Peranan Australia dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
Belanda (NICA) kembali ke Indonesia dengan kekuatan militer yang
sudah mulai pulih pasca perang. Aksi polisional atau dikenal sebagai
agresi militer Belanda nyaris menghabiskan sebagian besar teritorial
Republik.
Saat itulah ada dua negara yang berperan penting membawa kasus tersebut kepada PBB dan menekan Belanda untuk menghentikan agresi militernya. Yang pertama adalah India dan kedua adalah Australia. Keterlibatan India mungkin dapat dimaklumi mengingat kesamaan nasib sebagai korban imperialisme.
Namun alasan mengapa Australia ikut bersimpati menentang Belanda nyaris tidak pernah dibahas. Ketika PBB membentuk Komisi Tiga Negara untuk meredam konflik. Kedua negara yang berseteru diminta memilih perwakilannya. Belanda memilih Belgia, negara tetangga-nya dan Indonesia secara mengejutkan justru memilih Australia. Bangsa yang berbeda ras dan justru merupakan sekutu dekat Belanda dalam Perang Dunia II.
Adanya invasi Jepang ke Indonesia dan kekalahan Belanda terhadap Jepang maka saat itu ribuan rakyat Indonesia yang bekerja pada administrasi Belanda dan kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pelaut.
Ada 2 kategori pelaut yang bekerja pada Belanda saat itu. Yang pertama adalah perwira kapal yang kebanyakan adalah orang Manado dan Kristen. Mereka kaum terpelajar, dapat berbahasa Inggris dan Belanda, serta melek informasi dan kondisi politik saat itu serta gaji layaknya orang Eropa. Yang kedua adalah buruh kapal yang kebanyakan orang Jawa dan Muslim. Mereka buta huruf, hanya mampu berbahasa lokal dan bekerja di lingkungan yang buruk. Gajinya pun sangat minim.
Tak lama para pelaut tersebut berhubungan kontak dengan Australian Seamen’s Union in Sydney. Asosiasi tersebut terkejut melihat diskriminasi yang terjadi. Mereka memberitahu para pelaut Indonesia bahwa mereka sekarang bekerja di Australia, dihormati hak-haknya sebagai pekerja serta memiliki hak untuk protes.
Sekitar 2000 pelaut lalu mengadakan unjuk rasa di Sydney. Belanda balik menyerang dan menyebut para pelaut tersebut sebagai pengkhianat. Mereka lalu sempat dikirim ke penjara. Namun pada akhirnya, para pelaut tersebut berhasil dilepas dan bekerja dalam kondisi yang jauh lebih baik.
Perlakuan Union yang memperhatikan hak-hak kaum pekerja bisa dikatakan suatu hal baru bagi rakyat Indonesia saat itu yang selama ratusan tahun terbiasa oleh design sistem hierarki yang diterapkan Belanda. Namun hubungan baik antara Union Australia dan pelaut Indonesia ini barulah sebuah awal.
Ketika Jepang melemah dan meninggalkan Indonesia, Belanda menggunakan kesempatan ini untuk kembali. Di pelabuhan-pelabuhan Sydney dan Melbourne, kapal-kapal Belanda memuat berbagai amunisi dan senjata perang yang siap dikirim untuk menggempur Indonesia.
Beberapa tahanan pengasingan dari Digoel yang dibawa ke Australia memainkan peranan penting dalam membangun koneksi dengan Union. Mereka melapor pada Queensland Trades and Labor Council dan selanjutnya diteruskan pada Waterside Workers Federation.
Bersimpati dengan perjuangan Indonesia, WWF pun bertindak. Aksi mogok bongkar muat pun diadakan secara nasional, terutama Brisbane, Sydney dan Melbourne. Tak lama, perserikatan pelaut lainnya turut serta. Dalam satu minggu, peristiwa yang dikenal dengan nama “Black Ban” menjalar bahkan hingga Selandia Baru dan Singapura.
Peristiwa ‘Black Armada’ ini sendiri berawal ketika sejumlah buruh pelabuhan asal Indonesia di pemukiman Woolloomooloo, Sydney mendengar kabar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia melalui warta berita pada siaran radio gelombang pendek
Keesokan harinya, salah seorang buruh di Kapal Belanda bernama Tukliwon yang berusia 20 tahun menyampaikan kabar kemerdekaan Indonesia dari Belanda itu pada rekan-rekannya sesama buruh pelabuhan di Australia yang berjanji akan memberikan dukungan. Beberapa hari kemudian Tukliwon dan sejumlah rekannya sesama buruh di kapal ferry milik Belanda diminta untuk kembali berlayar menuju Jawa, Indonesia,
Namun karena mendukung keduanya menolak perintah tersebut demi mendukung kemerdekaan tanah air mereka.
Aksi mereka ini langsung memicu dukungan dari serikat pekerja pelabuhan Australia yang langsung memerintahkan anggotanya untuk mengembargo seluruh kapal yang membawa amunisi dan material lain yang akan digunakan untuk menyerang Pemerintah Indonesia.
Pada 24 September 1945, terjadilah boikot besar-besaran terhadap kapal-kapal milik Belanda di Pelabuhan Brisbane dan Sydney, sebelum akhirnya menyebar ke Melbourne dan Fremantle. Aksi boikot ini dengan cepat juga mendapat dukungan dari asosiasi pekerja pelabuhan yang lain mulai dari tukan masak, teknisi mesin, tukang cat kapal, tukang kayu, dan lain-lain.
Saat itulah ada dua negara yang berperan penting membawa kasus tersebut kepada PBB dan menekan Belanda untuk menghentikan agresi militernya. Yang pertama adalah India dan kedua adalah Australia. Keterlibatan India mungkin dapat dimaklumi mengingat kesamaan nasib sebagai korban imperialisme.
Namun alasan mengapa Australia ikut bersimpati menentang Belanda nyaris tidak pernah dibahas. Ketika PBB membentuk Komisi Tiga Negara untuk meredam konflik. Kedua negara yang berseteru diminta memilih perwakilannya. Belanda memilih Belgia, negara tetangga-nya dan Indonesia secara mengejutkan justru memilih Australia. Bangsa yang berbeda ras dan justru merupakan sekutu dekat Belanda dalam Perang Dunia II.
Adanya invasi Jepang ke Indonesia dan kekalahan Belanda terhadap Jepang maka saat itu ribuan rakyat Indonesia yang bekerja pada administrasi Belanda dan kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pelaut.
Ada 2 kategori pelaut yang bekerja pada Belanda saat itu. Yang pertama adalah perwira kapal yang kebanyakan adalah orang Manado dan Kristen. Mereka kaum terpelajar, dapat berbahasa Inggris dan Belanda, serta melek informasi dan kondisi politik saat itu serta gaji layaknya orang Eropa. Yang kedua adalah buruh kapal yang kebanyakan orang Jawa dan Muslim. Mereka buta huruf, hanya mampu berbahasa lokal dan bekerja di lingkungan yang buruk. Gajinya pun sangat minim.
Tak lama para pelaut tersebut berhubungan kontak dengan Australian Seamen’s Union in Sydney. Asosiasi tersebut terkejut melihat diskriminasi yang terjadi. Mereka memberitahu para pelaut Indonesia bahwa mereka sekarang bekerja di Australia, dihormati hak-haknya sebagai pekerja serta memiliki hak untuk protes.
Sekitar 2000 pelaut lalu mengadakan unjuk rasa di Sydney. Belanda balik menyerang dan menyebut para pelaut tersebut sebagai pengkhianat. Mereka lalu sempat dikirim ke penjara. Namun pada akhirnya, para pelaut tersebut berhasil dilepas dan bekerja dalam kondisi yang jauh lebih baik.
Perlakuan Union yang memperhatikan hak-hak kaum pekerja bisa dikatakan suatu hal baru bagi rakyat Indonesia saat itu yang selama ratusan tahun terbiasa oleh design sistem hierarki yang diterapkan Belanda. Namun hubungan baik antara Union Australia dan pelaut Indonesia ini barulah sebuah awal.
