Perjuangan di Purworejo tahun 1945 - 1949
Setelah Purworejo membentuk B.K.R (Badan Keamanan Rakyat) yang di pimpin
oleh Mukahar, maka dilakukan usaha-usaha jerjasama untuk mengambil alih
pemerintahan dan melucuti Jepang di Purworejo oleh pimpinan Angkatan
Muda Indonesia Purworejo. Sekolah-sekolah pada waktu itu belum dibuka
kembali sehingga pasuka Angkatan Muda Indonesia dapat sepenuhnya
membantu B.K.R Purworejo.
Usaha melucuti Jepang dapat berlangsung damai di Purworejo. Di Kutoarjo (walau sekarang Kutoarjo menjadi bagian dari Purworejo) terjadi insiden besar walau pada akhirnya dapat di tangani dengan baik. itulah modal perta a dari B.K.R yang kemudian menjari T.K.R untuk membentuk satu resimen TKR Purworejo dengan persenjataan lengkap dibawah pimpinan Kolonel Mukahar (bekas sudanco Peta).
Pada permlaan tahun 1946 para pemuda di Purworejo membentuk I.P.I (Ikatan Pelajar Indonesia) Cabang Purworejo yang meliputi tiga sekolah menengah yakti SMP Negeri Purworejo, SKP (Sekolah Kepandaian Putri) dan Sekolah Pertukangan Negri (kemudian hari menjadi Sekolah Teknik Pertama). Imam Pratignyo adalah Ketua IPI Cabang Purworejo pertama yang kemudin menjadi IPI Kedu Selatan dimana dia tetap sebagai ketuanya. Didalam organisas IPI ini kemudian dibentuk Bagian Pertahanan yang berkembang menjadi Tentara Pelajar Kedu Selatan, Brigade 17.
Selanjutnya saat rapat pembentukan Tentara Pelajar dilakukan di Gedung Olahraga SMP Negeri yang dihadiri sekitar 60 orang siswa, dan sebagai komandannya ditunjuklah Wijono (yang semula memegang Bagian Pertahanan menjadi Komandan TP Kedu Selatan) dan Toewoeh sebagai wakil, sedangkan Imam Pratignyo Kepala Stafnya.
Usaha melucuti Jepang dapat berlangsung damai di Purworejo. Di Kutoarjo (walau sekarang Kutoarjo menjadi bagian dari Purworejo) terjadi insiden besar walau pada akhirnya dapat di tangani dengan baik. itulah modal perta a dari B.K.R yang kemudian menjari T.K.R untuk membentuk satu resimen TKR Purworejo dengan persenjataan lengkap dibawah pimpinan Kolonel Mukahar (bekas sudanco Peta).
Pada permlaan tahun 1946 para pemuda di Purworejo membentuk I.P.I (Ikatan Pelajar Indonesia) Cabang Purworejo yang meliputi tiga sekolah menengah yakti SMP Negeri Purworejo, SKP (Sekolah Kepandaian Putri) dan Sekolah Pertukangan Negri (kemudian hari menjadi Sekolah Teknik Pertama). Imam Pratignyo adalah Ketua IPI Cabang Purworejo pertama yang kemudin menjadi IPI Kedu Selatan dimana dia tetap sebagai ketuanya. Didalam organisas IPI ini kemudian dibentuk Bagian Pertahanan yang berkembang menjadi Tentara Pelajar Kedu Selatan, Brigade 17.
Selanjutnya saat rapat pembentukan Tentara Pelajar dilakukan di Gedung Olahraga SMP Negeri yang dihadiri sekitar 60 orang siswa, dan sebagai komandannya ditunjuklah Wijono (yang semula memegang Bagian Pertahanan menjadi Komandan TP Kedu Selatan) dan Toewoeh sebagai wakil, sedangkan Imam Pratignyo Kepala Stafnya.
Foto Bapak Wiyono dan Bapak Imam Pratignyo.
Markas Tentara Pelajar Kedu Selatan mula-mula menempati rumah di Jl. Kutoarjo, simpangan menuju Jl Sibak yang sekarang digunakan untuk SMA Kristen, kemudian dipindahkan ke Paviliun di sebelah gedung Kkabupaten Purworejo. Selanjutnya karena diperlukan Markas yang lebih besar untuk menampung pasukan-pasukan yang datang dari Font (daerah pertempuran), oleh Bapak Bupati Muritno pada waktu itu diberikan Hotel Van Laar, hotel terbesar di Purworejo semasa penjajahan Belanda di Jl. Urip Sumoharjp (yang kemudian waktu perang kemerdekaan ke II di bumihanguskan oleh pasukan Tentara Pelajar sendiri dan sekarang menjadi kawasan tersebut menjadi komplek kepolisian Purworejo).
Anton Sujarwo saat masih menjadi anggota Tentara Pelajar di
daerah Kedu Selatan
Kartu anggota Tentara Pelajar di Kedu Selatan yang
ditandatangani oleh Bapak Imam Pratignyo.
Markas Tentara Pelajar Kedu Selatan mula-mula menempati rumah di Jl. Kutoarjo, simpangan menuju Jl Sibak yang sekarang digunakan untuk SMA Kristen, kemudian dipindahkan ke Paviliun di sebelah gedung Kkabupaten Purworejo. Selanjutnya karena diperlukan Markas yang lebih besar untuk menampung pasukan-pasukan yang datang dari Font (daerah pertempuran), oleh Bapak Bupati Muritno pada waktu itu diberikan Hotel Van Laar, hotel terbesar di Purworejo semasa penjajahan Belanda di Jl. Urip Sumoharjp (yang kemudian waktu perang kemerdekaan ke II di bumihanguskan oleh pasukan Tentara Pelajar sendiri dan sekarang menjadi kawasan tersebut menjadi komplek kepolisian Purworejo).
Komandan tentara yang ada di Purworejo pada waktu itu adalah Let.Kol.
Koen Kamdani (yang pada jamannya dikenal sebagi “Macan” Kedu Selatan)
sebagai komandan Resimen Kedu Selatan dan Mayor Sroehardoyo sebagai
Komandan Batalyon, sedangkan Komandan CPM Mayor Sutarto (ayah Jendral.
Endriartono Sutarto Panglima ABRI).
Persetujuan Linggarjati antara Pemerintah RI dan Belanda mengalami kegagalan karena pelaksanaan Pembentukan UNI antara Indonesia dan Belanda selama pemerintahan peralihan, Belanda menuntut adanya pengakuan dari RI akan kedaulatan Belanda atas Indonesia dan dibentuknya gendarmerie bersama. Kabite Syahrir ke III jatuh tanggal 3 Juli 1947 dan pada tanggal 21 Juli 1947 dan Belanda melancarkan “Aksi Polisonil” Pertama yang bagi kita disebut sebagai Agresi Pertama serentak keseluruh kefatto RI, menuju Yogyakarta, namun terhenti antara Gombong-Karanganyar. Setelah itu Purworejo menjadi garis depan menghadapi Belanda. Pada waktu itu murid-murid SMP di Gombong dan Kebumen pindah ke SMP Purworejo dan tinggal di Asrama Pelajar Kedungkebo, diantarana adalah Roesmin Nuryadin. Di asrama pelajar di Kedungkebo Purworejo yang di dalamnya terdapat nama-nama Imam Pratignyo, Roesmin Nuryadin ( Mantan KSAU/Dubes/Menteri), Wiyono, Imam Subechi, Anton Sudjarwo (Mantan Kapolri), Achadi (kemudian jadi menteri jaman Bung Karno dan sempat ‘menghuni’ penjara selama 12 tahun di jaman Orba), Sudihardjo, Buntaran.
Dalam hal ini pasukan T.P.(Tentara Pelajar) Kie 332 yang berkedudukan di Kebumen dibawah pimpinan Sadar Sudarso menyerbu perbatasan Karanganyar bersama TRI KA, Markas TP Kie 330 Bat 300 yang berada di Purworejo yang juga merupakan asrama Tentara Pelajar juga digunakan untuk menampung pasukan TP Tegal dan Pekalongan karena adanya persetujuan Renville yang mengharuskan hijrahnya Tentara Pelajar dari daerah-daerah kantong gerilya.
Persetujuan Linggarjati antara Pemerintah RI dan Belanda mengalami kegagalan karena pelaksanaan Pembentukan UNI antara Indonesia dan Belanda selama pemerintahan peralihan, Belanda menuntut adanya pengakuan dari RI akan kedaulatan Belanda atas Indonesia dan dibentuknya gendarmerie bersama. Kabite Syahrir ke III jatuh tanggal 3 Juli 1947 dan pada tanggal 21 Juli 1947 dan Belanda melancarkan “Aksi Polisonil” Pertama yang bagi kita disebut sebagai Agresi Pertama serentak keseluruh kefatto RI, menuju Yogyakarta, namun terhenti antara Gombong-Karanganyar. Setelah itu Purworejo menjadi garis depan menghadapi Belanda. Pada waktu itu murid-murid SMP di Gombong dan Kebumen pindah ke SMP Purworejo dan tinggal di Asrama Pelajar Kedungkebo, diantarana adalah Roesmin Nuryadin. Di asrama pelajar di Kedungkebo Purworejo yang di dalamnya terdapat nama-nama Imam Pratignyo, Roesmin Nuryadin ( Mantan KSAU/Dubes/Menteri), Wiyono, Imam Subechi, Anton Sudjarwo (Mantan Kapolri), Achadi (kemudian jadi menteri jaman Bung Karno dan sempat ‘menghuni’ penjara selama 12 tahun di jaman Orba), Sudihardjo, Buntaran.
Dalam hal ini pasukan T.P.(Tentara Pelajar) Kie 332 yang berkedudukan di Kebumen dibawah pimpinan Sadar Sudarso menyerbu perbatasan Karanganyar bersama TRI KA, Markas TP Kie 330 Bat 300 yang berada di Purworejo yang juga merupakan asrama Tentara Pelajar juga digunakan untuk menampung pasukan TP Tegal dan Pekalongan karena adanya persetujuan Renville yang mengharuskan hijrahnya Tentara Pelajar dari daerah-daerah kantong gerilya.
Pada akhir bulan Agustus datang ke markas Kie 330, Kastaf Bat 300
Moedojo membawa perintah Komandan Bat 300 suatu penugasan pasukan untuk
mengganti pasukan TP yang ada di font Gombong.
Dilain sisi,di daerah Sidobunder pada tanggal 1 September 1947 pada malam hari terjadi hujan lebat, sehingga sungai-sungai banjir dan sawah-sawah tergenang air. Menurut Anggoro, komandan Sie, dia telah mengatur sedemikian rupa agar siap tempur, dengan menempatkab pemegang bren gun di sebelah kanan pos pertahanan dan pasukan Perpis di sebelah selatan, menempati pertigaan dekat lumpung desa.
Pada tanggal 2 Sempetember 1947 pada dini hari Belanda dengan 2 kompi menyerang Pos TP Sidobunder dan mengepungnya dari berbagai arah. Hanggara memutuskan untuk menggabungkan semua pasukan kembali dan membagi peluru serta granat kepada anak buahnya. Pasukan TP berusaha mengubah posisinya ke arah selatan akan tetapi Belanda telah menghadangnya, seghingga akhirnya kehabisan peluru. Perkelahian kemudian dilanjutkan dengan sangkur dan menimbulkan korban besar di pihak Anggoro. Sisa anggota tentara pelajar yang berada di sudut desa sebanyak 11 orang, bergerak ke timur meloloskan diri. Dari anggota TP Sie 321 yang berjumlah 36 orang, gugur 23 orang. Di antaranya selamat karena pura-pura mati tidur di samping kawannya yang telah gugur dan ada pula yang bersembunyi di bawah lesung. Esok harinya jenasah-jenasah yang berserakan di sawah dan pekarangan rumah dikumpulkan dan di tutup dengan daun pisang kemudian dibawa ke Sugiwaras untuk di tandu ke Karanganyar dan dibawa ke Jogja dengan kereta api. Pahlawan-pahlawan itu kemudian dimakamkan di Taman Pahlawan Semaki Jogjakarta. Dari pihak Belanda diperkirakan 40 orang tewas, mereka adalah dari pasukan anjing NICA Bat Cakra dari Madura.
Dilain sisi,di daerah Sidobunder pada tanggal 1 September 1947 pada malam hari terjadi hujan lebat, sehingga sungai-sungai banjir dan sawah-sawah tergenang air. Menurut Anggoro, komandan Sie, dia telah mengatur sedemikian rupa agar siap tempur, dengan menempatkab pemegang bren gun di sebelah kanan pos pertahanan dan pasukan Perpis di sebelah selatan, menempati pertigaan dekat lumpung desa.
Pada tanggal 2 Sempetember 1947 pada dini hari Belanda dengan 2 kompi menyerang Pos TP Sidobunder dan mengepungnya dari berbagai arah. Hanggara memutuskan untuk menggabungkan semua pasukan kembali dan membagi peluru serta granat kepada anak buahnya. Pasukan TP berusaha mengubah posisinya ke arah selatan akan tetapi Belanda telah menghadangnya, seghingga akhirnya kehabisan peluru. Perkelahian kemudian dilanjutkan dengan sangkur dan menimbulkan korban besar di pihak Anggoro. Sisa anggota tentara pelajar yang berada di sudut desa sebanyak 11 orang, bergerak ke timur meloloskan diri. Dari anggota TP Sie 321 yang berjumlah 36 orang, gugur 23 orang. Di antaranya selamat karena pura-pura mati tidur di samping kawannya yang telah gugur dan ada pula yang bersembunyi di bawah lesung. Esok harinya jenasah-jenasah yang berserakan di sawah dan pekarangan rumah dikumpulkan dan di tutup dengan daun pisang kemudian dibawa ke Sugiwaras untuk di tandu ke Karanganyar dan dibawa ke Jogja dengan kereta api. Pahlawan-pahlawan itu kemudian dimakamkan di Taman Pahlawan Semaki Jogjakarta. Dari pihak Belanda diperkirakan 40 orang tewas, mereka adalah dari pasukan anjing NICA Bat Cakra dari Madura.
daerah Kedu Selatan
Pada tahun 1948, berdasar “Perjanjian Renville” di
bulan Februari 1948, pasukan Siliwangi dari Jawa Barat “hijrah” ke Jawa
Tengah. Purworejo “kebagian” tamu dari Jawa Barat ini, tidak tahu berapa
jumlahnya, namun di jalan-jalan kota Purworejo menjadi pemandangan umum
keberadaan pasukan Siliwangi ini yang terkesan lebih “dinamis” dalam
gerakannya dengan senjata yang tersandang kemanapun mereka pergi.
Di sore dan malam hari mereka bergerombol ditempat-tempat keramaian seperti bioskop Bagelen dengan senjata yang selalu tersandang. Keberadaan mereka samasekali tidak menimbulkan “ketakutan”, bahkan sebaliknya terasa adanya suasana persaudaraan dan keakraban, terbukti selama mereka di Purworejo tidak pernah ada berita tentang terjadinya “gesrekan” baik dengan penduduk setempat maupun dengan pasukan lokal. Dari kesan sepintas diperoleh gambaran bahwa pasukan Jawa Barat ini mempunyai disiplin yang tinggi dengan persenjataan yang cukup lengkap untuk ukuran waktu itu.
Di sore dan malam hari mereka bergerombol ditempat-tempat keramaian seperti bioskop Bagelen dengan senjata yang selalu tersandang. Keberadaan mereka samasekali tidak menimbulkan “ketakutan”, bahkan sebaliknya terasa adanya suasana persaudaraan dan keakraban, terbukti selama mereka di Purworejo tidak pernah ada berita tentang terjadinya “gesrekan” baik dengan penduduk setempat maupun dengan pasukan lokal. Dari kesan sepintas diperoleh gambaran bahwa pasukan Jawa Barat ini mempunyai disiplin yang tinggi dengan persenjataan yang cukup lengkap untuk ukuran waktu itu.
Pada tanggal 18 Senpetmber 1948 walaupun masih ada perundingan KTN di Kali
urang Yogyakarta, wakil Tinggi Mahkota Belanda secara sepihak menyatakan
tidak terikat lagi dengan persetujuan Renville.
Seksi I Kie III pada mulanya dipimpin langsung oleh komandan kompinya Wijono didampingi Imam Pratigyo, kemudian diserahkan kepada Subijono. Sie I Kie III Det III Be 17 dalam kegiatan operasinya tergabung dalam MPK (Markas Perlawanan Kota) Purworejo.
Seksi I Kie III pada mulanya dipimpin langsung oleh komandan kompinya Wijono didampingi Imam Pratigyo, kemudian diserahkan kepada Subijono. Sie I Kie III Det III Be 17 dalam kegiatan operasinya tergabung dalam MPK (Markas Perlawanan Kota) Purworejo.
Desember 1948 Belanda melancarkan Agresi
Militer ke-2. Sebagaimana daerah-daerah lainnya, Purworejo juga menjadi
daerah pendudukan Belanda.
Serangan umum kota Purworejo dilakukan dua kali, yang pertama pada bulan Februari dan yang kedua pada bulan Maret 1949. Pada waktu serangan umum ke II ke kota Porworejo, pasukan TP yang dipimpin oleh Wijono didampingin Imam Pratigyo, Sie I Pasukan Soebijono masuk Kalinongko dan Brengkelan. Pasukan yang melewati pasar hewan kemudian menuju kawedanan Purworejo masuk ke komplek toko-toko Bioskop Bagelen, disana sempat terjadi ketegangan karena adanya ledakan berwarna kuning kemudian merah, pertanda musuh meminta bantuan tentara Belanda.
Pasukan TP kemudian sampai di komplek bank Rakyat lagi dan masuk pula ke kabupaten. Niat membakar rumah bupati dibatalkan dan hanya mengibarkan bendera merah-putih. Pasukan TP mundur keluar kota sekitar pukul 10.00 siang.
Patroli Belanda pertama kali sampai di desa Seren sekitar bulan Maret 1949. Pada pagi hari sekitar pukul 07.00 tentara Belanda terlebih dahulu menembaki Seren dengan mortir, walau kebanyakan justru jatuh di pinggir sawah. Sedangkan jembatan Seren di sebelah Timur oleh kaum gerilya di ledakkan hingga terputuslah hubungan darat dengan beberapa kendaraan. Terjadilah perang yang mengakibatkan tentara Belanda tidak bisa maju ke jembatan.
Pasukan Pusma yang mendengar pertempuran itu datang ke arah utara Seren. Dalam hal ini terjadi lelucon yang mengakibatkan tentara Puma dan Belanda lari terbirit sambil menyerang dengan pistol. Anehnya lagi, anak-anak TP kalau perang sambil ngobrol dan santai sekali, seolah-olah seperti masih latihan perang-perangan.
Pertempuran terjadi di berbagai front diantaranya adalah di Purwodadi, Kenteng, Grantung, Gebang, Wareng. Tentara Pelajar yang tinggal di asrama pelajar di Kedungkebo Purworejo yang gugur dalam “Palagan Purwodadi” waktu clash II antara lain adalah Toewoeh dan Djawadi keduanya dari Sekolah Teknik Kedungkebo (kini beristirahat di Makam Pahlawan Purworejo di depan Pasar Purwodadi, dihalaman ex. Kawedanan Purwodadi dan kini juga telah dibangun sebuah monumen untuk mengenang pengorbanan delapan orang Tentara Pelajar yang gugur tersebut).
Pendudukan Belanda di Purworejo ini berakhir menjelang pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949. Dari Tentara Pelajar Kedu Selatan pimpinan Wiyono ini, lebih dari 50 orang telah gugur dalam perjuangan kemerdekaan.
Imam Pratignyo yang dahulu sebagai Ketua IPI Cabang Purworejo / Ketua IPI Kedu akhirnya menjadi Wakil Sekjen Front Nasional yang bersama beberapa orang lainnya ikut membidani lahirnya Sekber Golkar yang berkembang menjadi Golongan Karya. Dan terakhir mendirikan “Paguyuban Keluarga ex. TP Kedu Selatan. Saat meninggal dimaamkan di TMP Kalibata serta saat akan dimakamkan diantarkan oleh teman-teman seperjuangannya yang dipimpin oleh Bapak Roesmin Nuryadin sampai di TMP Kalibata.
Tidak lama kemudian Bapak Roesmin Nuryadin juga menyusul, dan dimakamkan di TMP Kalibata yang lokasinya tidak jauh dari makam Bapak Imam Pratignyo.
Semboyan :
1. ” Kesetiaan kami kepada bangsa dan Negara dari buaian sampai ke liang lahat”.
2. ”Kami tak akan kembali ke bangku sekolah sebelum penjajah enyah dari bumi pertiwi”.
Purworejo 1 Januari 1949 di Jalan Raya Purworejo Yogyakarta (lokasi
tepatnya kalau kita masuk Purworejo dari arah barat jangan lewat ring
road akan tetapi masuk kota, mentok belok kanan (kiri ke Magelang) ke
arah Yogja, nah rumah yang nampak di latar belakang di foto ini ada di
pertigaan itu). Di belakang juru foto di foto ini adalah jalan raya
menuju ke Yogyakarta. Nampak Overste (Letkol) Ahmad Yani yang
menggunakan kacamata hitam sedang mendapat aporan dari 2 orang pasukan
TNI. Dan disekitar Overste Ahmad Yani para anggota Komisi Tiga Negara
(KTN) dan ada juga perwakilan pasukan Belanda.
Serangan umum kota Purworejo dilakukan dua kali, yang pertama pada bulan Februari dan yang kedua pada bulan Maret 1949. Pada waktu serangan umum ke II ke kota Porworejo, pasukan TP yang dipimpin oleh Wijono didampingin Imam Pratigyo, Sie I Pasukan Soebijono masuk Kalinongko dan Brengkelan. Pasukan yang melewati pasar hewan kemudian menuju kawedanan Purworejo masuk ke komplek toko-toko Bioskop Bagelen, disana sempat terjadi ketegangan karena adanya ledakan berwarna kuning kemudian merah, pertanda musuh meminta bantuan tentara Belanda.
Pasukan TP kemudian sampai di komplek bank Rakyat lagi dan masuk pula ke kabupaten. Niat membakar rumah bupati dibatalkan dan hanya mengibarkan bendera merah-putih. Pasukan TP mundur keluar kota sekitar pukul 10.00 siang.
Patroli Belanda pertama kali sampai di desa Seren sekitar bulan Maret 1949. Pada pagi hari sekitar pukul 07.00 tentara Belanda terlebih dahulu menembaki Seren dengan mortir, walau kebanyakan justru jatuh di pinggir sawah. Sedangkan jembatan Seren di sebelah Timur oleh kaum gerilya di ledakkan hingga terputuslah hubungan darat dengan beberapa kendaraan. Terjadilah perang yang mengakibatkan tentara Belanda tidak bisa maju ke jembatan.
Pasukan Pusma yang mendengar pertempuran itu datang ke arah utara Seren. Dalam hal ini terjadi lelucon yang mengakibatkan tentara Puma dan Belanda lari terbirit sambil menyerang dengan pistol. Anehnya lagi, anak-anak TP kalau perang sambil ngobrol dan santai sekali, seolah-olah seperti masih latihan perang-perangan.
Pertempuran terjadi di berbagai front diantaranya adalah di Purwodadi, Kenteng, Grantung, Gebang, Wareng. Tentara Pelajar yang tinggal di asrama pelajar di Kedungkebo Purworejo yang gugur dalam “Palagan Purwodadi” waktu clash II antara lain adalah Toewoeh dan Djawadi keduanya dari Sekolah Teknik Kedungkebo (kini beristirahat di Makam Pahlawan Purworejo di depan Pasar Purwodadi, dihalaman ex. Kawedanan Purwodadi dan kini juga telah dibangun sebuah monumen untuk mengenang pengorbanan delapan orang Tentara Pelajar yang gugur tersebut).
Pendudukan Belanda di Purworejo ini berakhir menjelang pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949. Dari Tentara Pelajar Kedu Selatan pimpinan Wiyono ini, lebih dari 50 orang telah gugur dalam perjuangan kemerdekaan.
Pasukan Tentara Pelajar Sie I Kie III Det III formasi baru yang khusus terdiri dari anggota tingkat SMA dibawah pimpinan Sie Rusmin Nurjadin. Di ujung sebalah kanan tampak Komandan Sie Rusmin Nursyadin.
Lambang Ganesha Putra merupakan Lambang Be 17
yang digunakan mendekati demobilisasi tahun 1951
Imam Pratignyo yang dahulu sebagai Ketua IPI Cabang Purworejo / Ketua IPI Kedu akhirnya menjadi Wakil Sekjen Front Nasional yang bersama beberapa orang lainnya ikut membidani lahirnya Sekber Golkar yang berkembang menjadi Golongan Karya. Dan terakhir mendirikan “Paguyuban Keluarga ex. TP Kedu Selatan. Saat meninggal dimaamkan di TMP Kalibata serta saat akan dimakamkan diantarkan oleh teman-teman seperjuangannya yang dipimpin oleh Bapak Roesmin Nuryadin sampai di TMP Kalibata.
Tidak lama kemudian Bapak Roesmin Nuryadin juga menyusul, dan dimakamkan di TMP Kalibata yang lokasinya tidak jauh dari makam Bapak Imam Pratignyo.
Semboyan :
1. ” Kesetiaan kami kepada bangsa dan Negara dari buaian sampai ke liang lahat”.
2. ”Kami tak akan kembali ke bangku sekolah sebelum penjajah enyah dari bumi pertiwi”.
Kata Mutiara :
1. Pelan tapi pasti. Bukan yang banyak itu baik, tapi yang baik pastilah yang banyak (alm. Ibu R.A. Oemijatie, Kepala SGP Yogyakarta dalam buku harian Atiatoen).
2. Memang baik jadi orang penting, tapi jauh lebih penting adalah menjadi orang baik (alm. Bang Imad, Dr. Imadudin – Dosen ITB)
1. Pelan tapi pasti. Bukan yang banyak itu baik, tapi yang baik pastilah yang banyak (alm. Ibu R.A. Oemijatie, Kepala SGP Yogyakarta dalam buku harian Atiatoen).
2. Memang baik jadi orang penting, tapi jauh lebih penting adalah menjadi orang baik (alm. Bang Imad, Dr. Imadudin – Dosen ITB)
Bapak Wiyono (Komandan TP Kedu Selatan)
yang meneruskan kariernya di Angkatan Darat dan mencapai pangkat
BrigJen, sudah mendahului, gugur dalam satu kecelakaan pesawat
helikopter waktu bertugas di Lampung.
koreksi pak, mukahar itu eks daidancho Dai IV Daidan (Batalyon) di Purworejo
BalasHapusJadi tau sejarah dan perjuangan tentang kakung aku
BalasHapussemangat juang para pendiri bangsa harus ditanamkan ke dalam generasi sekarang
BalasHapusSemangat juang pahlawan sejati patut dihargai.ayo kita tumbuhkan jiwa jiwa patriotik pada generasi sekarang...latar sejarah yg tak pernah akan usang...mereka rela gugur demi kita pengisi kemerdekaan.
BalasHapusMonumen sorkertijo ditikungan nogosari yg kondisi tak terawat...gelap tanpa lampu penerang...hsyi oni menangis setiap aku menoleh ke arah monumen...dengan cara apa aku bisa .!!!.
BalasHapusSaat ditanya anak didikku...siapa soerkertijo...knp monumen kok dibiarkan begitu tidak terawat.bukankah beliau Pahlawan pak????
BalasHapus