Jumat, 28 November 2014

Kelompok Pathuk Dalam Perjuangan Bangsa Indonesia

 Kelompok Pathuk Dalam Perjuangan Bangsa Indonesia
Team Penulis Djokjakarta 1945

Bangsa Indonesia sudah merdeka, akan tetapi banyak pahlawan yang luput untuk dikenang. Bangsa ini merdeka tidak hanya melalui perjuangan bersenjata, tapi juga peran pemuda terpelajar. Mereka pemberani dan bersemangat besar mewujudkan kemerdekaan bangsa.Dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia tidak bisa lepas dari kota Yogyakarta. Selain menjadi pusat pergerakan rakyat, Yogyakarta juga telah banyak melahirkan kelompok atau organisasi maupun tokoh-tokoh kaliber nasional.
Salah satunya, adalah sekelompok pemuda terpelajar yang dikenal sebagai Kelompok Pathuk. Kelompok ini pada masa penjajahan Jepang tahun 1942 hingga zaman kemerdekaan selalu berkumpul di kampung Pathuk, di sisi barat Jalan Malioboro, Yogyakarta. Kelompok yang mencuat karena melahirkan para pelaku sejarah di Indonesia. Nama-nama besar seperti Syam Kamarruzzaman, Chairil Anwar, Syahrir, hingga DN Aidit dan Soeharto, adalah sedikit nama yang pernah dekat dengan kelompok ini.
Dimotori 4 sekawan satu sekolah di SMT (Sekolah Menengah Tinggi) Yogyakarta (sekarang SMA 3 ‘Padmanaba’), yaitu Kusumo Sunjoyo, Permadi Joy, Den Nyoto dan Dayino, Kelompok Pathuk memulai diskusi kecil soal kebangsaan dan politik di sebuah rumah kos di bilangan Pathuk, Yogya. Kelompok yang muncul pertama kali sekitar tahun 1943 itu memang tidak secara formal didirikan, karena saat Jepang berkuasa tidak mungkin dibentuk suatu kelompok secara terang-terangan, apalagi berbau politik. Kelompok Pathuk kemudian banyak dikenal kalangan luas sebagai salah satu Marx House.

Kenapa disebut demikian, karena Kelompok Pathuk banyak mendiskusikan buku Das-kapital karangan Karl Marx. Pilihan ini lebih didasarkan pada saat itu, “musuh” kita adalah kapitalisme yang lalu berkembang menjadi imperialisme. Dan satu-satunya referensi yang menentang kapitalisme adalah, Das-Kapital. Jadi jangan heran jika kebanyakan jebolan Pathuk adalah orang-orang yang basis sosialisnya kuat. Termasuk Dayitno yang pernah menjadi anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI). Saat itu, hampir semua orang mengaku sosialis, ada yang sosialis-nasionalis ada yang sosialis-religius.
Dayino berkisah, latar belakang berdirinya Kelompok Pathuk bermula saat Jepang menguasai Indonesia awal tahun 40-an. Jepang kemudian membebaskan tokoh pergerakan nasional seperti Soekarno, Bung Hatta dan Syahrir, yang sebelumnya ditahan Belanda di Banda Neira. Jepang menggunakan tokoh pergerakan untuk memobilisasi massa dalam menghadapi tentara Sekutu. Untuk itulah mereka bertiga dibebaskan.

Kelompok Pathuk ini adalah "gerakan bawah tanah yang dipimpin oleh Bung Sjahrir yang menolak bekerjasama dengan Jepang.
Berbeda dengan gerakan bersenjata, Sjahrir dengan kelompok Pathuk kala itu berpandangan bahwa bangsa Indonesia sebentar lagi akan merdeka dan tidak perlu perang bersenjata melawan Jepang, sebab yang berkuasa adalah Sekutu yang telah menang Perang Dunia kedua. Indonesia tidak akan kuat berperang melawan Sekutu pada saat itu, karena kekuatannya sangat besar. Syahrir, melalui radio yang ia punyai, mengetahui bahwa Jepang mengalami kekalahan dari Sekutu dalam perang Pasifik. Kemudian ia menghubungi Soekarno dan Hatta, bahwa Jepang akan kalah perang. Kemudian mereka bertiga sepakat untuk menyusun suatu pergerakan. Soekarno dan Hatta melalui jalur diplomatis, sedangkan Syahrir melalui gerakan bawah tanah
Menurut Sjahrir tugas bangsa adalah menyiapkan kader-kader yang akan jalankan tugas negara saat kemerdekaan datang makanya Syahrir mendirikan Pendidikan Nasonal Indonesia (PNI). Dan melalui PNI ini Sjahrir membuat jaringan di seluruh Indonesia. Jaringannya pemuda-pemuda yang memiliki kekuasaan di sektor penting, telekomunikasi, buruh kereta, dan sebagainya. Beberapa daerah akhirnya terbentuk semisal jaringan di Sumatera, Jawa dan Bali.
Jaringan PNI di Jawa di antaranya meliputi cabang Jakarta, Bandung, Cirebon, Yogyakarta, Solo, Madiun, Surabaya dan Malang. 

Di Surabaya Sjahrir memiliki jaringan pemuda bernama Johan Syahrusah. Johan memiliki kontak di Semarang, bernama Tobing dan Sunjono yang bekerja di Pusat Telekomunikasi. Dari Tobing inilah, Sunjoyo di Yogyakarta membuat Kelompok Pathuk. Sebagai catatan Sunjoyo adalah seorang pemuda pemberani, yang memimpin penculikan terhadap sejumlah pemuda yang menjadi antek-antek Jepang. Pemuda-pemuda pribumi yang menjadi pengikut Jepang itu diculik dan dibawa ke Pleret untuk ditelanjangi dan dipaksa berjalan pulang untuk memberi pelajaran.
Kelompok Pathuk yang beranggotakan KRT Yosodiningrat (yang lalu diangkat menjadi wakil Menhan), Umar Joy, Dayino, Muhammad Tohib, dan Sjam Kamaruzzaman (salah satu tokoh paling kontroversi dan misterius dalam gerakan Partai Komunis Indonesia. Sjam kala itu masih sangat muda. Kalau diskusi, duduknya paling pojok, hanya dengerin dan tidak pernah bicara).
PNI Yogya sendiri diketuai Wiyono Suryokusumo. Melalui Wiyono inilah, Dayino kemudian berhubungan dengan tokoh tua seperti Sugiyono Yosodiningrat (DPU), dr Usmargono, Mukhtar, S Parman (pahlawan revolusi) dan sebagian siswa dari Tamansiswa.
“Jaringan ini dimaksudkan untuk mendidik kesadaran nasional dan memberi pengertian bahwa kita harus merebut kemerdekaan. Karena itu, dibutuhkan anak-anak muda untuk melakukannya. Ya, dalam rangka itulah Kelompok Pathuk terbentuk. Kegiatannya adalah diskusi-diskusi untuk melakukan penyadaran-penyadaran serta membentuk jaringan di semua sektor. Makanya, Kelompok Pathuk punya jaringan sampai ke Telkom, PLN, para sopir dan montir yang bekerja pada Jepang. Bahkan punya jaringan khusus dengan pasukan PETA (Pembela Tanah Air).
Pada perkembangannya, banyak sekali pelajar yang bergabung dengan kelompok Pathuk ini semisal Munir, Harto Mulyo dan Sumardi dari Perguruan Tamansiswa yang akhirnya menjadi tokoh- tokoh yang membidani lahirnya PKI.

Jumlah anggotanya tidak pernah diketahui secara persis, karena sifatnya yang sangat terbuka. Tapi dalam sekali pertemuan bisa mencapai 20- an orang.
Selain melakukan gerakan bawah tanah, Kelompok Pathuk juga berperan aktif dalam pertempuran fisik semisal sesaat setelah proklamasi kemerdekaan di bulan Agustus 1945, kondisi Istana Negara Gedung Agung Yogyakarta masih dikuasai oleh Jepang. Dan pada pertengahan bulan September 1945, Kelompok Pathuk memimpin pengibaran bendera merah putih untuk pertama kalinya di Yogyakarta. Kala itu yang bertugas mengibarkan bendera, ada pelukis terkenal Indonesia, Rusli. Sementara di Istana Negara itu masih banyak tentara Jepang yang berjaga-jaga. Namun, atas kedekatan Sunjoyo dengan Soeharto (Presiden RI kedua) yang menjamin keamanan kelompok Pathuk dari tentara Jepang kala itu maka kelompok Pathuk akhirnya berhasil mengibaran bendera merah putih untuk pertama kalinya di Yogyakarta. Itulah peran penting kelompok Pathuk dalam perjuangan kemerdekaan yang jarang ketahui. Kelompok Pathuk juga berperan penting saat terjadinya Pertempuran Kotabaru pada anggal 7 Oktober 1945.
Jadi tidak benar jika Soeharto (mantan Presiden RI kedua) memegang roll dalam pertempuran melawan Jepang di Kotabaru justru Kelompok Pathuk-lah yang dominan. Melalui jaringan Pathuk yang ada di Kantor Telepon (Sayogya) dan PLN, kami menyadap dan melakukan sabotase. Pada waktu itu, kelompok Pathuk memutus jaringan telepon dan aliran listrik (lewat gardu di sebelah timur Hotel Garuda) ke Kotabaru. Dari Sayogya juga, kelompok Pathuk mendapat informasi bahwa di salah satu menara Kantor Pos Besar terdapat 28 senjata beserta pelurunya. Dengan bantuan teman-teman kelompok Pathuk di Kantor Pos yang membuatkan duplikat kunci serta bantuan para sopir, kelompok Pathuk berhasil mengambil. Proses pengambilan senjata beserta pelurunya ini dipimpin oleh Sunjoyo. Saat itu Soeharto (mantan Presiden ke 2) menjabat sebagai Komandan Batalyon X. Ke 28 pucuk senjata milik Pustel yang berhasil direbut, kemudian diserahkan kepada Soeharto selaku komandan Batalyon X. Jadi jelas peran Kelompok Pathuk sangat besar dalam pertempuran Kotabaru.
Menyinggung keberadaan Soeharto di Kelompok Pathuk, Dayino menegaskan bahwa mantan Presiden RI kedua itu sama sekali bukan anggota Kelompok Pathuk. Ketika itu Soeharto adalah pemuda lonthang-lanthung karena sebagai tentara PETA (di Ponorogo), ia telah dilucuti karena Jepang kalah perang. Setelah kemerdekaan, Soeharto kadang-kadang muncul di markas kami. Itupun karena diajak Marsudi yang memang sering berdiskusi dengan Kelompok Pathuk.
Secara politik pun, lanjut Dayino, Soeharto tidak pernah bergabung. Karena kami penganut paham sosialis, sementara Soeharto mengejar ambisinya sendiri melalui jalur militer. Jadi sngat disayangkan mengapa nama Soeharto dimasukkan dalam monumen Pathuk. Demikian juga penonjolan peran Soeharto yang digambarkan dalam diorama pertempuran Kotabaru di Monumen Yogya Kembali, perlu diluruskan,” jelas Dayino.
Dayino mengatakan sebagai satu-satunya pendiri Kelompok Pathuk yang masih hidup juga kecewa, karena tidak pernah dilibatkan secara langsung dalam peringatan peristiwa bersejarah serangan ke Kotabaru itu. “Baru pada peringatan kemarin (7 Oktober 1998) saya dilibatkan. Itu pun cuma sebagai undangan,” kata Dayino yang saat ini tinggal di Ngadiwinatan.

Sumber: 

Bernas, 9 Oktober 1998
Hadi Suprapto, Erick Tanjung, "Kelompok Pathuk, Pengibar Merah Putih Pertama di Istana Yogya", VIVA.co.id, tahun 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar