Rabu, 29 Juli 2015

Pasukan Hantu Maut

Pasukan Hantu Maut

Keparakan Lor Ketua RK-nya waktu itu adalah Pujihartono. Adapun ketua pemuda Keparakan Lor pada waktu itu dipegang oleh Sudiman. Kerjasama antara ketua RK Bapak Pujihartono dan ketua pemuda Keparakan lor Sudiman beserta dengan para pemuda kampung telah mampu mewujudkan suatu laskar rakyat yang bernama pasukan Samber Gelap.

Pada tahun 1945 para pemuda didesa Keparakan Lor sudah mulai aktif melakukan perjuangan melawan Jepang. Pemuda Keparakan Lor ikut mengibarkan bendera merah-putih digedung negara (Gedung Agung sekarang ini) pada bulan September 1945 dan mereka juga pernah ikut melakukan pertempuran merebut Kidobutai di Kota Baru pada bulan Oktober 1945.

Pasukan dari pemuda Keparakan Lor ini bukan merupakan pasukan resmi dari pemerintah RI. Bahkan oleh beberapa pasukan dari TNI pasukan dari pemuda Keparakan Lor ini sering dituduh melakukan cara-cara kotor dalam melakukan perjuangan melawan Belanda.

Adapun tempat pelatihan militer para pemuda RK Keparakan Lor diselenggarakan di Selarong. Secara spiritual tempat itu dipandang mampu memberikan semangat yang berlebih, mengingat tempat itu merupakan peninggalan Diponegoro saat membentuk basis gerilyanya melawan Belanda. Pelatihnya waktu itu adalah seseorang yang bernama Nawawi dari Militer Akademi (MA). Proses latihan kemiliteran para pemuda di keparakan lor berlangsung antara tahun 1946 – 1947. latihanya waktu itu mencakup baris-berbaris, menggunakan senapan, latihan siasat perang, meloloskan diri dari pengepungan.

Bersamaan dengan diserangnya Yogyakarta oleh Belanda pemuda Keparakan Lor ikut bergerak kearah selatan. Di desa Ngoto pemuda Keparakan Lor membentuk laskar perjuangan dengan nama pasukan Samber Gelap, kira-kira pada tanggal 20 Desember 1948. pemberi nama itu adalah Sudiman. Pada waktu itu jumlah pasukan adalah kira-kira 50 orang. Pasukan Samber Gelap ini memiliki modal persenjataan sebanyak 7 buah senapan hasil rampasan ketika rakyat Yogyakarta melucuti senjata pasukan Jepang pada tanggal 7 Oktober 1945 di Kota Baru. 

Selanjutnya pasukan Samber Gelap kemudian disebar masuk ke kota untuk mengambil dan mencari senjata-senjata yang masih tertinggal di kota dan berhasil mendapatkan 11 pucuk senjata. Untuk Pimpinan laskar di daerah Ngoto ini dipegang oleh Achmad Umar atau Muhammad Umar. Mereka bertahan di daerah Ngoto selama 3 bulan. Selama di Ngoto ini pasukan Samber Gelap bergerak masuk kota dari arah Brontokusuman, sambil mengawasi markas Belanda di Tungkak dan Pojok Beteng Wetan. Belanda memasang lampu sorot ke empat penjuru untuk mengawasi gerakan para Gerilya. Rumah penduduk di Timuran tidak luput menjadi sasaran pembakaran oleh pasukan Belanda yang bermarkas di Pojok Beteng Wetan yang bertujuan agar lebih mudah mengawasi para pasukan gerilya. Menurut Suyudi, salah satu anggota Samber Gelap markas itu tidak tertembus oleh serangan gerilya RI.

Pasukan Samber Gelap termasuk pasukan yang sering mengganggu pertahan pasukan Belanda di Tungkak dan Godomanan, yaitu pada saat mereka bermarkas di Ngoto. Kampung Keparakan Lor pada waktu itu dijadikan pos pengintaian dan basis persenjataan dan logistik. Dengan cara itu pasukan Samber Gelap ikut menunjukkan pada dunia Internasional bahwa RI masih ada dan rakyat bersiap untuk membelanya.

Operasi besar-besaran yang dilakukan oleh Belanda untuk menumpas setiap perlawanan berimbas pada pasukan Samber Gelap karena pada tanggal 30 Desember 1948 pasukan Samber Gelap mendapat cobaan yang berat. Pada waktu itu Ahmad Umar bersama dengan Subari dan lurah desa Ngoto, bersama istri dan anaknya ditembak pasukan patroli Belanda dimuka markas pasukan samber gelap. Waktu itu markas pasukan samber gelap menempati rumah lurah desa Ngoto. Pnembakan itu dilakukan karena pasukan Belanda menemukan pistol dan granat didalam rumah lurah.  Pasukan samber gelap kehilangan pemimpinya.

Selang beberapa waktu setelah itu 3 anggota pasukan Samber Gelap ditangkap oleh pasukan Belanda mereka adalah Pawiro Aurat, Hartono, dan Sutejo. Mereka ditahan di Beteng Vredeburg selama 10 Hari. Mereka dituduh sebagai pengawal pribadi Presiden karena mereka mengenakan setelan baju surjan iket dan celana  panjang dari bahan drill yang pada waktu itu adalah setelan untuk pengawal Presiden. Ketiga orang itu mengalami luka-luka karena penyiksaan yang dilakukan oleh Belanda selama mereka didalam Beteng Vredeburg. Ketika mereka dibebaskan oleh pasukan Belanda mereka harus merangkak untuk mencapai desa Keparkan Lor. Dalam perjalan itu mereka sering ditertawakan oleh orang-orang keturunan Cina didaerah Gondomanan.

Selain pemuda dari Keparakan Lor, di daerah Pujokusuman dengan berawal dari semangat juang 30 orang pemuda Pujokusuman yang bersepakat dan berikrar, jika sampai Belanda masuk dan menduduki kota Yogyakarta mereka bersama-sama akan keluar kampung Pujokusuman untuk membentuk pasukan guna melawan dan mangusir penjajah Belanda GBPH Poedjokoesoemo yang merupakan putra Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, akhirnya membentuk Pasukan. Dan selain pemuda dari Pujokusuman ini juga bergabung pemuda dari Brontokusuman, Prawirotaman dan Karang Kajen. Selanjutnya pasukan Samber Gelap yang berisi pemuda dari Keparakan Lor dengan pasukan bentukan dari GBPH Poedjokoesoemo yang berisi pemuda dari Pujokusuman, Brontokusuman, Prawirotaman dan Karang Kajen maka dibuatlah kesepakatan untuk mengganti nama pasukan menjadi Pasukan Hantu Maut. 

Pasukan Hantu Maut ini dibentuk setelah Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengadakan serangan ke kota Yogyakarta yang kedua pada tanggal 9 Januari 1949. Hantu Maut sendiri berarti pasukan perlawanan sebagai hantu yang akan memberi dan menyebarkan maut bagi tentara pendudukan Belanda.

Pasukan Hantu Maut ini berseragam kaos oblong hijau dan celana putih. 

Pasukan Hantu Maut ini pernah mengadakan penangkapan mata-mata yang berkebangsaan Cina didaerah Gondomanan. Rumah mata-mata itu terletak beberapa puluh meter dari markas Belanda di Susteran Gondomanan ( kini SMP Imakulata ). Mata-mata itu kemudian dibunuh pasukan Hantu Maut setelah diperiksa. Proses penangkapan itu sendiri sudah merupakan kebanggaan bagi mereka, apalagi kalau mengingat rumah mata-mata yang didekat markas Belanda.

Penculikan seperti itu memang sering dilakukan oleh pasukan Hantu Maut. Bahkan anggota tentara Belandapun pun tidak jarang menjadi sasaran penculikan oleh gerilyawan anggota pasukan Hantu Maut dengan cara memasang seorang pelacur untuk menarik tentara Belanda itu berkencan dikampung. Ketika tentara Belanda itu masuk kampung penculikan oleh para gerilyawan anggota pasukan Hantu Maut segera dilakukan.

Pada waktu mengadakan serangan umum persenjataan pasukan Hantu Maut hanya berupa granat dan beberapa sten dan Pistol. Dalam serangan itu mereka bergerak sampai di belakang Bah Petruk, tepatnya dimuka markas pasukan Belanda di Susteran Gondomanan. Mereka bertahan ditempat itu sampai jam 11.00. namun karena komunikasi dengan daerah utara, timur dan barat tidak ada, mereka kemudian bergerak mundur lagi kearah selatan. Serangan umum itu sebagaimana telah kita ketahui sebagai serangan umum 1 Maret 1949.

Setelah pimpinan dipegang oleh Sadiman, markas pasukan hantu Maut dipindakan dari desa Ngoto ke Krajan pedukuhan Gorongan di daerah Condong Catur. Dimarkas barunya ini pasukan Hantu Maut berjumlah 15 orang dan dibagi menjadi beberapa kelompok yang kemudian setiap kelompok menempati rumah penduduk untuk menumpang.

Di desa Krajan ini pasukan Hantu Maut bergabung dengan pasukan MA dan mereka bertemu dengan Nawawi yang kemudian mengajarkan taktik pertempuran pada mereka. Dalam situasi yang gawat anggota-anggota Pasukan Hantu Maut mempunyai nama-nama samaran dalam usaha untuk menyelamatkan diri agar tidak tertangkap oleh pihak Belanda.

Pada bulan Maret dan April 1949 pasukan Hantu Maut ikut mengadakan pencegatan konvoi Pasukan Belanda di Kentungan, Ngabean ( sebelah timur perusahaan listrik di jalan Kaliurang), Dayu, Pakem, Kaliurang. Mereka mengadakan aksi bersama dengan pihak MA dan Laskar Rakyat yang lainnya. Dengan pengggabungan itu jumlah personil menjadi 50 orang sampai 75 orang. Dalam melakukan pencegatan-pencegatan konvoi pasukan Hantu Maut sering mendapatkan tambahan amunisi dan persenjataan. Dalam sebuah penyerangan terhadap markas Belanda di  Kaliurang pasukan Hantu Maut pernah berhasil melakukan pennyerangan dan berhasil menewaskan tentara Belanda. Pada waktu itu tepat pada saat ulang tahun ratu Juliana yang ke 40 para pasukan Belanda sedang mengadakan pesta untuk merayakannya. Dengan memanfaatkan kesempatan ini maka pasukan Hantu Maut mulai melakukan penyerangan.

Secara umum persenjataan pasukan Hantu Maut semakin lengkap. Mereka memiliki bren, tekidento (mortir kecil), pistol, stegun, granat, dan karaben. Persenjataan itu makin lengkap seriring makin sringnya mereka melakukan penyergapan terhadap konvoi-konvoi Belanda.

Selain melawan Belanda pasukan Hantu Maut juga sering mengamankan kampung yang digunakan sebagai markas mereka dari para perampok dan garong. Pernah pada suatu waktu mereka mendapat laporan dari penduduk desa Krajan bahwa ditempat itu sering terjadi pencurian hewan ternak yang dilakukan oleh gerombolan bersenjata. Lalu pada saat kejadian itu terjadi lagi pasukan Hantu Maut mulai mengejar para pencuri itu dan mendapatkan bahwa mereka adalah gerombolan pencuri yang memakai pakainan hitam. Setelah terkejar kemudian pasukan Hantu Maut menembaki pencuri itu dengan senapan tetapi para pencuri berhasil kabur namun hasil curian dapat diamankan kembali olah pasukan Hantu Maut.

Walupun seringkali pasukan Hantu Maut berganti-ganti markas karena faktor keamanan, namun mereka sering mendambakan untuk kembali ke kampung halaman mereka yaitu di desa Keparakan Lor. Mereka sering memerintahkan anak kecil untuk memeriksa keadaan kampung Keparakan Lor. Jika dirasa keadaan kampung itu aman maka para anggota paasukan Hantu Maut ini akan pulang kerumah sekedar melepas rindu pada keluarganya. Namun tentunya mereka tetap berhati-hati terhadap pasukan Belanda yang sedang berpatroli.

Kerawanan daerah Keparakan Lor tidak hanya adanya markas pasukan Belanda , tetapi sekaligus daerah itu banyak mata-matanya. Pawiro mengatakan adanya tiga orang mata-mata di kampung itu. Salamun dan Santoso dikenal berprofesi sebagai Garong. Sebelum Belanda datang ke Yogyakarta keduanya ditahan polisi RI di Wirogunan. Dengan kedatangan Belanda mereka berdua dibebaskan dan kemudian keduanya menjadi agen polisi Belanda. Semasa pendudukan mereka sering berhubungan dengan polisi dan tentara Belanda. Seorang mata-mata yang lain melarikan diri dari kampung bersama rombongan polisi Belanda. Menurut Pawiro mata-mata yang lain itu bernama Paijan atau sering dipanggil Ijan. Dalam keadaan yang mulai mendesak Ijan kemudian ikut melariakn diri bersama-sama polisi Belanda ke Semarang.  Dengan adanya tokoh mata-mata seperti itu perjuangan untuk membela RI menjadi sangat rawan di Kampung Keparakan Lor.

Pada tanggal 29 Juni 1949, Pasukan Hantu Maut mendapat tugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban di sebelah utara rel kereta api (stasiun Tugu) samapai batas kota sebelah utara. Setelah pemerintahan kembali pada pemerintahan sipil, maka pasukan Hantu Maut yang dulunya yang telah dimiliterisasi diberi kesempatan untuk kembali ke instansi, sekolah atau bagi yang meneruskan ke pendidikan militer dan sudah lulus tes maka akan ditempatkan di Batalion yang sudah ditentukan dan bagi yang tidak lolos tes akan dikembalikan kepada masyarakat dengan surat penghargaan.

Perang sudah berakhir. Indonesia sudah mulai membangun dirinya lagi. Kini, para mantan anggota pasukan Hantu Maut bersama pejuang-pejuang lainnya mendirikan organisasi dengan nama Kerukunan Keluarga Pejuang Eks SWK 101 WK III Yogyakarta.
Selain itu di Prawirotaman terdapat Tetenger dan Monumen Pasukan hantu Maut Kompi Widodo.

Sebuah plakat di depan Ndalem Pujokusaman yang menandakan bahwa di dalem tersebut dahulunya merupakan markas dari pasukan Hantu Maut.

Tetenger Lalu Lintas Gerilya Pasukan Hantu Maut di Prawirotaman

 Monumen Pasukan Hantu Maut di Prawirotaman

 Di plakat ini terdapat lambang Pasukan Hantu Maut

Di Monumen ini terdapat prasasti dengan tulisan :

Palagan Pas. Hantu Maut
Gugur Tgl 15 - 3 - 1949 Pratu R Pruwito
Anggota Pas. Hantu Maut Brig. X
Dalam Perang Kemerdekaan II
Daerah Gerilja
Kompi Widodo / Pas H. M.
Diresmikan pada Tgl :
22 Agustus 1981 oleh :
Pangkowilhan II
Wijogo Atmodarminto

Letnan Jendral T. N. I.

Lambang Pasukan Hantu Maut yang ada di Kampung Prawirotaman

Komunitas Djokjakarta 1945 di depan Monumen Pasukan Hantu Maut di Prawirotaman

Komunitas Djokjakarta 1945 sebagai penerus semangat Pasukan Hantu Maut
dengan membawa bendera Kerukunan Keluarga Pejuang Eks SWK 101 WK III Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar