal 28 Februari 1949,
sedangakn serangan umum akan dilakukan esok pada tanggal 1 Maret. Akhirnya
Letnan Komaroudin langsung menarik pasukannya ke luar kota sebelum Belanda
bertindak lebih jauh yang bisa mengacaukan rencana besar penyerangan 1 Maret
1949. Letnan Komaroudin kembali menempatkan pasukannya ke posisi awal .
Hari itu juga
Belanda langsung menyisir daerah tempat berlarinya pasukan Letnan Koumaroudin
di perkampungan sekitar Alun-Alun Selatan dan daerah Tamansari. Seorang
gerilyawan berhasil menembakkan senjatanya di posisi tersembunyi dan langsung
menghajar dada perwira yang memimpin penyisiran tersebut. Akhirnya Belanda
menghentikan penggeledahan rumah penduduk dan pasukannya mengurusi mayat
perwira tersebut dan kembali ke markasnya.
Insiden dengan
pasukan Komaroudin ini Belanda mengalami kerugian tewasnya seorang perwira dan
hancurnya 3 buah kendaraan lapis baja dari salvo pasukan Komaroudin, sedangkan
pasukan Komaroudin kehilangan
1. Sersan Mayor
Moehamad,
2. Sersan
Soebani,
3. Prajurit
Moenit
yang gugur saat
berlindung di alun-alun utara karena tidak sempat mengundurkan diri.
Pada tanggal 28
Februari ini selain insiden Komaroudin terjadi juga insiden di Giwangan, yaitu
saat sore jam 18.00 salah satu satuan yang bertugas di Giwangan melakukan
sabotase yang seharusnya dilakukan pada jam 04.00 pagi tanggal 1 Maret. Satuan
ini memutuskan jaringan telepon yang menghubungi Yogya dan Kotagede, tetapi
sayangnya aksi mereka ini diketahui oleh Belanda yang langsung mengerahkan
brencarier. Kontak senjata terjadi yang mengakibatkan satuan ini kacau balau.
Tembakan gencar SMB 12,7 Belanda membuat pasukan ini terpaksa mundur. Dalam
insiden ini seorang perwira Belanda mati, 2 orang TNI kita gugur yaitu
1. Prajurit
Soekro
2. Soedarsono.
Serangan Umum 1
Maret 1949 Pos Komando diletakkan di desa Muto.
Untuk koordinasi
penyerangan dibentuklah sektor-sektor.
Sektor barat
dipimpin oleh Mayor Ventje Sumual.
Sektor selatan
dan timur dipimpin oleh Mayor Sardjono.
Sektor utara
dipimpin oleh Mayor Kusno.
Sektor kota
dipimpin oleh Letnan Amir Murtono dan Letnan Marsoedi.
SWK 101 yang
berada di dalam kota ditugasi untuk mengkoordinasikeperluan pasukan WK III
termasuk juga perbekalannya.
Paukan gerilya
terdiri dari unsur TNI, Polisi / Mobil Brigade, satuan TP / TGP, dan satuan
kelaskaran dengan kekuatan pasukan gerilya sebanyak 2000 pasukan.
Pasukan dari WK
III ini diperkuat oleh Kompi Soewarno dari dari batalyon Darjatmo yang berasal
dari Muntilan, dan Kompi Soedarsono Bismo dari Yon Sroehardjono dari Purworejo.
Selain itu ada Ton Soelaksono dari Yon Soenitioso dari WK I Divisi II / GM II
Klaten.
WK III mulai
melakukan serangan umum mulai pukul 06.00 tanggal 1 Maret 1949.
Di sektor
selatan SWK 102 menyerang markas Belanda yang berada di Kantor Pos, Gedung
Negara, Vredeburg, pabrik Watson, Kotabaru, stasiun Lempuyangan, dan pabrik
Aniem di Wirobrajan.
Di sektor barat
SWK 103A menyerang sasaran kedudukan pasukan Belanda di Pingit, Stasiun Tugu,
Hotel Tugu, dan pos Belanda di sepanjang Malioboro sebelah utara.
Sektor utara SWK
104 menyerang dengan sasaran pos dan konsentrasi pasukan Belanda di sekitar
Kotabaru, Hotel Tugu, Gondokusuman, Pingit, Jetis dan Hotel Merdeka. Kecuali
itu SWK 104 juga harus mengikat pos-pos Belanda yang ada di Tempel, Medari,
Beran, kalasan, dan Prambanan.
Di sektor timur
SWK 105 menyerang dengan sasaran kedudukan Belanda yang ada di Tanjungtirto,
Maguwo, Kalasan dan Prambanan.
SWK 103
dikerahkan untuk membantu SWK 103A. SWK 101 membantu SWK penyerbu dengan
mengerahkan sektor-sektornya.
SWK 106 menekan
dan mengikat kedudukan Belanda terutama di sekitar Jembaan Bantar, mencegah
bantuan Belanda ke Yogyakarta.
Untuk petugas
inteljen dan komunikasi selain mengerahkan satuan yang ada juga memanfaatkan
pejuang wanita.
Tersusunlah
organisasi tugas sebagai berikut
A. SWK 102
pimpinan Mayor Sardjono disamping Yonif organik, mendapatkan kekuatan sebagai
berikut
1. Kompi
Soedarsono Bismo dari Yon Sroehardjono dari Purworejo
2. Seksi Polisi
P3 Djohan Soeparno
3. Seksi Polisi
MB Moesiman
4. Seksi polisi
Kohari
5. Peleton TP
Rahardjo
6. Dua kelompok
AURI masing-masing dipimpin oleh Basoeki dan Wirjo
Oleh Komandan
SWK 2 Seksi Polisi MB Moesiman, Seksi polisi Kohari, Peleton TP Rahardjo
diperbantukan kepada Kompi Widodo.
B. SWK 103 (SWK
103 dan SWK 103A dalam pelaksanaan serangan bergerak dalam satu sektor)
dipimpin oleh Letkol Soehoed terdiri atas
1. Kompi Latief
2. Kompi
Matoelessy
3. Regu CPM
Adisoero
C. SWK 103A yang
dipimpin oleh mayor H. N. Soemoeal disamping satuan
1. Yon Andi
Matalata
2. Yon
Peloepessy
3. Yon 151
dengan kekuatan sebagai berikut
a. Seksi Polisi
MB M. Ajatiman
b. Seksi Polisi
MB Soebroto
c. Peleton TGP
Lettu Soedarman
d. Laskar
Hisbullah dan Pemuda pejuang
D. SWK 104
pimpinan Mayor Soekasno disamping satuan MA, CPM, dan TP dengan kekuatan
sebagai berikut
1. Satuan SS KODM
Lettu Zidni Noeri
2. Seksi
Kepolisian neara Inspektur Polisi Soeragil Soekidi
3. Peleton KODM
Letda Soedjiman
4. Regu BOMD
dari desa Brayut
5. Kelompok
Senapan Mesin Berat (SMB) dari AURI
E. SWK 105
pimpinan J. Soedjono terdiri atas
1. Unsur
kekuatan dari Yon Soedjono
2. Pemuda
Pejuang
F. SWK 106
pimpinan Letkol Soedarto terdiri atas
1. 1 seksi staff
pegawai dari Brigade 17 di bawah pimpinan Lettu Oetoro
2. 1 kompi
HIsbullah di bawah pimpinan Noer Moenir
Untuk
mempermudah koordinasi Komandan WK III menetapkan sandi yang ditetapkan selama
Serangan Umum yaitu dengan mengacungkan kanan kiri ke atas dengan disertai
ucapan "Mataram" dan dijawab "Menang".
Sandi lain yang
ditetapkan yaitu janur kuning diikat di pundak kiri.
Barangsiapa
tidak mengenakan janur kuning keselamatannya tidak dijamin apabila ditembak
kawan sendiri karena dikira kaki tangan / mata-maa Belanda.
Pemakaian janur
kuning sebenarnya sudah mulai dilakukan sejak serangan umum pertama pada
tanggal 29 Desember 1948.
Untuk mengenang peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 ini sekarang di dekat titik o km Kota Yogyakarta di dalam Komplek Beteng Vredeburg telah dibangun Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949.
Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949.
Pada saat
Serangan Umum 1 Maret 1949 pada waktu diadakan serangan umum di Yogyakarta,
sebagian dari tentara Indonesia ada yang menyerbu Kaliurang dan bpk Marjono
dari tentara pelajar meninggal, beliau dimakamkan di Nangsri Kidul.
Setelah tanggal Serangan Umum 1 Maret 1949, di sektor SWK 102 TNI dan Laskar Tirtonirmolo juga memasang ranjau darat pada bulan Maret 1949 yaitu sebagai berikut.
a. Pada tanggal 3 Maret 1949 berhasil mengenai sebuah traktor di sebelah Timur Karang Pule, empat orang Belanda mati dan 2 orang mengalami luka-luka.
b. Pada tanggal 5 Maret 1949 berhasil mengenai sebuah truk yang banyak membawa pasukan Belanda. Korban yang jatuh tidak diketahui karena hari sudah gelap. c. Pada tanggal 7 Maret 1949 berhasil menghancurkan sebuah traktor di sebelah Timur Karang Pule, tiga orang Belanda mati dan dua orang mengalami luka-luka.
d. Pada tanggal 14 Maret 1949 sebuah truk yang melintar di sebelah timur Karang Pule hancur terkena ranjau, enam orang Belanda mati dan tujuh mengalami luka-luka.
Sebagai akibat dari adanya keberhasilan pasukan gerilya Republik Indonesia melakukan Serangan Umum di tanggal 1 Maret 1949 dimana pasukan gerilya RI mampu menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam membuat Belanda kehilangan muka di mata dunia. Dan untuk menghilangkan rasa malunya maka pada tanggal 18 Maret 1949 Belanda mulai mengadakan serangan balasan dengan cara membombardemen secara membabi buta. Akibat serangan Belanda tersebut menimbulkan adana jatuh korban sebanyak 120 jiwa rakyat dan 18 jiwa dari TNI.
Setelah tanggal Serangan Umum 1 Maret 1949, di sektor SWK 102 TNI dan Laskar Tirtonirmolo juga memasang ranjau darat pada bulan Maret 1949 yaitu sebagai berikut.
a. Pada tanggal 3 Maret 1949 berhasil mengenai sebuah traktor di sebelah Timur Karang Pule, empat orang Belanda mati dan 2 orang mengalami luka-luka.
b. Pada tanggal 5 Maret 1949 berhasil mengenai sebuah truk yang banyak membawa pasukan Belanda. Korban yang jatuh tidak diketahui karena hari sudah gelap. c. Pada tanggal 7 Maret 1949 berhasil menghancurkan sebuah traktor di sebelah Timur Karang Pule, tiga orang Belanda mati dan dua orang mengalami luka-luka.
d. Pada tanggal 14 Maret 1949 sebuah truk yang melintar di sebelah timur Karang Pule hancur terkena ranjau, enam orang Belanda mati dan tujuh mengalami luka-luka.
Sebagai akibat dari adanya keberhasilan pasukan gerilya Republik Indonesia melakukan Serangan Umum di tanggal 1 Maret 1949 dimana pasukan gerilya RI mampu menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam membuat Belanda kehilangan muka di mata dunia. Dan untuk menghilangkan rasa malunya maka pada tanggal 18 Maret 1949 Belanda mulai mengadakan serangan balasan dengan cara membombardemen secara membabi buta. Akibat serangan Belanda tersebut menimbulkan adana jatuh korban sebanyak 120 jiwa rakyat dan 18 jiwa dari TNI.
Pada bulan Maret
1949 sebelum terjadi penyerbuan ke Argomulyo, Pasukan Belanda mengadakan
patroli menyisir ke kampung-kampung dari arah selatan berjalan ke arah dusun
Penting. Mengetahui hal tersebut, laskar rakyat dan penduduk di sekitar
Jabalkat berjaga-jaga, menghadang dan berlindung di parit-parit pinggir jalan
dusun Tanjung dan Kiyaran. Ketika melewati dusun ini, terjadi tembak-menembak
antara pasukan Belanda dan Laskar rakyat. Dalam pertempuran ini bapak Wanayik
atau Sayid Barnadian dari laskar rakyat gugur tertembak Belanda disebelah barat
lapangan Jabalkat, kemudian dimakamkan di dusun Duwet, Wukirsari, Cangkringan.
Setelah itu
terjadi penyerbuan oleh tentara Belanda di sekitar Argomulyo, Cangkringan.
Pasukan Belanda membumihanguskan rumah-rumah penduduk di dusun-dusun sekitar
Argomulyo. Kemudian pasukan Belanda menangkap Lurah Argomulyo yang bernama
Suharjo dan Carik Desa Argomulyo yang bernama Sukarman, yang kemudian ditembak
di persawahan dan gugur. Selain kedua perangkat desa tersebut, terdapat 8 orang
penduduk yang gugur.
Ke sepuluh orang
yang gugur dalam peristiwa ini adalah :
1. Suharjo
2. Sukarman
3. Arjowinangun
4. Wahadi
5. Driyo Pawiro
6. Sukaryo
7. Sami
8. Kasido
9. Marsum
10. M. Jaidu.
Setelah
peristiwa pertempuran tersebut, pasukan laskar rakyat dan Kadet Akademi Militer
yang dipimpin Kolonel Jatikusumo, Kolonel Perngadi dan Letnan Sardjono
menyerang Belanda. Dari pihak Belanda banyak jatuh korban dan pasukan Belanda
mundur ke Kaliurang.
Pada tanggal 21
Maret 1949 laskar Tentara Pelajar antara lain Bapak Martono, Bapak Kusdiyo dan
kawan-kawan mendapat tugas menyerang ke kota. Kemudian terjadi pertempuran di
dusun Gondanglutung, tentara TP terkepung dan dalam posisi terjepit, sehingga
Bapak Kusdiyo gugur, sedang Bapak Martono terluka di bagian kepala. Bapak
Kusdiyo dimakamkan di dusun Randusongo, Donokerto, Turi (Kemudian pada tanggal
18 Desember 1979 hari Selasa Pahing makamnya dipindahkan ke Taman Makam
Pahlawan Kusumanegara, Jogjakarta).
Pada tanggal 1 April 1949 pemasangan ranjau darat di sebelah Selatan desa Mrisi dan pada tanggal 3 April 1949 berhasil menghancurkan sebuah traktor dengan korban lima orang Belanda mati dan tiga orang mengalami luka-luka.
Pada tanggal 1 April 1949 pemasangan ranjau darat di sebelah Selatan desa Mrisi dan pada tanggal 3 April 1949 berhasil menghancurkan sebuah traktor dengan korban lima orang Belanda mati dan tiga orang mengalami luka-luka.
Pada tanggal 2
April 1949 terjadi pertempuran antara pasukan rakyat dengan pasukan Belanda di
desa Kebonagung, tepatnya di dusun Pojok. Peristiwa pertempuran ini terjadi
berawal dari diketahuinya markas kesatuan Tentara Pelajar oleh pasukan Belanda
yang berada di desa Sendangarum, Minggir. Akhirnya tentara rakyat mundur ke
arah barat menuju Sendangagung dan bergabung dengan Laskar Rakyat dan Tentara
Nasional Indonesia.
Kemudian dengan
bergabungnya kekuatan Tentara Pelajar dengan TNI dalam menghadapi Belanda,
terjadi pertempuran kembali di wilayah Sendangagung yang berpusat di
Kebonagung. Pada pertempuran di Sendangagung ini diketahui bahwa sejumlah gerilyawan di pihak Republik Indonesia gugur sedangkan tentara Belanda berhasil dipukul mundur.
Pelaku yang
masih hidup:
1. Harjosumarto
2. Suhadi
3. Siswosumarto
Pada tanggal 10 April 1949 sekitar pukul 13.00 dan berakhir menjelang pukul 18.00. Pertempuran dimulai ketika pasukan patroli Belanda yang berada di wilayah Wonokromo. Pasukan patroli Belanda datang dari arah timur (markas Pleret) kemudian memasuki wilayah pedukuhan Kanggotan pada sekitar pukul 04.00. Sesampainya di Kanggota Belanda mengeluarkan 2 tembakan karena melihat seorang penduduk yang hendak keluar rumah bernama Pak Sastro.
Pasukan Komarudin saat itu sedang berada tidak jauh dari rumah Pak Sastro sehingga langsung bersiap untuk menghadang Belanda di sebelah Barat Sungai Gajah Wong. Belanda ternyata tidak bergerak ke Barat (daerah Wonokromo) akan tetapi menuju ke Selatan. Pasukan Komarudin yang melihat kejadian tersebut segera melaporkan situas i kepada pimpinannya yaitu Letnan Komarudin. Komarudin kemudian mengeluarkan perintah untuk melakukan pengepungan terhadap patroli Belanda. Pasukan Komarudin yang berjumlah 3 regu (45 orang) segera melakukan pengepungan. Siasat pengepungan dilakukan dari bagian Selatan di Trimulyo agar Belanda bergerak ke Barat. Di bagian Barat sendiri, pasukan Komarudin sudah menunggu dan menembakan beberapa peluru agar patroli Belanda bergerak ke arah Utara. Patroli Belanda kemudian bergerak ke Utara melewati tengah-tengah persawahan menuju ke pedukuhan Brajan dan Jejeran. Sesampainya di Jejeran, pasukan Komarudin bergerak ke arah Barat di tepi Sungai Code untuk
menghadang pergerakan patroli. Patroli Belanda yang berada di Jejeran kemudian di giring dengan tembakan dan bergerak ke arah Selatan. Akan tetapi dari Selatan pasukan Komarudin bergerak ke Utara ditambah dengan tembakan dari arah Barat (tepi Sungai Code). Belanda yang sedang posisi terkepung kemudian berhenti di area persawahan sebelah Barat pedukuhan Brajan. Perte mpuran di area persawahan yang padinya sudah mulai menguning terjadi dengan sengit. Korban di pihak Belanda ada 5 orang dan 1 orang terluka yang akhirnya meninggal juga. Kondisi cuaca waktu itu sedang hujan lebat dan hari mulai gelap sehingga sisa 1 regu dari patroli Belanda berhasil melarikan diri . Pada malam harinya daerah yang menjadi tempat pertempuran di hujani oleh mortir dan persenjataan berat lainnya. Serangan mortir tersebut mengakibatkan kerusakan di beberapa rumah penduduk, akan tetapi, dari pihak TNI dan rakyat desa tidak ada korban jiwa satupun.
Pada tanggal 10 April 1949 sekitar pukul 13.00 dan berakhir menjelang pukul 18.00. Pertempuran dimulai ketika pasukan patroli Belanda yang berada di wilayah Wonokromo. Pasukan patroli Belanda datang dari arah timur (markas Pleret) kemudian memasuki wilayah pedukuhan Kanggotan pada sekitar pukul 04.00. Sesampainya di Kanggota Belanda mengeluarkan 2 tembakan karena melihat seorang penduduk yang hendak keluar rumah bernama Pak Sastro.
Pasukan Komarudin saat itu sedang berada tidak jauh dari rumah Pak Sastro sehingga langsung bersiap untuk menghadang Belanda di sebelah Barat Sungai Gajah Wong. Belanda ternyata tidak bergerak ke Barat (daerah Wonokromo) akan tetapi menuju ke Selatan. Pasukan Komarudin yang melihat kejadian tersebut segera melaporkan situas i kepada pimpinannya yaitu Letnan Komarudin. Komarudin kemudian mengeluarkan perintah untuk melakukan pengepungan terhadap patroli Belanda. Pasukan Komarudin yang berjumlah 3 regu (45 orang) segera melakukan pengepungan. Siasat pengepungan dilakukan dari bagian Selatan di Trimulyo agar Belanda bergerak ke Barat. Di bagian Barat sendiri, pasukan Komarudin sudah menunggu dan menembakan beberapa peluru agar patroli Belanda bergerak ke arah Utara. Patroli Belanda kemudian bergerak ke Utara melewati tengah-tengah persawahan menuju ke pedukuhan Brajan dan Jejeran. Sesampainya di Jejeran, pasukan Komarudin bergerak ke arah Barat di tepi Sungai Code untuk
menghadang pergerakan patroli. Patroli Belanda yang berada di Jejeran kemudian di giring dengan tembakan dan bergerak ke arah Selatan. Akan tetapi dari Selatan pasukan Komarudin bergerak ke Utara ditambah dengan tembakan dari arah Barat (tepi Sungai Code). Belanda yang sedang posisi terkepung kemudian berhenti di area persawahan sebelah Barat pedukuhan Brajan. Perte mpuran di area persawahan yang padinya sudah mulai menguning terjadi dengan sengit. Korban di pihak Belanda ada 5 orang dan 1 orang terluka yang akhirnya meninggal juga. Kondisi cuaca waktu itu sedang hujan lebat dan hari mulai gelap sehingga sisa 1 regu dari patroli Belanda berhasil melarikan diri . Pada malam harinya daerah yang menjadi tempat pertempuran di hujani oleh mortir dan persenjataan berat lainnya. Serangan mortir tersebut mengakibatkan kerusakan di beberapa rumah penduduk, akan tetapi, dari pihak TNI dan rakyat desa tidak ada korban jiwa satupun.
Pada hari Senin
Wage 15 April 1949, ratusan tentara Belanda mengadakan operasi di daerah
sekitar pabrik tembakau. Sekitar jam 5 pagi Belanda telah berada di rumah-rumah
bekas pabrik tembakau Sorogedug dengan mengadakan tembakan-tembakan di daerah
yang akan dioperasi di lereng gunung Watubale Ngumbulsari dan sekitarnya yang
diduga Belanda tempat tersebut sebagai markas para gerilyawan. Setelah sampai
di sungai sebelah Timur Jogonalan tentara Belanda diserang oleh gerilyawan yang
dipimpin oleh komandan regu Sumpeno dengan kekuatan 30 orang. Di tempat
tersebut terjadi pertempuran sebentar karena waktunya masih pagi benar. Maka
terjadilah pertempuran dengan senjata tajam.
Tentara Belanda
setelah sampai di sebelah timur makam Tono berhenti dan berkumpul dengan
melihat gambar lokasi. Pada kesempatan yang baik itu komandan seksi Adisucipto
memerintahkan kepada para pengawalnya yaitu Bpk. Dirun untuk menembak
gerombolan tentara yang sedang berkumpul tersebut dan salah satu tentara
Belanda tertembak. Secara tiba-tiba Belanda kacau dan lari berpencar serta
mengadakan tembakan balasan dengan senjata berat tekidanto.
Setelah
tembak-menembak 1 jam datanglah bantuan dari seksi pratelo yang ditempatkan di
Desa Grogol agar siap mencegat bila Belanda datang dari markas Piyungan.
Tentara kita mempunyai perhitungan bahwa untuk mempercepat jalannya pertempuran
perlu diadakan pasukan berani mati (Jibakutai). Dengan kesadaran dan keiklhasan
berkorban demi negara maka ada 8 orang yang mengajukan diri yaitu:
1. Hadisujtipto
2. T.
Tjiptosudarmo
3. Dirun
Sastromiyardjo
4. Marjuni
5. Purwadi
6. Ponijo
7. Eko
8. Wagiman.
Kerugian yang
diderita oleh kedua belah pihak:
Dari Belanda:
Menurut laporan
dari rakyat yang dilalui Belanda di kampung Sembir dan Sorogedug ada 33
jenazah. Adapun satu tentara Belanda yang tertinggal di dekat makam Tono,
sehabis pertempuran jenazah tersebut dikubur oleh masyarakat setempat di desa
Sawo. Setelah keadaan normal kembali jenazah diambil oleh petugas dari
Pemerintah Belanda.
Korban dari
pihak Republik:
1. Purwadi
2. Notosuharto
3. Atmopawiro
4. Sastrodimejo
5. Sokariyo
6. Tukijan
7. Setrojumeno.
Pada tanggal 18 April 1949 pemasangan ranjau darat di sebelah Timur desa Krantil berhasil menghancurkan traktor pada tanggal 19 April 1949 dengan korban empat orang Belanda mati dan seorang mengalami luka luka.
Pada tanggal 18 April 1949 pemasangan ranjau darat di sebelah Timur desa Krantil berhasil menghancurkan traktor pada tanggal 19 April 1949 dengan korban empat orang Belanda mati dan seorang mengalami luka luka.
Pada tanggal 26
April 1949.dilatarbelakangi oleh pertempuran yang terjadi pada hari Selasa
Kliwon, sebelum peristiwa Daleman. Laskar rakyat dan tentara menyerang serdadu
Belanda di Dusun Baratan dan wilayah Ngaglik. Penyerangan dimulai dengan tanda
memukul kentongan yang bersahut-sahutan. Banyak jatuh korban di pihak Belanda.
Berdasarkan
pengalaman ini, pihak Belanda pada hari Jum’at Kliwon tanggal 26 April 1949,
waktu dini hari (subuh) mengecoh rakyat daerah Daleman, dengan cara memukul
kentongan seolah tanda untuk mengajak rakyat menyerang Belanda. Masyarakat
dusun Nganggrung, Daleman dan Nangsri tertipu, bergegas keluar rumah dengan
senjata seadanya. Belanda sudah siaga di sepanjang rel lori di utara dusun
Nganggrung dan menembaki rakyat. Bapak Simon Slamet yang berlari ke atas rel,
karena tidak tahu keberadaan Belanda, ditembak dan gugur di tempat. Korban luka
yaitu Bapak Soeyono yang tertembak di bagian kaki.
Tanggal 30 April
1949 bertepatan dengan ulang tahun ke 40 Ratu Juliana, diadakan pesta semalam
suntuk tentara Belanda di Villa Kaliurang. Para kadet MA yang tergabung dalam
peleton Z dan H1 mendapat tugas melakukan gangguan di villa sedangkan peleton
H2 mendapat tugas mencegat Belanda di jalan Kaliurang. Villa Dr Sukiman di
Kaliurang berhasil didekati peleton Z kadet MA, sekitar pukul 03.00 aba-aba serangan
dimulai dengan gencar pasukan MA menyerang kedua Villa yang menjadi sasaran.
Villa Argopeni untuk Peleton H1 dan Villa Dr Sukiman untuk Peleton Z. Peleton Z
menyerang lampu sorot villa agar dapat padam sehingga membuat kepanikan Tentara
Belanda yang akan melakukan pembalasan. Serangan gencar mebuat tentara Belanda
yang sedang pesta panik dan beberapa menjadi korban serangan. Beberapa saat
setelah pasukan Belanda berhasil mengkonsolidasikan anggotanya, segera para
Kadet MA kabur meninggalkan lokasi tetapi posisi persembunyian VC Slamet
Sudibjo terlihat Belanda dan diberondong mitraliur. Ketika tembakan mitraliur
terhenti VC Slamet Sudibjo mencoba melihat dengan mengangkat kepala. Serdadu
Belanda yang melihat VC Slamet Sudibjo segera menembak kembali dan tepat
mengenai kepala. Gugurlah VC Slamet Sudibjo dan sempat dibawa mundur
meninggalkan Villa oleh rekan-rekannya kemudian dimakamkan didesa sekitar Villa
(Diringkas dari buku Akademi Militer Yogya Dalam Perjuangan Pisik 1945-1949).
Pada pagi hari sekitar pukul 05.00 tanggal 6 Mei 1949 para pejuang pimpinan Soeparjo Suryo di Brayut dikejutkan berita yang dibawa seorang Polisi Pager Praja yang bernama Supeni, bahwa dari arah Yogyakarta ada sepasukan Belanda menuju Turi.
Akibat pembersihan orang-orang yang dianggap perusuh oleh Belanda, warga Brayut bagian utara melarikan diri ke arah selatan.
Dalam keadaan tidak siap, Sriyono an kawan-kawan sambil melindungi penduduk mundur dengan melepaskan tembakan. Melalui desa Panasan, Sriyono beserta penduduk bisa selamat
Bakir, sebagai komandan penyerangan segera membangunkan anak buahnya, yang semalam ada 35 orang, tetapi ternyata pagi itu hanya ada 9 orang. Yang lain jelas tidak mungkin karena sudah bangun dan entah kemana. Karena kekuatan hanya 1 regu, jelas tidak mungkin menghadapi Belanda. Sebagai langkah pengamanan mereka menenggelamkan senjatanya dan mundur ke arah utara. Ternyata Belanda tidak hanya dari arah selatan, tetapi juga dari arah utara dan timur.
Pasukan Bakir akhirnya dapat bergabung dengan pasukan Sriyono melindungi rakyat Brayut sambil memberikan perlawanan kepada Belanda. Tetapi tidak bagi ke 63 laki-laki Brayut lainnya yang gagal menyelamatkan diri sehingga beberapa lagi tertawan Belanda dan menjadi korban sebanyak 63 orang dan 14 orang dantaranya yang dimakamkan di desa Brayut. Daftar korban yang dimakamkan di desa Brayut adalah :
1. Sarjiman
2. R. Budiwiyono
3. Darmo Suprapto
4. Prawirodimejo
5. Kromo
6. Suridikromo
7. Cokrowiharjo
8. Jono
9. Kusen
10. Haryono
11. Suprapto
12. R. Supraptoharjo
13. Wongso Paijo
14. Dalijo
Bakir, sebagai komandan penyerangan segera membangunkan anak buahnya, yang semalam ada 35 orang, tetapi ternyata pagi itu hanya ada 9 orang. Yang lain jelas tidak mungkin karena sudah bangun dan entah kemana. Karena kekuatan hanya 1 regu, jelas tidak mungkin menghadapi Belanda. Sebagai langkah pengamanan mereka menenggelamkan senjatanya dan mundur ke arah utara. Ternyata Belanda tidak hanya dari arah selatan, tetapi juga dari arah utara dan timur.
Pasukan Bakir akhirnya dapat bergabung dengan pasukan Sriyono melindungi rakyat Brayut sambil memberikan perlawanan kepada Belanda. Tetapi tidak bagi ke 63 laki-laki Brayut lainnya yang gagal menyelamatkan diri sehingga beberapa lagi tertawan Belanda dan menjadi korban sebanyak 63 orang dan 14 orang dantaranya yang dimakamkan di desa Brayut. Daftar korban yang dimakamkan di desa Brayut adalah :
1. Sarjiman
2. R. Budiwiyono
3. Darmo Suprapto
4. Prawirodimejo
5. Kromo
6. Suridikromo
7. Cokrowiharjo
8. Jono
9. Kusen
10. Haryono
11. Suprapto
12. R. Supraptoharjo
13. Wongso Paijo
14. Dalijo
Dan korban-korban yang lainnya sebagian besar dimakamkan dipemakaman keluarga.
Monumen Brayut
Masih tanggal 6
Mei 1949 dengan komandan kompi Bapak Kapten Widodo (Jono). Dusun Sentul
diserang dengan mortir oleh tentara Belanda dari Cebongan, tepatnya di sebelah
barat kantor Kecamatan Mlati sekarang. Pada saat itu hari Jum’at Legi, pasar
Godean baru hari pasaran, sehingga suasana pasar sangat ramai dan akibat
serangan mortir jatuh banyak kurban luka-luka dan tewas. Latar belakang
diserangnya Godean karena adanya pasukan gerilya yang bermarkas di dusun-dusun
sekitar pasar Godean antara lain : Dusun Sentul Geneng, dusun Godean IV, dan
dusun Senuko.
Pada pagi
harinya pada tanggal 7 Mei 1949 Belanda menyerang dengan mortir, kemudian
mendatangi pasar Godean untuk mengecek dan menyisir hasil serangannya. Pasukan
TNI RI dan rakyat (Kompi Kesatuan 151) kemudian menghadang pasukan Belanda di
dusun Senuko dan Sentul Geneng, sehingga terjadi pertempuran sengit. Penduduk
dan pasukan yang gugur antara lain :
1. Ahmad Zaini
dari TNI AD
2. Sukirdjo
penduduk sipil
3. Jae Sumantoro
dari TNI AU
4. Sukirdjan
penduduk sipil
5. Amir Patinama
dari Brimob
6. Goploh dari
Laskar Rakyat
Di Dusun Godean
IV, rumah-rumah yang menjadi dapur umum antara lain :
1. Rumah Bapak
Karyotomo (almarhum) di Godean IV, Sidoagung, Godean.
2. Rumah bapak
Joyo Sudarmo di Jetis, Sidoagung, Godean.
Untuk menandai pertempuran tersebut dibangunlah sebuah monumen berbentuk tugu yang dibagi menjadi tiga sisi, sisi bagian tengah dengan relief
situasi pertempuran, sisi kanan dan kiri berisi tulisan puisi tentang
perjuangan. Monumen berlokasi di Dusun Sentul Geneng.
Monumen Geneng Godean
Dan untuk menghormati pejuang yang gugur itulah, jalan di kota kacamatan Godean menggunakan nama-nama beliau.
Masih di tanggal 7 Mei 1949 TNI dan Laskar Tirtonirmolo melakukan penanaman ranjau darat dan berhasil menghancurkan sebuah panser dan lima orang Belanda mati. Dilanjutkan dengan tanggal 8 Mei 1949 menghancurkan sebuah panser di sebelah timur desa Karang Pule, korban sejumlah lima orang Belanda mati dan dua orang mengalami luka -luka. Dan pada tanggal 16 Mei 1949 penanaman ranjau di se belah timur Karang Pule berhasil menghancurkan sebuah truk Belanda dan seluruh penumpang meninggal dunia.
Masih di tanggal 7 Mei 1949 TNI dan Laskar Tirtonirmolo melakukan penanaman ranjau darat dan berhasil menghancurkan sebuah panser dan lima orang Belanda mati. Dilanjutkan dengan tanggal 8 Mei 1949 menghancurkan sebuah panser di sebelah timur desa Karang Pule, korban sejumlah lima orang Belanda mati dan dua orang mengalami luka -luka. Dan pada tanggal 16 Mei 1949 penanaman ranjau di se belah timur Karang Pule berhasil menghancurkan sebuah truk Belanda dan seluruh penumpang meninggal dunia.
Pada tanggal 29
Mei 1949 Belanda menyerang daerah Rejodani. Berita rencana penyerangan dari bakul
pasar. Kemudian atas inisiatif Sersan Suwarno dari Peleton III Batalyon 300 dan
Kopral Harsono menghadang di daerah Ngetiran. Dalam pertempuran ini gugur 8
orang pejuang :
1. Kopral Harsono
2. Sersan
Suwarno
3. FX. Sukapdi
4. Suroyo
5. Supranoto
6. Darjono
7. Sunarto
8. Alibajah
Dalam
suatu catatan Laporan Situasi Perjuangan Pada Clas II Kecamatan Ngaglik
yang disusun pada tanggal 8 Mei 1998 oleh Bapak H.M. Dachlan (salah
seorang saksi sejarah) diceritakan bahwa “pada saat itu terjadilah
pertempuran sengit antara Tentara Pelajar BE 17 dengan Serdadu Kolonial
Belanda. Walaupun keadaan persenjataan kurang seimbang, namun untuk
menghalau patroli serdadu Belanda, maka terjadilah tembak-menembak
dengan gencarnya sampai kehabisan persediaan peluru yang sangat terbatas
adanya. Akhirnya dalam keadaan terdesak dan terkepung, gugurlah delapan
orang Tentara Pelajar kita sebagai Pahlawan Bangsa.”
Pada
awalnya ke delapan para pejuang ini dimakamkan di tempat dimana monumen
ini didirikan dan ketika keadaan sudah aman ke delapan pejuang yang
gugur ini lalu dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kusumanegara di
Semaki.
Pada saat ini di lokasi terjadinya pertempuran Rejodani telah dibuatkan sebuah monumen yang banyak dikenal sebagai Monumen Rejodani.
Monumen Rejodani
Berdasarkan
perintah komandan Brigade X/Wehrkreis (Daerah Perlawanan) III Yogyakarta,
pasukan Batalyon 151 Brigade X, Divisi III Diponegoro pada tanggal 11 Mei 1949
pindah dari SWK (Sub Wehrkreis) 103 A Yogya Barat ke SWK 105 Yogya Timur.
Pemindahan ini dilakukan sebagai langkah antisipasi kemungkinan ditariknya
mundur tentara Belanda dari seluruh Indonesia yang dalam kenyataan nantinya
dari Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 29 Juni 1949 (peristiwa Yogya
Kembali). Kedatangan pasukan Batalyon 151 di daerah segitiga Prambanan,
Piyungan dan Berbah disambut dengan gembira oleh rakyat penduduk desa Madurejo
dan sekitarnya, karena selama ini tentara Belanda di daerah antara Prambanan
dan Piyungan belum pernah diserang oleh pihak Indonesia. Dengan kehadiran
Batalyon 151 di daerah tersebut rakyat sangat mengharapkan pasukan Batalyon 151
melakukan serangan terhadap tentara Belanda di daerah itu.
Pada awal bulan
Juni 1949, di dekat dusun Serut Prambanan Dua kompi pasukan Batalyon 151,
Brigade 10 Divisi III Diponegoro, satu regu Tentara Genie Pelajar (TGP) Brigade
17 TNI kompi 4 dan dibantu oleh rakyat setempat melakukan serangan terhadap
konvoi tentara Belanda di jalan raya Prambanan yang menuju Wonosari, sebelah
dusun Serut. Dalam persiapannya pasukan kita telah dapat memperoleh dua bom
lengkap dengan detonator listrik masing-masing seberat 250 kg, dari gudang
senjata peninggalan Belanda tahun 1942. Gudang senjata ini adalah sebuah gua
yang berlokasi di bukit Pengklik, Berbah. Bom-bom tersebut oleh para pejuang
bersama rakyat diangkut dan ditanam di jalan raya tersebut di atas. Pasukan
pejuang diberangkatkan dari dusun Berbah setelah matahari terbenam dan sampai
di lokasi sekitar pukul 8 pagi. Setiba di tempat pasukan langsung mengadakan
persiapan berupa penanaman bom-bom (ditanam dengan jarak ± 50 m dari jalan raya
dan menentukan tempat-tempat pertahanan (steling). Dengan dilengkapi dua bom
tersebut di atas dengan detonator listrik memungkinkan komandan pasukan
memilih/menentukan waktu yang tepat untuk meledakkan bom. Menjelang pukul 08.00
pagi terdengar gemuruhnya suara konvoi yang datang dari arah Prambanan menuju
ke selatan arah Piyungan – Wonosari. Konvoi dibiarkan mendekat dan pada saat
sebagian besar kendaraan konvoi yang terdiri dari kendaraan lapis baja,
brencarrier, truk dan jeep berada di antara atau dekat dua bom tersebut maka
kedua bom diledakkan secara simultan. Sangat beruntung bagi pasukan dan rakyat
Indonesia waktu itu, bahwa tentara Belanda tidak menaruh curiga atas adanya
bom-bom tersebut. Oleh sebab itu, tentara Belanda pada serangan Serut ini
menderita kerugian yang sangat besar, baik kerugian jiwa maupun kerugian
material. Sebagai akibat dari ledakan-ledakan bom terlihat banyak anggota badan
dan tengkorak tentara Belanda berserakan di sawah dan ladang sekitar kejadian,
demikian juga potongan-potongan/kepingan-kepingan kendaraan lapis baja, truk
dan jeep. Tentara Belanda yang selamat langsung mengkonsolidasi diri dan
terjadi tembak-menembak antara kedua pihak. Selama berlangsungnya
tembak-menembak sebagian tentara Belanda tampak mengupayakan penyelamatan
jenazah-jenazah dan yang luka-luka dari pihak mereka. Setelah itu sisa-sisa
konvoi tentara Belanda berbalik arah dan kembali ke pangkalannya di pabrik gula
Tanjung Tirto dan lapangan terbang Maguwo (sekarang Bandar Udara Internasional
Adisucipto). Pada peristiwa itu dari pihak rakyat Serut, Regu TGP maupun
Batalyon 151 tidak ada korban apapun.
Pada tanggal 28 Juni 1949, Batalyon 151 ditugaskan untuk menduduki komplek pabrik gula Tanjung Tirto serta prasarana penghubungan udara Maguwo, yang sampai penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, merupakan satu-satunya koridor udara penghubungan Internasional Pemerintah Pusat Republik Indonesia Serikat.
Pada tanggal 28 Juni 1949, Batalyon 151 ditugaskan untuk menduduki komplek pabrik gula Tanjung Tirto serta prasarana penghubungan udara Maguwo, yang sampai penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, merupakan satu-satunya koridor udara penghubungan Internasional Pemerintah Pusat Republik Indonesia Serikat.
Pada tanggal
tanggal 29 Juni 1949, tentara Belanda mundur dari Yogyakarta. Salah satu
pasukan pada tanggal 29 Juni 1949 sesudah gencatan senjata, mengadakan
penghitungan amunisi, mendapat tiap pucuk senjata rata-rata tinggal 16 butir.
Peristiwa Jogja Kembali ini untuk mengenangnya kini dibangun
Tetenger Jogja Kembali yang ada di depan Hotel Garuda (dahulu Hotel Merdeka)
Tetenger yang ada di komplek Hotel Garuda (dahulu Hotel Merdeka)
Selain tetenger yang ada di komplek Hotel Garuda (dahulu Hotel Merdeka) juga untuk mengenang peristiwa itu juga dibangun Monumen Jogja Kembali.
Monumen Yogya Kembali
Pada tanggal 8 Juli 1949, dalam perjalanan kembali ke Jogjakarta dari markas gerilya
Sobo Pacitan, Pak Jendral Soedirman melakukan pertemuan dengan Letkol. Soeharto di
daerah Kerjo Ponjong Gunung Kidul.
Tetenger di tempat Pak Jendral Soedirman melakukan pertemuan dengan Letkol. Soeharto di daerah Kerjo Ponjong Gunung Kidul.
Sumber :
Edi Lapian, Frieke Ruata dan BE Matindas, 2009, Memoar Ventje H.N.
Sumual, Bina Insani Jakarta.
H.M. Dachlan, 1998, Laporan Situasi Perjuangan Pada Clas II Kecamatan Ngaglik.
Replika Sejarah Perjuangan Rakyat Jogjakarta cetakan tahun 1983 halaman 157-168.
SESKOAD, 1990, Serangan Umum 1 Maret 1949 Di Yogyakarta , Latar Belakang dan Pengaruhnya, PT. Citra Lamtoro Gung Persada, Jakarta.
Bagus sekali artikel perjuangan rakyat dan tni iNi. Akan lebih bagus lagi dibuatkan film.
BalasHapushttps://youtu.be/zEmtTnI_HKE mohon diralat dibagian dari palagan rejodani bahwa tentara pelajar yg meninggal tidak dimakamkan di sekitar monumen...akan tetapi di belakang masjid sultoni rejodani...baru setelah itu di pindah ke semaki
BalasHapusKanapa Jogja bisa di kuasai Belanda sementara kerajaan di sana masih utuh sampai sekarang ?
BalasHapusSaya senang sekali ada blog ini, yang masih peduli dengan kisah kepahlawanan. Dulu jaman saya sekolah masih ada pelajaran PSPB, sayang sekali sekarang sudah tidak ada. Generasi muda sekarang perlu untuk mengetahui kisah kisah semacam ini. Momumen/tetenger agar lebih dirawat lagi.
BalasHapus