Rabu, 29 Juli 2015

Laboratorium Persenjataan MBT

Laboratorium Persenjataan MBT

Laboratorium Persenjataan MBT yang dipimpin Herman Johannes, cci, candidaat civiel ingenieur, calon insinyur sipil dari TH Bandung dan Herman Johannes orang lugu.
Di Laboratorium itu ada beberapa orang yang berperan, di antaranya adalah :
Mugiono (yang meneruskan di Delft, dan setelah selesai di sana menjadi pengajar di Bagian Fisika, UGM),
Soedarmadi Nitihardjo (yang lewat pendidikan kimia di Swis berkarir di PINDAD di Bandung),
Soetarta Mangoenkawatja, (yang semula anggota ABRI, tetapi kemudian jadi pengajar di ITB dan menekuni farmakognosi hingga wafat)
Soegito Moeljowijadi dari Solo (Dr Pratiwi Soedarmono, putrinya yang staf pengajar Universitas Indonesia pernah jadi calon astronaut)
Purbo Hadiwidjoyo
Orang-orang inilah yang melakukan pekerjaan pirokimia untuk tujuan perjuangan.

Pasukan Hantu Maut

Pasukan Hantu Maut

Keparakan Lor Ketua RK-nya waktu itu adalah Pujihartono. Adapun ketua pemuda Keparakan Lor pada waktu itu dipegang oleh Sudiman. Kerjasama antara ketua RK Bapak Pujihartono dan ketua pemuda Keparakan lor Sudiman beserta dengan para pemuda kampung telah mampu mewujudkan suatu laskar rakyat yang bernama pasukan Samber Gelap.

Pada tahun 1945 para pemuda didesa Keparakan Lor sudah mulai aktif melakukan perjuangan melawan Jepang. Pemuda Keparakan Lor ikut mengibarkan bendera merah-putih digedung negara (Gedung Agung sekarang ini) pada bulan September 1945 dan mereka juga pernah ikut melakukan pertempuran merebut Kidobutai di Kota Baru pada bulan Oktober 1945.

Pasukan dari pemuda Keparakan Lor ini bukan merupakan pasukan resmi dari pemerintah RI. Bahkan oleh beberapa pasukan dari TNI pasukan dari pemuda Keparakan Lor ini sering dituduh melakukan cara-cara kotor dalam melakukan perjuangan melawan Belanda.

Adapun tempat pelatihan militer para pemuda RK Keparakan Lor diselenggarakan di Selarong. Secara spiritual tempat itu dipandang mampu memberikan semangat yang berlebih, mengingat tempat itu merupakan peninggalan Diponegoro saat membentuk basis gerilyanya melawan Belanda. Pelatihnya waktu itu adalah seseorang yang bernama Nawawi dari Militer Akademi (MA). Proses latihan kemiliteran para pemuda di keparakan lor berlangsung antara tahun 1946 – 1947. latihanya waktu itu mencakup baris-berbaris, menggunakan senapan, latihan siasat perang, meloloskan diri dari pengepungan.

Bersamaan dengan diserangnya Yogyakarta oleh Belanda pemuda Keparakan Lor ikut bergerak kearah selatan. Di desa Ngoto pemuda Keparakan Lor membentuk laskar perjuangan dengan nama pasukan Samber Gelap, kira-kira pada tanggal 20 Desember 1948. pemberi nama itu adalah Sudiman. Pada waktu itu jumlah pasukan adalah kira-kira 50 orang. Pasukan Samber Gelap ini memiliki modal persenjataan sebanyak 7 buah senapan hasil rampasan ketika rakyat Yogyakarta melucuti senjata pasukan Jepang pada tanggal 7 Oktober 1945 di Kota Baru. 

Selanjutnya pasukan Samber Gelap kemudian disebar masuk ke kota untuk mengambil dan mencari senjata-senjata yang masih tertinggal di kota dan berhasil mendapatkan 11 pucuk senjata. Untuk Pimpinan laskar di daerah Ngoto ini dipegang oleh Achmad Umar atau Muhammad Umar. Mereka bertahan di daerah Ngoto selama 3 bulan. Selama di Ngoto ini pasukan Samber Gelap bergerak masuk kota dari arah Brontokusuman, sambil mengawasi markas Belanda di Tungkak dan Pojok Beteng Wetan. Belanda memasang lampu sorot ke empat penjuru untuk mengawasi gerakan para Gerilya. Rumah penduduk di Timuran tidak luput menjadi sasaran pembakaran oleh pasukan Belanda yang bermarkas di Pojok Beteng Wetan yang bertujuan agar lebih mudah mengawasi para pasukan gerilya. Menurut Suyudi, salah satu anggota Samber Gelap markas itu tidak tertembus oleh serangan gerilya RI.

Pasukan Samber Gelap termasuk pasukan yang sering mengganggu pertahan pasukan Belanda di Tungkak dan Godomanan, yaitu pada saat mereka bermarkas di Ngoto. Kampung Keparakan Lor pada waktu itu dijadikan pos pengintaian dan basis persenjataan dan logistik. Dengan cara itu pasukan Samber Gelap ikut menunjukkan pada dunia Internasional bahwa RI masih ada dan rakyat bersiap untuk membelanya.

Operasi besar-besaran yang dilakukan oleh Belanda untuk menumpas setiap perlawanan berimbas pada pasukan Samber Gelap karena pada tanggal 30 Desember 1948 pasukan Samber Gelap mendapat cobaan yang berat. Pada waktu itu Ahmad Umar bersama dengan Subari dan lurah desa Ngoto, bersama istri dan anaknya ditembak pasukan patroli Belanda dimuka markas pasukan samber gelap. Waktu itu markas pasukan samber gelap menempati rumah lurah desa Ngoto. Pnembakan itu dilakukan karena pasukan Belanda menemukan pistol dan granat didalam rumah lurah.  Pasukan samber gelap kehilangan pemimpinya.

Selang beberapa waktu setelah itu 3 anggota pasukan Samber Gelap ditangkap oleh pasukan Belanda mereka adalah Pawiro Aurat, Hartono, dan Sutejo. Mereka ditahan di Beteng Vredeburg selama 10 Hari. Mereka dituduh sebagai pengawal pribadi Presiden karena mereka mengenakan setelan baju surjan iket dan celana  panjang dari bahan drill yang pada waktu itu adalah setelan untuk pengawal Presiden. Ketiga orang itu mengalami luka-luka karena penyiksaan yang dilakukan oleh Belanda selama mereka didalam Beteng Vredeburg. Ketika mereka dibebaskan oleh pasukan Belanda mereka harus merangkak untuk mencapai desa Keparkan Lor. Dalam perjalan itu mereka sering ditertawakan oleh orang-orang keturunan Cina didaerah Gondomanan.

Selain pemuda dari Keparakan Lor, di daerah Pujokusuman dengan berawal dari semangat juang 30 orang pemuda Pujokusuman yang bersepakat dan berikrar, jika sampai Belanda masuk dan menduduki kota Yogyakarta mereka bersama-sama akan keluar kampung Pujokusuman untuk membentuk pasukan guna melawan dan mangusir penjajah Belanda GBPH Poedjokoesoemo yang merupakan putra Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, akhirnya membentuk Pasukan. Dan selain pemuda dari Pujokusuman ini juga bergabung pemuda dari Brontokusuman, Prawirotaman dan Karang Kajen. Selanjutnya pasukan Samber Gelap yang berisi pemuda dari Keparakan Lor dengan pasukan bentukan dari GBPH Poedjokoesoemo yang berisi pemuda dari Pujokusuman, Brontokusuman, Prawirotaman dan Karang Kajen maka dibuatlah kesepakatan untuk mengganti nama pasukan menjadi Pasukan Hantu Maut. 

Pasukan Hantu Maut ini dibentuk setelah Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengadakan serangan ke kota Yogyakarta yang kedua pada tanggal 9 Januari 1949. Hantu Maut sendiri berarti pasukan perlawanan sebagai hantu yang akan memberi dan menyebarkan maut bagi tentara pendudukan Belanda.

Pasukan Hantu Maut ini berseragam kaos oblong hijau dan celana putih. 

Pasukan Hantu Maut ini pernah mengadakan penangkapan mata-mata yang berkebangsaan Cina didaerah Gondomanan. Rumah mata-mata itu terletak beberapa puluh meter dari markas Belanda di Susteran Gondomanan ( kini SMP Imakulata ). Mata-mata itu kemudian dibunuh pasukan Hantu Maut setelah diperiksa. Proses penangkapan itu sendiri sudah merupakan kebanggaan bagi mereka, apalagi kalau mengingat rumah mata-mata yang didekat markas Belanda.

Penculikan seperti itu memang sering dilakukan oleh pasukan Hantu Maut. Bahkan anggota tentara Belandapun pun tidak jarang menjadi sasaran penculikan oleh gerilyawan anggota pasukan Hantu Maut dengan cara memasang seorang pelacur untuk menarik tentara Belanda itu berkencan dikampung. Ketika tentara Belanda itu masuk kampung penculikan oleh para gerilyawan anggota pasukan Hantu Maut segera dilakukan.

Pada waktu mengadakan serangan umum persenjataan pasukan Hantu Maut hanya berupa granat dan beberapa sten dan Pistol. Dalam serangan itu mereka bergerak sampai di belakang Bah Petruk, tepatnya dimuka markas pasukan Belanda di Susteran Gondomanan. Mereka bertahan ditempat itu sampai jam 11.00. namun karena komunikasi dengan daerah utara, timur dan barat tidak ada, mereka kemudian bergerak mundur lagi kearah selatan. Serangan umum itu sebagaimana telah kita ketahui sebagai serangan umum 1 Maret 1949.

Setelah pimpinan dipegang oleh Sadiman, markas pasukan hantu Maut dipindakan dari desa Ngoto ke Krajan pedukuhan Gorongan di daerah Condong Catur. Dimarkas barunya ini pasukan Hantu Maut berjumlah 15 orang dan dibagi menjadi beberapa kelompok yang kemudian setiap kelompok menempati rumah penduduk untuk menumpang.

Di desa Krajan ini pasukan Hantu Maut bergabung dengan pasukan MA dan mereka bertemu dengan Nawawi yang kemudian mengajarkan taktik pertempuran pada mereka. Dalam situasi yang gawat anggota-anggota Pasukan Hantu Maut mempunyai nama-nama samaran dalam usaha untuk menyelamatkan diri agar tidak tertangkap oleh pihak Belanda.

Pada bulan Maret dan April 1949 pasukan Hantu Maut ikut mengadakan pencegatan konvoi Pasukan Belanda di Kentungan, Ngabean ( sebelah timur perusahaan listrik di jalan Kaliurang), Dayu, Pakem, Kaliurang. Mereka mengadakan aksi bersama dengan pihak MA dan Laskar Rakyat yang lainnya. Dengan pengggabungan itu jumlah personil menjadi 50 orang sampai 75 orang. Dalam melakukan pencegatan-pencegatan konvoi pasukan Hantu Maut sering mendapatkan tambahan amunisi dan persenjataan. Dalam sebuah penyerangan terhadap markas Belanda di  Kaliurang pasukan Hantu Maut pernah berhasil melakukan pennyerangan dan berhasil menewaskan tentara Belanda. Pada waktu itu tepat pada saat ulang tahun ratu Juliana yang ke 40 para pasukan Belanda sedang mengadakan pesta untuk merayakannya. Dengan memanfaatkan kesempatan ini maka pasukan Hantu Maut mulai melakukan penyerangan.

Secara umum persenjataan pasukan Hantu Maut semakin lengkap. Mereka memiliki bren, tekidento (mortir kecil), pistol, stegun, granat, dan karaben. Persenjataan itu makin lengkap seriring makin sringnya mereka melakukan penyergapan terhadap konvoi-konvoi Belanda.

Selain melawan Belanda pasukan Hantu Maut juga sering mengamankan kampung yang digunakan sebagai markas mereka dari para perampok dan garong. Pernah pada suatu waktu mereka mendapat laporan dari penduduk desa Krajan bahwa ditempat itu sering terjadi pencurian hewan ternak yang dilakukan oleh gerombolan bersenjata. Lalu pada saat kejadian itu terjadi lagi pasukan Hantu Maut mulai mengejar para pencuri itu dan mendapatkan bahwa mereka adalah gerombolan pencuri yang memakai pakainan hitam. Setelah terkejar kemudian pasukan Hantu Maut menembaki pencuri itu dengan senapan tetapi para pencuri berhasil kabur namun hasil curian dapat diamankan kembali olah pasukan Hantu Maut.

Walupun seringkali pasukan Hantu Maut berganti-ganti markas karena faktor keamanan, namun mereka sering mendambakan untuk kembali ke kampung halaman mereka yaitu di desa Keparakan Lor. Mereka sering memerintahkan anak kecil untuk memeriksa keadaan kampung Keparakan Lor. Jika dirasa keadaan kampung itu aman maka para anggota paasukan Hantu Maut ini akan pulang kerumah sekedar melepas rindu pada keluarganya. Namun tentunya mereka tetap berhati-hati terhadap pasukan Belanda yang sedang berpatroli.

Kerawanan daerah Keparakan Lor tidak hanya adanya markas pasukan Belanda , tetapi sekaligus daerah itu banyak mata-matanya. Pawiro mengatakan adanya tiga orang mata-mata di kampung itu. Salamun dan Santoso dikenal berprofesi sebagai Garong. Sebelum Belanda datang ke Yogyakarta keduanya ditahan polisi RI di Wirogunan. Dengan kedatangan Belanda mereka berdua dibebaskan dan kemudian keduanya menjadi agen polisi Belanda. Semasa pendudukan mereka sering berhubungan dengan polisi dan tentara Belanda. Seorang mata-mata yang lain melarikan diri dari kampung bersama rombongan polisi Belanda. Menurut Pawiro mata-mata yang lain itu bernama Paijan atau sering dipanggil Ijan. Dalam keadaan yang mulai mendesak Ijan kemudian ikut melariakn diri bersama-sama polisi Belanda ke Semarang.  Dengan adanya tokoh mata-mata seperti itu perjuangan untuk membela RI menjadi sangat rawan di Kampung Keparakan Lor.

Pada tanggal 29 Juni 1949, Pasukan Hantu Maut mendapat tugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban di sebelah utara rel kereta api (stasiun Tugu) samapai batas kota sebelah utara. Setelah pemerintahan kembali pada pemerintahan sipil, maka pasukan Hantu Maut yang dulunya yang telah dimiliterisasi diberi kesempatan untuk kembali ke instansi, sekolah atau bagi yang meneruskan ke pendidikan militer dan sudah lulus tes maka akan ditempatkan di Batalion yang sudah ditentukan dan bagi yang tidak lolos tes akan dikembalikan kepada masyarakat dengan surat penghargaan.

Perang sudah berakhir. Indonesia sudah mulai membangun dirinya lagi. Kini, para mantan anggota pasukan Hantu Maut bersama pejuang-pejuang lainnya mendirikan organisasi dengan nama Kerukunan Keluarga Pejuang Eks SWK 101 WK III Yogyakarta.
Selain itu di Prawirotaman terdapat Tetenger dan Monumen Pasukan hantu Maut Kompi Widodo.

Sebuah plakat di depan Ndalem Pujokusaman yang menandakan bahwa di dalem tersebut dahulunya merupakan markas dari pasukan Hantu Maut.

Tetenger Lalu Lintas Gerilya Pasukan Hantu Maut di Prawirotaman

 Monumen Pasukan Hantu Maut di Prawirotaman

 Di plakat ini terdapat lambang Pasukan Hantu Maut

Di Monumen ini terdapat prasasti dengan tulisan :

Palagan Pas. Hantu Maut
Gugur Tgl 15 - 3 - 1949 Pratu R Pruwito
Anggota Pas. Hantu Maut Brig. X
Dalam Perang Kemerdekaan II
Daerah Gerilja
Kompi Widodo / Pas H. M.
Diresmikan pada Tgl :
22 Agustus 1981 oleh :
Pangkowilhan II
Wijogo Atmodarminto

Letnan Jendral T. N. I.

Lambang Pasukan Hantu Maut yang ada di Kampung Prawirotaman

Komunitas Djokjakarta 1945 di depan Monumen Pasukan Hantu Maut di Prawirotaman

Komunitas Djokjakarta 1945 sebagai penerus semangat Pasukan Hantu Maut
dengan membawa bendera Kerukunan Keluarga Pejuang Eks SWK 101 WK III Yogyakarta

Pahlawan Kemerdekaan Nasional Arie Frederik Lasut

 Pahlawan Kemerdekaan Nasional Arie Frederik Lasut


Arie Frederick Lasut lahir pada 6 Juli 1918 di Kapataran, Lembean Timur, Minahasa, Sulawesi Utara. Ia adalah putera tertua dari delapan anak dari Darius Lasut seorang guru dan sangat disiplin dalam mendidik anak-anaknya dan Ingkan Supit. Arie Frederick Lasut dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat.
Memulai pendidikannya pada tahun 1924 di sekolah dasar Belanda (Hollands Inlandse School), kemudian melanjutkan ke sekolah guru (Hollandse Inlandse Kweekschool). Sekolah guru ini tidak diselesaikan tetapi pindah ke Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (Algemeene Middlebare School) bagian B (Wisen Natuurkundiege Afdeling (IPA)). Setelah tamat, pada 1939 beliau ikut ujian masuk kursus asisten geologi pada Dienst van den Mijnbouw (selanjutnya menjadi Jawatan Tambang dan Geologi). Arie Frederik Lasut juga sempat mengenyam perguruan tinggi (sekolah kedokteran di Jakarta, kemudian pindah ke sekolah teknik di Bandung yang sekarang menjadi ITB). Ketiadaan biaya membuat Arie batal menjadi dokter dan insinyur. 
Beliau kemudian berkarir serta melakukan penelitian tentang geologi dan pertambangan Indonesia yang kemudian makin menebalkan rasa cinta tanah air dan jiwa pejuangnya. Kemudian bersama R Sunu Sumosusatro merupakan asisten ahli geologi Indonesia pertama.
Setelah pemerintah kolonial Belanda menyerah kalah dari bala tentara kerajaan Jepang pada 8 Maret 1942, Dienst van den Mijnbouw diambil alih dan berganti nama menjadi Chisitsu Chosajo. Pada zaman pendudukan Jepang, Arie Frederik Lasut bersama seluruh karyawan Indonesia tetap bekerja sama mendalami geologi dan pertambangan Indonesia.
Pada 11 September 1945, Arie Frederik Lasut ikut serta dalam pengambil-alihan Chisitsu Chosajo (jawatan geologis) dari Jepang yang berhasil dilakukan dengan damai, kemudian mengganti namanya menjadi "Jawatan Tambang dan Geologi, Ing Ngarso Sung Tulodo". Tanggal 16 Maret 1946, Arie Frederik Lasut dipilih dan diserahi tugas menjadi Kepala Jawatan Tambang dan Geologi, pada saat usianya baru menginjak 28 tahun. Kecerdasan, keuletan kerja, serta kepoloporannya membuat beliau yang masih muda mampu mengelola suatu jawatan yang saat itu merupakan salah satu yang terbesar di Asia.
Memang sangat luar biasa ketika pemuda tersebut mampu mengelola suatu lembaga ilmiah dan kekayaan bangsa dan negara Indonesia yang sangat bermanfaat yang terasa manfaatnya hingga saat ini. Sekolah pelatihan geologis juga dibuka selama kepemimpinan Arie Frederik Lasut sebagai kepala jawatan saat itu.
Darah pejuang titisan Dotu Lolong Lasut yang mengalir dalam diri pemuda Arie Frederik Lasut bergejolak ketika hadirnya pasukan sekutu yang dibonceng tentara Belanda di Bandung.
Arie Frederik Lasut adalah pemuda pemberani, lugas. dan merupakan tipe pejuang yang tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Pemuda anak bangsa ini berpikir cerdas dan cepat untuk berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negara. Yang pertama terpikirkan adalah bagaimana menyelamatkan dokumen geologi dan tambang yang memuat kekayaan bangsa dan negara Indonesia. Ketika dokumen tersebut sedang dicari-cari dengan senjata oleh tentara Belanda, beliau dengan gagah berani tanpa memperdulikan risiko ditembak Belanda secara sembunyi-sembunyi menyelamatkan berbagai dokumen tersebut melalui jalur penyelamatan yang berbahaya dan sangat berisiko di dalam kota yaitu melalui dari Museum Geologi ke Jalan Braga Nomor 3 ke Toko Onderling Belang kemudian ke Tasikmalaya, Solo, Magelang, dan akhirnya Jogjakarta. Dalam melakukan penyelamatan tersebut, beliau dibantu oleh Amsir, Raden Prajitno, dan MM Purbo-Hadiwijoyo. Kantor jawatan terpaksa harus dipindah beberapa kali untuk menghindari agresi Belanda setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Kantor jawatan sempat pindah ke Tasikmalaya lalu Magelang, dan Yogyakarta dari tempat awalnya di Bandung.
Arie Frederik Lasut turut aktif dalam organisasi Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) yang memiliki tujuan membela kemerdekaan Republik Indonesia.
Komandan Kompi BS (Berdiri Sendiri) Brigade 16, Kesatuan Reserse Umum X yaitu Arie Frederik Lasut.
Dalam rangka perjuangannya itu, Arie Frederik Lasut sering memasok bahan-bahan kimia untuk membuat bom molotov yang diperlukan oleh para pejuang kemerdekaan. Bahan-bahan kimia itu diperoleh dari laboratorium geologi. Beliau juga beberapa kali menyerang pos Belanda dan merebut senjata dari tangan Belanda kemudian dibagi-bagi kepada anak buahnya dan digunakan untuk melawan Belanda.
Selain itu Arie Frederik Lasut juga tergabung dalam KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dan terlibat dalam berbagai perundingan dengan Belanda untuk mendapatkan pengakuan atas kemerdekaan Indonesia. Arie Frederik Lasut adalah salah satu anggota delegasi Mohamad Roem dalam berunding dengan Van Roijen.
 Peran Arie Frederik Lasut dalam perang melawan Belanda serta pengetahuannya tentang pertambangan dan geologi di Republik Indonesia, menyebabkan beliau menjadi incaran Belanda. Segala cara digunakan baik bujukan maupun ancaman untuk membujuk/memaksa beliau mau bekerja sama dengan Belanda tetapi beliau tetap konsisten untuk tidak pernah mau bekerja sama dengan Belanda.
Pada pagi hari 7 Mei 1949 setelah berusaha menghindar dan melawan dengan tanpa senjata terhadap pasukan tentara Belanda bersenjata lengkap, dengan gagah berani Arie Frederik Lasut akhirnya berhasil ditangkap tentara Belanda dari rumahnya lalu dibawa ke Pakem, sekitar 7 kilometer di utara Yogyakarta.
Setelah ditangkap, dalam perjalanan menuju Pakem, Arie Frederik Lasut dipukul, disiksa dengan kejam agar mau memberitahukan rahasia negara berupa kekayaan tambang/geologi. Penyiksaan kejam selama berjam-jam tersebut ternyata tidak membuat Arie Frederik Lasut berkhianat bagi negaranya, bagi tanah leluhurnya Toar Lumimuut, tapi justru memicu semangat berani mati untuk kejayaan Bangsa dan negara Indonesia.
Setelah dihajar dengan popor senjata, ditampar dan dipukul, serta disiksa habis-habisan, Arie Frederik Lasut tetap tidak mengeluarkan sepatah-katapun dari mulutnya. Akhirnya sambil menatap tentara Belanda dengan gagah berani, beliau ditembak dengan keji oleh tentara Belanda yang putus asa.
Arie Frederik Lasut wafat di Pakem, Sleman, Yogyakarta, 7 Mei 1949 pada umur 30 tahun bertepatan dengan
ditandatanganinya perjanjian Roem- Roijen, yaitu 7 Mei 1949. Saat gugur ini Arie Frederik Lasut menjabat sebagai Kepala Pusat Djawatan Tambang dan Geologi. Pada waktu. jenazahnya ditemukan terbujur mengenakan celana dan kaus putih serta tangannya memegang granat. 
Beberapa bulan kemudian jenazah Arie Frederik Lasut dipindahkan ke pekuburan Kristen Kintelan di Yogyakarta di samping isterinya yang lebih dulu meninggal pada Desember 1947. Upacara penguburan dihadiri pejabat presiden Republik Indonesia pada saat itu, Mr Assaat.
Beliau mendapat penghargaan Pahlawan Pembela Kemerdekaan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 012/TK/TAHUN 1969 tentang Penetapan Sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Prasasti untuk mengenang jasa-jasa Arie Frederik Lasut dipasang di tangga menuju lantai 2 Museum Geologi di Bandung.

Tentara Genie Pelajar di Magelang

 Tentara Genie Pelajar di Magelang

Pada tahun 1946 TGP yang ada di kota Magelang yang dipimpin oleh Sukirno bergabung dengan TGP Yogyakarta yang dipimpin oleh Sunjasworo. TGP magelang dan Muntilan berhasil membuat senjata stengun sebanyak 6 – 7 pucuk setiap bulannya. Atas pimpinan Sadli (bekas Menteri pertambangan), di magelang didirikan satu laboratorium bahan peledak. Dari bahan-bahan peledak tersebut, kemudian dibuat granat-granat, granat gombyok, bom molotov, dan peledak gedung. Prestasi mereka ini berkat pelajaran yang diberikan oleh para mahasiswa dibawah pimpinan Sadli yang tergabung dalam Corps Mahasiswa.
Antara serbuan Belanda I dan II—Purbo-Hadiwidjoyo sempat terlibat dalam pembuatan granat gombyok, granat dengan ekor tali rami terurai, untuk memudahkan pelemparan barang berbahaya itu. Purbo-Hadiwidjoyo terlibat dalam kegiatan itu berkat ajakan teman dekat pada waktu itu, Sdr. Sasmito Iskandar, yang juga membawa Purbo-Hadiwidjoyo di SMI. Di kemudian hari, Sasmito Iskandar pernah bekerja di Pindad, Perindustrian Angkatan Darat di Bandung. Sasmito Iskandar menetap di kota Bandung itu sampai akhir hayatnya.
Para pekerja pembuat granat selain dari SPGT juga siswa-siswi SMA dan SMP. Yang menonjol adalah Slamet Rekso yang siswa SMA, karena Slamet Rekso-lah yang menjembatani siswa SMA-SMP dan para anggota Corps Mahasiswa. Di kemudian hari Slamet Rekso juga pindah ke Bandung dan jadi Kepala SMA 3, sekolah bergengsi.

Proses pembuatan granat gombyok ini berbahan bom yang dijatuhkan dari pesawat cocor merah yang tidak meledak, oleh para pemuda diambil. Kemudian digergaji untuk diambil mesiunya. 
Serbuk mesiu dimasukan ke dalam besi yang beberbentuk seperti cawan. Dalam cawan sudah ada campuran patahan besi dan paku. Setelah itu cawan ditutup menggunakan besi (bukan baja) yang dibagian belakanganya sudah ada ekor yang terbuat dari kain (gombyoknya).
Dalam penggunaannya lemparan granat gombyok rata-rata mencapai 15-20 meter
Ada peristiwa yang membuat Purbo-Hadiwidjoyo merasa terpukul dan sadar betapa pekerjaan yang mereka lakukan itu berbahaya. Seorang yang jadi korban hingga mati kebetulan adalah perjurit, dan seorang lagi Sdr.Widjil, siswa SMP yang terkena mata kirinya.
Hal ini bisa terjadi oleh karena beberapa faktor :
1. Kesalahan dalam memasukan penekan dari atas ke dalam benda yang seperti cawan.
2. Cara melempar yang tidak memegang gombyoknya.
3. Seharusnya jatuhnya lemparan ke depan tapi mebalik ke belakang karena faktor ketakutan.
 

Sumber:
Purbo-Hadiwidjoyo, 2006, "Dari Sekedar Melakoni Ke Memilih Yang Ingin Dilakukan"

Sigit Sugito, Drs., Suharsana, 1978, "Peranan Pelajar dan Mahasiswa dalam Perang Kemerdeaan Sebuah Ichtisar", Departemen Pertahanan Keamanan Pusat Sejarah ABRI, hal :17 - 18.