Ketika Jepang melemah dan meninggalkan Indonesia, Belanda menggunakan kesempatan ini untuk kembali. Di pelabuhan-pelabuhan Sydney dan Melbourne, kapal-kapal Belanda memuat berbagai amunisi dan senjata perang yang siap dikirim untuk menggempur Indonesia.
Beberapa tahanan pengasingan dari Digoel yang dibawa ke Australia memainkan peranan penting dalam membangun koneksi dengan Union. Mereka melapor pada Queensland Trades and Labor Council dan selanjutnya diteruskan pada Waterside Workers Federation.
Bersimpati dengan perjuangan Indonesia, WWF pun bertindak. Aksi mogok bongkar muat pun diadakan secara nasional, terutama Brisbane, Sydney dan Melbourne. Tak lama, perserikatan pelaut lainnya turut serta. Dalam satu minggu, peristiwa yang dikenal dengan nama “Black Ban” menjalar bahkan hingga Selandia Baru dan Singapura.
Peristiwa ‘Black Armada’ ini sendiri berawal ketika sejumlah buruh pelabuhan asal Indonesia di pemukiman Woolloomooloo, Sydney mendengar kabar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia melalui warta berita pada siaran radio gelombang pendek
Keesokan harinya, salah seorang buruh di Kapal Belanda bernama Tukliwon yang berusia 20 tahun menyampaikan kabar kemerdekaan Indonesia dari Belanda itu pada rekan-rekannya sesama buruh pelabuhan di Australia yang berjanji akan memberikan dukungan. Beberapa hari kemudian Tukliwon dan sejumlah rekannya sesama buruh di kapal ferry milik Belanda diminta untuk kembali berlayar menuju Jawa, Indonesia,
Namun karena mendukung keduanya menolak perintah tersebut demi mendukung kemerdekaan tanah air mereka.
Aksi mereka ini langsung memicu dukungan dari serikat pekerja pelabuhan Australia yang langsung memerintahkan anggotanya untuk mengembargo seluruh kapal yang membawa amunisi dan material lain yang akan digunakan untuk menyerang Pemerintah Indonesia.
Pada 24 September 1945, terjadilah boikot besar-besaran terhadap kapal-kapal milik Belanda di Pelabuhan Brisbane dan Sydney, sebelum akhirnya menyebar ke Melbourne dan Fremantle. Aksi boikot ini dengan cepat juga mendapat dukungan dari asosiasi pekerja pelabuhan yang lain mulai dari tukan masak, teknisi mesin, tukang cat kapal, tukang kayu, dan lain-lain.
Akibat aksi ini
lebih dari 400 armada kapal milik Belanda yang berlabuh di Australia
tidak bisa melanjutkan perjalanan ke Indonesia, karena tidak ada pekerja
pelabuhan yang membantu memasukan barang ke geladak, menyiapkan bahan
bakar dan lain-lain. Dan secara signifikan melumpuhkan kekuatan militer
Belanda.
Aksi boikot oleh pekerja pelabuhan Australia ini semakin meningkat dan mencapai puncaknya pada 28 September 1945. Pekerja pelabuhan di Sydney menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor kapal Belanda dan juga kantor diplomatik Belanda dan memasang spanduk besar berisi desakan agar Belanda meninggalkan Indonesia - 'hands Off Indonesia'.
Perintah ini dikuatkan dengan seruang langsung kepada anggota serikat pekerja pelabuhan Australia agar tidak memberikan tumpangan pada tentara dan pekerja Belanda, tidak mengangkat amunisi dan barang-barang lain seperti makanan dan lainnya ke kapal Belanda. Dan semua yang berkaitan dengan Belanda merupakan barang terlarang yang harus diembargo.
Dan Sebaliknya, sebulan kemudian pada Oktober 1945, Australia memfasilitasi kembalinya lebih dari 1400 para tawanan perang Belanda asal Indonesia yang berada di Australia, ke tanah air dengan menggunakan kapal kargo Australia, Esperance Bay dari pelabuhan Sydney. Ini karena Australia sempat marah pada Belanda, ketika sekutunya tersebut membawa para tahanan politik Digul dan membohongi Australia bahwa mereka adalah tawanan perang pro-Jepang. Para tahanan akhirnya dilepas dan pemerintah Australia memberikan mereka kebebasan untuk mencari kerja.
Dukungan dan simpati Australia terhadap perjuangan Indonesia juga diwujudkan dengan terus menekan dan mengutuk agresi Belanda.
Kejadian ini masuk dalam headline news koran-koran Australia dan publik Aussie pun tahu mengenai perjuangan Indonesia. Sementara itu, Belanda pontang-panting karena bantuan militernya terhambat. Namun di sisi lain, ini artinya setiap pelaut Indonesia yang bekerja untuk Belanda kini tidak tergaji dan tidak punya tempat akomodasi.
Rapat publik pun diadakan dan acara amal dibuat untuk membantu para pelaut Indonesia. Berbagai perserikatan pekerja di Australia membantu para pelaut yang putus kerja dalam mencari tempat tinggal. Mereka dapat tinggal di hostel dan beberapa disediakan ranjang di Brisbane Trade Hall, dimana black ban pertama dicetuskan.
Ketika mata Australia tertuju pada aksi pelaut Indonesia, kesempatan ini tidak disia-siakan oleh CENKIM (Central Komite Indonesia Merdeka), organisasi yang didirikan di Australia oleh para tokoh politik yang pernah diasingkan Belanda ke Digul. Tanpa kesulitan mereka mengadakan aksi turun ke jalan besar-besaran di Melbourne sembari berteriak “Long Live The Republic of Indonesia.”
Ini tentu sebuah pernyataan yang radikal, terutama diserukan di negara sekutu Belanda. Namun di mata Australia, mereka melihat orang Indonesia sebagai sahabat yang turut serta berperang melawan musuh yang sama: Jepang serta membutuhkan bantuan untuk pulang ke negara asalnya. Banyak tentara Australia juga ikut turun ke jalan sebagai tanda mendukung kemerdekaan Indonesia.
Australia semakin dekat dengan Indonesia. Pada bulan Juni 1947, Usman Sastromijoyo terbang ke Australia. Meski belum official saat itu, ia telah dipercaya sebagai Duta Besar Indonesia untuk Australia. Pada akhir Juli, seorang anggota CENKIM, Mohammad Bondan mendengar berita di radio bagaimana Belanda melanggar perjanjian Linggar Jati dan melakukan agresi militer. Bersama istrinya, Molly, wanita Australia yang bersimpati dengan perjuangan Indonesia, mereka menulis ulang berita tersebut dalam bahasa Inggris dan memberikannya pada pers Australia.
Dengan cepat berita tersebar dan pemerintah Australia membawa kasus tersebut kepada PBB. Agresi berhasil dihentikan dan gencat senjata diadakan. Komisi Tiga Negara dibuat dan Indonesia memilih Australia sebagai wakilnya. Australia mengirim Justice Kirby dan Thomas Critchley. Critchley di kemudian hari menjadi salah satu sahabat baik Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Hubungan Belanda dan Australia semakin renggang.
Kebebasan ini pulalah yang dimanfaatkan untuk menyuarakan kemerdekaan Indonesia melalui CENKIM. Ketika Indonesia meraih kedaulatan pada tahun 1950, Australia menjadi salah satu negara barat pertama yang menjadi sahabat dekat Indonesia.
Aksi boikot oleh pekerja pelabuhan Australia ini semakin meningkat dan mencapai puncaknya pada 28 September 1945. Pekerja pelabuhan di Sydney menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor kapal Belanda dan juga kantor diplomatik Belanda dan memasang spanduk besar berisi desakan agar Belanda meninggalkan Indonesia - 'hands Off Indonesia'.
Perintah ini dikuatkan dengan seruang langsung kepada anggota serikat pekerja pelabuhan Australia agar tidak memberikan tumpangan pada tentara dan pekerja Belanda, tidak mengangkat amunisi dan barang-barang lain seperti makanan dan lainnya ke kapal Belanda. Dan semua yang berkaitan dengan Belanda merupakan barang terlarang yang harus diembargo.
Dan Sebaliknya, sebulan kemudian pada Oktober 1945, Australia memfasilitasi kembalinya lebih dari 1400 para tawanan perang Belanda asal Indonesia yang berada di Australia, ke tanah air dengan menggunakan kapal kargo Australia, Esperance Bay dari pelabuhan Sydney. Ini karena Australia sempat marah pada Belanda, ketika sekutunya tersebut membawa para tahanan politik Digul dan membohongi Australia bahwa mereka adalah tawanan perang pro-Jepang. Para tahanan akhirnya dilepas dan pemerintah Australia memberikan mereka kebebasan untuk mencari kerja.
Dukungan dan simpati Australia terhadap perjuangan Indonesia juga diwujudkan dengan terus menekan dan mengutuk agresi Belanda.
Kejadian ini masuk dalam headline news koran-koran Australia dan publik Aussie pun tahu mengenai perjuangan Indonesia. Sementara itu, Belanda pontang-panting karena bantuan militernya terhambat. Namun di sisi lain, ini artinya setiap pelaut Indonesia yang bekerja untuk Belanda kini tidak tergaji dan tidak punya tempat akomodasi.
Rapat publik pun diadakan dan acara amal dibuat untuk membantu para pelaut Indonesia. Berbagai perserikatan pekerja di Australia membantu para pelaut yang putus kerja dalam mencari tempat tinggal. Mereka dapat tinggal di hostel dan beberapa disediakan ranjang di Brisbane Trade Hall, dimana black ban pertama dicetuskan.
Ketika mata Australia tertuju pada aksi pelaut Indonesia, kesempatan ini tidak disia-siakan oleh CENKIM (Central Komite Indonesia Merdeka), organisasi yang didirikan di Australia oleh para tokoh politik yang pernah diasingkan Belanda ke Digul. Tanpa kesulitan mereka mengadakan aksi turun ke jalan besar-besaran di Melbourne sembari berteriak “Long Live The Republic of Indonesia.”
Ini tentu sebuah pernyataan yang radikal, terutama diserukan di negara sekutu Belanda. Namun di mata Australia, mereka melihat orang Indonesia sebagai sahabat yang turut serta berperang melawan musuh yang sama: Jepang serta membutuhkan bantuan untuk pulang ke negara asalnya. Banyak tentara Australia juga ikut turun ke jalan sebagai tanda mendukung kemerdekaan Indonesia.
Australia semakin dekat dengan Indonesia. Pada bulan Juni 1947, Usman Sastromijoyo terbang ke Australia. Meski belum official saat itu, ia telah dipercaya sebagai Duta Besar Indonesia untuk Australia. Pada akhir Juli, seorang anggota CENKIM, Mohammad Bondan mendengar berita di radio bagaimana Belanda melanggar perjanjian Linggar Jati dan melakukan agresi militer. Bersama istrinya, Molly, wanita Australia yang bersimpati dengan perjuangan Indonesia, mereka menulis ulang berita tersebut dalam bahasa Inggris dan memberikannya pada pers Australia.
Dengan cepat berita tersebar dan pemerintah Australia membawa kasus tersebut kepada PBB. Agresi berhasil dihentikan dan gencat senjata diadakan. Komisi Tiga Negara dibuat dan Indonesia memilih Australia sebagai wakilnya. Australia mengirim Justice Kirby dan Thomas Critchley. Critchley di kemudian hari menjadi salah satu sahabat baik Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Hubungan Belanda dan Australia semakin renggang.
Kebebasan ini pulalah yang dimanfaatkan untuk menyuarakan kemerdekaan Indonesia melalui CENKIM. Ketika Indonesia meraih kedaulatan pada tahun 1950, Australia menjadi salah satu negara barat pertama yang menjadi sahabat dekat Indonesia.
Sumber:
OZindo Magazine June Issue 2013
OZindo Magazine June Issue 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar