Pasukan Hantu Maut
Keparakan Lor Ketua RK-nya waktu itu
adalah Pujihartono. Adapun ketua pemuda Keparakan Lor pada waktu itu dipegang
oleh Sudiman. Kerjasama antara ketua RK Bapak Pujihartono dan ketua pemuda
Keparakan lor Sudiman beserta dengan para pemuda kampung telah mampu mewujudkan
suatu laskar rakyat yang bernama pasukan Samber Gelap.
Pada tahun 1945 para pemuda didesa
Keparakan Lor sudah mulai aktif melakukan perjuangan melawan Jepang. Pemuda
Keparakan Lor ikut mengibarkan bendera merah-putih digedung negara (Gedung
Agung sekarang ini) pada bulan September 1945 dan mereka juga pernah ikut
melakukan pertempuran merebut Kidobutai di Kota Baru pada bulan Oktober 1945.
Pasukan dari pemuda Keparakan Lor
ini bukan merupakan pasukan resmi dari pemerintah RI. Bahkan oleh beberapa
pasukan dari TNI pasukan dari pemuda Keparakan Lor ini sering dituduh melakukan
cara-cara kotor dalam melakukan perjuangan melawan Belanda.
Adapun tempat pelatihan militer para
pemuda RK Keparakan Lor diselenggarakan di Selarong. Secara spiritual tempat
itu dipandang mampu memberikan semangat yang berlebih, mengingat tempat itu
merupakan peninggalan Diponegoro saat membentuk basis gerilyanya melawan
Belanda. Pelatihnya waktu itu adalah seseorang yang bernama Nawawi dari Militer
Akademi (MA). Proses latihan kemiliteran para pemuda di keparakan lor
berlangsung antara tahun 1946 – 1947. latihanya waktu itu mencakup
baris-berbaris, menggunakan senapan, latihan siasat perang, meloloskan diri
dari pengepungan.
Bersamaan dengan diserangnya
Yogyakarta oleh Belanda pemuda Keparakan Lor ikut bergerak kearah selatan. Di
desa Ngoto pemuda Keparakan Lor membentuk laskar perjuangan dengan nama pasukan
Samber Gelap, kira-kira pada tanggal 20 Desember 1948. pemberi nama itu adalah
Sudiman. Pada waktu itu jumlah pasukan adalah kira-kira 50 orang. Pasukan
Samber Gelap ini memiliki modal persenjataan sebanyak 7 buah senapan hasil
rampasan ketika rakyat Yogyakarta melucuti senjata pasukan Jepang pada tanggal
7 Oktober 1945 di Kota Baru.
Selanjutnya pasukan Samber Gelap
kemudian disebar masuk ke kota untuk mengambil dan mencari senjata-senjata yang
masih tertinggal di kota dan berhasil mendapatkan 11 pucuk senjata. Untuk
Pimpinan laskar di daerah Ngoto ini dipegang oleh Achmad Umar atau Muhammad
Umar. Mereka bertahan di daerah Ngoto selama 3 bulan. Selama di Ngoto ini
pasukan Samber Gelap bergerak masuk kota dari arah Brontokusuman, sambil
mengawasi markas Belanda di Tungkak dan Pojok Beteng Wetan. Belanda memasang
lampu sorot ke empat penjuru untuk mengawasi gerakan para Gerilya. Rumah
penduduk di Timuran tidak luput menjadi sasaran pembakaran oleh pasukan Belanda
yang bermarkas di Pojok Beteng Wetan yang bertujuan agar lebih mudah mengawasi
para pasukan gerilya. Menurut Suyudi, salah satu anggota Samber Gelap markas
itu tidak tertembus oleh serangan gerilya RI.
Pasukan Samber Gelap termasuk
pasukan yang sering mengganggu pertahan pasukan Belanda di Tungkak dan
Godomanan, yaitu pada saat mereka bermarkas di Ngoto. Kampung Keparakan Lor
pada waktu itu dijadikan pos pengintaian dan basis persenjataan dan logistik.
Dengan cara itu pasukan Samber Gelap ikut menunjukkan pada dunia Internasional
bahwa RI masih ada dan rakyat bersiap untuk membelanya.
Operasi besar-besaran yang dilakukan
oleh Belanda untuk menumpas setiap perlawanan berimbas pada pasukan Samber
Gelap karena pada tanggal 30 Desember 1948 pasukan Samber Gelap mendapat cobaan
yang berat. Pada waktu itu Ahmad Umar bersama dengan Subari dan lurah desa
Ngoto, bersama istri dan anaknya ditembak pasukan patroli Belanda dimuka markas
pasukan samber gelap. Waktu itu markas pasukan samber gelap menempati rumah
lurah desa Ngoto. Pnembakan itu dilakukan karena pasukan Belanda menemukan
pistol dan granat didalam rumah lurah. Pasukan samber gelap kehilangan
pemimpinya.
Selang beberapa waktu setelah itu 3
anggota pasukan Samber Gelap ditangkap oleh pasukan Belanda mereka adalah
Pawiro Aurat, Hartono, dan Sutejo. Mereka ditahan di Beteng Vredeburg selama 10
Hari. Mereka dituduh sebagai pengawal pribadi Presiden karena mereka mengenakan
setelan baju surjan iket dan celana panjang dari bahan drill yang pada
waktu itu adalah setelan untuk pengawal Presiden. Ketiga orang itu mengalami
luka-luka karena penyiksaan yang dilakukan oleh Belanda selama mereka didalam
Beteng Vredeburg. Ketika mereka dibebaskan oleh pasukan Belanda mereka harus
merangkak untuk mencapai desa Keparkan Lor. Dalam perjalan itu mereka sering
ditertawakan oleh orang-orang keturunan Cina didaerah Gondomanan.
Selain pemuda dari Keparakan Lor, di
daerah Pujokusuman dengan berawal dari semangat juang 30 orang pemuda
Pujokusuman yang bersepakat dan berikrar, jika sampai Belanda masuk dan
menduduki kota Yogyakarta mereka bersama-sama akan keluar kampung Pujokusuman
untuk membentuk pasukan guna melawan dan mangusir penjajah Belanda GBPH
Poedjokoesoemo yang merupakan putra Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, akhirnya
membentuk Pasukan. Dan selain pemuda dari Pujokusuman ini juga bergabung pemuda
dari Brontokusuman, Prawirotaman dan Karang Kajen. Selanjutnya pasukan Samber
Gelap yang berisi pemuda dari Keparakan Lor dengan pasukan bentukan dari GBPH
Poedjokoesoemo yang berisi pemuda dari Pujokusuman, Brontokusuman, Prawirotaman
dan Karang Kajen maka dibuatlah kesepakatan untuk mengganti nama pasukan
menjadi Pasukan Hantu Maut.
Pasukan Hantu Maut ini dibentuk
setelah Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengadakan serangan ke kota Yogyakarta
yang kedua pada tanggal 9 Januari 1949. Hantu Maut sendiri berarti pasukan
perlawanan sebagai hantu yang akan memberi dan menyebarkan maut bagi tentara
pendudukan Belanda.
Pasukan Hantu Maut ini berseragam
kaos oblong hijau dan celana putih.
Pasukan Hantu Maut ini pernah
mengadakan penangkapan mata-mata yang berkebangsaan Cina didaerah Gondomanan.
Rumah mata-mata itu terletak beberapa puluh meter dari markas Belanda di
Susteran Gondomanan ( kini SMP Imakulata ). Mata-mata itu kemudian dibunuh pasukan
Hantu Maut setelah diperiksa. Proses penangkapan itu sendiri sudah merupakan
kebanggaan bagi mereka, apalagi kalau mengingat rumah mata-mata yang didekat
markas Belanda.
Penculikan seperti itu memang sering
dilakukan oleh pasukan Hantu Maut. Bahkan anggota tentara Belandapun pun tidak
jarang menjadi sasaran penculikan oleh gerilyawan anggota pasukan Hantu Maut
dengan cara memasang seorang pelacur untuk menarik tentara Belanda itu
berkencan dikampung. Ketika tentara Belanda itu masuk kampung penculikan oleh
para gerilyawan anggota pasukan Hantu Maut segera dilakukan.
Pada waktu mengadakan serangan umum
persenjataan pasukan Hantu Maut hanya berupa granat dan beberapa sten dan
Pistol. Dalam serangan itu mereka bergerak sampai di belakang Bah Petruk,
tepatnya dimuka markas pasukan Belanda di Susteran Gondomanan. Mereka bertahan
ditempat itu sampai jam 11.00. namun karena komunikasi dengan daerah utara,
timur dan barat tidak ada, mereka kemudian bergerak mundur lagi kearah selatan.
Serangan umum itu sebagaimana telah kita ketahui sebagai serangan umum 1 Maret
1949.
Setelah pimpinan dipegang oleh
Sadiman, markas pasukan hantu Maut dipindakan dari desa Ngoto ke Krajan
pedukuhan Gorongan di daerah Condong Catur. Dimarkas barunya ini pasukan Hantu
Maut berjumlah 15 orang dan dibagi menjadi beberapa kelompok yang kemudian
setiap kelompok menempati rumah penduduk untuk menumpang.
Di desa Krajan ini pasukan Hantu
Maut bergabung dengan pasukan MA dan mereka bertemu dengan Nawawi yang kemudian
mengajarkan taktik pertempuran pada mereka. Dalam situasi yang gawat
anggota-anggota Pasukan Hantu Maut mempunyai nama-nama samaran dalam usaha
untuk menyelamatkan diri agar tidak tertangkap oleh pihak Belanda.
Pada bulan Maret dan April 1949
pasukan Hantu Maut ikut mengadakan pencegatan konvoi Pasukan Belanda di
Kentungan, Ngabean ( sebelah timur perusahaan listrik di jalan Kaliurang),
Dayu, Pakem, Kaliurang. Mereka mengadakan aksi bersama dengan pihak MA dan
Laskar Rakyat yang lainnya. Dengan pengggabungan itu jumlah personil menjadi 50
orang sampai 75 orang. Dalam melakukan pencegatan-pencegatan konvoi pasukan
Hantu Maut sering mendapatkan tambahan amunisi dan persenjataan. Dalam sebuah
penyerangan terhadap markas Belanda di Kaliurang pasukan Hantu Maut
pernah berhasil melakukan pennyerangan dan berhasil menewaskan tentara Belanda.
Pada waktu itu tepat pada saat ulang tahun ratu Juliana yang ke 40 para pasukan
Belanda sedang mengadakan pesta untuk merayakannya. Dengan memanfaatkan
kesempatan ini maka pasukan Hantu Maut mulai melakukan penyerangan.
Secara umum persenjataan pasukan
Hantu Maut semakin lengkap. Mereka memiliki bren, tekidento (mortir kecil),
pistol, stegun, granat, dan karaben. Persenjataan itu makin lengkap seriring
makin sringnya mereka melakukan penyergapan terhadap konvoi-konvoi Belanda.
Selain melawan Belanda pasukan Hantu
Maut juga sering mengamankan kampung yang digunakan sebagai markas mereka dari
para perampok dan garong. Pernah pada suatu waktu mereka mendapat laporan dari
penduduk desa Krajan bahwa ditempat itu sering terjadi pencurian hewan ternak
yang dilakukan oleh gerombolan bersenjata. Lalu pada saat kejadian itu terjadi
lagi pasukan Hantu Maut mulai mengejar para pencuri itu dan mendapatkan bahwa
mereka adalah gerombolan pencuri yang memakai pakainan hitam. Setelah terkejar
kemudian pasukan Hantu Maut menembaki pencuri itu dengan senapan tetapi para
pencuri berhasil kabur namun hasil curian dapat diamankan kembali olah pasukan
Hantu Maut.
Walupun seringkali pasukan Hantu
Maut berganti-ganti markas karena faktor keamanan, namun mereka sering
mendambakan untuk kembali ke kampung halaman mereka yaitu di desa Keparakan
Lor. Mereka sering memerintahkan anak kecil untuk memeriksa keadaan kampung
Keparakan Lor. Jika dirasa keadaan kampung itu aman maka para anggota paasukan
Hantu Maut ini akan pulang kerumah sekedar melepas rindu pada keluarganya.
Namun tentunya mereka tetap berhati-hati terhadap pasukan Belanda yang sedang
berpatroli.
Kerawanan daerah Keparakan Lor tidak
hanya adanya markas pasukan Belanda , tetapi sekaligus daerah itu banyak
mata-matanya. Pawiro mengatakan adanya tiga orang mata-mata di kampung itu.
Salamun dan Santoso dikenal berprofesi sebagai Garong. Sebelum Belanda datang
ke Yogyakarta keduanya ditahan polisi RI di Wirogunan. Dengan kedatangan
Belanda mereka berdua dibebaskan dan kemudian keduanya menjadi agen polisi
Belanda. Semasa pendudukan mereka sering berhubungan dengan polisi dan tentara
Belanda. Seorang mata-mata yang lain melarikan diri dari kampung bersama
rombongan polisi Belanda. Menurut Pawiro mata-mata yang lain itu bernama Paijan
atau sering dipanggil Ijan. Dalam keadaan yang mulai mendesak Ijan kemudian
ikut melariakn diri bersama-sama polisi Belanda ke Semarang. Dengan
adanya tokoh mata-mata seperti itu perjuangan untuk membela RI menjadi sangat
rawan di Kampung Keparakan Lor.
Pada tanggal 29 Juni 1949, Pasukan
Hantu Maut mendapat tugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban di sebelah
utara rel kereta api (stasiun Tugu) samapai batas kota sebelah utara. Setelah
pemerintahan kembali pada pemerintahan sipil, maka pasukan Hantu Maut yang
dulunya yang telah dimiliterisasi diberi kesempatan untuk kembali ke instansi,
sekolah atau bagi yang meneruskan ke pendidikan militer dan sudah lulus tes
maka akan ditempatkan di Batalion yang sudah ditentukan dan bagi yang tidak
lolos tes akan dikembalikan kepada masyarakat dengan surat penghargaan.
Perang sudah berakhir. Indonesia
sudah mulai membangun dirinya lagi. Kini, para mantan anggota pasukan Hantu
Maut bersama pejuang-pejuang lainnya mendirikan organisasi dengan nama
Kerukunan Keluarga Pejuang Eks SWK 101 WK III Yogyakarta.
Selain itu di Prawirotaman terdapat Tetenger dan Monumen Pasukan hantu Maut Kompi Widodo.
Sebuah
plakat di depan Ndalem Pujokusaman yang menandakan bahwa di dalem
tersebut dahulunya merupakan markas dari pasukan Hantu Maut.
Tetenger Lalu Lintas Gerilya Pasukan Hantu Maut di Prawirotaman
Monumen Pasukan Hantu Maut di Prawirotaman
Di plakat ini terdapat lambang Pasukan Hantu Maut
Di Monumen ini terdapat prasasti dengan tulisan :
Palagan Pas. Hantu Maut
Gugur Tgl 15 - 3 - 1949 Pratu R Pruwito
Anggota Pas. Hantu Maut Brig. X
Dalam Perang Kemerdekaan II
Gugur Tgl 15 - 3 - 1949 Pratu R Pruwito
Anggota Pas. Hantu Maut Brig. X
Dalam Perang Kemerdekaan II
Daerah Gerilja
Kompi Widodo / Pas H. M.
Kompi Widodo / Pas H. M.
Diresmikan pada Tgl :
22 Agustus 1981 oleh :
Pangkowilhan II
Wijogo Atmodarminto
Letnan Jendral T. N. I.
22 Agustus 1981 oleh :
Pangkowilhan II
Wijogo Atmodarminto
Letnan Jendral T. N. I.
Lambang Pasukan Hantu Maut yang ada di Kampung Prawirotaman
Komunitas Djokjakarta 1945 di depan Monumen Pasukan Hantu Maut di Prawirotaman
Komunitas Djokjakarta 1945 sebagai penerus semangat Pasukan Hantu Maut
dengan membawa bendera Kerukunan Keluarga Pejuang Eks SWK 101 WK III Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar