Kompi Sukertiyo Berjuang Bersama Rakyat Lumajang
Soekertijo adalah nama sejak lahir namun ejaan sekarang menjadi Sukertiyo. Lahir
di Lumajang tanggal 8 November 1926 dan meninggal di Jakarta (usia 59 tahun) pada tanggal 11 November
1985, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata (Blok R no 115).
Pada Masa Jepang
Pendidikan
Sekolah Dasar H.I.S di Lumajang dan SMP di Probolinggo (pada jaman penjajahan Belanda)
kemudian tahun 1944 mengikut pendidikan shodanco PETA (Pembela Tanah Air) pada saat pendudukan Jepang. Latihan militer
oleh tentara Jepang dilaksanakan selama empat bulan di Kyoikutai Bogor
(sekarang menjadi museum Pembela Tanah Air (PETA) dan setelah selesai kemudian
ditempatkan sebagai shodanco PETA, Daidan Probolinggo.
Sukertiyo
yang saat itu berusia 17 tahun berangkat ke Bogor pada bulan April 1944 bersama
beberapa orang kawan, diantaranya adalah
Suwandak (gugur di Lumajang), Suyoso (gugur), Suwignyo (mantan Bupati Malang),
Sumitro (Jendral). Berangkat dari Probolinggo menuju Malang dengan kereta api dan
di Malang ditampung di asrama Panderman. Lalu berangkat ke Surabaya karena
harus menjalani pemeriksaan kesehatan dan sore harinya naik kereta api berangkat
ke Bogor dan setibanya di Bogor bertemu dengan kawan-kawan dari kota-kota lain.
Selama
menjalani latihan digembleng habis-habisan, setiap hari diberi latihan lari
yang semakin lama bertambah jauh dan juga latihan lapangan terus menerus, dimulai
dari latihan perorangan, latihan tingkat regu, latihan tingkat peleton sampai latihan
tingkat kompi, hampir tidak ada teori selama empat bulan itu.
Pendidikan
PETA memberi semangat membela tanah air. Semakin berat latihan semakin tebal
semangat berperang sebagai prajurit. Kalau nanti berperang tidak kenal menyerah
dan wajib bertempur sampai mati.
Selesai
pendidikan kemudian dilantik di lapangan Ikada, Jakarta pada tanggal 10 Agustus
1944 serta mengucapka janji atau semacam sumpah wajib yaitu : Mengabdi, Keberanian prajurit, Sopan santun dan Sederhana. Selesai
dilantik kemudian kembali ke Probolinggo
bergabung di Daidan Probolinggo merupakan Batalion 5 Karesidenan Malang.
Pada
suatu hari Sukertiyo menerima kartu pos dari Lumajang yang mengabarkan bahwa ibunya telah meninggal dunia pada 7 Juli 1944 dan
sudah dimakamkan. Kemudian Sukertiyo minta izin pulang tetapi tidak
diperbolehkan, hanya diberi uang duka sebesar dua puluh sen, itupun harus
disimpan di Bank.
Tahun
1945 Amerika menjatuhkan bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki sehingga
membuat Jepang menyerah kepada Amerika dan sekutunya serta harus keluar dari
wilayah jajahannya termasuk Indonesia. Pada akhirnya Indonesia dapat
memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, oleh sebab itu tentara PETA dibubarkan.
Pada Masa Kemerdekaan Indonesia dan Pertempuran Surabaya
Setelah
tentara PETA bubar, Sukertiyo kembali ke Lumajang dan tidak lama kemudian
pemerintah Republik Indonesia membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang
terdiri dari mantan anggota PETA, Heiho dan Laskar masyarakat. Terbentuklah Batalion Lumajang dengan komandan batalion Mayor dr.Soedjono sedangkan Sukertiyo mendapat pangkat Letnan Dua dan
menjadi komandan Seksi yang ikut serta melucuti tentara Jepang. Tak lama kemudian BKR berubah menjadi TKR
(Tentara Keamanan Rakyat) lalu berubah
lagi menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia). Pangkat Sukertiyo dinaikkan
menjadi Letnan Satu sekaligus menjadi komandan Kompi dengan sebutan Kompi Sukertiyo. Kemudian pimpinan Angkatan Perang merubah nama TRI menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia).
Sejak
September 1945 tentara sekutu mendarat di Surabaya untuk mengurusi tawanan
tentara Jepang namun tentara Belanda ikut menyusup kedalam tentara sekutu
karena ingin kembali menguasai Indonesia. Arek-arek
Suroboyo berontak karena tidak menghendaki kedatangan tentara sekutu
sehingga terjadilah Pertempuran Surabaya pada tanggal 10 November 1945 yang
kemudian berlanjut menjadi Perang Kemerdekaan untuk mempertahankan
proklamasi kemerdekaan.
Setiap
daerah ikut membantu mengirim pasukan ke Surabaya termasuk juga Batalion
Lumajang, Divisi VII / Untung Surapati yang diberi tugas menyerang daerah
Sepanjang dan menduduki daerah Gubeng. Pertempuran berlangsung terus sehingga
pengiriman pasukan silih berganti dengan tujuan Surabaya, Wonokromo, Gedangan, Tanggulangin
dan terakhir ke Porong, Gempol dan Bangil yang merupakan penugasan yang ke-13
kalinya.
Agresi Militer Belanda ke 1
Agresi Militer Belanda dimulai dengan terus menerus mengirim pasukan dengan mendaratkan tentaranya di Probolinggo, Pasuruan dan Pasir Putih pada tanggal 21 Juli 1947 dengan tujuan menduduki Jember, Lumajang dan Malang.
Pada saat itu sebagian besar anggota batalion sedang cuti selama 3 hari sepulangnya dari front Surabaya sehingga semua Staff dan Komandan Kompi keatas tidak boleh meninggalkan kota Lumajang. Markas Batalion dan seluruh Kompi dipindahkan ke Sukodono, Wonokerto, Tempeh dan Tempursari / Pronojiwo.
Kompi Soewandak dengan kekuatan 2 regu mengadakan serangan malam terhadap musuh di jembatan Drandang dan Kompi Sukertiyo dengan kekuatan 1,5 regu berusaha menghadang gerakan pasukan musuh di perlintasan kereta api Klakah, namun kekuatan musuh dengan kendaraan Lapis bajanya berhasil masuk ke kota Lumajang pada 22 Juli 1947.
Kakak kandung Sukertiyo bernama Cokrosujono yang saat itu menjadi Camat Ranuyoso merupakan korban pertama dari penyerbuan tentara Belanda ke Lumajang, beliau gugur sebagai pahlawan.
Pada saat itu sebagian besar anggota batalion sedang cuti selama 3 hari sepulangnya dari front Surabaya sehingga semua Staff dan Komandan Kompi keatas tidak boleh meninggalkan kota Lumajang. Markas Batalion dan seluruh Kompi dipindahkan ke Sukodono, Wonokerto, Tempeh dan Tempursari / Pronojiwo.
Kompi Soewandak dengan kekuatan 2 regu mengadakan serangan malam terhadap musuh di jembatan Drandang dan Kompi Sukertiyo dengan kekuatan 1,5 regu berusaha menghadang gerakan pasukan musuh di perlintasan kereta api Klakah, namun kekuatan musuh dengan kendaraan Lapis bajanya berhasil masuk ke kota Lumajang pada 22 Juli 1947.
Kakak kandung Sukertiyo bernama Cokrosujono yang saat itu menjadi Camat Ranuyoso merupakan korban pertama dari penyerbuan tentara Belanda ke Lumajang, beliau gugur sebagai pahlawan.
Yosowilangun merupakan wilayah pengawasan dari Kompi Sukertiyo yang dalam beberapa hari berhasil menghimpun kembali prajuritnya dibantu para pemuda dan masyarakat membentuk kompi pasukan Gerilya yang berjumlah kira-kira 150 orang. Pusat komando di desa Wringinsari dan bagian kesehatan di desa Tunjungrejo. Kompi ini tergabung dalam Batalion Lumajang/ Ketunggeng (Mayor Santoso), Resimen Infanteri 39/ Menak Koncar (Letkol Moch Sruji), Divisi VII/ Untung Surapati (Kolonel Imam Suja’i).
Pada 29 Juli 1947 kompi Soekertijo dengan bantuan pasukan lain, menyerang tangsi Belanda di Jatiroto, kira-kira satu regu tentara Belanda tewas termasuk merampas senjata. Kemudian Belanda melakukan pembalasan dengan mengepung Rowokangkung namun tidak berhasil menangkap satu orangpun pasukan gerilya namun kemudian menangkap 15 penduduk desa yang beberapa orang ditembak mati dan lainnya disiksa.
Pada Agustus 1947 terjadilah serangan penghadangan yang gemilang dari Kompi di muka desa Pepe, Yosowilangun. Konvoi tentara Belanda menggunakan tank, panser serta 16 truk pasukan bergerak dari kota Lumajang kearah Jember digempur habis-habisan oleh Kompi Sukertiyo yang waktu itu dalam posisi baik dan kekuatan besar dari sekitar pukul 08.00 hingga 10.00.
Dengan teriakan-teriakan histeris, pasukan kompi menembaki tentara musuh tanpa ada perlawanan. Jalanan disekitar jembatan sesek amat sempit karena padatnya tanaman pohon asam dikiri kanan jalan sehingga menguntungkan pasukan kompi. Tank dan panser Belanda yang dihadang tidak dapat berputar arah dan truk-truk menabrak pohon dan secara beruntun menabrak truk-truk didepannya. Dilaporkan kurang lebih 50 tentara Belanda tewas dan dievakuasi pada pukul 13.00 setelah mendapat bantuan dari Lumajang.
Setelah itu Belanda memberikan serangan balasan ke desa Pepe dengan penembakan mortir 8 hingga pukul 19.00 malam, akan tetapi seluruh penduduk desa sudah mengungsi bersama Kompi ke Rowokangkung.
Perjanjian ‘Renville’ menghasilkan gencatan senjata ( cease fire ) yang diumumkan di Jawa Timur pada tanggal 27 Januari 1948. Semua pasukan TNI harus pindah ke daerah Republik (garis status quo yang telah ditentukan) atau disebut juga Hijrah menuju Kepanjen, Turen, Sedayu, Dampit. Tentara diangkut dengan truk-truk menuju Malang melalui jalan raya melingkar jauh melalui Probolinggo, Pasuruan, Malang dan Pakisaji namun sebagian lagi tentara berjalan kaki menuju Sumberrowo. Pusat Komando berada di Dampit dan Turen. Sukertiyo sempat bertemu dengan Letkol Moch Sruji di desa Sumberrowo.
Pada saat Hjrah, TNI mengadakan ReRa yaitu Rekonstruksi dan Rasionalisasi dengan merubah susunan Resimen menjadi Brigade dengan Batalion Mobile dan Teritorial. Kompi Sukertiyo berada di Batalion 31 Lumajang (Mayor Santoso) dibawah Brigade IV Malang (Letkol dr.Soedjono) sedangkan Letkol Moch Sroedji memimpin Brigade III Damar Wulan.
Pada saat Hijrah ini pula terjadi gerakan perebutan kekuasaan oleh PKI pimpinan Musso di Madiun dan beberapa kota lain di Jawa Timur dengan dukungan sejumlah kecil batalion TNI yang memihak kepada PKI. Oleh karena itu sejumlah pasukan TNI dari Jawa Timur dan Jawa Tengah ditugaskan untuk menumpas pemberontakan tersebut. Kompi Sukertiyo mendapat tugas untuk menumpas pasukan pemberontak di wilayah Blitar Selatan.
Pada 29 Juli 1947 kompi Soekertijo dengan bantuan pasukan lain, menyerang tangsi Belanda di Jatiroto, kira-kira satu regu tentara Belanda tewas termasuk merampas senjata. Kemudian Belanda melakukan pembalasan dengan mengepung Rowokangkung namun tidak berhasil menangkap satu orangpun pasukan gerilya namun kemudian menangkap 15 penduduk desa yang beberapa orang ditembak mati dan lainnya disiksa.
Pada Agustus 1947 terjadilah serangan penghadangan yang gemilang dari Kompi di muka desa Pepe, Yosowilangun. Konvoi tentara Belanda menggunakan tank, panser serta 16 truk pasukan bergerak dari kota Lumajang kearah Jember digempur habis-habisan oleh Kompi Sukertiyo yang waktu itu dalam posisi baik dan kekuatan besar dari sekitar pukul 08.00 hingga 10.00.
Dengan teriakan-teriakan histeris, pasukan kompi menembaki tentara musuh tanpa ada perlawanan. Jalanan disekitar jembatan sesek amat sempit karena padatnya tanaman pohon asam dikiri kanan jalan sehingga menguntungkan pasukan kompi. Tank dan panser Belanda yang dihadang tidak dapat berputar arah dan truk-truk menabrak pohon dan secara beruntun menabrak truk-truk didepannya. Dilaporkan kurang lebih 50 tentara Belanda tewas dan dievakuasi pada pukul 13.00 setelah mendapat bantuan dari Lumajang.
Setelah itu Belanda memberikan serangan balasan ke desa Pepe dengan penembakan mortir 8 hingga pukul 19.00 malam, akan tetapi seluruh penduduk desa sudah mengungsi bersama Kompi ke Rowokangkung.
Perjanjian ‘Renville’ menghasilkan gencatan senjata ( cease fire ) yang diumumkan di Jawa Timur pada tanggal 27 Januari 1948. Semua pasukan TNI harus pindah ke daerah Republik (garis status quo yang telah ditentukan) atau disebut juga Hijrah menuju Kepanjen, Turen, Sedayu, Dampit. Tentara diangkut dengan truk-truk menuju Malang melalui jalan raya melingkar jauh melalui Probolinggo, Pasuruan, Malang dan Pakisaji namun sebagian lagi tentara berjalan kaki menuju Sumberrowo. Pusat Komando berada di Dampit dan Turen. Sukertiyo sempat bertemu dengan Letkol Moch Sruji di desa Sumberrowo.
Pada saat Hjrah, TNI mengadakan ReRa yaitu Rekonstruksi dan Rasionalisasi dengan merubah susunan Resimen menjadi Brigade dengan Batalion Mobile dan Teritorial. Kompi Sukertiyo berada di Batalion 31 Lumajang (Mayor Santoso) dibawah Brigade IV Malang (Letkol dr.Soedjono) sedangkan Letkol Moch Sroedji memimpin Brigade III Damar Wulan.
Pada saat Hijrah ini pula terjadi gerakan perebutan kekuasaan oleh PKI pimpinan Musso di Madiun dan beberapa kota lain di Jawa Timur dengan dukungan sejumlah kecil batalion TNI yang memihak kepada PKI. Oleh karena itu sejumlah pasukan TNI dari Jawa Timur dan Jawa Tengah ditugaskan untuk menumpas pemberontakan tersebut. Kompi Sukertiyo mendapat tugas untuk menumpas pasukan pemberontak di wilayah Blitar Selatan.
Agresi Militer Belanda ke 2
Perjanjian Renville tidak dipatuhi Belanda, pada 19 Desember 1948 pasukan musuh mulai mengadakan serangan kepada kompi Soekertijo dan kompi lainnya yang ditugaskan menjaga daerah perbatasan Malang-Kepanjen. Sehingga keluar perintah untuk memasuki kembali daerah basis gerilya yang telah lama ditinggalkan atau dikenal dengan istilah Wingate action.
Letkol. Moch Sruji yang ketika itu berada di Blitar, bersama Mayor Safiudin dan pasukannya bergerak lewat utara melalui gunung Kobong, Penanggal, Kloposawit, Gucialit, Wates, Aeng songo. Setelah sempat mengalami pertempuran hebat dengan tentara Belanda di Karangkedawung, Moch Sruji terbunuh bersama dr. Subandi dan beberapa pasukannya.
Desa Tempursari merupakan jalan satu-satunya yang terpendek untuk masuk ke daerah Besuki dari Semeru Selatan namun hanya dapat dilakukan oleh pasukan besar karena dijaga ketat oleh pasukan Belanda. Kompi Sukertiyo bergerak menerobos gunung Kobong melewati gunung Sawur dan Kertosari yang dilakukan pada siang hari. Sebelum memasuki daerah basis, kompi menyerang kota Lumajang, menyerang pos-pos kecil di Kunir, Yosowilangun, Gemitri dan melucuti senjatanya., membakar kebun tebu milik Belanda, menggulingkan kereta pengangkut gula Jatiroto. Kompi berhasil merampas 20 pucuk senjata. Supaya tidak terjebak oleh musuh, kompi melakukan mobilitas tinggi dengan gerakan pasukan berputar menjelajahi daerah gunung Sawur (lereng Semeru), Lumajang Timur sepanjang pantai selatan dari Gondoruso sampai Maleman, daerah Kencong dan Karangbayat (gunung Argopuro).
Letkol. Moch Sruji yang ketika itu berada di Blitar, bersama Mayor Safiudin dan pasukannya bergerak lewat utara melalui gunung Kobong, Penanggal, Kloposawit, Gucialit, Wates, Aeng songo. Setelah sempat mengalami pertempuran hebat dengan tentara Belanda di Karangkedawung, Moch Sruji terbunuh bersama dr. Subandi dan beberapa pasukannya.
Desa Tempursari merupakan jalan satu-satunya yang terpendek untuk masuk ke daerah Besuki dari Semeru Selatan namun hanya dapat dilakukan oleh pasukan besar karena dijaga ketat oleh pasukan Belanda. Kompi Sukertiyo bergerak menerobos gunung Kobong melewati gunung Sawur dan Kertosari yang dilakukan pada siang hari. Sebelum memasuki daerah basis, kompi menyerang kota Lumajang, menyerang pos-pos kecil di Kunir, Yosowilangun, Gemitri dan melucuti senjatanya., membakar kebun tebu milik Belanda, menggulingkan kereta pengangkut gula Jatiroto. Kompi berhasil merampas 20 pucuk senjata. Supaya tidak terjebak oleh musuh, kompi melakukan mobilitas tinggi dengan gerakan pasukan berputar menjelajahi daerah gunung Sawur (lereng Semeru), Lumajang Timur sepanjang pantai selatan dari Gondoruso sampai Maleman, daerah Kencong dan Karangbayat (gunung Argopuro).
Pada
Agustus 1949 gerakan pasukan musuh mulai mengendor dengan dimulainya
perundingan KMB (Konferensi Meja Bundar). Setelah selesai KMB, Belanda harus
meninggalkan wilayah yang dikuasai dan menyerahkan kepada Republik Indonesia
pada tanggal 27 Desember 1949. Sejak saat itu maka berakhirlah penjajahan
Belanda diatas bumi Indonesia selama 350 tahun dan TNI berhasil menebus
kekalahan perang melawan Belanda pada saat perang Diponegoro, Sultan Agung dan
lain-lainnya.
Kompi
Sukertiyo selalu bekerja sama dengan kompi Suwandak, kompi Suwignyo, kompi Moch
Yasir, pasukan Mujahidin pimpinan Kyai Ilyas, Barisan Maling, Palang Merah dan
lain-lain.
Nama-nama
yang ikut berjuang antara lain : dr. Sujono, Moch Wiyono, Moch Sruji,
dr.Subandi, Nailun Hamam, Wachman, Santoso, Joko Hadisuprapto, Suyoso, Suwadi, Kamari Sampurno, Syaifudin, Winoto,
Sumitro, Sulam Syamsun, Warouw, Abd Manan, Sabar Sutopo, Magenda, Rivai,
Mujitahid, Bambang Utoyo, Maksum, Suhariyo, Abdul Muchni, Bagiyo Sukarjo,
Jonodo, Naam, Saparin, Amir, Jalal, Nungki, Slamet Wardoyo, Hasan, Suwono, Adi
Kusumo, Wirasad dan lain-lain.
Monumen Juang Kompi Sukerto
dalam suatu saat, pasukan belanda menyerbu rumah kepala desa tunjungrejo (mbh sroyo titiwardoyo), dan menyerbu pasukan pak sukertiyo, dalam masa itu gugurlah letnan sunardi dan kopral dullah serta mbah sroyo titiwardoyo karena dianggap melindungi pasukan indonesia (tunjungrejo affair)
BalasHapusKalo nama tentara muhammad siddiq ada gak ya pada jaman itu
BalasHapus